Impian setiap wanita adalah menikah dengan seseorang yang dicintai. Aku juga menginginkan pernikahan yang seperti itu. Dulu aku sering berharap akan ada pangeran berkuda putih yang melamarku. Mimpi klasik setiap wanita. Tapi, sekarang aku malah menikah dengan pria yang tidak kucintai. Andai saja waktu itu aku menolak permintaan ayah, aku tidak akan berdiri disini bersama pria itu. Beberapa hari yang lalu aku masih ingat jelas ayah yang memohon padaku.
"Nao..ayah mohon padamu tolong bantu ayah. Mau ya kamu menikah dengan tuan Adrian,” Ayah membujukku.
"Aku masih muda, ayah. Aku masih ingin melakukan hal-hal yang kusukai. Aku ingin bebas tidak ingin terikat ayah." Aku menolak dengan tegas. Tidak mungkin aku menikahinya. Kenal saja tidak.
"Ayah memiliki hutang, Naomi. Ayah tidak mampu membayarnya. Tuan Adrian pun setuju dengan pernikahan ini."
Hutang. Jadi semua ini demi hutang. Mengapa ia rela menukar putrinya demi hutang.
"Ayah tega sama Nao, demi hutang ayah lunas sampai merelakan Nao kepada orang lain. Apa aku sungguh merepotkan ayah selama ini?" Air mataku mengalir. Aku merasa kecewa dengan ayah.
"Maafkan ayah, Nao. Ayah sungguh putus asa. Ayah tidak memiliki cara lain. Hutang ayah begitu banyak. Jika ayah tidak melunasinya maka ayah akan dipenjara. Baiklah, bila kamu tidak mau. Ayah akan bicara dengan tuan Adrian. Ayah bersedia di penjara demi kebahagian putri ayah."
Ayah menatapku dengan tatapan yang tulus dan bibirnya melengkung lebar. Manis sekali senyumannya. Aku merasa iba dan sedih terhadap ayah. Dasar anak durhaka. Selama ini ayah yang selalu membantu saat aku kesulitan. Sekarang giliranku yang membantu ayah.
"Baiklah, ayah aku bersedia menikah dengannya."
Pada akhirnya aku menerima permintaan ayah. Cukup lama aku bergelut dengan pikiranku sendiri hanya untuk menerima tawaran itu.
Sekarang aku hampir menyesali keputusanku waktu itu. Inginku kabur dari pernikahan ini. Aku melirik ke arah ayahku. Ia tersenyum bahagia melihatku. Ayah terlihat tampan mengenakan jas hitam kebanggaannya. Aku masih ingat ia selalu menyimpan rapi jasnya itu. Ayah selalu mengatakan akan memakai jas itu di hari pernikahanku. Aku pun membalas senyum ayah tak ingin mengecewakannya. Para undangan pun sudah berdatangan. Semua kursi penuh. Memang pria yang akan kunikahi ini adalah seorang pengusaha kaya. Wajar jika semua orang datang ke pernikahannya. Mereka semua sepertinya kolega bisnisnya. Aku tidak melihat satupun keluarga Adrian. Apakah hubungannya dengan keluarganya tidak baik? Ah, sudahlah aku tidak peduli itu.
"Adrian Sebastian, apakah kau menerima Naomi Clara sebagai istrimu? Dan setia sampai maut memisahkan?" Pendeta bertanya kepada Adrian.
Aku menoleh kearah Adrian. Aku tidak menyadari kalau ia begitu memesona. Matanya yang tegas seolah menyihirku. Aku segera memalingkan wajahku. Menatapnya sedikit lebih lama lagi mungkin akan membuatku jatuh cinta padanya.
"Ya, saya bersedia menerima Naomi Clara sebagai istriku." Adrian menoleh ke arahku dan tersenyum.
Deg...jatungku berdegup. Apa ia sedang menggodaku? Jangan harap aku akan jatuh kepadanya. Kemudian pendeta menoleh kepadaku dan melontarkan pertanyaan yang sama.
"Naomi Clara apa kau bersedia menerima Adrian Sebastian sebagai suamimu?"
Sejenak aku terdiam. Aku masih ragu. Apakah dia pria baik? Apakah dia hanya memanfaatkan aku? Semua pertanyaan itu berkecamuk di benakku. Aku menoleh kearah para undangan dan ayahku. Mereka terlihat tegang. Seolah sedang menunggu kepastian hidup dan matinya. Akhirnya dengan terbata aku pun mengiyakan pertanyaan itu.
"Ya. Saya bersedia menerima Adrian Sebastian sebagai suamiku."
Kemudian pendeta meletakkan kedua tangannya diatas kepalaku dan Adrian. Ia memanjatkan doa untuk kami.
"Sekarang kalian sah sebagai suami dan istri," ujar pak pendeta.
Adrian sibuk menyambut para kolega nya. Aku tidak mengerti bisnis. Aku menjauh dari mereka. Aku melihat ayahku berjalan ke arahku. Ia memelukku dan menitikkan air mata.
"Ayah bahagia melihatmu menikah Nao. Dan maafkan ayah telah membuatmu melalui semua ini."
"Ayah, aku bahagia kok. Ayah jangan merasa bersalah. Aku akan mencoba menerima Adrian. Ayah tetap ayah terbaik bagiku."
Ayah satu-satunya keluarga yang kumiliki. Ibuku sudah lama meninggalkan kami. Saat aku masih di bangku SMA. Itu adalah hari yang paling kelam dalam hidupku. kehilangan sosok ibu disaat usiaku masih labil. Sekarang aku merindukannya. Apakah ibu melihatku dari atas sana? Apakah ibu juga bahagia melihatku menikah hari ini? Tak terasa air mataku mengalir. Kelopak mataku tak sanggup lagi menahannya. Ayah melepaskan pelukan nya. Ia memegang pipiku dengan kedua tangannya dan menatapku dalam. Seakan tahu isi pikiranku.
"Kau pasti merindukan ibumu, kan? Ayah yakin ibu juga pasti bahagia melihatmu menikah."
"Iya, ayah aku merindukan ibu."
Tiba-tiba seseorang menarik tanganku dari belakang. Aku menoleh. Ternyata itu Adrian. Raut wajahnya datar. Ia terlihat tidak senang akan sesuatu.
"Sedang apa kau disini? Para undangan sedang menunggumu. Mereka semua partner Bisnisku jangan mengecewakan mereka. Ayo ikut aku." Nada suara Adrian meninggi namun tidak terlalu kentara.
Aku mengikutinya dari belakang. Para undangan menunggu kami datang. Mereka tersenyum padaku. Ada satu pria yang menatapku seperti kucing yang sedang melihat ikan. Ia melihatku dari atas hingga kebawah. Aku merasa risih dengan tatapannya genit sekali. Aku yakin dia pasti pria hidung belang.
"Wah, istrimu cantik sekali. Aku bahkan tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya.” Pria itu memujiku sambil mengayunkan tangannya hendak menjabat tanganku.
Aku hanya membalas dengan senyuman dan membungkukkan sedikit badanku sebagai penghormatan. Adrian terlihat menegang. Ia tidak senang dengan sikapku barusan.
"Ini adalah tuan Jackson. Dia investor terbesar di perusahaanku. Kelak kau harus bersikap lebih ramah lagi kepadanya."
Dia bahkan tidak keberatan pria lain menggoda istrinya. Suami macam apa itu.
"Maaf, jika sikapku barusan telah menyinggung anda tuan Jackson. Aku hanya merasa itu kurang sopan saat anda memuji seorang istri di depan suaminya. Aku harap anda tidak marah." Aku meminta maaf kepada tuan Jackson. Lalu aku pamit untuk pergi ke toilet.
*********
Ini malam pertamaku sebagai seorang istri. Aku begitu gugup. Aku duduk ditepi kasur sambil memainkan ponsel. Aku membuka akun sosmedku banyak ucapan selamat dari teman- temanku. Pandanganku teralihkan ketika melihat Adrian baru saja selesai mandi. Dia hanya membalut badannya dengan handuk. Wajahku memerah. Aku begitu malu untuk melihatnya. Lalu aku lebih memilih keluar kamar. Daripada harus merasa sesak melihat Adrian memakai pakaiannya. Ya, kuakui ia memiliki badan yang kekar. Mungkin itu tubuh yang diidamkan setiap wanita. Lebih baik aku berkeliling rumah saja.
Aku masih asing dirumah ini. Rumah Adrian ternyata begitu besar. Ia memilih warna monocrome perpaduan putih dan hitam yang elegan untuk interior rumahnya. Berbanding jauh dengan rumah kami yang hanya berukuran 8X10 m. Hanya saja ia tidak memiliki satupun foto keluarganya. Hal itu mengusik pikiranku. Itu membuatku semakin penasaran tentang keluarganya.
"Sedang apa kau?" Seketika aku kaget saat mendengar suara adrian. Aku tidak menyadari kehadirannya. Dari sorot matanya terpancar ketidaksukaan.
"Oh..aku hanya berkeliling saja. Rumahmu indah sekali. Hanya saja aku tidak melihat ada foto keluargamu,” jawabku.
"Hmmm..sudah merasa ini rumahmu? Biar ku perjelas aku menikahimu bukan karena aku mencintaimu. Semua ini hanya untuk melunasi hutang ayahmu. Kau tahu berapa jumlahnya? 500 juta itu belum bunganya. Dan satu hal lagi jangan pernah menayakan tentang keluargaku."
Aku begitu kesal dan marah mendengar perkataan Adrian barusan. Hatiku sakit.
"Jika kau tidak menyukainya mengapa harus menikahi aku. Aku akan membayar hutang ayahku."
"Membayarnya, hah? Dengan apa kau akan membayarnya? Dengan tubuhmu?"
Plakk!!! Tanganku reflek menampar wajah Adrian. Aku begitu marah mendengar kata- katanya. Tak terasa air mataku mengalir.
"Jika kutahu kau pria yang brengsek, aku tidak akan mau menikah denganmu. Aku tidak serendah yang kau pikirkan."
Adrian menarik daguku hingga dekat ke wajahnya. Aku melawan, tapi tenagaku tidak sebanding dengannya.
"Berani sekali kau menampar wajahku. Aku akan membuatmu membayarnya."
Kemudian ia mencium bibirku dengan paksa. Aku memberontak berusaha keras mendorongnya ke belakang. Namun ia begitu kuat. Malah Adrian semakin memperdalam ciumannya. Ia mengulum bibirku dengan kuat. Aku kesakitan. Bukan ciuman yang seperti ini yang kuinginkan. Aku bahkan tidak bisa menikmatinya karena amarahku masih menyala.
Adrian mendorongku ke sofa yang ada di belakangku. Ia menjatuhkan aku kea sofa itu. Kemudian ia membuka bajunya dan melemparnya kelantai. Aku reflek langsung berdiri untuk menghindarinya. Tangannya begitu tangkas dengan segera Adrian menarikku dan menjatuhkan aku kembali ke atas sofa. Ia tepat di atasku. Hatiku berdegup kencang. Apa ini malam pertamaku?
"Lepaskan aku. Apa yang akan kau lakukan padaku? Menyingkirlah. Aku bahkan tidak Sudi disentuh olehmu."
"Tentu saja menikmati malam pertama kita. Aku tidak mungkin menyiakan kesempatan ini. Kau sudah menjadi istriku. Jadi aku bebas melakukan apa yang kumau," Adrian menyeringai. Ia menciumi aku kembali lebih berhasrat. Tubuhku mulai terasa panas. Tanpa kusadari aku menikmati itu. Kuletakkan kedua tanganku di leher Adrian menariknya untuk lebih dekat lagi. Malam itu terasa begitu panas.
*******
Sudah sebulan aku menjadi istri Adrian namun ia tidak pernah bersikap manis kepadaku. Ia selalu saja bersikap kasar. Bahkan kami tidak tidur sekamar. Ia menyentuhku hanya sekali saja saat di malam pertama kami. Meski begitu aku tetap melakukan tugasku sebagai seorang istri. Memasak makanan dan menyajikan kopi untuknya.
Tapi Adrian tidak pernah menyentuh makanan yang kumasak. Ia selalu berdalih buru-buru ke kantor. Terkadang aku juga menunggunya pulang hingga larut malam. Semua yang kumasak terbuang percuma. Belakangan kusadari semua tindakannya untuk menghindariku.
Ring..ring...!
Suara ponselku membuyarkan lamunanku. Kulihat di layar ayah yang menghubungi aku. Aku segera menjawabnya.
"Halo ayah,” Jawabku.
"Nao putri ayah, apakah kau melupakan ayahmu ini? Sejak kau menikah tidak pernah lagi menelfon ayah. Ayah merindukanmu nak." Suara ayah terdengar berat. Apa ayah sedang sakit, batinku.
"Ayah maafkan Nao. Aku tidak melupakan ayah. Hanya saja aku sangat sibuk belakangan ini. Bagaimana kalau kita makan siang bersama ayah?"
"Baiklah, kita bertemu di tempat biasa. Ayah sudah tidak sabar untuk bertemu dengan putri ayah."
"Iya, ayah aku juga tidak sabar untuk bertemu ayah. Sampai nanti ayah.”
Aku menutup pembicaraan kami. Aku merasa bersalah pada ayah. Aku tidak berani mengatakan bahwa pernikahan yang kujalani tidak seindah pasangan pengantin lainnya. Aku tidak ingin ayah menjadi merasa bersalah karena menikahkan aku dengan Adrian. Aku mengangkat tangan kiriku untuk melihat arlojiku. Baru pukul 10.00 masih ada waktu untuk membersihkan meja makan.
Ketika aku hendak menyimpan kembali makanan yang ada dimeja, Adrian datang menghampiriku sambil memasang raut wajah tegang. Aku tidak pernah melihat wajahnya setegang itu. Mungkin ia sedang memiliki banyak kerjaan yang harus diselesaikan. Atau sedang menghadapi masalah besar. Hmm...Untuk apa juga aku harus memikirkan itu. Toh, selama ini ia tidak peduli padaku.
"Aku ingin minum kopi," katanya datar. Aku melihat dia menarik kursi dan ia pun duduk disitu.
"Baiklah. Tunggu sebentar akan kubuatkan untukmu." Jawabku sambil menuju ke dapur.
Ini pemandangan yang langka. Aku tidak pernah melihat Adrian duduk di ruang makan. Ada apa dengannya? Aku menebak-nebak apa yang terjadi. Lalu aku mengambil mug kecil untuk menyeduh kopinya. Aku tidak tahu ia suka kopi jenis apa. Kebetulan di dapur cuma ada kopi instan. Aku membuat kopinya dengan itu saja.
Kemudian aku kembali ke ruang makan sambil membawa baki yang berisi kopi. Namun ia sedang berbicara dengan seseorang melalui ponselnya. Raut wajahnya semakin mengeras. Aku tidak berani untuk mengganggunya. Kopinya hanya kuletakkan saja diatas meja.
Samar-samar aku mendengar percakapan Adrian. Ia menyebut nama Jackson. Aku ingat nama itu. Dia adalah pria yang menggodaku di hari pernikahanku. Aku tidak menyukai pria itu. Hanya dengan sekali lihat saja aku sudah tahu dia adalah pria yang suka menggoda wanita.
Adrian mengakhiri percakapannya dengan tuan Jackson. Kemudian ia menoleh ke arahku. Aku memalingkan pandanganku. Aku tidak ingin beradu pandangan dengannya.
"Malam ini apa kau ada waktu? Aku ingin mengajakmu makan malam."
Aku kaget mendengar perkataan Adrian. Aku balik menoleh kearahnya. Aku tidak percaya kata-kata itu keluar dari mulutnya.
"Apa kau salah makan?" Kusipitkan mataku hingga membuat alisku berkerut.
"Tidak. Mengapa kau menanyakan itu?"
"Hanya saja kata-kata itu tidak pernah keluar dari mulutmu. Kau bahkan selalu mengabaikan aku seakan aku tidak ada."
"Benarkah? Baiklah, maaf, jika aku telah mengabaikanmu selama ini. Jadi kau bersedia makan malam denganku?"
"Karena kau telah meminta maaf aku akan memikirkannya," Jawabku datar.
"Aku akan menjemputmu jam 7. Sekarang aku akan berangkat ke kantor. Berdandanlah yang cantik."
Adrian segera berdiri dan meraih tas kerjanya yang ia letakkan di kursi sebelahnya. Ia bergegas pergi ke kantor. Bahkan ia tidak meminum kopinya. Hmm.. sia-sia aku membuatkan kopinya. Lalu aku menyeruput kopi itu sampai habis. Mubazir membuang makanan pikirku.
Aku teringat janji makan siang dengan ayah. Hampir saja aku melupakan itu. Aku buru-buru pergi ke tempat yang sudah kami sepakati. Aku bahkan tidak sempat mengganti bajuku. Aku hanya menguncir rambutku dan memoles bibirku dengan lipstik warna pink. Restoran pangsit yang ada di ujung jalan ini adalah tempat yang sering kami kunjungi. Dulu, ayah, ibu dan aku sering makan pangsit disitu. Aku melihat ayah dari kaca. Ia sedang menungguku di dalam. Ayah melihat keluar dan melambaikan tangannya saat melihatku. Aku tersenyum. Aku menghampiri ayah. "Ayah sudah lama menungguku?" "Tidak. Duduklah. Ayah senang melihatmu, Nao." Ayah tersenyum. "Iya ayah. Maafkan aku ayah. Aku tidak pernah mengabari ayah sebulan ini. Pasti itu membuat ayah khawatir." Kupandangi ayah yang terlihat lebih kurus. Pasti berat ayah hidup sendiri sekarang. Tidak ada aku yang selalu menemaninya. Aku merasa b
Samar-samar kudengar banyak suara yang memanggil dan mengguncang tubuhku. Aku pun tersedak. Semua air yang telah tertelan kumuntahkan kembali. Kepalaku pusing dan dadaku terasa sesak. Pandanganku pun kabur. Mereka kembali menepuk-nepuk punggungku. Setelah beberapa saat aku pun mulai sadar. Ada beberapa pria yang mengerumuni aku. Mereka mengenakan jaket kulit. Tubuh mereka semua kekar. Mereka lebih terlihat seperti preman. "Aku ada dimana? Kenapa aku disini?" Kualihkan pandanganku ke sekitar. Ternyata aku ada diatas kapal. Di sudut sana aku melihat ada beberapa wanita. Apa mereka yang menolongku? Tiba-tiba kepalaku terasa pusing. Perutku mual. Aku mabuk laut. "Terima kasih kalian sudah menolongku. Tapi bisakah kalian menurunkan aku? Aku ingin pulang." "Nona pelabuhan masih jauh dari sini. Apa kau ingin turun ke dalam air ini lagi?" kata salah satu dari mereka. Aku ingin
Orang-orang memperhatikan aku yang sedang berlari. Mereka bahkan tidak memiliki empati untuk menolongku. Sial. Aku sudah kehabisan tenaga. Tubuhku mulai melemah namun aku terus berlari menjauh dari mereka. Keringat pun menetes dengan deras. Sesekali aku menoleh kebelakang memastikan mereka tidak lagi mengejarku. Pada akhirnya aku sudah mencapai batas kemampuanku. Kakiku sudah tidak kuat lagi. Aku mulai melambat. Mereka semakin dekat denganku. Tapi aku masih berusaha berlari semampuku. Di ujung lorong bangunan aku melihat ada seorang pria yang sedang berdiri. Aku berteriak minta tolong padanya, dia menoleh ke arahku. Dan pada saat aku hendak dekat dengannya, aku jatuh tersungkur. Aku merasakan lelah yang luar biasa. Kakiku terasa sakit sekali. Aku sudah tidak kuat lagi untuk berlari. ”To-tolo..ngg aku.” Aku mengulurkan tanganku. Para pengawal Tuan Lei berhasil mengejarku. Mereka menyeretku. Aku meronta berusaha mele
Zhou Tian POV. Awal aku melihatnya hatiku bergetar. Aku tidak pernah merasakan getaran ini sebelumnya. Tatapan matanya saat itu sangat menggoyahkan dinding es yang selama ini membentengi hatiku. Ya, dia wanita pertama yang berhasil merebut hatiku walau hanya tatapan nanar yang memohon pertolonganku. Saat itu penampilannya berantakan. Sekujur tubuhnya penuh memar dan luka. Aku menyukainya. Seketika hatiku tergerak untuk melindunginya. Sekarang Lei wulong ingin mengambilnya kembali. Hatiku bergejolak. Aku tidak ingin dia pergi bersama Lei wulong. ”Kau tahu wanita seperti apa dia? Aku membelinya dari rumah bordil. Itu artinya dia milikku. Kau tidak bisa mencegahku Zhou Tian. Cepat berikan wanita itu padaku.” Suara Lei wulong meninggi. Aku melirik Naomi. Mata kami beradu. Tatapannya seakan berbicara meminta tolong untuk tidak menyerahkannya. Biasanya aku tidak pernah berurusan dengan wanita. Apalagi ini wanita milik Lei wulong. Aku menghela na
Fan yin duduk menemaniku memandangi langit malam dari balik jendela. Ia tidak bicara ia hanya duduk saja di sebelahku. Pikiranku melayang jauh. Aku memikirkan Ayah. Ayah pasti mencari aku yang tiba-tiba hilang berminggu-minggu lamanya. "Hei..kau jangan bersedih lagi. Ada aku. Kau bisa membagi masalahmu padaku. Aku akan mendengarkan. Daripada kau harus menangis. Itu buang-buang energi saja." Fan Yin memulai pembicaraan. Aku menoleh. Kulihat ia tersenyum dan memasang mimik seperti anak-anak yang meminta permen. Aku menghela napas dan bibirku sedikit menyunggingkan senyum yang agak dipaksa. ”Aku merindukan kampung halamanku dan ayahku. Ayah pasti sedang mencari aku. Ia pasti kebingungan karena aku tiba-tiba menghilang.” Jawabku dengan sesunggukan. ”Aku mengerti perasaanmu. Aku juga dulu pernah memiliki orangtua. Tapi mereka sudah ada di surga. Aku juga terkadang menangis bila merindukan mereka.” ”Kau tidak akan mengerti. Aku bukan hanya men
Zhou Tian POV Aku melangkah keluar dari kamar Naomi. Kuletakkan telapak tanganku di dada kiriku. Jantungku tak karuan setelah memeluknya tadi. Terasa sesak saat berada di dekatnya. ”Sepertinya aku harus ke dokter. Akhir-akhir ini jantungku terasa sesak. Keberadaan Naomi membawa dampak buruk buat jantungku." Aku menggumam. Saat aku turun ke bawah, kulihat Fan Yin sedang sibuk bermain game di ruang tengah. Ia menyadari kehadiranku. ”Gege, kau mau kemana kok buru-buru sekali.” Tanya Fan Yin. ”Aku mau ke dokter.” Jawabku sambil terus melangkah keluar. Fan Yin kaget dan segera melompat dari sofa. Ia mengikuti aku dari belakang. ”Apa kau sakit? Kau terlihat baik-baik saja.” Aku hanya diam saja terus melangkah keluar menuju mobilku. Luo yang menyadari aku hendak pergi segera membukakan pintu mobil. Fan Yin juga ikut masuk kedalam mobil. ”Tuan, kemana tujuan kita?” tanya Luo. ”Rumah sakit.” Jawabku data
Hari ini langit terlihat cerah. Begitu juga dengan suasana hatiku. Sudah kumantapkan dalam hati untuk bangkit dari kesedihan. Aku harus berjuang untuk menjalani kehidupan ini. Wejangan Fan Yin semalam seakan memberiku semangat baru. Kukeluarkan semua isi bungkusan yang berserakan di kamar. Pakaian sepatu dan kosmetik semuanya ada. Tinggal satu bungkusan lagi yang belum kubuka. Saat aku membuka bungkusan itu, kulihat isi didalamnya adalah pakaian dalam wanita. Ternyata ia sedetail itu. ”Wah!" Kubentangkan celana dalam warna pink yang berenda di depanku. "Dia ternyata tidak lupa membeli dalaman wanita juga. Kini aku terkesan.” gumam ku sambil tersenyum. Setelah selesai kubereskan semua pakaian itu, aku pun pergi membersihkan tubuhku. Kurasakan perih saat air menyentuh tubuhku yang luka. Dengan semua hal yang terjadi padaku beruntung aku masih bisa bernapas hingga saat ini. Aku akan membalas kebaikan Zhou Tian. Saat aku sedang memakai pakaian, kudengar s
”Zhou Tian aku berhutang budi padamu. Aku akan membalas kebaikanmu. Terimakasih kau sudah menolongku. Tapi, tuan Lei sepertinya tidak akan pernah melepasmu. Aku telah menyeretmu kedalam situasi ini. Sekali lagi maaf.” Zhou Tian hanya memandangi aku kemudian ia menyela. ”Tidak masalah. Kau jangan merasa bersalah dengan semua ini. Aku bisa mengatasinya dengan caraku.” Tiba-tiba Luo datang menghampiri Zhou Tian. "Tuan, ada masalah di Black Kingdom.” Ujar Luo. Raut wajah Zhou Tian mengeras. Sesaat kemudian ia menyela. ”Mengapa bisa ada masalah? mengurus hal kecil saja kalian tidak becus.” Suara Zhou Tian meninggi. ”Pergilah, aku akan menyusul ke sana." Perintah Zhou Tian kemudian. ”Baik, tuan.” Balas Luo sembari menundukkan kepalanya lalu pergi keluar. Aku kaget mendengar suara Zhou Tian seperti itu. Zhou Tian meirikku lalu ia mendelik, ”Maaf, jika aku membuatmu takut. Akhir-akhir ini aku menghadapi banyak masalah.” Suaranya mulai lembut. ”Aku aka
[Jika kau terlalu fokus, maka yang lain tak tampak bagimu. Jika kau terlalu jatuh ke dalam, maka kau akan sulit untuk naik. Jika kau terlalu memaksa mengejar sesuatu, segalanya belum tentu berakhir seperti yang kau inginkan.] Saat aku menulis cerita ini, aku menangis di pojokan karena merasa bersalah telah membuat ending yang menyedihkan seperti ini. Tapi dari awal aku buat cerita ini, memang sudah aku seting endingnya seperti ini. Jangan bully author ya😁 Tolong dimaafkan 😁😍 Memang tragis sih endingnya 😭😭😭😭 Sumpah aku nulisnya sambil mewek. Ga tega sama karakternya. Tapi cerita harus terus berlanjut. Terima kasih banyak buat kalian yang sudah baca Kisah Cinta Naomi. Aku bangga dan bahagia banget ceritaku ada yang baca. Pokoknya terima kasih, dear! Oh ya, kalian bisa baca buku aku yang lainnya. Seperti : KAU MILIKKU, kisah si cewek bar-bar dan superstar yang menderita philophobia Atau kalian suka genre Fanta
Dulu aku tidak pernah peduli dengan yang namanya cinta. Wanita hanyalah mainan saja bagiku. Namun, kini semuanya berubah sejak aku bertemu dengan Naomi. Hanya dengan sebuah senyuman polos ia berhasil memikat hatiku. Segalanya kulakukan untuk menarik perhatiannya, tetapi di dalam pandangannya hanya ada Zhou Tian.Kini aku memiliki dirinya seutuhnya setelah melenyapkan Zhou Tian, tetapi aku tidak merasa bahagia. Kupikir jika Zhou Tian mati, Naomi akan membuka hatinya untukku. Namun sekarang ia malah seperti mayat hidup. Setiap harinya ia hanya membisu memandangi langit. Tubuhnya semakin kurus karena tak ingin makan.Dan aku semakin frustrasi melihatnya yang menyedihkan seperti itu. Apa yang aku cari? Apa yang aku kejar? Aku telah dibutakan cinta, tetapi cinta itu sendiri menyiksaku sampai ke tulang. Setiap hari aku membujuknya dan memohon maaf kepadanya. Sedikitpun ia tidak peduli dengan semua yang kulakukan.
Sepasang tangan terulur dan merangkul pinggangku lalu menarik aku dengan keras. Hingga kami terjungkal ke atas lantai. Dia meringis kesakitan karena aku mendarat di atas tubuhnya. Aku begitu marah telah diselamatkannya. Saat ini aku hanya ingin menemui Zhou Tian.”Kau sudah gila! Untuk apa kau berdiri di sana? Apa yang ada dalam pikiranmu, hah?!” Sergah Fan Yin.Dalam sekejap tatapan mata serta raut wajahnya berubah lembut, ”Nao, kumohon jangan lakukan lagi hal bodoh seperti itu. Aku tidak mau kehilanganmu, Nao.”Aku menatap lurus ke dalam matanya lalu tanganku reflek menampar wajahnya. Sangat keras sampi meninggalkan bekas merah di sana. Ia tertegun dengan sikapku. Aku tak ingin berbicara. Semua suaraku seakan pergi dengan Zhou Tian. Diam.Kemudian aku bangkit berdiri dan duduk di kursi yang mengarah langsung ke luar jendela. Menatap kosong ke luar sana. Menangis
Saat aku membuka mata, cahaya-cahaya putih membutakan mataku beberapa saat. Di sekeliling, tembok-tembok putih dengan sedikit warna keemasan di garis tepiannya mengelilingi aku. Tempat ini sangat asing bagiku. Aku tidak tahu ada di mana. Mengapa aku bisa ada di sini? Kupegangi kepalaku dan mengacak-acak rambutku. Tetiba aku teringat dengan Zhou Tian. Pikiranku kembali kalut. Aku mulai panik. Pintu besar berwarna coklat itu jadi sasaran kemarahanku. Kugedor-gedor pintunya bahkan aku menendang pintu itu hingga kakiku sakit. Tak hentinya aku berusaha membuka pintu. Kursi kayu yang ada di depan meja rias, aku ambil dan melemparkannya ke pintu, namun seinci pun tidak bergerak. Suara teriakanku bergema di ruangan ini. Berkali-kali aku minta tolong tak satupun suara dari luar sana yang terdengar. Sunyi. Sedari tadi hanya suaraku saja yang memenuhi ruangan ini. Zhou Tian, bagaimana keadaanmu sekarang? Aku sangat ingin bertemu denganmu. Kau harus
Tuxedo putih yang di kenakan Zhou Tian berubah menjadi merah gelap dan berbau anyir. Darah segar keluar dari lubang bekas timah panas itu, terus mengalir hingga mengenai gaunku. Aku tidak henti-hentinya menekan lubang kecil itu. Suara tangisanku meraung-raung, pikiranku kalut. Rasa takut kehilangan akan dirinya berhasil membuatku seperti orang gila. Walaupun pandanganku mulai gelap akibat tidak kuat melihat darah, aku tetap bertahan di sisinya. Memukul-mukul pipinya agar tetap tersadar. ”Tian-tian, jangan tinggalkan aku. Kau harus bertahan! Kau tidak boleh mati. Aku akan membunuhmu jika kau lakukan itu!” isakan tangisanku semakin menjadi. Duniaku sudah runtuh. Pilar istanaku sudah roboh. Tetapi pria ini masih bisa tersenyum di saat sedang sekarat. Dia bukan kucing yang memiliki sembilan nyawa. Apa ia pasrah dengan semua ini? Aku benci melihatnya tersenyum seperti itu. Aku merasa itu seakan yang terakhir kulihat.
Seketika tubuhku gemetaran dan kalut. Aku takut hal buruk terjadi dengan Zhou Tian. Suaraku memekik berusaha meredakan ketegangan di antara mereka. Segera aku berdiri di depan Zhou Tian untuk menghalangi arah revolver Fan Yin.”Menyingkirlah, Nao! Aku tidak mau melukaimu. Aku hanya perlu menyingkirkan penghalang jalanku saja.” Fan Yin berusaha keras menguatkan genggamannya pada batang revolver itu. Bahkan revolver itu bergetar mengikuti getaran tangan Fan Yin.”Biar aku saja yang menggantikanya. Lakukanlah, aku harap itu bisa meredakan amarahmu. Tembak saja aku!” Aku berteriak kencang sampai-sampai tenggorokanku terasa sakit.Walaupun saat ini aku ketakutan dengan segala kengerian yang mungkin terjadi padaku, tetapi seinci pun kakiku tak bergeser. Kesunyian seketika melanda dikala matahari semakin menghilang. Gelap. Hanya ada cahaya dari lampu-lampu di garis batas pelabuhan. Gemuruh ombak yang men
Samar-samar aku mendengar suara bising dan aroma amis yang kuat di sekitarku. Perlahan aku membuka mata masih tampak buram. Kepalaku masih pusing dan perutku terasa mual. ”Hei, Nao. Kau sudah sadar?” suara yang sangat aku kenali memanggil namaku. Itu suara Fan Yin. Kini aku bisa melihat jelas wajahnya. Kualihkan pandanganku ke sekitar. Kapal-kapal tampak berjejer, aku ada di pelabuhan. Bau amis yang menyengat mencuat dari kapal ikan yang bersandar di sana. Mengapa aku bisa ada di sini? Di mana Zhou Tian? Apa yang sedang terjadi? Semua pertanyaan itu bermunculan di kepalaku. Lalu aku menatap Fan Yin dengan sinis. ”A Yin, mengapa kita di sini? Mengapa kau membawa aku kemari?” aku memekik. Kupegangi kepalaku yang masih pusing. Ia berjalan mendekati aku dan duduk selonjoran di sampingku. Ia menyandarkan kepalanya di pundakku, menangis tersedu-sedu. ”Maafkan aku, Nao.
Suara berisik dari burung camar juga deburan ombak yang menghantam karang, membangunkan tidurku. Dari celah-celah tenda, semburat cahaya putih menelisik masuk, menerpa netra yang masih setengah sadar. Rupanya pagi datang lagi. Kubuka dengan keras ziper tenda, pemandangan yang disuguhkan sungguh memanjakan mata.Zhou Tian masih malas-malasan, ia semakin menarik selimutnya. Ia menutup matanya dengan tangannya, menghalau sinar matahari yang tumpah ke wajahnya. Bergeser ke kiri dan ke kanan. Aku menikmati tingkahnya yang menggemaskan seperti itu. Aku tergoda untuk mengusili dia yang sedang tertidur itu, lalu kuambil rambutku dan menggoyangkannya di hidung Zhou Tian. Ia menggerakkan wajahnya dan mengusap hidungnya. Namun, ia tetap tertidur. Ah, aku semakin menjahilinya hingga ia terbangun dan tampak kesal.”Bangunlah, hari sudah terang,” perintahku.”Nao, aku masih ngantuk. Tolong nanti saja bangunkan
Zhou Tian segera bangun dari posisi tidurnya dan duduk menghadapku. Lalu ia menggerakkan kepalanya, memberikan kode agar aku bangun mengikutinya. Aku merasa agak kebingungan dengan sikapnya yang terlihat canggung dan sedikit salah tingkah. Mataku menelisik jauh ke dalam bola mata berwarna coklat itu, ia terlihat gelisah. ”Ada apa? Mengapa kau sangat gusar? Apakah ada yang mengusik pikiranmu?” tanyaku. Zhou Tian menggelengkan kepalanya beberapa kali lalu meraih tanganku dan meremasnya dengan lembut. Sebuah senyuman terbit di wajahnya yang sedikit berpasir. Tatapannya pada saat itu sangat dalam dan penuh cinta. ”Nao, hmm sebenarnya a-aku...” bahkan suaranya terdengar bergetar, ”ada yang ingin aku berikan, tetapi pejamkan dulu matamu dan jangan mengintip.” Rasa bingung bercampur penasaran mengaduk-aduk hatiku. Dan sedetik kemudian aku memejamkan mataku. Sungguh, ia membuatku penasara