"Hai ..." sapa Devon lembut dengan senyum penuh makna.
Dipandangnya Myan lekat-lekat. Gadis yang sebelumnya ia kejar seperti orang kehilangan akal, akhirnya dapat ia temukan.
Devon begitu lega melihat gadis itu. Jika beberapa bulan yang lalu merupakan siksaan berat baginya, sekarang ia merasa seolah telah menemukan rumah yang nyaman saat menatap mata gadis itu.
Myan yang tertempa sinar matahari tampak begitu menyilaukan di mata Devon. Rambutnya yang ia jalin menjadi satu, menyisakan anak rambut yang halus yang saling berterbangan di kanan kiri pelipisnya ketika angin berhembus melewatinya.
Aroma bunga dan manis yang samar dapat Devon rasakan saat dirinya berada di dekat gadis itu.
"Bagaimana kau ... bisa mengetahui keberadaanku di sini?" Myan bergetar menatap Devon yang berada tak jauh darinya. Jantungnya seolah berhenti mendapati Devon di sana.
Myan mengerjap sekali lagi untuk memastikan penglihatannya. Devon yang masih berdiri di tem
Devon mengusap ujung bibirnya yang pecah dan mengeluarkan darah segar. Tongkat sikunya tergeletak di sampingnya. Rick dengan aura kelamnya segera menghampiri Myan dan Devon. Tanpa peringatan apa pun lagi, ia segera menarik lengan Myan. Myan yang terkejut terpekik karena sentakan dan tarikan Rick yang begitu kuat. "Siapa dia? Apa urusannya denganmu?!" Rick yang telah dikuasai amarah menyudutkan Myan dengan kasar. "Rick ... lepaskan aku!" perintah Myan. Myan mengernyit saat merasakan genggaman Rick yang begitu kencang mulai menyakiti pergelangan tangannya yang baru saja pulih dari cederanya. "Apa karena dirinya kau menolakku?!" teriak Rick lagi. "Rick!... Kau menyakitiku. Lepaskan aku!!" Myan kembali terpekik saat tangan Rick kembali menyentaknya dengan kasar. "LEPASKAN DIA !!!" Sejurus kemudian Devon yang telah bangkit dengan tertatih melayangkan pukulannya tepat pada wajah Rick. Berat beban tubuhnya sepenuhnya ia hempas
Myan berdiri di ambang pintu kamar Devon dengan canggung. Baik dirinya mau pun Devon telah selesai diperiksa oleh seorang dokter yang entah dari mana datangnya. Siang tadi setelah Devon dijemput oleh pria berjas yang membawa kursi roda, dirinya menghampiri Myan dan membawa pesan agar Myan menemui Devon di kamarnya. Pria jangkung berwajah serius itu bernama Kevin. Ia mengaku sebagai asisten yang diutus oleh ayah Devon untuk mendampinginya. "Duduklah Myan ... jangan hanya berdiri di sana" Devon menempati kamar penginapan yang paling besar milik bibinya. Ia duduk di sebelah jendela yang besar. Sinar matahari dan hembusan angin tampak begitu pas menyatu dengan posturnya yang menawan. Devon bagaikan seorang model yang sedang berpose untuk sebuah produk iklan. Entah itu cahaya matahari atau Devon sendiri yang tampak begitu bersinar, Myan sampai tak dapat membedakannya. Terlalu menyilaukan baginya, hingga membuat jantungnya terusik. Myan harus pandai
"Silakan, Nona" seorang pelayan pria mempersilakan dirinya masuk ke dalam sebuah rumah megah dan luas, segera setelah pria itu menyadari kedatangannya. Sebelumnya Myan hanya mampu berdiri dan mematung di ambang sebuah pintu besar yang tampak mewah. Sehari yang lalu setelah dirinya kembali, Myan menerima sebuah alamat tempat di mana dirinya harus mulai bekerja untuk menjadi asisten Devon. Ia tak menyangka ia akan berakhir di sebuah rumah megah dan besar dengan halaman indah dan sangat terawat di depannya. Ia kira ia akan berada pada sebuah kantor atau semacamnya. "Ah, ya terima kasih," ucapnya canggung pada pria itu. Berkali-kali ia memeriksa alamat yang Kevin berikan padanya kemarin. Dan memang tak ada yang salah dengan alamat itu. Alamatnya sama persis dengan rumah yang sedang ia pandangi dengan takjub saat ini. Saat gerbang pagar besi yang menjulang tinggi terbuka secara otomatis, Myan baru dapat melanjutkan langkahnya untuk masuk me
Sudah lebih dari dua jam yang lalu sejak Devon memerintahkannya untuk membaca, sementara dirinya sendiri sibuk mengerjakan pekerjaannya di depan laptopnya. Myan tanpa sadar menyandarkan kepalanya di atas sofa tempatnya duduk. Perlahan buku yang sedang dibacanya mulai tergeletak di atas pangkuannya. Karena diserang oleh rasa kantuk yang luar biasa selama ia membaca, Myan perlahan mulai memejamkan matanya. Keheningan di dalam kamar Devon menjadi salah satu pemicu rasa kantuknya. Terlebih lagi semalam Myan tak dapat tidur dengan nyenyak karena terlalu memikirkan hari pertamanya bekerja untuk Devon. Myan terlalu tegang memikirkan bagaimana sikap Devon padanya mengingat sebelumnya ia pergi begitu saja dari penginapan dan tampak sangat kesal. Ternyata tak sesuai perkiraannya, perlakuan Devon kepadanya tak seburuk bayangannya. Ditambah Greg yang menyambutnya dengan hangat, membuat Myan merasa lega dan nyaman berada di dalam rumah ini. Tanpa Myan sadari, selama ia me
Keheningan yang dalam membuat suasana kamar menjadi sedikit menegangkan. Bagi Devon mengungkapkan jati dirinya adalah hal yang sangat menyiksanya. Selama ini ia berusaha menutup dirinya rapat-rapat. Ia tak ingin siapa pun tahu tentang dirinya, karena ia memiliki trauma yang mendalam tentang itu. Bahwa sebenarnya ia adalah pewaris dan putra tunggal dari ayahnya yang memiliki beberapa perusahaan ternama, telah memberinya kenangan pahit yang begitu kelam. Devon tak pernah ingin mengungkap semua itu karena tak ingin ada kejadian buruk lagi di dalam hidupnya. Ia kehilangan ibunya, wanita yang begitu dicintainya karena status tersebut. Menjadi seorang putra dari pemilik perusahaan ternama tak selamanya menyenangkan. Sewaktu kecil Devon beberapa kali kerap mengalami kasus penculikan dan kekerasan oleh rival perusahaan milik ayahnya. Hingga salah satu insiden tersebut akhirnya merenggut nyawa ibunya sendiri. "Maafkan aku ..." Myan berkaca-kaca s
"Kau tak berangkat bekerja?" tanya Milia pada Jordan yang masih sibuk memainkan ponselnya sedari tadi. "Nanti, Ma ... tak ada pekerjaan yang terlalu mendesak hari ini. Aku akan berangkat siang hari." Milia menatap putranya dengan sedikit keheranan. "Ada apa ...?" tanyanya. Jordan mendongak menatap ibunya. Ia dapat melihat sorot penuh selidik di kedua mata ibunya. Dan ia tahu apa artinya itu. "Apa ...? Apa maksudnya?" Jordan mulai tergagap. Milia menghembuskan napasnya. Ia tahu benar jika Jordan sedang memikirkan sesuatu. "Selama beberapa hari ini kau tidur di sini bukan di tempatmu sendiri. Dan kau berlagak tak terjadi apa-apa. Apa menurutmu ibumu ini akan percaya jika kau sedang tidak menyembunyikan sesuatu?" tanyanya. "Bukan begitu, Maa ... bukankah Myan juga tidur di sini? Mengapa kau hanya menanyaiku saja?" Jordan beralasan. "Oh ayolah ... cepat katakan pada ibumu ini sebelum aku melemparmu dengan pisau dapurku!" ucap Milia
Myan menyilangkan kedua lengannya, menatap Lilian yang masih membisu di hadapannya. "Katakan ... apa yang sebenarnya terjadi? Kau siapa? Mengapa kau berada di sini Mera?" "Lilian ..." ucapnya datar. Myan mengatupkan giginya. Berusaha untuk tidak menunjukkan dirinya yang sudah mulai kehilangan kesabaran. "Kau tahu ini bukan ...?!" Ia mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya. Sebuah gelang kulit yang bergelantung dengan indah terpampang di hadapan Lilian. Matanya sedikit bergetar. "Aku tahu itu sebuah gelang. Tapi aku tidak yakin apa maksudmu dengan menunjukkan gelang itu padaku," Lilian sedikit mengalihkan pandangannya. "Ya kau tahu ... kau tahu ini Lilian. Aku bisa melihatnya." "Tolong ... aku tidak tahu apa maksudmu, Nona ..." "Kisha." Myan memotong ucapan Lilian. "Aku Kisha ... kau Mera ... dan pria yang ada di dalam sana adalah Kouza." Lilian menahan napasnya seolah tercekat. Ia hendak berl
Myan yang merasakan firasat buruk seketika membuka kedua matanya. Benar saja, Devon tengah menatapnya dengan senyum jahilnya yang tampak begitu puas. Myan melotot padanya. "Kauu! Mempermainkanku ...!!?" Myan memukul bahu Devon dengan sebal. Perasaan malu bercampur kesal membuat wajahnya memanas. Devon tertawa terpingkal-pingkal. Begitu puas menyaksikan wajah Myan yang cemberut. Ia senang ternyata berhasil menggoda gadis itu. "Devon ... kau menyebalkan!" geram Myan menahan malu. Ia memukul-mukul lagi dsda Devon. "Oke ... maafkan aku. Haha ... hentikan, nanti tanganmu cedera lagi." Devon menangkap kedua pergelangan tangan Myan. Ia membawa Myan duduk di atas sofa. Dan ia sendiri mengambil tempat di sebelah Myan. Di hadapan mereka telah tersaji hidangan lengkap yang menggoda selera. Devon tersenyum menatap Myan yang masih merasa kesal dan menekuk bibirnya. "Aku mengajakmu kemari karena ingin makan bersama denganmu," jelasnya kemudi