Sudah lebih dari dua jam yang lalu sejak Devon memerintahkannya untuk membaca, sementara dirinya sendiri sibuk mengerjakan pekerjaannya di depan laptopnya. Myan tanpa sadar menyandarkan kepalanya di atas sofa tempatnya duduk.
Perlahan buku yang sedang dibacanya mulai tergeletak di atas pangkuannya. Karena diserang oleh rasa kantuk yang luar biasa selama ia membaca, Myan perlahan mulai memejamkan matanya. Keheningan di dalam kamar Devon menjadi salah satu pemicu rasa kantuknya. Terlebih lagi semalam Myan tak dapat tidur dengan nyenyak karena terlalu memikirkan hari pertamanya bekerja untuk Devon.
Myan terlalu tegang memikirkan bagaimana sikap Devon padanya mengingat sebelumnya ia pergi begitu saja dari penginapan dan tampak sangat kesal. Ternyata tak sesuai perkiraannya, perlakuan Devon kepadanya tak seburuk bayangannya. Ditambah Greg yang menyambutnya dengan hangat, membuat Myan merasa lega dan nyaman berada di dalam rumah ini.
Tanpa Myan sadari, selama ia me
Keheningan yang dalam membuat suasana kamar menjadi sedikit menegangkan. Bagi Devon mengungkapkan jati dirinya adalah hal yang sangat menyiksanya. Selama ini ia berusaha menutup dirinya rapat-rapat. Ia tak ingin siapa pun tahu tentang dirinya, karena ia memiliki trauma yang mendalam tentang itu. Bahwa sebenarnya ia adalah pewaris dan putra tunggal dari ayahnya yang memiliki beberapa perusahaan ternama, telah memberinya kenangan pahit yang begitu kelam. Devon tak pernah ingin mengungkap semua itu karena tak ingin ada kejadian buruk lagi di dalam hidupnya. Ia kehilangan ibunya, wanita yang begitu dicintainya karena status tersebut. Menjadi seorang putra dari pemilik perusahaan ternama tak selamanya menyenangkan. Sewaktu kecil Devon beberapa kali kerap mengalami kasus penculikan dan kekerasan oleh rival perusahaan milik ayahnya. Hingga salah satu insiden tersebut akhirnya merenggut nyawa ibunya sendiri. "Maafkan aku ..." Myan berkaca-kaca s
"Kau tak berangkat bekerja?" tanya Milia pada Jordan yang masih sibuk memainkan ponselnya sedari tadi. "Nanti, Ma ... tak ada pekerjaan yang terlalu mendesak hari ini. Aku akan berangkat siang hari." Milia menatap putranya dengan sedikit keheranan. "Ada apa ...?" tanyanya. Jordan mendongak menatap ibunya. Ia dapat melihat sorot penuh selidik di kedua mata ibunya. Dan ia tahu apa artinya itu. "Apa ...? Apa maksudnya?" Jordan mulai tergagap. Milia menghembuskan napasnya. Ia tahu benar jika Jordan sedang memikirkan sesuatu. "Selama beberapa hari ini kau tidur di sini bukan di tempatmu sendiri. Dan kau berlagak tak terjadi apa-apa. Apa menurutmu ibumu ini akan percaya jika kau sedang tidak menyembunyikan sesuatu?" tanyanya. "Bukan begitu, Maa ... bukankah Myan juga tidur di sini? Mengapa kau hanya menanyaiku saja?" Jordan beralasan. "Oh ayolah ... cepat katakan pada ibumu ini sebelum aku melemparmu dengan pisau dapurku!" ucap Milia
Myan menyilangkan kedua lengannya, menatap Lilian yang masih membisu di hadapannya. "Katakan ... apa yang sebenarnya terjadi? Kau siapa? Mengapa kau berada di sini Mera?" "Lilian ..." ucapnya datar. Myan mengatupkan giginya. Berusaha untuk tidak menunjukkan dirinya yang sudah mulai kehilangan kesabaran. "Kau tahu ini bukan ...?!" Ia mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya. Sebuah gelang kulit yang bergelantung dengan indah terpampang di hadapan Lilian. Matanya sedikit bergetar. "Aku tahu itu sebuah gelang. Tapi aku tidak yakin apa maksudmu dengan menunjukkan gelang itu padaku," Lilian sedikit mengalihkan pandangannya. "Ya kau tahu ... kau tahu ini Lilian. Aku bisa melihatnya." "Tolong ... aku tidak tahu apa maksudmu, Nona ..." "Kisha." Myan memotong ucapan Lilian. "Aku Kisha ... kau Mera ... dan pria yang ada di dalam sana adalah Kouza." Lilian menahan napasnya seolah tercekat. Ia hendak berl
Myan yang merasakan firasat buruk seketika membuka kedua matanya. Benar saja, Devon tengah menatapnya dengan senyum jahilnya yang tampak begitu puas. Myan melotot padanya. "Kauu! Mempermainkanku ...!!?" Myan memukul bahu Devon dengan sebal. Perasaan malu bercampur kesal membuat wajahnya memanas. Devon tertawa terpingkal-pingkal. Begitu puas menyaksikan wajah Myan yang cemberut. Ia senang ternyata berhasil menggoda gadis itu. "Devon ... kau menyebalkan!" geram Myan menahan malu. Ia memukul-mukul lagi dsda Devon. "Oke ... maafkan aku. Haha ... hentikan, nanti tanganmu cedera lagi." Devon menangkap kedua pergelangan tangan Myan. Ia membawa Myan duduk di atas sofa. Dan ia sendiri mengambil tempat di sebelah Myan. Di hadapan mereka telah tersaji hidangan lengkap yang menggoda selera. Devon tersenyum menatap Myan yang masih merasa kesal dan menekuk bibirnya. "Aku mengajakmu kemari karena ingin makan bersama denganmu," jelasnya kemudi
Seorang pelayan wanita tergopoh-gopoh mendekati Jordan yang masih berdiri di tempatnya. Ia menunjukkan wajah yang tampak cemas. "Tuan ... tolong segera lepas kemeja Anda, saya akan membantu membersihkan dan mengobati luka Anda," ucapnya kemudian. "Ah ... tidak, terima kasih. Aku dapat mengatasinya sendiri." ucap Jordan dengan sopan. "Tapi, Tuan ... jika dibiarkan maka siraman tadi dapat membuat kulit Anda terbakar atau bahkan melepuh," lanjut pelayan wanita itu lagi. Ia terkesan begitu mendesak dan memang seperti tampak sangat tertarik dengan Jordan. Bahkan dari bahasa tubuhnya terlihat ia berusaha untuk menarik perhatian Jordan Valerie menangkap gelagatnya itu. Saat pelayan wanita berlipstik tebal itu hendak meraih kancing kemeja Jordan dengan sikap berani, tiba-tiba sebuah tangan menangkap pergelangan tangannya seketika itu juga. "Jangan ... coba-coba ... sentuh ... PRIAKU." ucap Valerie dengan suara dingin yang terdengar tegas
Valerie mengikat jubah mandinya erat-erat sebelum ia keluar dari kamar mandi. Saat itu dilihatnya Jordan sedang bercermin dan telah mengenakan kemeja yang Valerie pesan dari Rebecca sebelumnya. "Cocok untukmu, ukurannya sangat pas bukan?" komentar Valerie saat mengamati Jordan dengan baju barunya. "Benar ... kau memilih ukuran yang tepat dan ..." ucapan Jordan seketika menggantung di udara saat ia menatap Valerie dengan jubah mandinya dan wajah polosnya tanpa make up. Jordan membeku di tempat. Ia menelan ludahnya. Tak menyangka Valerie bisa tampak begitu berbeda ketika tak mengenakan riasan apa pun. Ia tampak segar, muda, polos, cantik dan juga tampak sangat menggoda dalam balutan jubah mandinya ... "Aku bisa memperkirakan ukuran baju seseorang hanya dengan melihatnya. Itu pekerjaanku sehari-hari, dan juga salah satu keahlianku ..." ucapnya. Valerie dengan tenang menghampiri kotak baju miliknya sendiri untuk memeriksa isinya. Ia sesekali menge
Milia menatap kedua anaknya dengan tatapan menyelidik. Baik Jordan mau pun Myan hanya menatap ponselnya masing-masing tanpa menyentuh sedikit pun hidangan yang telah tersaji di hadapan mereka. "Apa perut kalian akan terisi sendiri hanya dengan menatap ponsel?" tanyanya. Jordan dan Myan segera meletakkan ponsel mereka. Mereka tahu betul nada suara Milia saat merasa kesal. "Aku hanya mengecek pekerjaanku saja," jawab Myan kemudian melahap sepotong pancake manis di hadapannya. "Aku juga." Jordan melakukan hal yang sama. Hanya beberapa suap saja sampai Jordan dan Myan kembali sibuk dengan ponsel mereka masing-masing. Mereka tampak terlalu larut untuk mengetik dan kembali fokus untuk membalas beberapa pesan yang masuk. Milia menghela napas panjang. Kedua anaknya sekarang dimatanya tampak begitu mencurigakan. Jika mereka tadi begitu tegang dengan ponsel masing-masing, kini mereka berdua terlihat cerah saat membalas beberapa pesan-pesan yang
Myan melangkahkan kaki keluar dari gedung sendirian setelah semua pembicaraan panjang mengenai acara resepsi, gaun, makanan dan segala macam pernak-pernik tentang pernikahan selesai Devon bicarakan dengan Laura. Myan tak mengerti mengapa Devon melakukan ini. Bahkan ia menyebutnya istri dan menjelaskan bahwa mereka telah menikah. Jelas Myan akan menuntut penjelasan atas semua aksi Devon ini. "Apa kau kesal padaku ...?" Devon yang ia kira masih berada di dalam ternyata telah menghampirinya. Myan kemudian memutuskan untuk duduk di salah satu kursi taman yang bernaungkan pohon rindang. Myan tak menjawab pertanyaan Devon. Ia sedikit memalingkan wajahnya untuk menghindari tatapan menyelidik dari pria itu. "Terima kasih kau tidak menamparku atau meninggalkanku di sana sendirian sementara aku mungkin dapat menanggung malu," ucap Devon sambil duduk di samping Myan yang masih berwajah masam. Myan menghembuskan napasnya perlahan seolah ingin membua
Lima bulan kemudian ... "Bagus ... lihatlah sekarang aku tampak begitu aneh saat difoto!" Valerie tampak kesal mengamati foto-foto yang baru saja diambilnya dari ponselnya. "Menurutku tak ada yang aneh, kau tampak menawan, Sayang," Jordan mengusap lembut pucuk kepala istrinya tersebut. Valerie kembali cemberut, ia mengusap perutnya yang sudah tampak membesar. "Aku tampak seperti sedang mengantungi bola" keluhnya lagi. "Bukan bola, tapi anak kita ... anak cantik kita yang akan mempesona sepertimu." jawab Jordan menenangkan. "Tak ada yang buruk dengan itu, setiap wanita yang sedang mengandung pasti akan mengalami perubahan bentuk tubuh," Milia ikut menengahi. "Aku iri denganmu, mengapa hanya perutmu saja yang berubah, tapi tidak dengan badanmu?" Valerie merujuk pada Myan yang sedang duduk berhadapan dengannya di samping Devon. Myan tersenyum menanggapi ucapan Valerie, "Mungkin karena kandunganku masih belum begitu besar dan masih
Devon membopong Myan memasuki kediamannya yang telah rapi dan bersih. Sejak pemulihan kecelakaannya kemarin, ia belum pernah menginjakkan kaki lagi ke tempatnya sendiri. "Pelan-pelan Sayang, kau seperti banteng yang siap menerjang tanpa ampun. Turunkan aku, aku bisa jalan sendiri!" Myan tersenyum geli sambil memukul ringan bahu suaminya. "Jangan menyuruhku untuk bergerak perlahan, kakimu terlalu kecil untuk mengikuti langkahku ... lagipula aku tak ingin membuat kaki mungilmu itu kelelahan sebelum aku melakukan apa-apa." Myan tergelak, ia mendekap leher Devon dengan lebih erat. "Kalau begitu, cepatlah ..." bisiknya menggoda suaminya. Mengirimkan sinyal untuk segera melepaskan hasrat mereka. Seperti dikomando, Devon membuat langkahnya dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Ia menerobos pintu masuk setelah membuka kuncinya. Menendang daun pintu begitu saja dengan kakinya dan segera menghujani Myan dengan ciuman lembut begitu mereka masuk ke dalam tempatny
"Hentikan Devon, masih ada yang harus aku lakukan," Myan berusaha melepaskan diri dari cumbuan suaminya yang berbadan kekar itu. "Apakah ada yang lebih penting selain menghabiskan waktu dengan suamimu ini, Nyonya Devon?" Devon bergumam sembari mengecup bibir dan leher Myan secara bergantian. Myan sedikit menggeliat kegelian, "Kita akan punya banyak waktu nanti, beri aku waktu beberapa menit saja, oke?" balas Myan lagi. "Ck...! Aku sudah menunggu selama hampir 4 minggu untuk dapat memilikimu dan sekarang kau memintaku untuk menunggu lagi?" erang Devon tersiksa. "Tenang , Sayang ... kau dapat memilikiku semaumu setelah ini, berikan gelangmu." Myan melepaskan gelang dari pergelangan tangan Devon dan melakukan hal yang sama dengan miliknya sendiri. "Apa yang akan kau lakukan, Sayang? Berhentilah menyibukkan dirimu sendiri." Devon memeluk Myan dengan manja. "Aku akan menemui Lilian. Hanya sebentar saja, beri aku waktu sepuluh menit ya,"
Suasana riuh menghiasi tempat acara pernikahan yang akan berlangsung siang ini. Milia dan Myan tengah sibuk bersiap untuk acara yang akan digelar dengan sederhana dan tertutup. Staf pernikahan yang bertugas mempersiapkan mereka berias dan berganti gaun, telah selesai membantu pengantin dan ibunya. Myan dan Milia tampak menakjubkan dengan gaunnya masing-masing. "Oh ya Tuhan ... kau menakjubkan!" July dan Stevie memasuki ruangan tempat pengantin wanita bersiap. Mereka begitu takjub dengan gaun dan riasan yang Myan pakai. Myan tampak sangat bersinar dalam baju pernikahannya. Sudah semenjak 4 minggu yang lalu Myan mengumumkan acara pernikahannya kepada kedua sahabatnya, dan dengan histeris mereka menerima kabar gembira itu. Mereka turut berbahagia saat mengetahui Myan akan menikah dengan pria yang dicintainya. "Jadi ... akhirnya ia ternyata memang benar-benar suamimu ya," ledek Stevie pada Myan. Myan tertawa, "Sudah kubilang sebelumnya bukan, Devo
Jordan menyesap kembali minumannya dengan tenang sambil memperhatikan ponselnya yang tergeletak di sebelah hidangan manis yang sudah ia pesan beberapa menit sebelumnya. Malam ini ia akan berkencan. Ia mengenakan jeans kasual dipadukan dengan sweater rajut putih tulang miliknya yang sepasang dengan milik Valerie. Dan ia sedang menanti Valerie di sebuah kafe. Selang beberapa menit kemudian, seorang wanita ramping muncul dengan sweater rajut yang sama dengan miliknya. Ia berhenti sejenak di ambang pintu masuk untuk mencari teman kencannya. Valerie tersenyum cerah saat dilihatnya Jordan telah menunggunya di salah satu meja kafe. Ia melambaikan tangan sejenak dengan ceria, kemudian mulai berjalan menghampiri meja milik Jordan. Rambut keemasan halus Valerie bergerak-gerak ringan seiring dengan langkah kakinya yang mantap menyongsong Jordan. Ia sedikit tersipu saat terpaku menatap Jordan, pria yang sedang menantinya itu. Valerie tersenyum manis disetiap langkahnya saat ia m
"Apa yang harus aku katakan?" Myan berjalan mondar-mandir dalam kamar Devon dengan raut cemas. "Katakan saja yang sebenarnya ..." Devon menjawab Myan dengan sabar. "Ma ... aku sudah menikah dan sudah menjadi istri Devon sekarang. Hanya dalam waktu satu hari? Hah ... bisakah kau bayangkan betapa terkejutnya mamaku nanti?" "Oh, ini semua salahmu Devon! Tidak hanya di dunia mimpi mau pun kenyataan, kau selalu bertindak semaumu ..." keluh Myan cemas. Devon menarik lengan Myan, mendudukkannya dipangkuannya sendiri. "Bisakah kau berhenti? Kau membuatku pusing ... hentikan kecemasanmu sekarang juga, tak ada yang perlu kau khawatirkan, Sayang." "Aku akan mengantarmu pulang nanti. Aku akan menghadap mamamu, meminta izin agar diperbolehkan memiliki putri satu-satunya. Walau secara teknis aku sudah memilikinya," Devon tersenyum jahil. "Hm ... sekarang, apa kau sudah bisa tenang?" tanya Devon sambil tersenyum dengan ceria. "Bagaimana dengan ayahmu
Myan melangkahkan kaki keluar dari gedung sendirian setelah semua pembicaraan panjang mengenai acara resepsi, gaun, makanan dan segala macam pernak-pernik tentang pernikahan selesai Devon bicarakan dengan Laura. Myan tak mengerti mengapa Devon melakukan ini. Bahkan ia menyebutnya istri dan menjelaskan bahwa mereka telah menikah. Jelas Myan akan menuntut penjelasan atas semua aksi Devon ini. "Apa kau kesal padaku ...?" Devon yang ia kira masih berada di dalam ternyata telah menghampirinya. Myan kemudian memutuskan untuk duduk di salah satu kursi taman yang bernaungkan pohon rindang. Myan tak menjawab pertanyaan Devon. Ia sedikit memalingkan wajahnya untuk menghindari tatapan menyelidik dari pria itu. "Terima kasih kau tidak menamparku atau meninggalkanku di sana sendirian sementara aku mungkin dapat menanggung malu," ucap Devon sambil duduk di samping Myan yang masih berwajah masam. Myan menghembuskan napasnya perlahan seolah ingin membua
Milia menatap kedua anaknya dengan tatapan menyelidik. Baik Jordan mau pun Myan hanya menatap ponselnya masing-masing tanpa menyentuh sedikit pun hidangan yang telah tersaji di hadapan mereka. "Apa perut kalian akan terisi sendiri hanya dengan menatap ponsel?" tanyanya. Jordan dan Myan segera meletakkan ponsel mereka. Mereka tahu betul nada suara Milia saat merasa kesal. "Aku hanya mengecek pekerjaanku saja," jawab Myan kemudian melahap sepotong pancake manis di hadapannya. "Aku juga." Jordan melakukan hal yang sama. Hanya beberapa suap saja sampai Jordan dan Myan kembali sibuk dengan ponsel mereka masing-masing. Mereka tampak terlalu larut untuk mengetik dan kembali fokus untuk membalas beberapa pesan yang masuk. Milia menghela napas panjang. Kedua anaknya sekarang dimatanya tampak begitu mencurigakan. Jika mereka tadi begitu tegang dengan ponsel masing-masing, kini mereka berdua terlihat cerah saat membalas beberapa pesan-pesan yang
Valerie mengikat jubah mandinya erat-erat sebelum ia keluar dari kamar mandi. Saat itu dilihatnya Jordan sedang bercermin dan telah mengenakan kemeja yang Valerie pesan dari Rebecca sebelumnya. "Cocok untukmu, ukurannya sangat pas bukan?" komentar Valerie saat mengamati Jordan dengan baju barunya. "Benar ... kau memilih ukuran yang tepat dan ..." ucapan Jordan seketika menggantung di udara saat ia menatap Valerie dengan jubah mandinya dan wajah polosnya tanpa make up. Jordan membeku di tempat. Ia menelan ludahnya. Tak menyangka Valerie bisa tampak begitu berbeda ketika tak mengenakan riasan apa pun. Ia tampak segar, muda, polos, cantik dan juga tampak sangat menggoda dalam balutan jubah mandinya ... "Aku bisa memperkirakan ukuran baju seseorang hanya dengan melihatnya. Itu pekerjaanku sehari-hari, dan juga salah satu keahlianku ..." ucapnya. Valerie dengan tenang menghampiri kotak baju miliknya sendiri untuk memeriksa isinya. Ia sesekali menge