TOK! TOK! TOK!
Pintu kembali diketuk oleh Luciano dan itu membuat Orazio serta Alena yang berada didalam kamar semakin panik.
"Mengapa lama sekali, Orazio?" tanya Luciano dari balik pintu.
"Hm… sebentar, tuan Luciano. Aku sedang berpakaian!" seru Orazio berbohong.
Pria itu lalu mendorong Alena masuk kedalam kamar mandi pribadinya sambil berkata, "tetap disini dan jangan bersuara."
Kemudian ia merapikan pakaiannya lalu membuka pintu dengan memasang wajah tanpa ekspresi.
Luciano berdiri tepat di depan pintu dengan seulas senyum tersungging di wajah tampannya. Tanpa banyak bicara, Luciano menerobos masuk kedalam kamar Orazio. Membuat pria itu gelisah.
Luciano mengalihkan perhatiannya dari Alena ke Orazio yang tengah berdiri menatapnya dengan gelisah. Ia lalu tertawa terkekeh, merasa telah menang karena dapat membuat pria seperti Orazio bertekuk lutut di hadapannya."Kau bersungguh-sungguh dengan pertanyaanmu, Orazio?" tanya Luciano memastikan.Orazio tak langsung menjawab pertanyaan pemuda itu, ia terlihat ragu. Namun demi memikirkan nasib Alena, akhirnya ia menjawab dengan tegas."Aku bersungguh-sungguh, tuan Luciano. Kesepakatan apa yang kau tawarkan untukku?""Kesepakatan ini pastinya akan menguntungkan kita berdua, Orazio. Kau tahu bukan? Kalau impianku hanya satu. Yaitu menduduki tahta Maximo," ucap Luciano."Namun, kau pasti tahu bukan? Tiba-tiba sikap ayahku m
Pesta kecil yang berada di lantai 1 berjalan lancar. Tidak ada satupun dari mereka yang menyadari hilangnya Alena maupun Orazio. Semuanya menikmati acara yang disuguhkan sang tuan rumah.Celeste bergelayut manja di lengan Juan sambil bercakap-cakap berdua, sedangkan Dominica tengah bercengkrama dengan Franco, sang tuan rumah.Riuh rendah suara tawa terdengar di ruangan yang cukup besar tersebut. Perlahan tanpa mereka sadari, Alena menuruni anak tangga satu-persatu lalu melangkah bergabung kembali kedalam pesta.Gadis itu langsung mengambil gelas berisi wine dan meminumnya hingga habis dalam sekali tenggak. Wajahnya masih terlihat pucat. Sorot matanya tak lagi bercahaya.Alena menatap satu persatu orang-orang yang berada dalam ruangan itu. Dominica, Franco, Juan, Ce
Dengan wajah pucat dan mata nanar, Alena mengambil telepon genggam dari tangan Dominica. Ia menatap telepon genggam tersebut seakan benda itu adalah sebilah pisau dimana nasibnya berada ditangan benda tersebut.Dengan tenggorokan tercekat, Alena bertanya pada Dominica, "apa yang harus kukatakan pada ayahku, tuan?"Dominica melirik Franco sekilas sebelum menjawab, "katakan padanya untuk datang kemari. Dominica 'Don' Maximo serta Franco Marchetti telah mengetahui semuanya! Dan kami siap untuk membalas apa yang telah diperbuat oleh ayahmu!"Dengan ngeri Alena menatap Dominica dan Franco bergantian. Lalu dengan tangan gemetar, ia mulai memencet nomor ayahnya dan menghubungi pria itu.Pada deringan ketiga, telepon tersebut diangkat oleh Igor sendiri yang langsung disambut den
Sementara itu di kediaman keluarga Lazovsky, Igor bagai kebakaran jenggot setelah mendapatkan telepon dari putrinya, Alena.Pria berkumis tipis dan berjenggot itu berjalan mondar-mandir dengan gusar. Tak jauh darinya, duduk sang putra, Damien, dengan membisu. Hanya matanya terus mengawasi gerak-gerik sang ayah."Dominica dan Franco sialan!" maki Igor. "Berani-beraninya mereka memperalat putriku!""Lalu, apa yang akan ayah lakukan sekarang? Menerima tantangan mereka?" tanya Damien santai."Tentu saja! Apa kau lupa siapa ayahmu, Damien?!" hardik Igor dengan mata menyala-nyala."Aku, Igor Lazovsky, tidak pernah takut akan apapun! Jika ada yang menantangku, tentu saja aku akan menerimanya!"
Juan melemparkan senyum khasnya hingga membuat jantung Alena berdebar semakin kencang. Gadis itu benar-benar mabuk akan pesona Juan. Ditambah dengan jarak sedekat ini, tidak pingsan saja sudah membuat Alena sangat bersyukur."Kau mau kemana?" tanya Juan seraya menutup buku bacaannya dan menatap Alena teduh."Oh, aku sebenarnya mencarimu, Juan," jawab Alena tergagap."Mencariku?" ulang Juan heran.Alena mengangguk sebagai jawaban pertanyaan Juan. Ia lalu menjelaskan mengapa ia mencari pria itu."Aku… aku ingin meminjam telepon genggammu. Sebab aku meninggalkan telepon genggamku di rumah. Aku baru menyadarinya saat ingin menggunakannya.""Siapa yang ingin kau hubungi, Alena?
"Hah?" Juan tercengang mendengar permintaan tak terduga Alena.Sementara gadis itu wajahnya seketika semakin merah saat menyadari kelancangannya melontarkan permintaan tak pantas itu. Lalu tanpa menunggu jawaban dari Juan, Alena segera bangkit sambil meminta maaf."Ah, maaf, maafkan aku, Juan. Lupakan kalau aku pernah bicara seperti tadi. Pergilah temui Celeste. Sekali lagi aku minta maaf!"Alena menghambur secepat kilat kedalam rumah. Ia merutuki dirinya yang telah berani berkata demikian pada pria itu.Juan sendiri masih terpaku di tempatnya, masih syok dengan apa yang baru saja didengarnya tadi. Ia lalu mengurungkan niatnya untuk menemui Celeste dan kembali duduk di tempatnya semula. Ia memikirkan Alena serta permintaan bernada melasnya tadi.
Alena menatap telepon genggam tangannya dengan sedih. Pikirannya melayang ke Orazio nun jauh disana. Pria itu selalu baik padanya, teramat baik. Berkali-kali sudah Orazio mengutarakan perasaannya pada dirinya, namun berkali-kali pula Alena menolaknya.Betapapun tampan dan baiknya Orazio, ia tidak pernah bisa mengembangkan perasaan pada pria itu. Baginya Orazio bagai seorang kakak laki-laki pengganti Damien, kakak laki-lakinya sendiri yang selalu cuek tak peduli pada dirinya.Perhatian kecil yang Orazio berikan membuat Alena menyukainya. Hanya sebatas itu. Jantungnya tidak pernah berdetak lebih kencang, ataupun perutnya tidak pernah terasa mulas saat berada didekat Orazio."Oh, Tuhan. Lindungi Orazio-ku. Dia adalah pria yang baik. Jangan biarkan ia terluka atau tertimpa kemalangan. Jika terjadi apa-apa padanya,
Orazio melirik jam di pergelangan tangannya kemudian menarik nafas berat."Hpf… masih 10 menit lagi sebelum nomor penerbanganku dipanggil," gumam Orazio.Ia lalu duduk bersandar di kursi, matanya menatap kekejauhan. Ia teringat percakapannya dengan Alena di telepon tadi."Maafkan aku, Alena. Aku berbohong padamu," desah Orazio."Sebentar lagi aku akan meninggalkan negara ini untuk menemui ayahmu. Maafkan aku jika aku tidak bisa menuruti kehendakmu," lanjutnya penuh rasa sesal."Tuan Franco selama ini memang baik padaku. Namun, aku berhutang budi pada ayahmu. Dia yang menyelamatkan hidupku. Jika saat itu Igor tidak menolongku, mungkin aku sudah mati," kenangnya sendu.
Juan dan Celeste tercengang menatap wanita yang tiba-tiba muncul dihadapan mereka. Wanita yang dibawa oleh Angelo yang dikenal dingin dan anti perempuan."Angelo?" ucap Celeste bingung."Perkenalkan, namanya Fiorella. Maafkan jika aku telah lancang mengajaknya untuk tinggal disini tanpa memberitahu kalian berdua terlebih dahulu. Tapi, ada alasan mengapa aku melakukan hal ini, tuan Juan, nona Celeste," jelas Angelo."Aku Fiorella, senang berkenalan dengan anda berdua," ucap Fiorella gugup."Ada apa ini, Angelo? Tidak biasanya kau membawa wanita seperti ini?" tanya Juan blak-blakkan didepan Fiorella."Dia adalah wanita yang diceritakan oleh Davidde tadi pagi, tuan Juan," jelas Angelo.
“A-apa maksudmu, Angelo? K-kau mengajakku tinggal bersamamu? Apakah tidak terlalu cepat? Kita berdua baru saja kenal,” ucap Fiorella dengan wajah merona merah karena malu.Menyadari kalau kalimat yang diucapkannya membuat Fiorella berpikiran macam-macam, Angelo cepat-cepat mengoreksinya dengan wajah sama merahnya dengan wanita itu.“Ah, ti-tidak! Maksudku bukan seperti itu! Maafkan aku jika ucapanku membuatmu berpikiran macam-macam!”“Maksudku, aku selama ini tinggal di hotel K bersama atasanku dan juga pacarnya. Mereka menyewa seluruh lantai, sehingga banyak kamar kosong. Jika kau mau, kau bisa mengisi salah satu kamar kosong di sana sampai kami menangkap pembunuh itu,” jelas Angelo cepat-cepat.“Oh, seperti itu,” ko
Angelo melesat bagai peluru meninggalkan ruangan itu langsung masuk kedalam mobil tanpa memperdulikan Juan yang meneriakkan namanya. Saat ini yang ada dipikirannya hanya satu. Fiorella.Ciri-ciri yang diceritakan oleh Davidde sangat cocok dengan Fiorella. Apalagi wanita itu membawa sekeranjang bunga, seingatnya Fiorella pernah bercerita padanya kalau ia sering membawa pulang bunga-bunga yang mulai layu untuk dikeringkan di rumahnya.“Pantas saja, dia tak membuka tokonya hari ini. Dia pasti syok dan ketakutan dengan kejadian semalam,” gumam Angelo.Tak sabar untuk segera bertemu dengan wanita itu, Angelo bagai kerasukan menekan pedal gas dalam-dalam. Membawa mobil dengan kecepatan penuh. Hampir semua lalulintas dilewatinya tanpa perduli apakah sedang merah atau hijau. Yang ada dipikirannya sekarang adalah
Pagi itu, Angelo kembali berjalan-jalan disekitar hotel hingga ke pasaraya yang letaknya tak jauh dari sana. Ia berniat mengenal Fiorella lebih jauh lagi. Setelah percakapan pertama keduanya, sudah sekitar 3 hari ia tak melihat wanita itu. Ia disibukkan dengan pembunuhan Domenico.Pagi ini sedikit senggang, sebelum mereka kembali ke markas Klan Maximo siang ini. Angelo menyempatkan menemui Fiorella untuk bercakap-cakap.Dengan bersemangat dan dada berdebar, Angelo berjalan menuju toko bunga Fiorella. Namun seketika ia mengernyit saat melihat toko wanita itu tutup. Tidak seperti biasanya, setahu Angelo Fiorella tidak pernah menutup tokonya.Dengan rasa penasaran ia lalu mendekati penjual tembikar yang letaknya persis di samping toko bunga Fiorella."Permisi, apa kau tahu
Angelo segera memasukkan memory card tersebut kedalam saku jasnya. Setelah itu keduanya bergegas mengembalikan barang-barang tersebut pada petugas. Dengan tergesa-gesa keduanya kembali ke mobil dan segera pergi dari sana."Ini, tuan Juan," ucap Angelo sambil memberikan memory card yang disimpannya tadi."Haruskah aku lihat sekarang?" tanya Juan meminta pendapat Angelo."Mengapa tidak? Lebih cepat kita tahu isi memory card itu bukankah lebih baik? Siapa tahu disana ada petunjuk yang kita inginkan," balas Angelo ringan.
Angelo kembali ke hotel dengan suasana hati yang lebih cerah. Pertemuannya dengan wanita pemilik toko bunga, Fiorella, sedikit mencerahkan hatinya yang cukup lama berkabut.Dengan bersenandung kecil, Angelo memasuki kamar hotelnya. Ia terus teringat akan Fiorella, dadanya berdebar kencang setiap kali ia teringat wanita itu. Apakah ia jatuh cinta lagi? Pada wanita yang sama namun sedikit berbeda? Angelo menggeleng, mengusir pikiran melantur itu."Apa yang kau pikirkan, Angelo? Dia bukan Carina, dia Fiorella. Walaupun wajah mereka sama, itu bukan dia. Carina mu tidak akan kembali, sadarlah," tegurnya pada dirinya sendiri.Walau begitu, Angelo tetap memikirkan Fiorella. Memikirkan wanita itu diluar dugaan memberikan ketenangan dalam hatinya.****
Menuruti perintah Juan, Angelo segera mengumpulkan anak buah Klan Maximo kemudian memberi mereka perintah untuk menyelidiki Alonzo. Serta berpatroli minimal 3 orang, agar menghindari penyerangan yang tidak diinginkan.Sementara Domenico telah pergi meninggalkan hotel dengan mengemban tugas menyelidiki bosnya sendiri, Armando Ferrari.Juan masuk kedalam kamar hotelnya dengan semangat baru, wajahnya kini berseri-seri tidak lagi murung seperti beberapa hari lalu. Celeste yang tengah duduk santai sambil membaca majalah mode merasa senang melihat perubahan itu."Darimana kau sayang? Aku mencarimu dari tadi," tanya Celeste sambil menurunkan majalah yang dibacanya."Aku tadi habis bertemu Domenico, sayang," jawab Juan sambil mencium pipi Celeste.
Ottavio masuk ke dalam lift hotel dengan Domenico mengekor di belakang. Ia memencet tombol 7 yang artinya mereka akan ke lantai 7, dimana semua kamar di lantai itu adalah milik Juan untuk sementara dirinya tinggal di hotel itu.Domenico mengikuti Ottavio dalam diam, hanya matanya yang memperhatikan sepanjang perjalanan menuju tempat bertemu Juan dan Angelo. Tibalah keduanya di lantai 7 dan Ottavio segera keluar lift terus berjalan menuju kamar bernomor 710 sesuai instruksi yang diberikan.TOK! TOK! TOK!Ottavio mengetuk pelan pintu kamar nomor 710. Tak butuh waktu lama pintu kamar terbuka dan muncullah sosok sempurna Angelo. Ottavio terdiam, terpesona sekaligus terintimidasi oleh kehadiran Angelo. Apalagi pria itu tepat berdiri dihadapannya.Dengan bibir gemetar, Ottavio
Angelo berjalan dengan terburu-buru meninggalkan pasaraya. Wajahnya pucat dengan keringat tak berhenti mengalir."Apa ini? Perasaan apa ini?" batin Angelo tak mengerti."Mengapa aku tak punya keberanian untuk bertanya pada wanita itu," batin Angelo lagi.Kenangan masa lalu sekilas berkelebat di pelupuk mata Angelo. Senyum manisnya, tawa renyahnya, mata hijau teduhnya tak pernah Angelo lupakan sekalipun.Angelo memijat keningnya yang tiba-tiba terasa pusing. Kenangan itu serta wanita yang dilihatnya di pasaraya tadi menyakitkan kepalanya.Angelo bergegas membuka pintu kamarnya lalu melempar dirinya ke atas tempat tidur. Ia memejamkan kedua matanya dengan sebelah tangan diatas kening.