Cio San tidak tega untuk memukul mata ular itu dan membutakannya. Dia telah memutuskan untuk membiarkan ular itu hidup-hidup. Entah kenapa, ada perasaan ‘kasihan’ yang timbul di hatinya melihat ular itu.Melihat Cio San yang diam saja tidak melakukan gerakan apapun, ular itu pun diam saja. Namun kepalanya tetap dalam posisi menyerang. Lidahnya kadang terjulur keluar dari mulutnya. Cio San tahu ular ini bukan ular berbisa, karena sejak dulu ia telah diajarkan bagaimana cara membedakan ular yang beracun dengan yang tidak.Tapi ia menjadi sedikit ragu, karena ia belum pernah membaca tentang ular jenis ini. Segala ciri-ciri ular ini menunjukkan bahwa ia tidak berbisa. Tetapi ekornya yang berderik membuatnya menjadi berbeda, karena tidak ada ular berderik yang tidak berbisa. Bahkan bisanya pun ganas sekali.Cio San berpikir keras, mencoba mencari jalan untuk menaklukan ular itu. Akhirnya dia memutuskan untuk ‘bertaruh’ saja. “Jika nanti aku mati karena ular ini, ya sudahlah. Bisanya pasti
Berjam-jam Cio San mengalirkan tenaganya. Berangsur-angsur ular itu pulih. Memang tubuh ular berbeda dengan tubuh manusia. Apalagi ini tergolong ular sakti yang langka, sehingga serangan dahsyat tadi tidak sampai membuatnya mati.Perlahan-lahan kesadaran ular itu pulih. Dia merasakan sakit sekali pada mulut dan rahangnya. Kekuatannya seperti terserap habis, tubuhnya lunglai. Tetapi dia juga merasakan kehangatan yang nyaman di dalam mulutnya. Lama kelamaan rasa nyaman itu berhasil mendorong pergi rasa sakitnya.Cio San tahu bahwa ular itu sudah mulai pulih. Ia lalu memberhentikan penyaluran tenaganya, dan keluar dari mulut ular. Lalu mengelus-elus kepala ular. Sang ular sepertinya paham bahwa musuhnya baru saja menolongnya. Ia pun diam saja dan tidak berusaha melakukan apa-apa.Cio San pun mengelus-elus ular itu dengan lembut.*** Beberapa hari kemudian, ular itu sudah pulih tenaganya. Serangan Cio San yang dahsyat di dalam mulut ular itu tidak sampai menyebabkan kematian. Tetapi jela
Tak lama, pertanyaannya terjawab. Sedikit demi sedikit, terlihat retakan di kulit si ular. Lalu retakan itu menjadi banyak. Ternyata ular itu sedang berganti kulit.“Oh.., ternyata kau sedang berganti kulit, Kim-ko? Bikin kaget saja. Hahaha….” Cio San menjadi lega. Memang ular itu sedang mengganti kulit.Tetapi ada yang aneh. Jika ular berganti kulit, biasanya kulit barunya sudah ada di dalam kulit yang lama. Akan tetapi ular ini…….Tidak ada sedikitpun kulit baru di tubuhnya!Ketika seluruh kulitnya tanggal, yang terlihat hanyalah dagingnya yang berwarna putih bersih.“Hey.., kenapa begini, Kim-ko??? Apakah kau sakit hingga pergantian kulitmu tidak sempurna?” tanya Cio San. Seperti mengerti, ular itu malah menggeleng-geleng.“Tidak sakit?? Berarti memang begitukah cara pergantian kulitmu?” tanya Cio San lagi. Kali ini ular itu mengangguk-angguk.Hawa tubuh ular itu panas sekali. Bahkan sanggup memanaskan air tempat ia berbaring dan berendam. Malah sampai bisa menguapkan air itu.“Heb
Pagi-pagi benar, Cio San sudah bangun. Sang ular masih tertidur pulas. Karena khawatir terjadi sesuatu, Cio San meraba tubuh ular itu. Ia bersyukur bahwa keadaan ular itu sehat-sehat saja. Mungkin cuma agak lemah karena kejadian pergantian kulit itu.Cio San lalu membereskan kulit-kulit sang ular yang terkelupas. Ia mengumpulkan kulit-kulit yang berserakan itu dan meletakkannya di tempat yang kering. Kulit-kulit itu sangatlah berat. Jangankan hanyut terbawa air sungai, bahkan Cio San pun harus menggunakan tenaga dalamnya untuk bisa mengangkat kulit-kulit itu.Tak berapa lama saat Cio San bekerja, ular itu pun terlihat bangun. Ia seperti mengerti akan apa yang dilakukan Cio San. Karena tubuhnya yang masih lemah, ular itu hanya memperhatikan saja. Lalu sang ular dengan mengunakan mulutnya menggali daerah berpasir yang ada di dekatnya. Setelah ada lubang, dengan kepalanya, si ular mendorong Cio San mendekati lubang itu.“Eh, kenapa, Kim-ko? Kau ingin agar aku menguburkan kulit-kulit ini?
Tionggoan Ngo Koay yang malang melintang di dunia hitam, kini malah dihajar seorang anak ingusan dengan menggunakan jurus mereka sendiri.Dari lima jurus yang Cio San perhatikan, ia malah bisa mengembangkannya menjadi jurus-jurus lain. Bahkan ada yang digabungkannya dengan jurus-jurus Bu Tong-pay.Keempat orang yang mengeroyok Cio San itu semakin terbelalak matanya. “Bagaimana mungkin..??!”, seru mereka.Akhirnya karena putus asa, mereka sepakat untuk menggunakan jurus pamungkas mereka, ‘Memindahkan Gunung Bersama-sama’. Jurus ini sangat dahsyat jika dilakukan oleh mereka berlima. Walaupun kini berempat, karena salah satu anggotanya dilukai Cio San, ilmu itu tetap dahsyat juga.Cio San dengan ilmu-ilmu ciptaannya di dalam goa, menerima serangan gabungan itu dengan percaya diri. Ia menghadapinya seperti menghadapi serangan air bah ketika di dalam goa. Ketika serangan itu tiba, tubuhnya berputar. Ketika putaran itu kembali ke posisi semula, tangannya telah menyambut kedelapan telapak it
Cio San hanya bisa meneteskan air mata menghadapi kenyataan ini. Ia telah kehilangan sahabat baik untuk kali kedua. Dibunuh karena ketamakan manusia. Mendengar suara daging diiris-iris, serta tawa keenam orang itu, hati Cio San semakin sedih.Bahkan mereka memasak dagingnya pun di situ. Sambil makan mereka mengobrol.“Ah.., memang nikmat daging ini. Walaupun tipis, rasanya mungkin yang paling enak di dunia. Apalagi darahnya sudah dicampur dengan arak....Hmmm, lezaaaaatttt....”“Iya, memang tak percuma jerih payah kita melacak jejak ular ini bertahun-tahun. Sulit sekali menangkapnya.”“Eh, Yap-heng. Coba ceritakan apa saja khasiat ular ini...”Orang yang dipanggil Yap-ko itu lalu berkata, “Khasiatnya banyak sekali. Dagingnya menambah kekuatan tubuh bagian luar (gwakang). Bagi orang seperti kita, gwakang ini berguna untuk meniduri perempuan.”Terdengar suara tawa bergema.Ia melanjutkan lagi, “Darahnya jika dicampur arak khusus yang kubawa ini, bisa untuk menyembuhkan segala penyakit. B
Cio San memutuskan untuk melihat isi bungkusan itu. Siapa tahu ada jati diri pelakunya di dalam. Segera Cio San membuka bungkusan itu dengan tangan kirinya, karena jari tangan kanannya telah tertempel padalapisan kulit itu.Ternyata bungkusan itu berisi sebuah surat dan satu stel pakaian. Cio San membuka surat itu, dan membacanya.Jika kau ingin menggunakan lapisan kulit itu sebagai topeng, gunakan tenaga api untuk membentuknya sesuai keinginan. Jika terkena daging makhluk hidup, maka lapisan itu akan menempel dengan kuat. Namun sifat lengketnya akan hilang jika kau menggunakan panas.Aku kirimkan juga sebuah pakaian yang pantas kau pakai. Selamat datang di dunia Kang Ouw.Salam.Hanya itu saja isi surat tersebut. Cio San yakin, pasti ada seorang sakti yang ingin menolongnya. Ia memutuskan untuk percaya saja kepada surat itu. Siapapun yang ingin menolongnya, pasti mempunyai maksud yang baik terhadapnya.Cio San akhirnya membuat api dengan menggunakan batu-batuan dan ranting kayu yang
Cio San berjalan ke arah barat. Dari posisi bintang tadi malam, ia tahu sedang berada di timur. Entah bagaimana ia bisa sampai ke dalam terowongan itu tiga tahun yang lalu. Mungkin ia terjatuh di dalam pusaran air, yang membawanya jauh sampai ke dalam terowongan itu. Entahlah. Hanya Thian yang tahu.Dunia berputar, dan manusia terjebak dalam gelombangnya. Siapa yang mengikuti arus, pastilah sampai tujuan. Siapa melawan arus, pasti akan tenggelam oleh jaman. Kehidupan ini alurnya siapapun tiada yang tahu. Semua kejadian berhubungan dengan masa lalu dan masa depan.Nasib Cio San ini, jelas dia sendiri tidak menyangka. Dari sebuah keluarga yang bahagia yang tinggal di kaki gunung Go Bi-san, lalu menjadi sebatang kara, diangkat menjadi murid Bu Tong-pay. Lantas malah menjadi buronan Bu Tong-pay karena dianggap membantu pembunuhan gurunya, sehingga terdampar dan hidup di dalam perut bumi. Bertahan menghadapi keadaan hidup yang berat. Lalu berkelahi dengan ular, bahkan kemudian ular itu men
PENUTUPCio San telah selesai menjura 3 kali di hadapan makam kedua orangtuanya. Ia lalu membersihkan makam itu. Sekuat mungkin ia menahan air matanya. Tak terasa, segala kejadian yang berlalu di dalam hidupnya ini terkenang kembali. Segala penderitaan, ketakutan, kesepian, dan kepedihan hatinya seakan tertumpahkan di hadapan makam kedua orangtuanya ini. Sejak sekian lama, baru kali ini ia berkunjung kesini.Sore telah datang. Warna lembayung langit mulai menghiasi angkasa.Ketika ia selesai membersihkan makam dan membalikkan tubuhnya, betapa kagetnya ia ketika di hadapannya sudah bediri seorang kakek dan seorang nenek. Sang kakek walaupun sudah tua sekali, namun ketampanannya masih terlihat sangat jelas. Tubuhnya pun masih tegap. Begitu pula dengan sang nenek, terlihat masih sangat cantik.Cio San tidak mengenal mereka. Tapi ia tahu mereka berdua tentu suami-istri. Dan ia paham pula, di dunia ini orang yang bisa menyelinap sedekat ini tanpa suara di belakangnya, kemungkinan belum per
Cio San mengangguk membenarkan.“Gila!”“Mengapa Beng Liong ingin menghapus dirinya dari kecurigaan? Bukankah tanpa melakukan itu pun, tak ada orang yang akan curiga kepadanya?” tanya Ang Lin Hua.“Ia orang yang terlalu berhati-hati. Ia ingin semua sesempurna mungkin. Selain itu, dia memang ingin menghancurkan musuh-musuhnya,” jelas Cio San.“Karena ingin sempurna, malah terbongkar seluruhnya,” tukas Kao Ceng Lun.“Lanjutkan, Cio San.”“Nah, setelah aku bisa menemukan kunci rahasia itu, awalnya aku mengira Beng Liong hanyalah anak buah biasa. Mungkin ia terlibat karena terpaksa. Aku berpikir keras apa latar belakang semua ini? Pergerakan mereka terlalu rapi, sangat terencana, dan sukar ditebak. Jika hanya sekedar memperebutkan kitab sakti, aku merasa hal ini terlalu berlebihan. Lalu aku mengambil kesimpulan, mungkin semua ini berhubungan dengan perebutan Bu Lim Bengcu di puncak Thay San.”Ia melanjutkan,“Tapi kemudian aku ragu. Jika hanya memperebutkan Bu Lim Bengcu, mengapa orang-ora
Entah sudah berapa lama kejadian itu lewat.Kejadian penuh darah di kotaraja.Tapi juga merupakan kejadian dimana keberanian, kesetiakawanan, dan kekuatan ditunjukkan.Mereka kini sedang duduk dengan tenang di atas menara. Menara tempat di mana Cio San berdiri sepanjang hari menatap pertempuran dahsyat itu. Saat itu, di puncak menara, ia telah mengambil keputusan. Tak ada lagi darah yang tertumpahkan oleh tangannya.Saat semua ini berakhir, ia ingin menghilang sejenak. Entah kemana. Entah berbuat apa. Sejenak menikmati kedamaian dunia.Di menara ini, adalah perjamuan sebelum perpisahan itu.Arak sudah mengalir, berbagai makanan pun sudah terhidang. Ada pula tulusnya persahabatan. Jika kau kebetulan mengalami keadaan seperti ini, kau harus terus bersyukur sepanjang masa.Cio San, Cukat Tong, Suma Sun, Luk Ping Hoo, dan Kao Ceng Lun.“Sebaiknya kau harus menceritakan semua ini dari awal,” kata Cukat Tong.Cio San menatap langit.“Awalnya sendiri aku tidak tahu. Cuma mungkin bisa kucerit
Ang Lin Hua pun balas tersenyum.Senyum ini.Cio San baru sadar, betapa indahnya wajah Ang Lin Hua saat tersenyum.Ia juga baru sadar, ternyata ia merindukan senyuman ini.“Nona beristirahatlah.”“Baik, Kauwcu. Kauwcu sendiri mohon segera beristirahat.”“Segera,” jawab Cio San. Ia lalu kembali mengobati para korban.Tak terasa, matahari telah kembali menyapa dunia dengan cahayanya yang perlahan tapi pasti.Cio San akhirnya lega. Semua orang telah ditangani dengan baik. Tabib-tabib istana dan tabib-tabib yang ada di kotaraja semua bekerja keras mengobati para pemberani-pemberani ini.Sekali lagi, orang Han mampu mempertahankan tanah airnya dari penjajah Goan. Kegembiraan ini syahdu, karena diliputi oleh semangat kebangsaan yang tinggi, kebanggaan, dan juga kesedihan atas gugurnya para pahlawan. Semua perasaan ini melebur menjadi satu.Cio San keluar ruangan itu.Walaupun di luar udara masih berbau tak sedap karena bercampur amis mayat dan bakaran, tetap saja terasa lebih segar dibandin
Cio San dan kawan-kawannya bergerak keluar tembok istana. Peperangan dahsyat sedang berlangsung. Walaupun berjalan dengan payah, Cio San masih memaksa untuk ikut bertarung. Melihat ia akan bergerak, Cukat Tong segera menahannya.“Kau duduk saja di sini,” kata Cukat Tong.“Benar. Dengan keadaanmu yang sekarang, kau tak akan mampu berbuat apa-apa,” tukas Suma Sun membenarkan.Berpikir sejenak, Cio San lalu berkata, “Baiklah. Tolong bawa aku ke puncak tembok benteng.”Sekali bergerak, mereka bertiga sudah tiba di atas puncaknya yang tinggi itu.Di atas tembok besar yang mengelilingi istana kaisar itu terdapat pasukan pemanah yang sibuk menghalau serangan.“Ah, selamat datang para Tayhiap,” kata seseorang.Cio San tidak mengenal siapa dia, tapi Cukat Tong segera menjawab, “Terima kasih, Goanswe (Jenderal). Hamba ingin menitipkan Cio-tayhiap di sini. Apa boleh?”“Tentu saja, Tayhiap.”Dengan sigap, ia mengeluarkan perintah. Dua orang bawahannya sudah datang memapah Cio San, dan seorang lag
Apa yang dituliskan di buku menjadi lebih efektif, karena semua yang tidak diperlukan, tidak perlu dituliskan. Karena itu serangan-serangan Beng Liong terlihat lebih dahsyat dan mengagumkan.Sebaliknya, di dalam pemahaman yang dimiliki Cio San, segala hal menjadi bisa, dan segala hal bisa saja menjadi tidak bisa. Ada proses memilih bisa atau tidak bisa, yang membuat gerakannya menjadi sedikit berkurang kedahsyatannya jika dibanding dengan gerakan Beng Liong.Dari tangan kanannya, Beng Liong mengeluarkan jurus-jurus terakhir 18 Tapak Naga. Dari tangan kirinya, ia mengeluarkan ilmu Inti Es yang membuat siapapun yang terkena pukulan itu menjadi es batu. Langkah kakinya lincah seperti langkah-langkah perawan Go Bi-pay yang gemulai namun tak tertangkap mata.Seolah-olah, segala ilmu di dunia ini telah dipelajarinya dengan sangat baik.Seolah-olah, sejak lahir ia memang telah memahami seluruh ilmu itu satu persatu.Ia menggunakannya dengan luwes dan tanpa kecanggungan.Cio San pun menanding
Pedang masih di tangan Bwee Hua. Padahal saat mereka masuk tadi, tak seorang pun yang diperbolehkan membawa senjata.Pedang itu terhunus ke depan.Tapi gadis itu tidak bergerak.Begitu pula ibunya yang berdiri membelakanginya. Di hadapan sang ibu, berdiri seorang laki-laki gagah dengan rambut riap-riap. Tangan laki-laki itu buntung sebelah.“Kau akan melawanku dengan keadaan seperti itu?” tanya perempuan tua itu.“Aku telah menanti sejak puluhan tahun yang lalu,” jawab laki-laki itu.“Bagus. Keturunan Suma memang tidak memalukan.”Lalu perempuan tua itu bergerak.Kecepatan yang tak mungkin diikuti dengan mata manusia biasa.Tapi pemuda bermarga Suma itu bukan manusia biasa. Orang mengenalnya sebagai ‘Dewa Pedang Berambut Merah’, Ang Hoat Kiam Sian.Dan ‘dewa’ adalah ‘dewa’.Ia hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan sudah cukup.Jika kau adalah ‘Dewa Pedang’ maka kau hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan yang tidak mungkin seorang pun mau percaya jika diceritakan.Tidak ad
Apa yang terjadi di puncak Thay San telah tersiar ke seluruh dunia. Beng Liong, pemuda belia dari Bu Tong-pay keluar sebagai pemenangnya. Semua orang mengakui, walaupun masih sangat muda, ia sangat pantas memikul tanggung jawab sebagai Ketua Dunia Persilatan.Selama ini, Bu Lim Bengcu selalu dijabat oleh kalangan sepuh. Baru 2 kali, jabatan ini dipegang oleh anak muda. Pertama kali sekitar 50an tahun yang lalu. Hebatnya lagi, kedua-duanya adalah pemuda Bu Tong-pay.Harapan besar kini berada di pundak Beng Liong. Ia diharapkan mampu menuntaskan tugas-tugas berat yang cukup rumit. Salah satunya adalah tugas melawan gangguan dan serangan tentara Mongol di ujung perbatasan. Belum lagi urusan pembunuhan-pembunuhan yang harus ia selesaikan setuntas-tuntasnya. Orang-orang butuh kejelasan, apakah memang Cio San berada di balik semua ini.Hari ini, tepat 30 hari sejak pertandingan di puncak Thay San. Kotaraja ramai dan penuh sesak manusia. Hari ini adalah hari pelantikan Bu Lim Bengcu. Hampir
Segala kemegahan dan keramaian itu pun berangsur-angsur memudar. Bu Lim Beng Cu telah terpilih, banyak orang menunjukan wajah puas. Sebagian lagi belum bisa melupakan kejadian dahsyat saat Cio San menghadapi ribuan orang di atas gunung itu.Masing-masing kemudian kembali pulang. Ada yang bersedih karena kehilangan saudara dan teman di gunung ini. Ada yang bahagia karena hasilnya memuaskan. Ada pula yang semakin bersemangat untuk memperdalam ilmu silatnya. Satu hal yang pasti, tidak ada satu pun yang bisa melupakan kejadian dahsyat di gunung itu.Beng Liong tentu saja tidak lupa. Walaupun hatinya gembira telah menyelesaikan tugas ini, tentu saja ia bersedih pula atas semua kejadian yang telah berlangsung. Segera setelah pertandingan selesai dan ia memulihkan tenaganya, ia bersama rombongan Bu Tong-pay segera mencari jalan menuju ke dasar jurang. Di tengah jalan pun mereka bertemu dengan dengan rombongan Siau Lim-pay dan Go Bi-pay yang rupanya memiliki maksud dan tujuan yang sama: menge