Sorot mata Askara terpaku dengan sinisme dan ketajaman yang menusuk, memancarkan aura kepuasan yang sulit disembunyikan. Senyuman mencolok terukir dengan apik di bibir pemuda itu, memberikan kesan bahwa dia menikmati melihat musuhnya terbakar amarah karena tingkah lakunya. Dalam pandangan sinisnya yang tajam, mata Askara menembus ke dalam jiwa musuhnya, mencerminkan kepuasan tak terduga yang tersirat di dalamnya. Serentak, senyumnya yang menggoda memperkuat kesan bahwa ia benar - benar menikmati momen ketegangan dan kesal yang melanda musuhnya akibat ulahnya sendiri. Mata yang tajam dan sinis itu seperti memancarkan pesona tersendiri, mengejek dan menantang musuhnya dengan sikap yang begitu jelas. Setiap gerak wajahnya, dari sorot mata tajam hingga senyuman yang menantang, memberi kesan bahwa dia menikmati setiap detik dari situasi yang telah dia ciptakan. “Menghancurkan empat senjata pusaka yang berada di langit malam” ucap Askara, lalu ia mulai melafalkan mantra dengan cepat. Tib
“Masuk lah Cu” ucap pria sepuh itu, kemudian dia mempersilahkan Askara untuk memasuki gubuknya.Mereka pun duduk di bangku rotan yang sudah peyot dan tampaknya tidak beberapa lama lagi bangku itu akan segera hancur.“Ada apa Kakek memanggil Askara?” tanya pemuda itu dengan senyuman hangat kepada pria sepuh yang duduk di sampingnya.“Kakek ingin memberikanmu ilmu pamungkas yang mampu membelah lautan dan langit hanya dengan sekali ayunan tangan Cucuku” jawab pria sepuh itu dengan nada yang tegas dan berwibawa.“Ilmu yang mampu membelah lautan dan langit hanya dengan sekali ayunan tangan, kuat sekali ilmu itu Kek” balasnya dengan nada yang menunjukan akan kekaguman dengan ilmu yang akan di warisi oleh pemuda itu.“Lalu, kapan Askara akan mempelajari ilmu itu Kek?” tanya Askara dengan nada yang semangat, karena dia tidak sabar untuk mempelajari ilmu pamungkas tersebut.Kakek itu tersenyum, “Hari ini, pas di malam hari kamu harus bertapa untuk mencapai kewaskitaan ilmu membelah lautan dan
Setelah beberapa saat berlalu rasa sakit itu mulai menghilang dan saat ini Askara merasa bahwa tubuhnya semakin sehat dan bugar, serta rasa lelah akibat bertapa beberapa hari di puncak air terjun telah hilang begitu saja. Tak hanya itu, dia juga merasakan bahwa kekuatannya meningkat dari sebelumnya. Dia merasakan kebahagiaan dan rasa syukur yang luar biasa karena berhasil mengatasi segala rintangan dan mencapai tujuannya.“Bukalah matamu, kau telah berhasil melewati segala rintangan dan godaan. Kau sudah mendapatkan Ajian : Dastha Madyantara (Penghancur Semesta)” ucap suara tak bermuasal tersebut, kemudian tak berselang lama suara itu menghilang begitu saja.“Terimakasih” balas pemuda itu kepada suara tak bermuasal tersebut. “Aku akan membuka mataku sekarang” ucap pemuda itu di dalam batinnya, kemudian dia membuka sepasang matanya secara perlahan, lalu mengerjapkan matanya beberapa kali.“Tidak mungkin, bagaimana bisa aku melihat begitu jelas di kegelapan malam?” tanya pemuda itu d
Malam semakin pekat dan bulan semakin terang memancarkan cahayanya. Gemerlap bintang - bintang semakin mempercantik langit malam, sembari malam semakin larut di desa terpencil tersebut. Tidak lama kemudian, meluncurlah sebuah mobil Mercedes yang melintasi jalan desa itu."Mengapa para pria itu mengeroyok perempuan tersebut? Apakah ada masalah yang menimpa perempuan tersebut sehingga mereka sampai melakukan hal tersebut?" ucap pemuda itu di dalam mobil Mercedes, saat ia melihat lima pria menganiaya seorang perempuan. Kemudian, ia memperlambat mobilnya dan berhenti tepat di tengah - tengah pertarungan mereka.“Berhenti! Kenapa kalian para laki - laki mengeroyok seorang perempuan? Jika ada masalah diantara kalian tolong bicarakan dengan baik - baik dan sama - sama cari solusinya, jangan menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan suatu permasalahan!” ucap pemuda itu, dia berbicara dengan lantang dan tegas, membuat mereka semua berhenti sejenak dari tindakan mereka."Hai, anak muda! Jangan
Mas Aryo langsung menyerang pemuda itu dengan segala kemampuan yang dia punya. Matanya menatap tajam terhadap pemuda itu, kemudian membelak, karena bagaimana mungkin anak yang saja beranjak remaja mampu menghindari setiap serangannya yang memiliki intesitas serangan yang cepat dan mematikan.“Kau hebat juga, sebenarnya siapa namamu dan siapa yang mengajarimu ilmu kanuragan dan seni beladiri?” tanya Mas Aryo kepada pemuda itu.“Namaku Askara dan yang mengajariku adalah Kakekku” jawab pemuda itu singkat, kemudian dia menendang Mas Aryo dengan kuat hingga laki - laki itu terpental beberapa meter.DuaaakkkBunyi keras berbunyi ketika punggung laki - laki itu menabrak pohon yang berada di belakangnya.“Mas Aryo, kamu tidak apa - apa Mas?” tanya Soka kepada laki - laki itu dengan nada yang khawatir.“Tidak apa - apa Soka, aku harus benar - benar serius untuk menghadapinya Soka” jawab Mas Aryo, kemudian dia berdiri dan melanjutkan pertempurannya yang sengit dengan Askara.Tinju Mas Aryo berh
“Jadi benar dia memiliki keris legendaris itu?” tanya seorang pria paruh baya kepada laki - laki yang berdiri di belakangnya.“Ya, benar Kakek Guru. Anak muda itu memiliki keris Krastala, saya yakin akan hal itu, karena keris itu berwarna hitam pekat dan terdapat tulisan aksara jawa kuno di bilahnya dan lagi jika keris itu, ketikadi keluarkan dari awangkaranya bilah keris itu mengeluarkan sedikit cahaya kuning keemasan” jawab laki - laki itu dengan lantang.Mata pria paruh baya itu membelak, “Ya, itu memang keris legendaris Krastala, tetapi bagaimana pemuda itu memilikinya Aryo?” tanyanya.“Dia mendapatkan keris legendaris itu dari Kakeknya dan Kakeknya itu bernama Atmajaya Suryapati” jawabnya, membuat pria paruh baya itu sekali lagi membelakkan matanya, karena terkejut.“Atmajaya Suryapati, bukankah itu seorang pendekar yang masyhur sejak zaman kerajaan Demak? Bagaimana mungkin dia masih hidup di zaman ini, kecuali dia memiliki Ajian : Pancasona atau Rawarontek” ucap pria paruh baya
“Dimana Kak Larasati? Aku mau melihatnya terlebih dahulu, bisa saja kamu curangi aku, setelah kau mendapatkan keris ini” balas Askara dengan mata yang menatap lekat kepada Aryo. Aryo mendengus kesal, “Bawa perempuan itu kemari cepat!” perintah laki - laki itu kepada anak buahnya. “Baik, Mas Aryo” ucap salah dari mereka, kemudian dia segera bergegas pergi untuk membawa Larasati kehadapan mereka. Tak berapa lama kemudian, terdengarlah teriakan perempuan yang memecah keheningan, penuh dengan rintihan kesakitan. Suaranya meresap ke dalam jiwa, memberi kesan betapa perempuan itu dipaksa untuk mengikuti laki - laki yang kejam. Rambutnya ditarik dengan kasar, seolah - olah perempuan itu hanyalah hewan ternak yang tak berdaya. “Aww, sakitt! Tolongg, jangan tarik rambutku dengan kasar!” teriak perempuan itu mengaduh kesakitan, disertai dengan tangisan yang tersedu - sedu. “Jangan bawa Kak Larasati seperti itu, bedebah!” teriak Askara dengan nada yang penuh dengan amarah, matanya memerah,
Beberapa minggu telah berlalu sejak terjadinya penculikan Larasati, namun rasa trauma masih menghantui dirinya. Untungnya, adik angkatnya, yaitu Askara, selalu memberikan semangat kepadanya agar tidak terjebak dalam ketakutan dan kekalutan. Sehingga, perempuan tersebut kembali mendapatkan semangat dan bersedia untuk melanjutkan kegiatan kuliahnya dan menjalani aktivitas sehari - hari seperti biasa. Kemudian, guna mencegah terulangnya kejadian serupa, Askara mulai meningkatkan pengawasannya terhadap Larasati dengan memberikan perintah kepada hewan mistisnya, yaitu Pragalba yang merupakan harimau putih, untuk menjaga Larasati setiap saat. …… ….. ….. "Bagaimana keseharian Kakak hari ini? Apakah merasa seru, bahagia, biasa saja, atau mengalami hari yang buruk?" tanya Askara kepada Kakaknya. Mereka baru saja pulang dari pusat perbelanjaan untuk membeli barang - barang dan kebutuhan makanan sehari - hari mereka. “Seru kok Askara, tadi aku belajar dance sama teman - teman untuk pentas di
Sorot mata Askara terpaku dengan sinisme dan ketajaman yang menusuk, memancarkan aura kepuasan yang sulit disembunyikan. Senyuman mencolok terukir dengan apik di bibir pemuda itu, memberikan kesan bahwa dia menikmati melihat musuhnya terbakar amarah karena tingkah lakunya. Dalam pandangan sinisnya yang tajam, mata Askara menembus ke dalam jiwa musuhnya, mencerminkan kepuasan tak terduga yang tersirat di dalamnya. Serentak, senyumnya yang menggoda memperkuat kesan bahwa ia benar - benar menikmati momen ketegangan dan kesal yang melanda musuhnya akibat ulahnya sendiri. Mata yang tajam dan sinis itu seperti memancarkan pesona tersendiri, mengejek dan menantang musuhnya dengan sikap yang begitu jelas. Setiap gerak wajahnya, dari sorot mata tajam hingga senyuman yang menantang, memberi kesan bahwa dia menikmati setiap detik dari situasi yang telah dia ciptakan. “Menghancurkan empat senjata pusaka yang berada di langit malam” ucap Askara, lalu ia mulai melafalkan mantra dengan cepat. Tib
Awan hitam melingkupi langit dengan kuasa yang mencekam, menciptakan suasana yang gelap dan misterius. Gemuruh guntur menggelegar di langit, saling bersahutan dengan kekuatan yang menggetarkan bumi. Di tengah keheningan menakutkan, tiga senjata pusaka yang dimiliki oleh perguruan Ratri bergetar dengan intensitas yang meningkat, seakan - akan merasakan beban berat yang mereka tanggung. Mereka bergetar karena menahan serangan penghancur yang tak terkira kuatnya dari keris Krastala, senjata yang telah menjadi legenda dan paling terkenal di antara semua senjata pusaka yang pernah ada. Ketika serangan penghancur itu mendekat, aura kekuatan yang menakutkan memancar dari keris Krastala. Gelombang energi yang menggetarkan ruang dan waktu terlepas dari bilahnya yang perkasa. Cahaya kebiruan yang melingkupi senjata itu memancarkan kekuatan yang tak tergoyahkan, seakan-akan menjadi penanda akan kehancuran yang akan datang. Namun, di hadapan serangan dahsyat ini, tiga senjata pusaka milik pergu
Dalam keheningan yang tegang, Jaya Danu melantunkan mantra dengan suara yang penuh kekuatan, menggugah energi magis yang tersembunyi di dalam dirinya. Dari pergelangan tangannya, sebuah cahaya berkilauan mulai memancar, tumbuh semakin besar hingga menyinari seluruh ruang lingkupnya. Cahaya itu kemudian meredup dengan perlahan, mengekspos sebuah senjata pusaka yang luar biasa sebuah tombak yang memancarkan cahaya kuning kemerahan yang begitu menggoda mata. Tombak itu menyimpan kekuatan yang tak tergoyahkan, bergetar dalam aura keperkasaannya yang menghebohkan. Kilauan cemerlang yang memancar dari senjata pusaka itu menembus kegelapan, mencerminkan keberanian dan kekuatan yang melebihi batas. Mata Jaya Danu menajam, melintasi sekelilingnya yang dipenuhi oleh puluhan pendekar berilmu tinggi, yang secara berhati - hati mengelilingi mereka. Dalam tatapan tajamnya, terpancar keberanian yang tersembunyi dan tekad yang tak tergoyahkan. Cahaya tombaknya melintas di sekitar tempatnya berpijak
Askara menghentikan mobil mewah buatan Eropa tepat di depan pintu rumah Lisa. Gadis jelita itu dengan anggun turun dari kendaraan, memancarkan pesona yang memukau. Mata lentiknya memandang wajah tampan Askara dengan tatapan hangat, seakan menyirami hati pemuda itu dengan kasih sayang yang tulus. Sorotan mata Lisa, yang mengalir dengan kelembutan dan keceriaan, mencerminkan kehangatan yang mengalir dalam setiap sudut hatinya. Tatapannya seperti sinar matahari yang menerangi ruangan, menghadirkan kilauan kebahagiaan di wajah Askara. Dalam pandangan mereka, terpancar keakraban dan kedekatan yang dalam, seolah mengikat dua jiwa yang telah saling memahami. Saat mereka bertatap muka, suasana terisi dengan sentuhan kehangatan. Lisa memancarkan aura yang mempesona, dengan setiap gerakan anggunnya yang menarik perhatian. Mata mereka terhubung dalam satu ikatan yang tak terucapkan, mengalirkan energi positif yang memancar dari hati mereka. “Jadi, apa kalian tidak mau mampir Askara dan Ayu, l
Dengan tatapan tajam yang menusuk kegelapan malam, laki - laki itu mengangkat tangan dan secara magis menggepakkan sepasang sayap anginnya. Seperti kilatan cahaya yang meluncur di antara bintang-bintang, ia melintasi langit malam yang terhampar dengan keindahan tak terkira. Setiap gerakan sayapnya menghasilkan suara angin yang berirama, seakan menyapa ribuan bintang yang bersinar dengan gemerlap di langit. Ia meluncur dengan kecepatan yang tak terbayangkan, menyusuri lapisan atmosfer yang melayang di antara cahaya bintang-bintang yang memancar. Tanah pun seolah berguncang dengan kekuatan energi yang dikeluarkan oleh sayap anginnya. Dalam sekejap, laki - laki itu mendarat dengan kelembutan yang sempurna di sebuah tempat yang menakjubkan. Di hadapannya, terdapat sebuah bangunan megah yang menjulang tinggi di tengah malam yang sunyi. Bangunan tersebut menawarkan kombinasi sempurna antara kemegahan dan keaslian tradisional. Dinding-dindingnya yang kokoh menggambarkan kejayaan masa lalu
Pemuda itu menatap dengan tajam ke arah bilah keris pusakanya, lalu dengan sangat lembut ia mengelusnya sambil membaca mantra dengan cepat. Bilah keris itu berpendar dengan intensitas merah menyala, dan dari sana mengalir keluar asap tipis yang mengambang di sekelilingnya. "Askara, kau akan mati di tempat ini!" ucap Arya dengan tegas, lalu dengan penuh ketegasan ia mengarahkan Naga tersebut untuk menyerang Askara. Dengan kecepatan yang luar biasa, Naga angin meluncur menuju pemuda itu. Moncongnya terbuka lebar, memperlihatkan putaran angin yang berputar dengan cepat di dalamnya. Jika ada makhluk hidup yang terjebak di dalamnya, tubuhnya akan terbelah menjadi beberapa bagian dengan kejam. “Kangsanaga Waskita: Genggahan Pambelah Wadra (Senjata pusaka: Tebasan yang membelah udara)” ucap Askara dengan penuh kekuatan, saat ia mengayunkan dengan lincah keris Krastala ke arah Naga angin tersebut, menciptakan tebasan yang membelah udara. Dalam langit senja yang mempesona, dua ajian yang
Dengan lincah, Arya melantunkan mantra dengan kecepatan tinggi, memperhatikan Askara yang dengan santainya mendekat ke arahnya, memegang teguh keris kramat bernama Krasrala. “Ajian : Paritang Kshatriya Bayu Salamet (Sayatan pedang sang panglima angin)” ucapnya, dan seketika ratusan pedang muncul terbentuk dari hembusan angin yang kuat. Berkelebatan ratusan pedang meluncur dengan kecepatan memukau menghampiri Askara, sementara tangan laki - laki itu menunjuk tegas ke arah pemuda yang berjalan dengan sikap angkuh di hadapannya. Syuttt “Sepertinya laki - laki itu kuat juga, Tuanku Askara” ucap Naga emas di dalam batin pemuda itu. "Benar, dia memang memiliki kekuatan yang luar biasa," jawab Askara sambil dengan gesit menebas dan menghindari serangan - serangan pedang angin yang berhamburan dari segala penjuru mata angin. Dengan keahlian dan sikap angkuh yang menghiasi dirinya, Askara menyerang dengan lincah, menghindari setiap serangan dari ratusan pedang angin yang meluncur dengan
"Dia memiliki kekuatan untuk menghancurkan seluruh pasukan hewan kegelapanku!" seru Arya Widipangga, dia terkejut luar biasa. Betapa menakjubkannya, dengan hanya satu kali Askara melontarkan ajiannya, semua pasukan hewan itu lenyap dalam sekejap. "Benar - benar sebuah monster yang menakutkan, sangatlah mengerikan jika aku harus menghadapinya tanpa merencanakan dengan matang," lanjutnya, seraya ia mengetukkan tombaknya beberapa kali ke tanah. Suara yang dihasilkan oleh tombak itu menciptakan keheningan yang terpecah di tengah sore yang sunyi itu. "Jadi, dia memiliki kemampuan mata yang luar biasa, mampu meramalkan masa depan saat lawannya melancarkan serangan dengan gerakan yang sangat cepat. Selain itu, dia mampu menembus batas penghalang yang dibuat oleh manusia dan bahkan alam sendiri. Tidak hanya itu, dia juga memiliki pengetahuan ajian kuno. Saya curiga bahwa ajian kuno tersebut dia pelajari dari Kitab Danuraja, dan yang terakhir, dia juga memiliki senjata legendaris, Keris Kras
“Ajian : Awabaya Madhuseng Satru (Kabut hitam yang merupakan musuh)” ucapnya dengan penuh kesungguhan. Tanpa ragu, muncullah kabut hitam pekat yang menjalar dan menyelimuti seluruh tembok dengan anggunnya. "Jadi, berikanlah jawaban yang kuinginkan, Askara," gumam Arya dengan tekad bulat. Tanpa ampun, muncul puluhan lingkaran cahaya yang meluncur cepat memasuki labirin tersebut. ….. ….. …… Dengan penuh konsentrasi, pemuda itu menembus pandangannya melalui kabut hitam yang mengelilingi labirin tersebut. Seperti seorang perenang yang berani menyelam ke dalam samudra malam yang gelap, dia menghadapi tantangan yang ada di hadapannya dengan tekad yang tidak tergoyahkan. Di dalam labirin yang dipenuhi dengan kesunyian yang menakutkan, langkah - langkahnya terdengar seperti desiran rahasia yang hanya diikuti oleh dinding - dinding tinggi yang penuh misteri. Kabut hitam itu menyelimuti segala sudut dan celah, seakan ingin menyelimuti keberanian dan tekadnya. Namun, pemuda itu tak membiarka