Tuhan berbaik hati karna kasi gue kesempatan buat deket sama orang yang gue suka.
- Jinny -
"Ma, Pa. Jinny berangkat ya," pamit Jinny pada Mama dan Papanya seraya mencium tangan mereka.
"Gak bareng abang kamu aja Jinn?" tanya Bita- Mamanya.
"Iya, atau bareng papa aja sekalian," sambung Fero- Papanya.
"Gak ah, Jinny kan pengen aja tuh naik angkot, merakyat gitulah," jawab Jinny seraya terkekeh pelan.
Mama Papanya hanya menggeleng, dalam hati mereka bersyukur mempunyai anak seperti Jinny dan Tara, walaupun dari orang yang berada, perusahaan Papanya pun dimana-mana, belum lagi dengan butik dan kafe yang dimiliki Mamanya, tapi mereka masih merasa sederhana, tak menghambur-hamburkan uang orang tuanya.
Jinny tersenyum begitu pun dengan orang tuanya. "Udah ah, Jinny berangkat dulu, jangan kangen ya sama si Imut Jinny, Assalamualaikum," pamit Jinny.
Fero dan Bita saling berpandangan lalu tertawa menanggapi ucapan anaknya itu. "Waalaikumsalam," jawab mereka setelahnya.
Jinny berjalan santai ke arah halte, sesekali ia bersenandung ria.
"Woy kecebong lumpur!"
Jinny mendengus tanpa ada niatan menatap orang yang memanggilnya, dari suaranya saja ia sudah tau bahwa itu si Jai brengsek. Jinny tetap melangkah tak acuh, setelah sampai halte ia mendudukkan pantatnya dan mulai menunggu bis atau angkot yang lewat.
"Woy kecebong lo budeg apa ya?"
Lagi-lagi Jinny mendengus, bahkan dipagi haripun Jai tak berhenti menganggunya.
"Kenapa?!"
"Wih ketus amat jawabnya,"
"Ngapain juga harus lemah-lembut sama orang kayak lo!"
Jai tersenyum sinis, lalu ia kembali membuka mulutnya dan bertanya.
"Mau bareng kagak nih?" tanya Jai.
Jinny kembali mendengus.
"Ogah!" jawabnya, kasar.
"Oh, yaudah deh!"
"Ya udah!"
Jinny kembali menunggu kendaraan yang lewat. Sedangkan Jai sudah melaju dengan motornya. Beberapa menit kemudian angkot datang, Jinny pun segera masuk ke dalamnya.
Jinny memasuki kelasnya dengan terburu buru, ia baru ingat kalau hari ini PR matematika akan dikumpul.
"Sasyaaa!!" teriak Jinny heboh.
"Ngapa lo?" tanya Sasya.
"Bagi contekan dong!" pinta Jinny.
"Contekan apaan?" tanya Sasya lagi, ia bingung contekan apa yang dimaksud Jinny.
"PR woy PR matematika," jawab Jinny, ia mulai panik.
"Astaga!!! Gue lupa ngerjainnya,"
Jinny menghela napas pasrah, ia dan Sasya mulai berpandangan, senyum ceria perlahan tercetak di wajah mereka. Ada jalan keluar.
"Dika, pinjem buku lo dong!" pinta Jinny, dengan nada memelas yang di imut- imutkan.
Dika yang tak tahan pun memberikannya.
Jai yang melihatnya hanya mendengus. Namun apa peduli Jinny, yang penting dia tak mendapat hukuman nantinya.
"Cepetan Sya, dikit lagi masuk nih," Sasya yang masih menulis pun menambah kecepatannya, sedangkan Jinny sudah selesai dari tadi. Dalam soal menulis cepat Jinny adalah jagonya dan tulisannya pun tetap rapi, enak untuk dibaca.
"Selamat pagi anak anak," sapa Bu Fatimah, guru matematika.
Sasya yang selesai bertepatan dengan masuknya Bu Fatimah bernapas lega, ia segera melempar buku contekan tadi ke arah tuannya, tanpa sepengatahuan Bu Fatimah tentunya.
"Ratih, kamu kumpulkan PR yang kemarin ibu kasih ya," perintah Bu Fatimah pada Ratih selaku ketua kelas. Ratih hanya mengangguk lalu mulai meengumpulkan buku teman sekelasnya.
Ratih itu ketua kelas di kelas Jinny, dia itu cantik dan pintar, Jinny sangat mengaguminya. Jinny ingin sekali berteman dengan Ratih, namun Ratih seolah tak menyukai Jinny, entah karena apa.
"Oke anak anak, kita lanjut materi yang kemarin, silahkan buka buku kalian masing masing," ucap Bu Fatimah. Jinny hanya pasrah, matematika adalah pelajaran yang paling dibencinya. Namun mau bagaimana lagi, sebagai siswa ia wajib menuntut ilmu dan belajar, sedangkan matematika adalah ilmu yang wajib dipelajari. Sudahlah, terima saja takdirnya.
***
Jinny berjalan terburu-buru menuju toilet, perutnya sakit, dia sudah tak tahan lagi."Minggir-minggir!" teriak Jinny saat beberapa siswi menghalangi jalannya.
"Lo kenapa sih Jinn?" tanya salah satu siswi yang ditabraknya dengan tak sengaja. Jinny hanya nyengir kuda, ia kembali berlari.
"Urusan genting nih, bom atom mau meledak!" teriaknya tanpa menatap siswi tadi. Setalah sampai di toilet ia buru-buru masuk dan memulai perundingannya.
Beberapa menit setelahnya Jinny selesai, ia berjalan santai dikoridor, semua jam pelajaran lagi free, semua guru sedang rapat, entah membahas apa, yang jelas bukan urusan Jinny lah.
Seseorang yang entah datangnya darimana menabrak Jinny sehingga ia pun tersungkur ke lantai, lututnya terasa nyeri, untuk berdiripun ia tak sanggup, mungkin karna tabrakannya yang terlalu keras.
Tangan seseorang terulur di depannya, Jinny mendongak, matanya melotot, Kak Aldi! Teriaknya dalam hati, mimpi apa dia semalam bisa tabrakan sama kakak kelas cogan. Kalo gini tiap hari mah Jinny rela ditabrak tiap hari, asalkan sama si Aldi.
"Hey, maaf ya. Gue gak sengaja. Sini gue bantuin,"
Jinny tak ada hentinya memandangi wajah indah Aldi, sungguh indah ciptaanmu Tuhan. Aldi yang merasa tak ada respon dari Jinny segera mengangkat Jinny kegendongannya, sontak membuat para siswi menjerit heboh.
"Pengen dong digendong juga,"
"Kak Aldi ngapain gendong dia sih?""Mending gendong aku aja kali kak, masih cantikan aku jugak,"Dan masih banyak lagi jeritan dari para siswi.
Jinny tersadar.
"Eh kak, turunin gue aja kak, malu diliatin banyak orang," ucap Jinny, pipinya sudah semerah tomat sekarang, ia merasa malu, gugup, takut, semuanya melebur jadi satu.
"Diem! Gak usah peduliin orang lain, liat aja tuh lutut lo yang memar, pasti tadi gue nabrak lo terlalu keras,"
"Tapi i-"
"Udah diem aja gue bilang, dikit lagi nayampe di UKS,"
Jinny pun terdiam, entah mengapa ia merasa panas dingin, jantungnya berpacu dengan kecepatan di atas rata-rata. Aldi adalah sosok yang mengagumkan baginya, sudah sejak kelas 10 saat Aldi masih menjabat sebagai ketua osis, Jinny mengaguminya. Dan sekarang ia berada digendongan Aldi, anugrah tersendiri baginya.
Setelah sampai di UKS, Aldi segera membaringkan Jinny di kasur lalu mulai mencari kotak P3K. Ia merasa khawatir karna lutut Jinny yang membiru. Sungguh ia tak sengaja menabraknya tadi.
Setelah menumukannya, sesegara mungkin Aldi mengobati luka Jinny.
Jinny hanya diam mematung, ia mungkin bermimpi, ia mencubit lengannya, sakit! berarti ini bukan sebuah mimpi. Perlahan Jinny tersenyum."Lo Jinny kan?" tanya Aldi setelah selesai mengobati Jinny.
Jinny mengangguk, "iya,"
"Maaf ya, tadi gue gak sengaja nabrak lo," ucap Aldi tulus.
"Udah kali kak, gak sengaja ini. Gak usah dipikirin, gue mau balik ke kelas aja dah," ucap Jinny, ia sudah tak tahan berada di posisi seperti ini. Jinny mulai bangkit lalu berjalan ke arah pintu namun tangannya dicekal.
"Boleh gue minta Id Line lo?" tanya Aldi.
Jinny tersenyum cerah, ia mengangguk lalu memngetikkan Id line-nya di ponsel Aldi.
"Makasih, ayo gue anterin kekelas lo,"
Jinny kembali mengangguk, Aldi bergerak ingin merangkul Jinny namun Jinny menepis tamgannya.
"Gak usah kak, gue bisa jalan sendiri kok," ucap Jinny.
Aldi hanya mengangguk mengerti lalu mengikuti Jinny dari belakang, takut jika nanti Jinny terjatuh, maka Aldi bisa menangkapnya dari belakang.
"Gue kekelas dulu ya kak," ucap Jinny malu-malu, Aldi hanya mengangguk lalu tersenyum manis ke arah Jinny.
Pipi Jinny kembali memerah, ia segera masuk ke kelas lalu duduk di bangkunya.
"Cie yang malu-malu abis di gendong gebetan," ejek Sasya.
"Apaan sih, B aja," ucap Jinny santai, padahal dalam hatinya ia berteriak kegirangan.
"Baru jatuh segitu aja udah manja!" sindir Jai.
"Apaan sih lo! Syirik banget jadi orang," ucap Jinny jengkel.
"Cih, syirik lo bilang? Ngapain gue syirik sama cewek kayak lo?!"
"Ya udah kali diem aja, ngapain lo nyolot ke gue!"
"Sapa yang nyolot, gue ngomong apa adanya tuh,"
"Apa adanya pala lu peang!"
"Pala gue gak peang ya, lo aja tuh yang manja banget jadi cewek!"
"Cih, terus apa urusannya sama lo? Toh, gue gak manja-manjaa gitu sama lo, kenapa lo yang sewot cobak?!"
Perkataan Jinny tepat menusuk ke hati Jai, Jinny benar, kenapa dia harus repot-repot mengurus urusan Jinny, sungguh ia pun tak tau. Perkataan itu tiba-tiba saja keluar dari mulut Jai.
"Nah diem kan lo, makanya gak usah banyak Bacot deh!"
Jai mengepalkan tangannya, ia merasa kesal. Jai keluar kelas dengan perasaan jengkel, ia pergi entah kemana.
Sementara Jinny terdiam di tempatnya, ia melihat kepergian Jai dengan mata sendu, ia merasa kata-katanya sudah keterlaluan. Namun Jinny menggeleng pelan, untuk apa ia peduli, semua itu kan salahnya Jai.
***
Gue usil, gue nakal. Itu semua karna di mata gue lo itu beda.- Jai -***Jinny tengah asik memakan bekalnya di kelas, nasi goreng spesial buatan Mamanya yang tersayang. Sendok demi sendok ia suapkan ke mulutnya, ia tak ingin buru-buru. menurutnya, salah satu kasih sayang seorang Ibu dapat ia rasakan melalui masakan yang dibuat oleh Mamanya."Wih enak tuh, bagi dong," Jai mengambil tempat duduk di samping Jinny dan segera merampas bekal Jinny lalu melahapnya hingga habis.Jinny yang dari tadi diam pun akhirnya tersadar, ia merampas kemabali kotak bekalnya lalu melihat isinya. Kosong, dengan hati yang panas Jinny menatap Jai."Lo apa-apaan sih!" ucap Jinny jengkel."Gue laper," balas Jai, santai kayak di pantai."Trus, harus gitu lo ambil
Dimata gue, perempuan itu sangat berharga. Gue gak suka sama mereka yang membuang harga dirinya hanya karna Cinta.- Jai -***Jinny duduk diam disebuah bangku taman, ia masih menunggu Jai yang entah pergi kemana, ia merasa kesal, sudah diajak bolos bareng, kini ia ditinggal sendiri.Karena bosan, Jinny membuka ponselnya, ada beberapa notifikasi dari instagram dan Line. Jinny membuka aplikasi Line-nya, ada chat dari sahabatnya, Sasya.Salsyabilla : Jinn, lo dimana ? Tadi Bu Sita nyariin lo, lo bareng Jai gak?Jinny mendengus sebal."Kata siapa guru-guru rapatnya sampai siang, buktinya Bu Sita masuk tuh di kelas, Jai sialan!" gerutu Jinny.Setelah itu ia mengetikkan sesuatu untuk Sasya.
Lo yang ceria dan ngeselin pun bisa jatuh.- Jai -****Jinny sedang duduk santai di kafe milik mamanya, ia menyesap sebuah coklat panas dengan santai. Dilihatnya langit yang semakin mendung, sepertinya ia akan lama berada di sini. Ia juga mendapat pesan dari Pak Teo bahwa latihannya untuk sore ini diundur minggu depan.Tanpa sengaja mata Jinny menangkap seseorang yang tak asing, tak jauh dari tempatnya duduk. Dia sedang asik bermesraan dengan seseorang, Jinny melotot kala mendapati orang itu sedang berpelukan.Jinny berdiri."Mbak, minta air putih segelas ya," pinta Jinny pada seorang pelayan. Pelayan itu mengangguk lalu secepatnya memberikan air putih itu pada Jinny.Wajah Jinny mulai memerah menahan marah, ia melangkah mendekati mereka. Diangkatnya se
Kalo hadiah dari kesialan gue adalah senyum lo, maka gue rela kena sial tiap hari.- Jai -***Jai tengah asik berjalan di koridor, namun matanya tak sengaja menangkap sosok Jinny yang ditarik paksa oleh seniornya, setau Jai itu adalah Aldi-mantan ketua osis.Jai memicingkan matanya, entah mengapa ia merasa tak suka. Kemudia ia berjalan mengikuti mereka, sesekali ia bersembunyi ala-ala seorang Spy agar tak ketahuan.Aldi dan Jinny berhenti di taman belakang sekolah. Jai pun ikut berhenti, namun dari tempatnya ia tak dapat mendengar apapun, untuk itu ia memutuskan melangkah lebih dekat."Lo harus dengerin penjelasan gue dulu Jinn," ucap Aldi seraya menggengam tangan Jinny.Melihat adegan ini, entah mengapa hati Jai merasa sedikit panas.
Kadang gue suka mikir, lo itu benci apa cinta ?- Jinjai -***Jai memasuki kelas dengan santai, teman kelasnya tengah sibuk dan ribut membahas tentang ulangan kimia nanti. Ia membuang tasnya di meja lalu mendudukkan pantatnya di bangku. Namun seketika matanya melotot dan mulutnya menganga."Anjirrr! Lo nulis apaan woy?" teriak Jai heboh, kala mendapati beberapa kalimat yang tertulis dipapan tulis. Teman kelasnya pun menengok ke arah yang Jai tunjuk, mereka bertanya-tanya, apa gerangan yang membuat Jai heboh seperti itu. Namun setelah melihat apa yang tertera dipapan tulis, seketika mereka tertawa terbahak-bahak.DAN JANGANLAH KAMU BERPURA PURA TULI SAAT SESAMAMU SEDANG MEMINTA TOLONGSekiranya, begitulah
Gue benci sama orang yang gak mau denger penjelasan orang lain dulu dan langsung main fisik.- Jinny -***Jinny menggerakkan kelopak matanya perlahan, kepalanya masih agak sedikit pusing."Udah gue bilang kan tadi,"Jinny memutar bola matanya jengah, karna Jai langsung menyambutnya dengan omelan-omelan yang tambah membuat Jinny pusing.Jai melangkah mendekat seraya memberikan semangkok bubur pada Jinny."Nih, makan dulu," lanjut Jai."Gak usah," tolak Jinny, ia masih saja berpegang teguh pada gensinya, walaupun kini perutnya berterik minta diisi."Gak usah sok nolak deh, lo kira gue gak capek apa nungguin lo bangun dari tadi," Jai semakin merasa jengah dengan kelakuan Ji
Gue capek berantem terus sama lo, apakah salah kalo gue berubah ?- Jai -***Jai kini tengah memarkirkan motornya di bawah pohon rindang yang menjadi tempat favoritnya. Teriakan dari para fans-nya sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Jai, si tampan yang mempesona.Jai mulai melangkah, dan tak sengaja matanya menatap Jinny yang sedang berjalan santai di koridor kelas 10. Jai tersenyum kecil lalu berlari menyusul Jinny."Hai Jinny," sapanya.Jinny menoleh.
Gue suka, tapi gak tau cara ngungkapinnya gimana. -Jai-***Jinny tengah asik memakan es krimnya di taman, entah mengapa hari ini ia merasa ingin saja duduk di taman favourite-nya ini. Pandangannya tertuju pada dua anak kecil yang asyik bermain, Jinny perlahan tersenyum karna dua anak kecil itu sedang tertawa terbahak-bahak."Jinny.." Jinny menoleh dan mendapati Jai yang kini tengah duduk di samping kanannya."Ngapain lo?" tanya Jinny ketus.
Butuh kesabaran ekstra buat dapetin lo, dan kini gue harap lo mau nerima cinta gue.***Jai berdiri di sana, di atas panggung, lengkap dengan gitarnya. Ia melihat Jinny dari sana sambil tersenyum, sementara yang ditatap hanya diam melotot di tempatnya. "Gue berdiri di sini, buat ngungkapin perasaan gue sama seseorang." Jai masih menatap Jinny, sementara para penonton, khususnya wanita berteriak heboh."Terimakasih untuk dia yang sudah memakai gaun biru, warna kesukaan gue." Penonton kembali berteriak heboh, apalagi mereka yang juga memakai gaun biru. Berharap saja jika yang di maksud oleh Jai adalah me
Untuk hari yang spesial, tentunya harus tampil memukau.***"BANG TARA!!"Tok. Tok.. Tok.Jinny tak ada hentinya mengetuk pintu kamar Tara, sudah sedari tadi ia teriak sampai habis suara namun sama sekali tak di dengar oleh Tara. Jinny semakin kesal dibuatnya, ia menatap pintu kamar itu lekat.Brakk.."JINNY! SUARA APA ITU?""ANJING TETANGGA NABRAK PAGAR MA." Jinny mendengus sebal sambil
Kekhawatiranmu, membuatku tersadar, apa mungkin kau juga punya rasa?***"Harusnya lo itu langsung lari aja!"Jai memarahi Jinny habis-habisan, ia merasa sangat panas saat melihat Luis memegang tangan Jinny begitu. Sedangkan Jinny hanya diam di tempatnya sambil menundukkan kepalanya."Maaf," Jai tertegun, ia menatap perempuan yang ada di hadapannya itu lekat. Jai menjulurkan tangannya dan menghapus air mata yang telah menetes di pipi Jinny. Ia benar-benar bodoh, mengapa ia bisa kelepasan seperti ini. Apalagi sampai membuat Jinny menangis begini, kalau sudah begini, apa bedanya ia dengan laki-laki brengs
Bukan gak mau, hanya mencari waktu yang tepat saja.***"Jai kampret!" Jai menutup telinganya rapat-rapat. Sudah sejak tadi Sasya terus mengomelinya, beginilah, begitulah, ia bosan, bosan dan bosan. Ia mengerti maksud dari Sasya itu baik, hanya saja dia butuh waktu yang tepat. Untuk saat ini mentalnya belum terlalu kuat."Jai, lo ngerti gak sih? Gue gemes deh sama kalian, sama-sama gengsi, udah sama-sama cinta aja masih ditutup-tutupin." Sasya mulai mendesah frustasi. Angga yang berada di sampingnya hanya terkekeh geli melihat kelakuan pacarnya itu."Iya Sya, gue ngerti." Jawab Jai.
Mungkin ini jawaban, dari lelahnya menunggu.***Jai memegang erat buku di tangannya. Dalam hati ia tak henti bersyukur, akhir dari perjuangan ini sangat memuaskan, setidaknya cinta pertamanya tak berakhir dengan kisah yang tak terbalaskan."Sasya, cepetan."Jai melotot, sesegera mungkin ia berlari ke bangkunya lalu menyembunyikan buku di tangannya ke dalam laci meja. Ia merogoh sakunya, mengambil sebuah ponsel dari sana dan pura-pura memainkannya."Sya, cepetan elah." Teriak Jinny, kini ia sudah berada di dalam kelas, dan sedikit terkejut karna melihat Jai juga ada di sana. 
Kalau memang cinta, katakan saja, kenapa harus takut? kenapa harus malu?***Sudah dua minggu sejak Jinny terbaring lemah di rumah sakit, dan kini ia bisa bersekolah seperti biasanya. Jinny menatap gerbang sekolahnya lekat, ia merindukam sekolahnya ini.Jinny melangkah memasuki sekolahnya, ia menoleh pada Pak Ujang yang sedang asyik meminum kopinya."Pagi, pak Ujang." Sapanya.Pak Ujang menoleh lalu ia tersenyum hangat pada Jinny."Eh, ada neng geulis, udah sembuh neng?"Jinny mengangguk menanggapi pertanyaan pak Ujang, setelah itu ia pamit menuju kelasnya."JINNNNNNYYY!!!" teriak Sasya, heboh, ia segera berlari dan berhambur ke pelukan sahabatnya itu."Gue kangen sama lo."Jinny berdecih. "Alay
Gak nyangka aja, lo bisa berbuat sekeji itu.***"Gue bisa bantu kalian nyari siapa pelaku sebenarnya."Jai terdiam di tempatnya, begitu pula dengan beberapa orang yang berada di sana. Tara maju mendekat ke arah Sindi."Gue harap lo serius sama kata-kata lo." Setelah mengucapkannya, Tara membuka ikatan Sindi dan membiarkannya mencari bukti siapa pelaku sebenarnya.Sementara Mawar, masih dibiarkan terikat karna ada sesuatu yang harus mereka tanyakan. Zidan menatap wajah sepupunya itu, dalam hati juga ia kasian, tapi kalo dia bersalah, Zidan tak akan segan-segan untuk menghabisinya.
Siapapun itu, gak bakal dapat maaf dari gue. Kalo dia udah nyakitin seseorang yang gue sayang.- Jai -***Jai masih duduk di bangku kantin dengan wajah lesu, ia sangat lelah, juga sangat frustasi. Sudah dua malam ia tak tidur karna terus menunggu Jinny yang berada di rumah sakit. Kata Dokter, tulang belakang Jinny mengalami keretakan akibat pukulan benda keras. Jai kembali memeras otaknya, memikirkan siapa pelaku sebenarnya.Apakah Mawar dan Sindi? Ataukah orang lain? Batin Jai terus berdebat.Sampai sebuah pukulan mendarat indah di tengkuknya. Jai mendongak dan mendapati para sahabatnya yang sudah duduk manis di tempat masing-masing."
Satu waktu, di satu tempat yang terasa hitam dan gelap, aku melihatmu sebagai cahaya yang terang.- Jinny -***Jinny mengemasi buku-bukunya dan memasukkan kedalam tas berwarna pink miliknya- hadiah dari papanya saat ia berulang tahun yang ke-16. Sesekali ia tersenyum dan tertawa menanggapi lelucon yang di lontarkan oleh Sasya."Jinn.."Jinny menoleh dan mengerutkan keningnya, menatap Sasya bingung."Pangeran lo nungguin tuh," ucap Sasya seraya menunjuk orang yang tengah bersandar di pintu kelas, menunggu Jinny."Pangeran, pala lo peang." Dengus Jinny seraya menatap orang itu jengah, namun tak sengaja matanya menatap orang yang masih dudu