Ruang makan kediaman Dominica Maximo siang itu terasa sangat ramai dan penuh gelak tawa. Makanan dan minuman buatan koki rumah yang pernah meraih juara pertama lomba memasak internasional itu tumpah ruah demi memuaskan perjamuan siang itu.
Celeste bergelayut manja di lengan kokoh Juan. Kesadarannya perlahan mulai menghilang akibat minuman beralkohol yang sudah cukup banyak ditenggaknya. Celeste memang sangat menyukai minuman keras. Apalagi jika ia sedang banyak pikiran ataupun gugup seperti ini.
"Sayang, mari aku antar kau beristirahat di kamarku. Kau mulai mabuk," ucap Juan penuh perhatian.
"Tidak, sayang. Aku masih ingin disini, mengapa kau cepat-cepat menyuruhku beristirahat padahal acaranya baru saja dimulai," tolak Celeste yang tidak merasa dirinya mabuk.
"Sayang, t
Juan tertegun menatap Celeste, tak menduga wanita pujaannya akan berkata seperti itu."Ap-apa maksudmu, sayang? Apa kau ingin aku menemanimu?" tanya Juan pura-pura tak mengerti."Juan, kau pasti tahu apa yang ku maksud," balas Celeste dengan mata redup."Sayang," ucap Juan lembut seraya menepuk punggung tangan Celeste. "Kita tidak mungkin melakukan hal itu disini.""Mengapa? Bukankah tidak ada orang lain disini? Hanya kita berdua, Juan," desak Celeste yang mulai menarik Juan kearahnya."Benar. Tapi kau juga tahu bukan, kalau di bawah acara perjamuan masih berlangsung. Mereka pasti menyadari kalau aku lama tak kembali," jelas Juan.Ia berusaha memberi pengertian pada kekasihnya itu
Ketiganya duduk berhadapan, raut wajah Dominica dan Angelo terlihat serius sementara Juan yang tidak tahu apa-apa melihat keduanya dengan tatapan tak mengerti."Juan, kau sudah tahu bukan mengapa papa memanggilmu kembali?" tanya Dominica membuka percakapan."Ya, papa," jawab Juan singkat."Angelo baru saja mendapat kabar, kalau pamanmu dan putranya sudah mengetahui kedatanganmu kemari," ucap Dominica."Lalu?" tanya Juan tak mengerti."Kemungkinan dalam waktu dekat, pamanmu akan kemari untuk bertemu denganmu. Dan… aku yakin, mereka akan mengkonfrontasimu," jelas Dominica khawatir.Juan menarik nafas panjang, ia mulai mengerti arah pembicaraan ini. Dirinya saat ini adalah tar
Dominica tersentak oleh sinisnya ucapan Juan. Ya, selamanya dimata Juan ia adalah penyebab meninggalnya Gianna, istrinya. Walau bagaimanapun ia menjelaskan bahwa bukan dirinya yang menyebabkan Gianna tewas, Juan sama sekali tidak mempercayai dirinya.Rasa sakit menyeruak, menusuk bagai ribuan jarum. Dominica memegang dadanya, menahan agar sang putra tidak melihat kesakitan timbul akibat perkataannya."Nak, papa tidak akan membela diri lagi. Kau sekarang sudah dewasa, kau dapat membedakan mana yang benar mana yang tidak. Papa pasrahkan keputusan itu padamu," ucap Dominica dengan hati yang perih.Ia lalu bangkit dengan wajah murung meninggalkan Juan sendirian di ruangan itu. Juan diam-diam menatap punggung sang ayah, timbul sedikit rasa bersalah dalam dirinya karena telah mengatakan hal yang menyakitkan sang aya
Setelah sarapan Juan mengajaknya berkeliling kota Palermo, tentu saja tidak hanya berdua. Ada banyak pengawal yang ikut serta. Dan keduanya tidak bisa mengeluh, sebab nyawa Juan adalah prioritas nomor satu.Apalagi di situasi yang cukup panas seperti ini. Bisa saja ada seseorang yang mengendap-endap untuk membunuh Juan dan hal itu sangat tidak diinginkan oleh Klan Maximo.Juan memeluk pinggang Celeste yang bersandar di dadanya sambil duduk di kursi belakang mobil menikmati perjalanan menuju pusat kota."Kau akan membawaku kemana, Juan?" tanya Celeste manja."Aku ingin membawamu ke suatu tempat, sayang. Kau pasti akan menyukainya," jawab Juan berahasia."Kau membuatku sangat penasaran," balas Celeste tertarik.
Juan terjatuh dengan wajah pucat, sementara para pengawalnya bergegas berlari melindungi dirinya dan juga Celeste."Cepat! Bawa tuan Juan dan nona Celeste ke tempat aman! Disini biarkan kami berdua yang menanganinya!" seru Sanzio, pemimpin mereka.Mematuhi perintah, keempat pengawal yang tersisa segera membawa Juan dan Celeste berlindung masuk kedalam bagian dalam boutique yang diperuntukkan bagi pelanggan VIP boutique tersebut.Juan dan Celeste yang merasa lemas oleh peristiwa tak terduga itu segera duduk di sofa yang disediakan, sementara keempat pengawalnya berdiri didepan pintu. Berjaga dengan sikap sangat waspada.
Celeste menyentuh tangan Juan mencoba menyadarkan pria itu yang duduk mematung dengan tatapan kosong."Sayang?" panggil Celeste sekali lagi sambil menggoyangkan tangannya. Dan mata Juan mengerjap, ia tersadar, menatap bingung Celeste dan juga sekelilingnya."Hah? Apa yang kau katamu tadi, sayang?" tanya Juan bagai orang linglung."Sanzio bertanya padamu, apakah kegiatan hari ini akan tetap dilanjutkan atau kita kembali?" tanya Celeste dengan tatapan khawatir."Oh, terserahmu, sayang. Kau sendiri ingin melanjutkan acara shoppingmu atau bagaimana?" Juan melemparkan pertanyaan pada kekasihnya.Celeste menggeleng lesu, "aku tidak ada nafsu lagi
Dominica tengah bermain catur dengan Angelo di ruang kerjanya saat Sanzio datang menghampiri mereka."Maaf mengganggu anda, tuan Dominico dan tuan Angelo," sapa Sanzio hormat."Oh, Sanzio!" seru Dominica riang. "Bukankah kau mengawal Juan dan kekasihnya berbelanja?" tanya Dominica bingung."Kami baru saja kembali, tuan," jawab Sanzio pendek."Secepat ini? Apakah di Palermo tidak ada tempat yang menarik?" gurau Dominica.Angelo tersenyum geli mendengar gurauan dari bos besarnya. Ia menatap Dominica takjub, bosnya itu memang sangat suka bergurau dengan para anak buahnya. Sangat berbeda dengan image yang beredar diluaran."Inilah yang ingin aku laporkan pada anda, tuan," ucap Sanzio
Dominica berdiri didepan pintu kamar Juan dengan raut wajah ragu. Ia bimbang, apakah harus menemui putranya atau tidak."Bagaimana jika dia sedang istirahat dan tak ingin diganggu?" gumam Dominica, "tapi, aku sangat mengkhawatirkan kondisinya."Beberapa kali Dominica mengulurkan tangannya hendak mengetuk pintu, namun setiap kali tangannya hampir menempel di pintu ia menariknya.Jika bukan karena sikap putranya yang sedikit tidak menyukai dirinya, mungkin saat ini Dominica sudah berlari heboh untuk melihat kondisi putranya.Rasa bersalah tiba-tiba menyeruak dalam dadanya, sedemikian rupa sehingga membuat dadanya sesak. "Jika saja kau mengetahui kebenarannya, nak," batin Dominica sedih.CKLEK!
Juan dan Celeste tercengang menatap wanita yang tiba-tiba muncul dihadapan mereka. Wanita yang dibawa oleh Angelo yang dikenal dingin dan anti perempuan."Angelo?" ucap Celeste bingung."Perkenalkan, namanya Fiorella. Maafkan jika aku telah lancang mengajaknya untuk tinggal disini tanpa memberitahu kalian berdua terlebih dahulu. Tapi, ada alasan mengapa aku melakukan hal ini, tuan Juan, nona Celeste," jelas Angelo."Aku Fiorella, senang berkenalan dengan anda berdua," ucap Fiorella gugup."Ada apa ini, Angelo? Tidak biasanya kau membawa wanita seperti ini?" tanya Juan blak-blakkan didepan Fiorella."Dia adalah wanita yang diceritakan oleh Davidde tadi pagi, tuan Juan," jelas Angelo.
“A-apa maksudmu, Angelo? K-kau mengajakku tinggal bersamamu? Apakah tidak terlalu cepat? Kita berdua baru saja kenal,” ucap Fiorella dengan wajah merona merah karena malu.Menyadari kalau kalimat yang diucapkannya membuat Fiorella berpikiran macam-macam, Angelo cepat-cepat mengoreksinya dengan wajah sama merahnya dengan wanita itu.“Ah, ti-tidak! Maksudku bukan seperti itu! Maafkan aku jika ucapanku membuatmu berpikiran macam-macam!”“Maksudku, aku selama ini tinggal di hotel K bersama atasanku dan juga pacarnya. Mereka menyewa seluruh lantai, sehingga banyak kamar kosong. Jika kau mau, kau bisa mengisi salah satu kamar kosong di sana sampai kami menangkap pembunuh itu,” jelas Angelo cepat-cepat.“Oh, seperti itu,” ko
Angelo melesat bagai peluru meninggalkan ruangan itu langsung masuk kedalam mobil tanpa memperdulikan Juan yang meneriakkan namanya. Saat ini yang ada dipikirannya hanya satu. Fiorella.Ciri-ciri yang diceritakan oleh Davidde sangat cocok dengan Fiorella. Apalagi wanita itu membawa sekeranjang bunga, seingatnya Fiorella pernah bercerita padanya kalau ia sering membawa pulang bunga-bunga yang mulai layu untuk dikeringkan di rumahnya.“Pantas saja, dia tak membuka tokonya hari ini. Dia pasti syok dan ketakutan dengan kejadian semalam,” gumam Angelo.Tak sabar untuk segera bertemu dengan wanita itu, Angelo bagai kerasukan menekan pedal gas dalam-dalam. Membawa mobil dengan kecepatan penuh. Hampir semua lalulintas dilewatinya tanpa perduli apakah sedang merah atau hijau. Yang ada dipikirannya sekarang adalah
Pagi itu, Angelo kembali berjalan-jalan disekitar hotel hingga ke pasaraya yang letaknya tak jauh dari sana. Ia berniat mengenal Fiorella lebih jauh lagi. Setelah percakapan pertama keduanya, sudah sekitar 3 hari ia tak melihat wanita itu. Ia disibukkan dengan pembunuhan Domenico.Pagi ini sedikit senggang, sebelum mereka kembali ke markas Klan Maximo siang ini. Angelo menyempatkan menemui Fiorella untuk bercakap-cakap.Dengan bersemangat dan dada berdebar, Angelo berjalan menuju toko bunga Fiorella. Namun seketika ia mengernyit saat melihat toko wanita itu tutup. Tidak seperti biasanya, setahu Angelo Fiorella tidak pernah menutup tokonya.Dengan rasa penasaran ia lalu mendekati penjual tembikar yang letaknya persis di samping toko bunga Fiorella."Permisi, apa kau tahu
Angelo segera memasukkan memory card tersebut kedalam saku jasnya. Setelah itu keduanya bergegas mengembalikan barang-barang tersebut pada petugas. Dengan tergesa-gesa keduanya kembali ke mobil dan segera pergi dari sana."Ini, tuan Juan," ucap Angelo sambil memberikan memory card yang disimpannya tadi."Haruskah aku lihat sekarang?" tanya Juan meminta pendapat Angelo."Mengapa tidak? Lebih cepat kita tahu isi memory card itu bukankah lebih baik? Siapa tahu disana ada petunjuk yang kita inginkan," balas Angelo ringan.
Angelo kembali ke hotel dengan suasana hati yang lebih cerah. Pertemuannya dengan wanita pemilik toko bunga, Fiorella, sedikit mencerahkan hatinya yang cukup lama berkabut.Dengan bersenandung kecil, Angelo memasuki kamar hotelnya. Ia terus teringat akan Fiorella, dadanya berdebar kencang setiap kali ia teringat wanita itu. Apakah ia jatuh cinta lagi? Pada wanita yang sama namun sedikit berbeda? Angelo menggeleng, mengusir pikiran melantur itu."Apa yang kau pikirkan, Angelo? Dia bukan Carina, dia Fiorella. Walaupun wajah mereka sama, itu bukan dia. Carina mu tidak akan kembali, sadarlah," tegurnya pada dirinya sendiri.Walau begitu, Angelo tetap memikirkan Fiorella. Memikirkan wanita itu diluar dugaan memberikan ketenangan dalam hatinya.****
Menuruti perintah Juan, Angelo segera mengumpulkan anak buah Klan Maximo kemudian memberi mereka perintah untuk menyelidiki Alonzo. Serta berpatroli minimal 3 orang, agar menghindari penyerangan yang tidak diinginkan.Sementara Domenico telah pergi meninggalkan hotel dengan mengemban tugas menyelidiki bosnya sendiri, Armando Ferrari.Juan masuk kedalam kamar hotelnya dengan semangat baru, wajahnya kini berseri-seri tidak lagi murung seperti beberapa hari lalu. Celeste yang tengah duduk santai sambil membaca majalah mode merasa senang melihat perubahan itu."Darimana kau sayang? Aku mencarimu dari tadi," tanya Celeste sambil menurunkan majalah yang dibacanya."Aku tadi habis bertemu Domenico, sayang," jawab Juan sambil mencium pipi Celeste.
Ottavio masuk ke dalam lift hotel dengan Domenico mengekor di belakang. Ia memencet tombol 7 yang artinya mereka akan ke lantai 7, dimana semua kamar di lantai itu adalah milik Juan untuk sementara dirinya tinggal di hotel itu.Domenico mengikuti Ottavio dalam diam, hanya matanya yang memperhatikan sepanjang perjalanan menuju tempat bertemu Juan dan Angelo. Tibalah keduanya di lantai 7 dan Ottavio segera keluar lift terus berjalan menuju kamar bernomor 710 sesuai instruksi yang diberikan.TOK! TOK! TOK!Ottavio mengetuk pelan pintu kamar nomor 710. Tak butuh waktu lama pintu kamar terbuka dan muncullah sosok sempurna Angelo. Ottavio terdiam, terpesona sekaligus terintimidasi oleh kehadiran Angelo. Apalagi pria itu tepat berdiri dihadapannya.Dengan bibir gemetar, Ottavio
Angelo berjalan dengan terburu-buru meninggalkan pasaraya. Wajahnya pucat dengan keringat tak berhenti mengalir."Apa ini? Perasaan apa ini?" batin Angelo tak mengerti."Mengapa aku tak punya keberanian untuk bertanya pada wanita itu," batin Angelo lagi.Kenangan masa lalu sekilas berkelebat di pelupuk mata Angelo. Senyum manisnya, tawa renyahnya, mata hijau teduhnya tak pernah Angelo lupakan sekalipun.Angelo memijat keningnya yang tiba-tiba terasa pusing. Kenangan itu serta wanita yang dilihatnya di pasaraya tadi menyakitkan kepalanya.Angelo bergegas membuka pintu kamarnya lalu melempar dirinya ke atas tempat tidur. Ia memejamkan kedua matanya dengan sebelah tangan diatas kening.