Aku teringat janji makan siang dengan ayah. Hampir saja aku melupakan itu. Aku buru-buru pergi ke tempat yang sudah kami sepakati. Aku bahkan tidak sempat mengganti bajuku. Aku hanya menguncir rambutku dan memoles bibirku dengan lipstik warna pink.
Restoran pangsit yang ada di ujung jalan ini adalah tempat yang sering kami kunjungi. Dulu, ayah, ibu dan aku sering makan pangsit disitu. Aku melihat ayah dari kaca. Ia sedang menungguku di dalam. Ayah melihat keluar dan melambaikan tangannya saat melihatku. Aku tersenyum. Aku menghampiri ayah.
"Ayah sudah lama menungguku?"
"Tidak. Duduklah. Ayah senang melihatmu, Nao." Ayah tersenyum.
"Iya ayah. Maafkan aku ayah. Aku tidak pernah mengabari ayah sebulan ini. Pasti itu membuat ayah khawatir."
Kupandangi ayah yang terlihat lebih kurus. Pasti berat ayah hidup sendiri sekarang. Tidak ada aku yang selalu menemaninya. Aku merasa bersalah kepada ayah.
"Apa ayah sakit? Mengapa ayah terlihat kurus sekali. Apa ayah tidak makan teratur?"
Aku meraih tangan ayah. Tangannya terasa dingin dan kasar penuh dengan kapalan. Itu adalah tanda perjuangan dan kerja kerasnya selama ini.
"Ayah baik-baik saja. Kamu tidak usah terlalu khawatir. Ayah makan teratur kok. Ayah senang kamu masih memperhatikan ayah."
Ayah meletakan tangannya di atas kepalaku dan mengusap kepalaku. Seakan menyampaikan rasa rindunya padaku. Aku membalasnya dengan senyuman. Pelayan restoran pun datang menghampiri kami sambil membawa buku menu. Aku melihat-lihat menu yang tertera. Dan aku memilih bakmi kuah. Ayah memesan Pangsit. Kukembalikan menunya kepada si pelayan itu.
Pandanganku menelisik ke seluruh ruangan. Seketika terlintas kenangan saat bersama ibu disini. Masih terekam dalam memori, ibu akan duduk di sebelahku sambil menyuapiku. Tanpa sadar bibirku tersenyum. Tempat ini tidak berubah masih sama seperti dulu. Bangunannya sudah tua tapi masih kokoh.
"Ayah masih ingat dulu ibu paling menyukai bakmi disini. Dan kamu pun juga menyukainya." Terukir senyuman di wajah ayah saat mengenangnya.
"Tentu saja. Kami memiliki selera yang sama. Seandainya ibu masih disini. Aku ingin kembali ke masa itu," kataku lirih.
Akhirnya makanan yang kami pesan pun diantar si pelayan tadi. Aku langsung melahap bakmi milikku. Setelah sekian lama aku memakan lagi bakmi ini. Ada kenangan manis yang terpatri di semangkuk bakmi.
"Ayah, nanti selesai makan kita ke makam ibu ya. Aku rindu pada ibu sudah lama kita tidak mengunjungi ibu."
"Iya, ayah juga merindukan ibu. Kalau begitu cepat habisin makananmu. Biar kita tidak kesorean ke sana." Perintah ayah padaku.
Aku pun melanjutkan memakan bakmiku. Ayah terlihat bersemangat untuk mengunjungi ibu. Aku bahagia saat melihat ayah seperti itu.
****************
Kami pun pergi mengunjungi ibu ketempat peristirahatannya. Aku membawa seikat mawar merah kesukaan ibu. Ibu pernah mengatakan mawar melambangkan cinta dan ketulusan. Meski terlihat mencolok di pemakaman tapi aku menyukainya.
"Ibu, kami datang mengunjungimu. Apakah kau merindukan kami? Maaf, jika belakangan ini aku jarang mengunjungimu, Bu." Tak terasa air mataku jatuh. Aku masih belum bisa menerima kepergian ibu. Ayah menepuk-nepuk pundakku. Menenangkan tangisku yang pecah.
"Nao..jika kamu menangis seperti ini ibumu akan sedih diatas sana. Kamu harus bisa melepaskan ibu, Nak. Hapus air matamu." Ayah menghapus air mataku dengan tangannya. Aku mengangguk kepada ayah. Kuseka air mataku. Lalu aku meletakkan bunga mawar merah yang kubawa ke Nissan ibu.
Tiba- tiba ponselku berdering. Tanganku sibuk mengambil ponselku dari dalam tasku. Kulihat dilayar Adrian yang menghubungi aku. Aku teringat janji makan malam bersama Adrian.
"Halo." Jawabku dengan suara yang masih berat akibat menangis.
"Kau dimana? Mengapa tidak ada dirumah?" Suara Adrian terdengar meninggi. Aku lupa memberitahunya akan menemui ayah.
"Ah, maaf aku lupa memberitahumu tadi. Aku sedang diluar bersama ayah. Aku belum mengunjungi ayah sejak kita menikah. Aku merindukannya, jadi aku berinisiatif untuk menemuinya.” Jawabku, tanganku yang lain sibuk mencabuti rumput liar yang tumbuh di pusara ibu.
"Segeralah pulang. Kau tidak melupakan janji malam ini, kan?"
"Ya, aku akan kembali. Jadi tunggu saja dirumah." Aku mengakhiri panggilan itu dan melirik ayah, kulihat dia mengawasi aku dengan cemas.
"Apa Adrian memperlakukanmu dengan baik, nak?" Tanya ayah padaku, mata yang hitam itu menelisik ke dalam mataku, seolah takut mengatakan kebohongan.
Aku bingung harus mengatakannya. Aku tidak ingin ayah tahu bahwa Adrian bersikap kasar dan acuh padaku.
"Adrian baik padaku ayah. Ia begitu perhatian dan juga sangat menyayangiku.” Aku berbohong. Tapi tidak masalah ini hanya bohong demi kebaikan. "Ah, ayah sepertinya kita harus segera pulang. Karena malam ini Adrian akan mengajakku makan malam. Dia sudah menungguku dirumah. Tidak apa-apa kan, ayah? jika kita hanya sebentar saja disini ?"
Ayah tersenyum. Kemudian ayah meletakkan kedua tangannya dipipiku sambil mencubit pipiku dengan lembut.
”Ternyata putri ayah sedang ada kencan ya. Kalau begitu kita pulang saja. Nanti nak Adrian kelamaan menunggu kamu.”
Kami pun pulang setelah berpamitan pada ibu. Aku mengantar ayah terlebih dulu ke rumah ayah. Ku lihat rumah masih berantakan. Pasti ayah tidak sempat untuk membersihkannya. Ku lihat arlojiku masih jam 5 sore masih ada waktu untuk membersihkan rumah ayah sebentar.
Setelah selesai beberes aku pamit pada ayah. Aku buru-buru pergi. Khawatir Adrian menunggu lama dan marah padaku. Sesampainya dirumah aku melihat Adrian duduk di sofa sambil melipat kedua tangannya di dada. Mimik wajahnya terlihat bosan. Ia menoleh ke arahku dan berdiri dari duduknya.
”Mengapa baru datang sekarang? Sekarang sudah jam 7. Dan kau baru tiba. Aku benci harus menunggu.” Adrian membentak ku lalu kemudian ia menghela napas. ”Cepat ganti pakaianmu. Aku sudah menyiapkan gaun yang akan kau pakai di kamarmu.” Suaranya mulai lembut dan aku hanya menganggukkan kepalaku lalu pergi ke kamarku.
Di atas ranjang ada sebuah gaun berwarna merah. Gaun itu tanpa lengan dengan leher berbentuk v yang terlalu rendah. Sebenarnya gaun itu cantik hanya saja terlalu sexy bagiku. Aku memakai gaun itu di depan cermin. Aku malu. Gaunnya terlalu terbuka. Punggungku terekspos semua. Belahan dadaku pun terlihat. Apa Adrian tidak salah membeli gaun. Ini sama saja dengan tidak memakai baju.
Aku kaget ketika Adrian tiba- tiba masuk kekamar. Ia terdiam melihatku. Ia memandangiku dari atas hingga kebawah. Secara reflek aku menutupi dadaku dengan tanganku.
”Kenapa kau masuk ke kamarku? Bukankah tanganmu bisa mengetuk pintu terlebih dulu," ketusku pada Adrian.
”Kau lama sekali jadi aku datang untuk mengecek saja. Kalau sudah selesai segera lah turun." Adrian membalikkan badannya lalu melangkah keluar kamar.
”Tunggu. Bisakah aku memakai baju yang lain saja. Ini tidak cocok denganku. Terlalu terbuka aku malu memakainya,” pintaku pada Adrian.
”Tidak bisa. Kau harus memakai gaun itu.” Ia terus berjalan tanpa menoleh.
”Tapi..." Belum selesai aku mengatakannya Adrian sudah memotong ucapanku, ”jangan menolak. Menurut saja pada perkataan ku.” Ucap Adrian.
Aku tidak punya pilihan lain. Aku menurut saja. Kuikuti ia dari belakang. Kami menuju ke garasi. Lalu aku masuk ke dalam mobil Adrian. Ini pertama kalinya aku duduk di dalam mobil Adrian. Selama ini ia tidak pernah mengajakku kemana pun. Disepanjang perjalanan Adrian tidak berbicara sepatah kata pun. Ia hanya fokus kedepan. Aku diam saja melihat keluar jendela. Aku tidak ingin menggangunya menyetir.
Kami pun tiba di hotel bintang tujuh. Adrian menurunkanku di lobby hotel. Ia pun memberikan kunci mobilnya kepada petugas parkir. Lalu ia berjalan ke arahku. ”ayo masuk,” ajak Adrian. Aku hanya mengangguk saja.
Kemudian kami masuk ke dalam lift. Adrian menekan tombol 5. Saat keluar dari dalam lift, sejauh mata memandang tidak ada restoran disini. Hanya lorong panjang yang disebelah kanan dan kirinya adalah kamar.
”Hei..bukankah kau bilang kita akan dinner? Lalu kenapa kita ada di depan kamar ini?” Tanyaku penasaran.
”Ya, kita dinner disini. Aku juga memesan kamar untuk kita. Ayo, mari masuk." Ajak Adrian.
Perasaanku tidak enak. Aku memiliki firasat buruk tentang ini. Sebelum kami masuk kedalam kamar Adrian mengambil ponselnya dari saku celananya. Ia menjauh untuk menghubungi seseorang. aku menunggunya di depan pintu kamar. Aku tidak tahu siapa yang dihubunginya tapi yang pasti kalimat terakhir yang kudengar adalah 'kami sudah di sini'.
Setelah selesai berbicara dari ponsel itu, Adrian kembali. Ia menyuruhku untuk menunggu di dalam kamar. ”Tunggulah sebentar disini. Aku meninggalkan dompetku di dalam mobil. Aku pergi mengambilnya dulu.”
”Mengapa dompetmu bisa tertinggal? Ya sudah, pergilah tapi jangan lama-lama ya.”
Adrian pun pergi meninggalkanku sendiri di kamar. Aku duduk diatas ranjang. Kamar ini sangat luas. Ada jendela kaca yang besar langsung menghadap ke luar. Pemandangan kota dari sini terlihat indah. Sudah 30 menit berlalu namun Adrian belum kembali juga. Aku mulai jenuh.
Aku berjalan ke luar balkon. Lampu- lampu yang berkilauan di malam hari begitu indah di lihat dari atas sini. Lama aku berdiri disini tapi adrian belum juga kembali. Apa dompetnya belum ketemu? Kemudian aku kembali masuk ke dalam untuk mengambil ponselku. Aku mencoba menghubungi Adrian tapi ia tidak menjawab panggilan dariku. Berulang kali aku menghubunginya namun nihil.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Seseorang masuk. Aku mengira itu adalah Adrian sontak saja aku langsung mengeluh kepadanya.
”Mengapa kau lama sekali? Apa dompetmu sudah ketemu.”
”Halo sayangku.”
Aku kaget bukan kepalang. Dia bukan Adrian melainkan tuan jackson . Mengapa ia disini. Aku panik. Adrian pun belum kembali juga.
”Maaf, sepertinya anda salah kamar tuan. Jadi segeralah keluar.” Perintahku padanya.
Tuan Jackson tersenyum. Namun senyumannya sungguh menakutkan. Seperti singa yang hendak memangsa makanannya. Dia melangkah mendekatiku. Kakiku sontak mundur.
”Mau apa kau? Jangan mendekat. Adrian sebentar lagi akan datang. Menyingkirlah.” Aku mendorong tuan Jackson ke belakang. Lantas aku mengambil ponsel menghubungi Adrian. Dia tidak menjawab panggilanku. Tuan Jackson tertawa melihat aku.
”Lalu dimana sekarang suamimu itu? Apa kau tidak merasa aneh. Dia meninggalkanmu sendiri disini. Dan aku juga disini. Kau mengerti maksudku kan?”
”Apa maksudmu? Aku tidak mengerti dengan semua ini. Adrian tidak mungkin meninggalkanku denganmu. Aku istrinya. Tidak mungkin dia melakukan itu.” Aku panik. Pikiranku mulai kalut. Mengapa Adrian belum kembali juga?
Tuan Jackson mendekatiku lagi. Aku menghindar. Lalu aku berlari menuju pintu hendak keluar, namun tuan Jackson berhasil menarik tubuhku. Ia mendekap tubuhku dari belakang . Aku meronta berusaha melepaskan dekapan tuan Jackson. Usahaku sia-sia. Kekuatanku tidak bisa mengimbangi tenaganya. Aku menangis. Hanya itu yang bisa kulakukan.
”Kumohon lepaskan aku. Biarkan aku pergi,” aku memohon padanya.
”Tidak sayangku,” Ia membelai kepalaku. Kemudian ia melanjutkan ucapannya, ”Adrian sudah menyerahkanmu padaku. Suamimu itu perusahaannya hampir bangkrut . Ia memohon padaku untuk kembali berinvestasi di perusahaannya. Dan kau sebagai jaminannya.”
Hatiku sakit mendengarnya. Aku tidak percaya Adrian melakukan semua ini kepadaku. Pantas saja ia tiba-tiba mengajakku makan malam ternyata semua itu sudah di rencanakannya.
Aku meronta melawan tuan Jackson. Dengan sigap aku menginjak kaki tuan Jackson dengan ujung tumit sepatuku. Kemudian aku bergegas lari keluar kamar. Namun sial diluar kamar ternyata ada pengawal tuan jackson. Ada 4 orang yang berdiri di lorong. Aku berusaha menerobos mereka. Kemudian aku mendengar tuan Jackson berteriak, ”tahan wanita itu. Jangan biarkan dia pergi.”
Mereka menghalangi jalanku. Aku melakukan perlawanan. Tapi berujung sia-sia. Mereka berhasil menahan aku. Aku memohon pada mereka untuk melepaskan diriku. Mereka bahkan tidak memiliki empati.
Tuan Jackson kemudian mendekat. Ia menarik rambutku. Lalu plakk!!! Ia menampar wajahku. Pipiku terasa sakit dan perih. Aku menangis.
”Dasar wanita murahan. Aku tidak mungkin melepaskanmu begitu saja. ” kemudian ia menyeretku masuk kedalam kamar. Ia mengunci pintu kamar.
Aku berteriak berharap akan ada orang yang mendengarku. Namun tuan Jackson semakin menjadi . Ia memukuli aku dengan tali pinggangnya. Sekujur tubuhku terasa sakit. Aku bersujud dan menangkupkan tangan memohon kepada-nya.
”Kumohon lepaskan aku. Aku akan melakukan apa saja tapi biarkan aku pergi.” Aku memohon tapi dia malah tertawa. Kemudian ia menundukkan badannya mendekat ke wajahku.
”Kau yakin akan memberikan yang kuinginkan? Aku mau tubuhmu.” Tuan Jackson menyeringai memandangi aku.
Mendengar itu aku bergerak mundur sambil menggelengkan kepalaku. ”Tidak.. aku tidak mau melakukannya. Kumohon jangan lakukan itu padaku." Tangisku semakin menjadi. Aku kembali berteriak minta tolong.
”Tolong....kumohon siapa pun tolonglah.” Suaraku semakin serak.
”Tidak ada gunanya kau berteriak tak seorang pun akan menolongmu.” Ia menyeretku ke atas ranjang.
Aku melakukan perlawanan . Tangannya begitu kekar. Ia mencengkram kedua tanganku. Aku meronta-ronta. Ia semakin beringas. Aku tidak menyangka akan mengalami hal buruk seperti ini.
****************
Airmataku tiada hentinya mengalir. Mengapa ini harus terjadi padaku. Aku terkulai lemah. Seluruh tubuhku penuh luka dan memar. Bajuku sudah tersingkap. Aku malu. Aku hanya menangisi diriku. Tuan Jackson hanya tersenyum puas melihatku seperti ini. Ia membelai rambutku. Namun aku bergeming. Aku sudah tak memiliki tenaga lagi untuk melawan. Ia sudah menodai aku. Aku benci melihatnya. Kualihkan pandanganku ke sudut kamar.
"Kau membuatku sangat senang. Tubuhmu sangat indah.” Tuan Jackson mengecup leherku kemudian ia berdiri. Setelah itu ia pergi meninggalkan aku begitu saja tanpa merasa bersalah.
Aku pergi kekamar mandi menyiram tubuhku yang kotor. Lama aku duduk dibawah shower dengan air yang mengalir. Aku terus-terusan menangis. Hatiku sakit sekali. Adrian aku sangat membencimu. Setega itu kau padaku. Mengapa kau memberikan aku pada si bangsat Jackson.
Setelah selesai membersihkan tubuhku, aku pergi keluar hotel. Semua mata memandangku. Ada yang berbisik ketika melihatku. Mungkin mereka kasihan padaku atau menghinaku yang seperti ini. Wajar saja jika mereka melihatku dengan tatapan aneh. Gaun yang kukenakan sudah koyak. Sekujur tubuhku penuh luka memar akibat kibasan ikat pinggang tuan Jackson. Bibirku pun juga luka. Tak bisa kugambarkan kondisiku saat ini. Aku sendiri pun begitu kasihan melihat tubuhku. Aku hanya terus berjalan dengan tatapan kosong. Pikiranku melayang entah kemana. Bahkan aku pun tak merasakan kakiku kesakitan saat menginjak kerikil di sepanjang jalan.
Tanpa kusadari aku berjalan terlalu jauh. Aku melihat kesekeliling ternyata aku sudah berada di atas jembatan. Aku melihat kebawah. Kemudian terlintas di benakku untuk melompat. Aku tak ingin hidup. Aku malu. Mengapa aku harus mengalami ini? Lalu aku naik ke atas pagar jembatan. Sekali lagi aku melihat kebawah. Aku merasakan adrenalin ku di pompa. Jantungku berdegup kencang. Sebenarnya aku takut ketinggian.
”Tidak. Aku takut ketinggian. Aku harus turun.” Seketika aku membatalkan niatku untuk terjun kebawah.
Namun saat aku hendak turun kakiku tergelincir dan aku pun jatuh bebas ke bawah masuk kedalam air. Byurrr!!! Airnya terasa dingin menembus kulitku. Aku panik. Aku tidak pandai berenang. Sial kenapa dari dulu aku tidak belajar berenang saja.
Aku meronta-ronta berusaha menggapai ke permukaan. Namun air yang masuk ke paru-paruku membuat aku semakin lemas. Aku terus jatuh dan mulai hilang kesadaran. Mungkin ini akhir hidupku. Terlintas bayangan ayah disaat terakhir. Maafkan aku ayah.
Samar-samar kudengar banyak suara yang memanggil dan mengguncang tubuhku. Aku pun tersedak. Semua air yang telah tertelan kumuntahkan kembali. Kepalaku pusing dan dadaku terasa sesak. Pandanganku pun kabur. Mereka kembali menepuk-nepuk punggungku. Setelah beberapa saat aku pun mulai sadar. Ada beberapa pria yang mengerumuni aku. Mereka mengenakan jaket kulit. Tubuh mereka semua kekar. Mereka lebih terlihat seperti preman. "Aku ada dimana? Kenapa aku disini?" Kualihkan pandanganku ke sekitar. Ternyata aku ada diatas kapal. Di sudut sana aku melihat ada beberapa wanita. Apa mereka yang menolongku? Tiba-tiba kepalaku terasa pusing. Perutku mual. Aku mabuk laut. "Terima kasih kalian sudah menolongku. Tapi bisakah kalian menurunkan aku? Aku ingin pulang." "Nona pelabuhan masih jauh dari sini. Apa kau ingin turun ke dalam air ini lagi?" kata salah satu dari mereka. Aku ingin
Orang-orang memperhatikan aku yang sedang berlari. Mereka bahkan tidak memiliki empati untuk menolongku. Sial. Aku sudah kehabisan tenaga. Tubuhku mulai melemah namun aku terus berlari menjauh dari mereka. Keringat pun menetes dengan deras. Sesekali aku menoleh kebelakang memastikan mereka tidak lagi mengejarku. Pada akhirnya aku sudah mencapai batas kemampuanku. Kakiku sudah tidak kuat lagi. Aku mulai melambat. Mereka semakin dekat denganku. Tapi aku masih berusaha berlari semampuku. Di ujung lorong bangunan aku melihat ada seorang pria yang sedang berdiri. Aku berteriak minta tolong padanya, dia menoleh ke arahku. Dan pada saat aku hendak dekat dengannya, aku jatuh tersungkur. Aku merasakan lelah yang luar biasa. Kakiku terasa sakit sekali. Aku sudah tidak kuat lagi untuk berlari. ”To-tolo..ngg aku.” Aku mengulurkan tanganku. Para pengawal Tuan Lei berhasil mengejarku. Mereka menyeretku. Aku meronta berusaha mele
Zhou Tian POV. Awal aku melihatnya hatiku bergetar. Aku tidak pernah merasakan getaran ini sebelumnya. Tatapan matanya saat itu sangat menggoyahkan dinding es yang selama ini membentengi hatiku. Ya, dia wanita pertama yang berhasil merebut hatiku walau hanya tatapan nanar yang memohon pertolonganku. Saat itu penampilannya berantakan. Sekujur tubuhnya penuh memar dan luka. Aku menyukainya. Seketika hatiku tergerak untuk melindunginya. Sekarang Lei wulong ingin mengambilnya kembali. Hatiku bergejolak. Aku tidak ingin dia pergi bersama Lei wulong. ”Kau tahu wanita seperti apa dia? Aku membelinya dari rumah bordil. Itu artinya dia milikku. Kau tidak bisa mencegahku Zhou Tian. Cepat berikan wanita itu padaku.” Suara Lei wulong meninggi. Aku melirik Naomi. Mata kami beradu. Tatapannya seakan berbicara meminta tolong untuk tidak menyerahkannya. Biasanya aku tidak pernah berurusan dengan wanita. Apalagi ini wanita milik Lei wulong. Aku menghela na
Fan yin duduk menemaniku memandangi langit malam dari balik jendela. Ia tidak bicara ia hanya duduk saja di sebelahku. Pikiranku melayang jauh. Aku memikirkan Ayah. Ayah pasti mencari aku yang tiba-tiba hilang berminggu-minggu lamanya. "Hei..kau jangan bersedih lagi. Ada aku. Kau bisa membagi masalahmu padaku. Aku akan mendengarkan. Daripada kau harus menangis. Itu buang-buang energi saja." Fan Yin memulai pembicaraan. Aku menoleh. Kulihat ia tersenyum dan memasang mimik seperti anak-anak yang meminta permen. Aku menghela napas dan bibirku sedikit menyunggingkan senyum yang agak dipaksa. ”Aku merindukan kampung halamanku dan ayahku. Ayah pasti sedang mencari aku. Ia pasti kebingungan karena aku tiba-tiba menghilang.” Jawabku dengan sesunggukan. ”Aku mengerti perasaanmu. Aku juga dulu pernah memiliki orangtua. Tapi mereka sudah ada di surga. Aku juga terkadang menangis bila merindukan mereka.” ”Kau tidak akan mengerti. Aku bukan hanya men
Zhou Tian POV Aku melangkah keluar dari kamar Naomi. Kuletakkan telapak tanganku di dada kiriku. Jantungku tak karuan setelah memeluknya tadi. Terasa sesak saat berada di dekatnya. ”Sepertinya aku harus ke dokter. Akhir-akhir ini jantungku terasa sesak. Keberadaan Naomi membawa dampak buruk buat jantungku." Aku menggumam. Saat aku turun ke bawah, kulihat Fan Yin sedang sibuk bermain game di ruang tengah. Ia menyadari kehadiranku. ”Gege, kau mau kemana kok buru-buru sekali.” Tanya Fan Yin. ”Aku mau ke dokter.” Jawabku sambil terus melangkah keluar. Fan Yin kaget dan segera melompat dari sofa. Ia mengikuti aku dari belakang. ”Apa kau sakit? Kau terlihat baik-baik saja.” Aku hanya diam saja terus melangkah keluar menuju mobilku. Luo yang menyadari aku hendak pergi segera membukakan pintu mobil. Fan Yin juga ikut masuk kedalam mobil. ”Tuan, kemana tujuan kita?” tanya Luo. ”Rumah sakit.” Jawabku data
Hari ini langit terlihat cerah. Begitu juga dengan suasana hatiku. Sudah kumantapkan dalam hati untuk bangkit dari kesedihan. Aku harus berjuang untuk menjalani kehidupan ini. Wejangan Fan Yin semalam seakan memberiku semangat baru. Kukeluarkan semua isi bungkusan yang berserakan di kamar. Pakaian sepatu dan kosmetik semuanya ada. Tinggal satu bungkusan lagi yang belum kubuka. Saat aku membuka bungkusan itu, kulihat isi didalamnya adalah pakaian dalam wanita. Ternyata ia sedetail itu. ”Wah!" Kubentangkan celana dalam warna pink yang berenda di depanku. "Dia ternyata tidak lupa membeli dalaman wanita juga. Kini aku terkesan.” gumam ku sambil tersenyum. Setelah selesai kubereskan semua pakaian itu, aku pun pergi membersihkan tubuhku. Kurasakan perih saat air menyentuh tubuhku yang luka. Dengan semua hal yang terjadi padaku beruntung aku masih bisa bernapas hingga saat ini. Aku akan membalas kebaikan Zhou Tian. Saat aku sedang memakai pakaian, kudengar s
”Zhou Tian aku berhutang budi padamu. Aku akan membalas kebaikanmu. Terimakasih kau sudah menolongku. Tapi, tuan Lei sepertinya tidak akan pernah melepasmu. Aku telah menyeretmu kedalam situasi ini. Sekali lagi maaf.” Zhou Tian hanya memandangi aku kemudian ia menyela. ”Tidak masalah. Kau jangan merasa bersalah dengan semua ini. Aku bisa mengatasinya dengan caraku.” Tiba-tiba Luo datang menghampiri Zhou Tian. "Tuan, ada masalah di Black Kingdom.” Ujar Luo. Raut wajah Zhou Tian mengeras. Sesaat kemudian ia menyela. ”Mengapa bisa ada masalah? mengurus hal kecil saja kalian tidak becus.” Suara Zhou Tian meninggi. ”Pergilah, aku akan menyusul ke sana." Perintah Zhou Tian kemudian. ”Baik, tuan.” Balas Luo sembari menundukkan kepalanya lalu pergi keluar. Aku kaget mendengar suara Zhou Tian seperti itu. Zhou Tian meirikku lalu ia mendelik, ”Maaf, jika aku membuatmu takut. Akhir-akhir ini aku menghadapi banyak masalah.” Suaranya mulai lembut. ”Aku aka
Zhou Tian POV ”Mengapa bisa di sabotase?” Aku membentak Luo dan bawahannya. Luo hanya menunduk saja. ”Maaf tuan kami lalai. Aku akan mengurus masalah ini.” ”Mengurus, hah? Tidak kau lihat kerugian yang kualami.” Kusandarkan punggungku ke bahu sofa dan kuletakkan tanganku diatas kepalaku. Tiba-tiba aku teringat Lei wulong pasti dia yang membakar Black kingdom. Aku tidak menyangka dia bisa bertindak sejauh ini. Tiba-tiba ponsel kuberdering. Kulihat di layar Fan Yin yang menghubungi. Lalu segera kujawab panggilan itu. ”Ya. Ada apa?” Tanyaku. ”Gege, Naomi dibawa polisi.” Jawab Fan Yin tergesa-gesa. ”Apa? Mengapa bisa dibawa polisi?” Aku kaget mendengar kabar itu. ”Tadi kami pergi keluar makan di restoran. Namun, disini kebetulan ada beberapa polisi yang
[Jika kau terlalu fokus, maka yang lain tak tampak bagimu. Jika kau terlalu jatuh ke dalam, maka kau akan sulit untuk naik. Jika kau terlalu memaksa mengejar sesuatu, segalanya belum tentu berakhir seperti yang kau inginkan.] Saat aku menulis cerita ini, aku menangis di pojokan karena merasa bersalah telah membuat ending yang menyedihkan seperti ini. Tapi dari awal aku buat cerita ini, memang sudah aku seting endingnya seperti ini. Jangan bully author ya😁 Tolong dimaafkan 😁😍 Memang tragis sih endingnya 😭😭😭😭 Sumpah aku nulisnya sambil mewek. Ga tega sama karakternya. Tapi cerita harus terus berlanjut. Terima kasih banyak buat kalian yang sudah baca Kisah Cinta Naomi. Aku bangga dan bahagia banget ceritaku ada yang baca. Pokoknya terima kasih, dear! Oh ya, kalian bisa baca buku aku yang lainnya. Seperti : KAU MILIKKU, kisah si cewek bar-bar dan superstar yang menderita philophobia Atau kalian suka genre Fanta
Dulu aku tidak pernah peduli dengan yang namanya cinta. Wanita hanyalah mainan saja bagiku. Namun, kini semuanya berubah sejak aku bertemu dengan Naomi. Hanya dengan sebuah senyuman polos ia berhasil memikat hatiku. Segalanya kulakukan untuk menarik perhatiannya, tetapi di dalam pandangannya hanya ada Zhou Tian.Kini aku memiliki dirinya seutuhnya setelah melenyapkan Zhou Tian, tetapi aku tidak merasa bahagia. Kupikir jika Zhou Tian mati, Naomi akan membuka hatinya untukku. Namun sekarang ia malah seperti mayat hidup. Setiap harinya ia hanya membisu memandangi langit. Tubuhnya semakin kurus karena tak ingin makan.Dan aku semakin frustrasi melihatnya yang menyedihkan seperti itu. Apa yang aku cari? Apa yang aku kejar? Aku telah dibutakan cinta, tetapi cinta itu sendiri menyiksaku sampai ke tulang. Setiap hari aku membujuknya dan memohon maaf kepadanya. Sedikitpun ia tidak peduli dengan semua yang kulakukan.
Sepasang tangan terulur dan merangkul pinggangku lalu menarik aku dengan keras. Hingga kami terjungkal ke atas lantai. Dia meringis kesakitan karena aku mendarat di atas tubuhnya. Aku begitu marah telah diselamatkannya. Saat ini aku hanya ingin menemui Zhou Tian.”Kau sudah gila! Untuk apa kau berdiri di sana? Apa yang ada dalam pikiranmu, hah?!” Sergah Fan Yin.Dalam sekejap tatapan mata serta raut wajahnya berubah lembut, ”Nao, kumohon jangan lakukan lagi hal bodoh seperti itu. Aku tidak mau kehilanganmu, Nao.”Aku menatap lurus ke dalam matanya lalu tanganku reflek menampar wajahnya. Sangat keras sampi meninggalkan bekas merah di sana. Ia tertegun dengan sikapku. Aku tak ingin berbicara. Semua suaraku seakan pergi dengan Zhou Tian. Diam.Kemudian aku bangkit berdiri dan duduk di kursi yang mengarah langsung ke luar jendela. Menatap kosong ke luar sana. Menangis
Saat aku membuka mata, cahaya-cahaya putih membutakan mataku beberapa saat. Di sekeliling, tembok-tembok putih dengan sedikit warna keemasan di garis tepiannya mengelilingi aku. Tempat ini sangat asing bagiku. Aku tidak tahu ada di mana. Mengapa aku bisa ada di sini? Kupegangi kepalaku dan mengacak-acak rambutku. Tetiba aku teringat dengan Zhou Tian. Pikiranku kembali kalut. Aku mulai panik. Pintu besar berwarna coklat itu jadi sasaran kemarahanku. Kugedor-gedor pintunya bahkan aku menendang pintu itu hingga kakiku sakit. Tak hentinya aku berusaha membuka pintu. Kursi kayu yang ada di depan meja rias, aku ambil dan melemparkannya ke pintu, namun seinci pun tidak bergerak. Suara teriakanku bergema di ruangan ini. Berkali-kali aku minta tolong tak satupun suara dari luar sana yang terdengar. Sunyi. Sedari tadi hanya suaraku saja yang memenuhi ruangan ini. Zhou Tian, bagaimana keadaanmu sekarang? Aku sangat ingin bertemu denganmu. Kau harus
Tuxedo putih yang di kenakan Zhou Tian berubah menjadi merah gelap dan berbau anyir. Darah segar keluar dari lubang bekas timah panas itu, terus mengalir hingga mengenai gaunku. Aku tidak henti-hentinya menekan lubang kecil itu. Suara tangisanku meraung-raung, pikiranku kalut. Rasa takut kehilangan akan dirinya berhasil membuatku seperti orang gila. Walaupun pandanganku mulai gelap akibat tidak kuat melihat darah, aku tetap bertahan di sisinya. Memukul-mukul pipinya agar tetap tersadar. ”Tian-tian, jangan tinggalkan aku. Kau harus bertahan! Kau tidak boleh mati. Aku akan membunuhmu jika kau lakukan itu!” isakan tangisanku semakin menjadi. Duniaku sudah runtuh. Pilar istanaku sudah roboh. Tetapi pria ini masih bisa tersenyum di saat sedang sekarat. Dia bukan kucing yang memiliki sembilan nyawa. Apa ia pasrah dengan semua ini? Aku benci melihatnya tersenyum seperti itu. Aku merasa itu seakan yang terakhir kulihat.
Seketika tubuhku gemetaran dan kalut. Aku takut hal buruk terjadi dengan Zhou Tian. Suaraku memekik berusaha meredakan ketegangan di antara mereka. Segera aku berdiri di depan Zhou Tian untuk menghalangi arah revolver Fan Yin.”Menyingkirlah, Nao! Aku tidak mau melukaimu. Aku hanya perlu menyingkirkan penghalang jalanku saja.” Fan Yin berusaha keras menguatkan genggamannya pada batang revolver itu. Bahkan revolver itu bergetar mengikuti getaran tangan Fan Yin.”Biar aku saja yang menggantikanya. Lakukanlah, aku harap itu bisa meredakan amarahmu. Tembak saja aku!” Aku berteriak kencang sampai-sampai tenggorokanku terasa sakit.Walaupun saat ini aku ketakutan dengan segala kengerian yang mungkin terjadi padaku, tetapi seinci pun kakiku tak bergeser. Kesunyian seketika melanda dikala matahari semakin menghilang. Gelap. Hanya ada cahaya dari lampu-lampu di garis batas pelabuhan. Gemuruh ombak yang men
Samar-samar aku mendengar suara bising dan aroma amis yang kuat di sekitarku. Perlahan aku membuka mata masih tampak buram. Kepalaku masih pusing dan perutku terasa mual. ”Hei, Nao. Kau sudah sadar?” suara yang sangat aku kenali memanggil namaku. Itu suara Fan Yin. Kini aku bisa melihat jelas wajahnya. Kualihkan pandanganku ke sekitar. Kapal-kapal tampak berjejer, aku ada di pelabuhan. Bau amis yang menyengat mencuat dari kapal ikan yang bersandar di sana. Mengapa aku bisa ada di sini? Di mana Zhou Tian? Apa yang sedang terjadi? Semua pertanyaan itu bermunculan di kepalaku. Lalu aku menatap Fan Yin dengan sinis. ”A Yin, mengapa kita di sini? Mengapa kau membawa aku kemari?” aku memekik. Kupegangi kepalaku yang masih pusing. Ia berjalan mendekati aku dan duduk selonjoran di sampingku. Ia menyandarkan kepalanya di pundakku, menangis tersedu-sedu. ”Maafkan aku, Nao.
Suara berisik dari burung camar juga deburan ombak yang menghantam karang, membangunkan tidurku. Dari celah-celah tenda, semburat cahaya putih menelisik masuk, menerpa netra yang masih setengah sadar. Rupanya pagi datang lagi. Kubuka dengan keras ziper tenda, pemandangan yang disuguhkan sungguh memanjakan mata.Zhou Tian masih malas-malasan, ia semakin menarik selimutnya. Ia menutup matanya dengan tangannya, menghalau sinar matahari yang tumpah ke wajahnya. Bergeser ke kiri dan ke kanan. Aku menikmati tingkahnya yang menggemaskan seperti itu. Aku tergoda untuk mengusili dia yang sedang tertidur itu, lalu kuambil rambutku dan menggoyangkannya di hidung Zhou Tian. Ia menggerakkan wajahnya dan mengusap hidungnya. Namun, ia tetap tertidur. Ah, aku semakin menjahilinya hingga ia terbangun dan tampak kesal.”Bangunlah, hari sudah terang,” perintahku.”Nao, aku masih ngantuk. Tolong nanti saja bangunkan
Zhou Tian segera bangun dari posisi tidurnya dan duduk menghadapku. Lalu ia menggerakkan kepalanya, memberikan kode agar aku bangun mengikutinya. Aku merasa agak kebingungan dengan sikapnya yang terlihat canggung dan sedikit salah tingkah. Mataku menelisik jauh ke dalam bola mata berwarna coklat itu, ia terlihat gelisah. ”Ada apa? Mengapa kau sangat gusar? Apakah ada yang mengusik pikiranmu?” tanyaku. Zhou Tian menggelengkan kepalanya beberapa kali lalu meraih tanganku dan meremasnya dengan lembut. Sebuah senyuman terbit di wajahnya yang sedikit berpasir. Tatapannya pada saat itu sangat dalam dan penuh cinta. ”Nao, hmm sebenarnya a-aku...” bahkan suaranya terdengar bergetar, ”ada yang ingin aku berikan, tetapi pejamkan dulu matamu dan jangan mengintip.” Rasa bingung bercampur penasaran mengaduk-aduk hatiku. Dan sedetik kemudian aku memejamkan mataku. Sungguh, ia membuatku penasara