Keheningan kembali menyelimuti mereka. Devon dan Myan saling tatap dengan sorot mata yang begitu dalam.
Jantung Myan berdegup begitu kencang menanti jawaban Devon. Setiap detik dalam keheningan membuatnya begitu gugup. Perasaan tersebut mengirimkan sinyal kuat di dasar hatinya. Seolah tak mampu lagi menunggu, Myan mendekat ke arah Devon.
Myan menatap lengan kuat yang kokoh milik Devon yang bebas dari gips. Perlahan jemarinya mulai terangkat. Myan tergerak untuk meraih tangan itu. Selanjutnya, tanpa sadar jemarinya telah mendarat di atas punggung tangan Devon.
Sejenak mereka sedikit tersentak. Saat kulit mereka saling bersentuhan, aliran listrik seolah menghubungkan keduanya dan seolah memberi sengatan kecil yang mengejutkan. Sontak, pandangan mereka saling bertemu kembali.
Mata Myan sedikit bergetar, bibir kecilnya sedikit terbuka seperti hendak mengucapkan sesuatu.
Bersamaan dengan itu, seketika pintu kamar pun terbuka ...
Myan dan Milia berencana untuk berkunjung ke kamar Devon sebelum kepergian mereka dari rumah sakit. Dengan sedikit gugup Myan mengetuk perlahan pintu kamar Devon. Pintu terbuka beberapa saat setelah dirinya menunggu. Ternyata Greg yang menyambut mereka begitu pintu terbuka. "Halo Tuan, selamat pagi," sapa Myan. "Selamat pagi, panggil Greg saja, Manis," balas Greg kembali mengingatkan. Myan tersenyum oleh keramahan Greg. "Halo selamat pagi, perkenalkan aku Milia, ibu dari Myan" Milia turut memperkenalkan diri. Greg tersenyum cerah pada Milia yang berada di belakang kursi roda untuk membantu Myan, putrinya bergerak. "Selamat pagi, aku Greg ayah dari Devon. Mari silakan masuk untuk kalian para wanita cantik." Lagi-lagi Greg melontarkan pujian ramahnya untuk kedua tamunya yang pagi ini berkunjung. Milia mendorong kursi roda Myan untuk masuk. Mendekatkan putrinya ke arah ranjang Devon. Ia kemudian menyerahkan bingkisan yang berada d
Sudah sejak tiga bulan yang lalu sejak dirinya meninggalkan rumah sakit. Kini Myan hampir pulih sepenuhnya dari semua luka-luka yang dialaminya. Termasuk patah tulangnya.Setelah meninggalkan rumah sakit, Myan memutuskan untuk tinggal bersama bibinya yang bernama Marrie, yang memiliki usaha perkebunan, peternakan dan penginapan yang nyaman yang jauh dari hiruk-pikuk dan kebisingan kota. Di daerah tenang New South Wales, Myan merasa dapat bernapas dengan lega dan bisa memulihkan dirinya dengan cepat.Sehari setelah dirinya meninggalkan rumah sakit, Myan dengan bantuan Milia membuat surat pengunduran diri dari pekerjaannya di Shine Advertising.Setelah pilu yang ia curahkan ke hadapan Milia, Myan merasa lega. Setidaknya bebannya sedikit berkurang dan Milia dengan penuh pengertian dan kesabarannya selalu memberikan jawaban-jawaban yang menenangkan jiwanya.Entah pengalaman
___Sehari sebelumnya___ Devon meletakkan garpunya dengan lesu, tak ingin lagi melanjutkan sarapannya setelah terapi fisiknya berakhir tadi. Ia kembali menatap ponselnya sembari mengamati sebuah foto yang amat dikaguminya. Foto seorang gadis cantik dengan senyum secerah mentari, dengan rambut halus yang terurai lembut sedang menggenggam sebuah gelas kopi disalah satu tangannya, sementara tangan yang lain menggenggam buku kecil. Ia tampak paling bercahaya diantara gadis-gadis yang lain yang berada di sebelahnya. "Kau tak menghabiskan makananmu lagi?" teguran dari Valerie membuyarkan lamunannya. Buru-buru ia matikan ponselnya. Valerie mengambil tempat duduk di seberangnya. "Yah ... aku sudah kenyang," "Bagaimana fisioterapimu hari ini?" "Bagus ..." jawab Devon. "Kau memang tampak membaik. Apa kau akan memutuskan untuk kembali bekerja setelah kau bisa berjalan sendiri seperti sekarang?" "Entahlah ..." Valerie menghe
"Hai ..." sapa Devon lembut dengan senyum penuh makna. Dipandangnya Myan lekat-lekat. Gadis yang sebelumnya ia kejar seperti orang kehilangan akal, akhirnya dapat ia temukan. Devon begitu lega melihat gadis itu. Jika beberapa bulan yang lalu merupakan siksaan berat baginya, sekarang ia merasa seolah telah menemukan rumah yang nyaman saat menatap mata gadis itu. Myan yang tertempa sinar matahari tampak begitu menyilaukan di mata Devon. Rambutnya yang ia jalin menjadi satu, menyisakan anak rambut yang halus yang saling berterbangan di kanan kiri pelipisnya ketika angin berhembus melewatinya. Aroma bunga dan manis yang samar dapat Devon rasakan saat dirinya berada di dekat gadis itu. "Bagaimana kau ... bisa mengetahui keberadaanku di sini?" Myan bergetar menatap Devon yang berada tak jauh darinya. Jantungnya seolah berhenti mendapati Devon di sana. Myan mengerjap sekali lagi untuk memastikan penglihatannya. Devon yang masih berdiri di tem
Devon mengusap ujung bibirnya yang pecah dan mengeluarkan darah segar. Tongkat sikunya tergeletak di sampingnya. Rick dengan aura kelamnya segera menghampiri Myan dan Devon. Tanpa peringatan apa pun lagi, ia segera menarik lengan Myan. Myan yang terkejut terpekik karena sentakan dan tarikan Rick yang begitu kuat. "Siapa dia? Apa urusannya denganmu?!" Rick yang telah dikuasai amarah menyudutkan Myan dengan kasar. "Rick ... lepaskan aku!" perintah Myan. Myan mengernyit saat merasakan genggaman Rick yang begitu kencang mulai menyakiti pergelangan tangannya yang baru saja pulih dari cederanya. "Apa karena dirinya kau menolakku?!" teriak Rick lagi. "Rick!... Kau menyakitiku. Lepaskan aku!!" Myan kembali terpekik saat tangan Rick kembali menyentaknya dengan kasar. "LEPASKAN DIA !!!" Sejurus kemudian Devon yang telah bangkit dengan tertatih melayangkan pukulannya tepat pada wajah Rick. Berat beban tubuhnya sepenuhnya ia hempas
Myan berdiri di ambang pintu kamar Devon dengan canggung. Baik dirinya mau pun Devon telah selesai diperiksa oleh seorang dokter yang entah dari mana datangnya. Siang tadi setelah Devon dijemput oleh pria berjas yang membawa kursi roda, dirinya menghampiri Myan dan membawa pesan agar Myan menemui Devon di kamarnya. Pria jangkung berwajah serius itu bernama Kevin. Ia mengaku sebagai asisten yang diutus oleh ayah Devon untuk mendampinginya. "Duduklah Myan ... jangan hanya berdiri di sana" Devon menempati kamar penginapan yang paling besar milik bibinya. Ia duduk di sebelah jendela yang besar. Sinar matahari dan hembusan angin tampak begitu pas menyatu dengan posturnya yang menawan. Devon bagaikan seorang model yang sedang berpose untuk sebuah produk iklan. Entah itu cahaya matahari atau Devon sendiri yang tampak begitu bersinar, Myan sampai tak dapat membedakannya. Terlalu menyilaukan baginya, hingga membuat jantungnya terusik. Myan harus pandai
"Silakan, Nona" seorang pelayan pria mempersilakan dirinya masuk ke dalam sebuah rumah megah dan luas, segera setelah pria itu menyadari kedatangannya. Sebelumnya Myan hanya mampu berdiri dan mematung di ambang sebuah pintu besar yang tampak mewah. Sehari yang lalu setelah dirinya kembali, Myan menerima sebuah alamat tempat di mana dirinya harus mulai bekerja untuk menjadi asisten Devon. Ia tak menyangka ia akan berakhir di sebuah rumah megah dan besar dengan halaman indah dan sangat terawat di depannya. Ia kira ia akan berada pada sebuah kantor atau semacamnya. "Ah, ya terima kasih," ucapnya canggung pada pria itu. Berkali-kali ia memeriksa alamat yang Kevin berikan padanya kemarin. Dan memang tak ada yang salah dengan alamat itu. Alamatnya sama persis dengan rumah yang sedang ia pandangi dengan takjub saat ini. Saat gerbang pagar besi yang menjulang tinggi terbuka secara otomatis, Myan baru dapat melanjutkan langkahnya untuk masuk me
Sudah lebih dari dua jam yang lalu sejak Devon memerintahkannya untuk membaca, sementara dirinya sendiri sibuk mengerjakan pekerjaannya di depan laptopnya. Myan tanpa sadar menyandarkan kepalanya di atas sofa tempatnya duduk. Perlahan buku yang sedang dibacanya mulai tergeletak di atas pangkuannya. Karena diserang oleh rasa kantuk yang luar biasa selama ia membaca, Myan perlahan mulai memejamkan matanya. Keheningan di dalam kamar Devon menjadi salah satu pemicu rasa kantuknya. Terlebih lagi semalam Myan tak dapat tidur dengan nyenyak karena terlalu memikirkan hari pertamanya bekerja untuk Devon. Myan terlalu tegang memikirkan bagaimana sikap Devon padanya mengingat sebelumnya ia pergi begitu saja dari penginapan dan tampak sangat kesal. Ternyata tak sesuai perkiraannya, perlakuan Devon kepadanya tak seburuk bayangannya. Ditambah Greg yang menyambutnya dengan hangat, membuat Myan merasa lega dan nyaman berada di dalam rumah ini. Tanpa Myan sadari, selama ia me