Keheningan yang dalam membuat suasana kamar menjadi sedikit menegangkan. Bagi Devon mengungkapkan jati dirinya adalah hal yang sangat menyiksanya.
Selama ini ia berusaha menutup dirinya rapat-rapat. Ia tak ingin siapa pun tahu tentang dirinya, karena ia memiliki trauma yang mendalam tentang itu.
Bahwa sebenarnya ia adalah pewaris dan putra tunggal dari ayahnya yang memiliki beberapa perusahaan ternama, telah memberinya kenangan pahit yang begitu kelam.
Devon tak pernah ingin mengungkap semua itu karena tak ingin ada kejadian buruk lagi di dalam hidupnya. Ia kehilangan ibunya, wanita yang begitu dicintainya karena status tersebut.
Menjadi seorang putra dari pemilik perusahaan ternama tak selamanya menyenangkan. Sewaktu kecil Devon beberapa kali kerap mengalami kasus penculikan dan kekerasan oleh rival perusahaan milik ayahnya. Hingga salah satu insiden tersebut akhirnya merenggut nyawa ibunya sendiri.
"Maafkan aku ..." Myan berkaca-kaca s
"Kau tak berangkat bekerja?" tanya Milia pada Jordan yang masih sibuk memainkan ponselnya sedari tadi. "Nanti, Ma ... tak ada pekerjaan yang terlalu mendesak hari ini. Aku akan berangkat siang hari." Milia menatap putranya dengan sedikit keheranan. "Ada apa ...?" tanyanya. Jordan mendongak menatap ibunya. Ia dapat melihat sorot penuh selidik di kedua mata ibunya. Dan ia tahu apa artinya itu. "Apa ...? Apa maksudnya?" Jordan mulai tergagap. Milia menghembuskan napasnya. Ia tahu benar jika Jordan sedang memikirkan sesuatu. "Selama beberapa hari ini kau tidur di sini bukan di tempatmu sendiri. Dan kau berlagak tak terjadi apa-apa. Apa menurutmu ibumu ini akan percaya jika kau sedang tidak menyembunyikan sesuatu?" tanyanya. "Bukan begitu, Maa ... bukankah Myan juga tidur di sini? Mengapa kau hanya menanyaiku saja?" Jordan beralasan. "Oh ayolah ... cepat katakan pada ibumu ini sebelum aku melemparmu dengan pisau dapurku!" ucap Milia
Myan menyilangkan kedua lengannya, menatap Lilian yang masih membisu di hadapannya. "Katakan ... apa yang sebenarnya terjadi? Kau siapa? Mengapa kau berada di sini Mera?" "Lilian ..." ucapnya datar. Myan mengatupkan giginya. Berusaha untuk tidak menunjukkan dirinya yang sudah mulai kehilangan kesabaran. "Kau tahu ini bukan ...?!" Ia mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya. Sebuah gelang kulit yang bergelantung dengan indah terpampang di hadapan Lilian. Matanya sedikit bergetar. "Aku tahu itu sebuah gelang. Tapi aku tidak yakin apa maksudmu dengan menunjukkan gelang itu padaku," Lilian sedikit mengalihkan pandangannya. "Ya kau tahu ... kau tahu ini Lilian. Aku bisa melihatnya." "Tolong ... aku tidak tahu apa maksudmu, Nona ..." "Kisha." Myan memotong ucapan Lilian. "Aku Kisha ... kau Mera ... dan pria yang ada di dalam sana adalah Kouza." Lilian menahan napasnya seolah tercekat. Ia hendak berl
Myan yang merasakan firasat buruk seketika membuka kedua matanya. Benar saja, Devon tengah menatapnya dengan senyum jahilnya yang tampak begitu puas. Myan melotot padanya. "Kauu! Mempermainkanku ...!!?" Myan memukul bahu Devon dengan sebal. Perasaan malu bercampur kesal membuat wajahnya memanas. Devon tertawa terpingkal-pingkal. Begitu puas menyaksikan wajah Myan yang cemberut. Ia senang ternyata berhasil menggoda gadis itu. "Devon ... kau menyebalkan!" geram Myan menahan malu. Ia memukul-mukul lagi dsda Devon. "Oke ... maafkan aku. Haha ... hentikan, nanti tanganmu cedera lagi." Devon menangkap kedua pergelangan tangan Myan. Ia membawa Myan duduk di atas sofa. Dan ia sendiri mengambil tempat di sebelah Myan. Di hadapan mereka telah tersaji hidangan lengkap yang menggoda selera. Devon tersenyum menatap Myan yang masih merasa kesal dan menekuk bibirnya. "Aku mengajakmu kemari karena ingin makan bersama denganmu," jelasnya kemudi
Seorang pelayan wanita tergopoh-gopoh mendekati Jordan yang masih berdiri di tempatnya. Ia menunjukkan wajah yang tampak cemas. "Tuan ... tolong segera lepas kemeja Anda, saya akan membantu membersihkan dan mengobati luka Anda," ucapnya kemudian. "Ah ... tidak, terima kasih. Aku dapat mengatasinya sendiri." ucap Jordan dengan sopan. "Tapi, Tuan ... jika dibiarkan maka siraman tadi dapat membuat kulit Anda terbakar atau bahkan melepuh," lanjut pelayan wanita itu lagi. Ia terkesan begitu mendesak dan memang seperti tampak sangat tertarik dengan Jordan. Bahkan dari bahasa tubuhnya terlihat ia berusaha untuk menarik perhatian Jordan Valerie menangkap gelagatnya itu. Saat pelayan wanita berlipstik tebal itu hendak meraih kancing kemeja Jordan dengan sikap berani, tiba-tiba sebuah tangan menangkap pergelangan tangannya seketika itu juga. "Jangan ... coba-coba ... sentuh ... PRIAKU." ucap Valerie dengan suara dingin yang terdengar tegas
Valerie mengikat jubah mandinya erat-erat sebelum ia keluar dari kamar mandi. Saat itu dilihatnya Jordan sedang bercermin dan telah mengenakan kemeja yang Valerie pesan dari Rebecca sebelumnya. "Cocok untukmu, ukurannya sangat pas bukan?" komentar Valerie saat mengamati Jordan dengan baju barunya. "Benar ... kau memilih ukuran yang tepat dan ..." ucapan Jordan seketika menggantung di udara saat ia menatap Valerie dengan jubah mandinya dan wajah polosnya tanpa make up. Jordan membeku di tempat. Ia menelan ludahnya. Tak menyangka Valerie bisa tampak begitu berbeda ketika tak mengenakan riasan apa pun. Ia tampak segar, muda, polos, cantik dan juga tampak sangat menggoda dalam balutan jubah mandinya ... "Aku bisa memperkirakan ukuran baju seseorang hanya dengan melihatnya. Itu pekerjaanku sehari-hari, dan juga salah satu keahlianku ..." ucapnya. Valerie dengan tenang menghampiri kotak baju miliknya sendiri untuk memeriksa isinya. Ia sesekali menge
Milia menatap kedua anaknya dengan tatapan menyelidik. Baik Jordan mau pun Myan hanya menatap ponselnya masing-masing tanpa menyentuh sedikit pun hidangan yang telah tersaji di hadapan mereka. "Apa perut kalian akan terisi sendiri hanya dengan menatap ponsel?" tanyanya. Jordan dan Myan segera meletakkan ponsel mereka. Mereka tahu betul nada suara Milia saat merasa kesal. "Aku hanya mengecek pekerjaanku saja," jawab Myan kemudian melahap sepotong pancake manis di hadapannya. "Aku juga." Jordan melakukan hal yang sama. Hanya beberapa suap saja sampai Jordan dan Myan kembali sibuk dengan ponsel mereka masing-masing. Mereka tampak terlalu larut untuk mengetik dan kembali fokus untuk membalas beberapa pesan yang masuk. Milia menghela napas panjang. Kedua anaknya sekarang dimatanya tampak begitu mencurigakan. Jika mereka tadi begitu tegang dengan ponsel masing-masing, kini mereka berdua terlihat cerah saat membalas beberapa pesan-pesan yang
Myan melangkahkan kaki keluar dari gedung sendirian setelah semua pembicaraan panjang mengenai acara resepsi, gaun, makanan dan segala macam pernak-pernik tentang pernikahan selesai Devon bicarakan dengan Laura. Myan tak mengerti mengapa Devon melakukan ini. Bahkan ia menyebutnya istri dan menjelaskan bahwa mereka telah menikah. Jelas Myan akan menuntut penjelasan atas semua aksi Devon ini. "Apa kau kesal padaku ...?" Devon yang ia kira masih berada di dalam ternyata telah menghampirinya. Myan kemudian memutuskan untuk duduk di salah satu kursi taman yang bernaungkan pohon rindang. Myan tak menjawab pertanyaan Devon. Ia sedikit memalingkan wajahnya untuk menghindari tatapan menyelidik dari pria itu. "Terima kasih kau tidak menamparku atau meninggalkanku di sana sendirian sementara aku mungkin dapat menanggung malu," ucap Devon sambil duduk di samping Myan yang masih berwajah masam. Myan menghembuskan napasnya perlahan seolah ingin membua
"Apa yang harus aku katakan?" Myan berjalan mondar-mandir dalam kamar Devon dengan raut cemas. "Katakan saja yang sebenarnya ..." Devon menjawab Myan dengan sabar. "Ma ... aku sudah menikah dan sudah menjadi istri Devon sekarang. Hanya dalam waktu satu hari? Hah ... bisakah kau bayangkan betapa terkejutnya mamaku nanti?" "Oh, ini semua salahmu Devon! Tidak hanya di dunia mimpi mau pun kenyataan, kau selalu bertindak semaumu ..." keluh Myan cemas. Devon menarik lengan Myan, mendudukkannya dipangkuannya sendiri. "Bisakah kau berhenti? Kau membuatku pusing ... hentikan kecemasanmu sekarang juga, tak ada yang perlu kau khawatirkan, Sayang." "Aku akan mengantarmu pulang nanti. Aku akan menghadap mamamu, meminta izin agar diperbolehkan memiliki putri satu-satunya. Walau secara teknis aku sudah memilikinya," Devon tersenyum jahil. "Hm ... sekarang, apa kau sudah bisa tenang?" tanya Devon sambil tersenyum dengan ceria. "Bagaimana dengan ayahmu