Mengucapkan mantra singkat, aku menatap kilatan cahaya yang menjalar dari jemari, kilatan-kilatan itu tumbuh dan membentuk bola cahaya kebiruan berukuran kecil. Cahaya biru itu berputar perlahan, aku tersenyum saat ukurannya mulai membesar.
"Jayden!" Konsentrasiku terpecah hingga bola cahaya di tanganku tiba-tiba meluap, menciptakan letupan kecil sebelum lenyap.
Menoleh ke belakang, sebuah senyuman tidak dapat kutahan melihat wajah kesalnya.
"Jayden, aku sudah memperingatkan untuk tidak ke sini." Matanya mencari-cari, seakan takut ada yang melihat. Aku hampir tertawa melihatnya.
"Mau bagaimana lagi, kau terus menolak untuk menemuiku." Aku mengulurkan tangan, mengisyaratkan agar dia mendekat.
Zava masih terlihat kesal, tapi mulai berjalan ke arahku. Aku meraih tangannya ketika dia sudah cukup dekat dan mengarahkannya duduk di sampingku. Zava menghela napas, aku hanya tersenyum melihatnya.
"Jayden, kau tidak bisa selalu datang kemari, seorang bisa saja melihat."
Aku memutar bola mata. "Aku yang akan mengurus jika sampai demikian," aku menenangkannya.
"Kau tidak mengerti, jika keluargamu tau, kau mungkin akan menghabiskan beberapa waktu di bilik tahanan, tapi aku? aku ... mereka akan membunuhku hanya karena berada terlalu dekat denganmu." Dia meracau. "Sebaiknya kau pulang," pintanya hampir memelas.
Zava terkadang bisa cukup dramatis, namun aku paham letak ketakutannya. Zava hanya seorang mortal. Jika pihak kerajaan melihatnya bersamaku, maka dia akan mendapat hukuman cukup berat, hingga kematian. Namun dia juga seharusnya tau kalau aku tidak akan pernah membiarkan hal itu sampai terjadi.
Mataku menatap ke depan, mengamati dinding tak terlihat yang menjadi pembatas Irealla dengan dunia luar. Di mana para mortal hidup dengan merdeka—setidaknya begitu yang sering kudengar.
Melirik ke arah Zava, mataku menangkap kelelahan pada wajah manisnya. Matanya tampak tidak fokus, seakan tengah tersesat dalam fikirannya. rambut ikalnya terlihat sedikit berantakan, menutupi sebagian wajah putihnya. Namun dia tetap sempurna di mataku.
Terkadang ... aku berpikir, apakah semua akan berbeda jika kami tinggal di luar sana? Aku menggeleng, menolak untuk memikirkan hal bodoh itu. Di sana mungkin bahkan jauh lebih buruk, mortal dikenal sebagai makhluk yang tidak dapat diprediksi, mereka berbuat sekehendaknya dan tidak pernah peduli dengan peraturan.
Aku mengarahkan sebuah angin lembut ke wajah lelahnya, mengusap rambut panjangnya perlahan. Zava tampak sedikit terkejut, dia menatapku dan memutar bola mata.
"Aku masih marah padamu."
"Hmhm ...." Aku mulai kesulitan menahan tawa, terkadang Zava seakan lupa kalau aku bisa merasakan emosi, dan apa yang kutangkap darinya saat ini sangat jauh dari kemarahan.
Aku menjentikkan jari, menatap pada gundukan kecil yang mulai terbentuk pada tanah tak jauh dari kaki Zava seolah sesuatu mendorong dari bawah. Napasnya tercekat dan Zava segera menarik kakinya. Matanya membulat saat sebuah tunas muncul, tumbuh membesar dengan dedaunan hijau. Sebuah cabang tumbuh memanjang mendekatinya sebelum sebuah bunga berwarna merah muncul pada ujung cabang itu dan merekah.
Zeva berusaha menahan senyumnya, tapi aku merasa sudah menang saat ujung bibirnya terangkat.
"Kau masih marah sekarang?" tanyaku tak lagi menahan senyuman.
Tangannya meraih bunga tersebut dan memetiknya. Dia menatapku tersenyum.
"Aku tidak pernah menangkapmu sebagai pria romantis."
"Aku bisa romantis saat ku mau," jawabku singkat sebelum menatap serius. "Apa kau benar-benar ingin aku pergi?"
Zava mendesah pelan dan berpindah dari tempatnya dan memposisikan diri di pangkuanku, kedua tangannya melingkar manja pada leherku lembut.
"Ah ... kau tau aku tidak setega itu." Zava menggigit telingaku pelan. "Lagipula ... kau sudah jauh-jauh datang ke sini," bisiknya, sambil menabur ciuman lembut pada leherku. "Dan tentu saja." Dia memundurkan tubuhnya, mendekatkan wajahnya padaku hingga bibir kami hanya berjarak satu tarikan napas. "Aku tidak akan berani menolak seorang pangeran Irealla."
Bibir kami beradu penuh gairah, kuraih wajahnya dan mengunci bibir kami. Bisa kurasakan kedua tangan halusnya merabai tubuhku, membuat tubuhku seakan dibakar oleh hasrat yang menyelimuti kami saat ini.
Kami berpisah saat hanya untuk menarik napas, Zava tak mengalihkan tatapannya dariku, napas kami beradu. Dadaku masih bergemuruh, dan aku bisa merasakan getaran perasaan Zava saat ini dengan begitu kuat. Dia menginginkanku.
"Tentu saja." Aku menarik tubuhnya mendekat. ."Itu mungkin tidak akan berakhir baik." Aku tersenyum, mengeratkan pelukan pada pinggangnya, aku kembali mengklaim bibir merahnya.
"Aku harus kembali," ucapku, menatap Zava yang sedang mengenakan pakaiannya.
Dia menatapku, wajahnya merenggut, seakan tak ingin melepasku pergi. Aku hampir tertawa ... mengingat tadi dia terus menyuruhku pulang.
Zava mendekat, melingkarkan kedua tangannya pada pinggangku, dia menyandarkan wajahnya di dadaku.
"Aku tak ingin kau pergi."
Aku mendesah pelan, gadis ini sungguh tau kelemahanku. Kuraih bahunya dan membuatnya menatapku.
"Aku tau ... aku akan kembali mencari cara agar kita bisa bertemu."
Zava membuang wajah ... raut sedih tak dapat dia sembunyikan.
"Aku begitu lelah, Jayden," bisiknya. "Aku lelah bersembunyi." Zava menatapku, kedua netranya mulai berkaca-kaca menampakkan dia akan menangis.
Aku betul-betul lemah melihat air matanya. Kuraih tubuhnya dan kupeluk erat.
"Aku ingin seperti pasangan lain, mereka bebas bergandengan tangan di manapun." Zava melanjutkan, tangannya memelukku semakin erat. Berbagai emosi yang dia rasakan hampir melumpuhkanku, semua terasa begitu mencekik. "Aku ingin pergi ke taman kota bersamamu, atau ke festival bunga cahaya ... atau bahkan sekedar pergi ke market bersama." Zava menatapku. "Kenapa kita tidak bisa seperti pasangan lainnya?"
"Zava ...."
"Tidak...." Dia menggeleng. "Jangan meminta maaf, Jayden." Dia kembali menyandarkan dirinya ke dadaku. "Semua ini bukan kesalahan kita, takdir yang membuatmu terlahir sebagai seorang Mage, dan aku hanya seorang mortal."
"Aku bisa meninggalkan semuanya." Napas Zava tercekat, dia seketika melepas pelukannya dan menatapku terkejut.
"Jayden, kau tidak bisa mengatakan hal seperti itu." Dia berjalan menjau, kedua tangan menyilang di dada. "Kau tidak bisa melakukan kebodohan seperti itu."
Aku mendekatinya, memeluk tubuhnya dari belakang
"Aku tidak peduli pada apapun ... aku tau apa yang kuinginkan."
Zava berbalik ke arahku, dia menatapku serius.
"Sebagai pewaris tahta, kau tidak bisa—"
Aku menciumnya, dengan efektif menghentikan pembicaraannya.
"Aku tidak pernah memilih semua itu ... dan aku tidak peduli dengan apa yang akan terjadi."
Zava menggeleng, aku tau apa yang akan dikatakannya, dan melanjutkan.
"Aku mage terkuat di Irealla ... aku bahkan hampir sekuat belum mendapatkan kekuatan penuhku tapi aku hampir sekuat ayahku." Aku mengangkat tanganku dan menatapnya. "Ayahku mungkin penguasa Irealla ...." Menatap Zava, aku melanjutkan dengan penuh keyakinan, menekankan tiap kata yang kukatakan. "Tapi bahkan dia tak akan mampu melawanku."
Butiran bening jatuh dari sudut matanya, yang segera kuhapus dengan ibu jariku.
"Bersabarlah ... bila waktunya tiba, aku akan membebaskan para mortal." Aku mengecup kedua matanya. "Kalian bukan budak di mataku."
Zava memelukku.
"I love you," bisiknya.
"I love you more," balasku.
Hari sudah cukup gelap saat aku kembali ke kastil. Aku membiarkan angin membawaku naik ke kamarku di lantai dua, bersyukur karena tidak ada yang mengunci jendelanya selama aku pergi.Memasuki kamar, aku segera menutup jendela dan merebahkan diri di atas tempat tidur.Pintu kamar tiba-tiba terbuka dengan kasar dan Luis, sahabat sekaligus tangan kananku, masuk."Aku benar-benar bosan menutupi kelakuanmu." Aku menatapnya yang sudah lebih dulu menatap marah padaku. "Suatu hari aku tidak akan melindungimu, Jayden, jadi belajarlah untuk lebih bertanggung jawab." Aku memutar bola mata dan mengangkat tubuhku ke posisi duduk."Nice to meet you too," ucapku sarkas.Wajah Luis mengerut menunjukkan ekspresi jijik. "Dan lain kali kau memutuskan bermain-main, kau setidaknya bisa menghilangkan aroma mortal dari tubuhmu!" ucapnya jijik.Aku tertawa, sebelum berdiri dan mulai melepas pakaian."Apa masalahmu hari ini?" tanyaku."Masalahku? Lebih
Seorang pelayan sedang membantuku pakaian saat Luis memasuki kamarku perlahan, dia tampak masih sedikit waspada mendekatiku. "Apakah kau sudah merasa tenang sekarang?" tanyanya. "Aku tidak akan membunuhmu, kalau itu yang kau maksud," jawabku datar. Luis tampak melepas napas lega, tampaknya sikapku kemarin betul-betul membuatnya takut. "Kau akan pergi kemana?" Luis kembali bertanya. "Menjauh dari tempat ini," jawabku malas, menepis tangan pelayan wanita yang sedang memasangkan kancing bajuku, dan mulai melakukannya sendiri. Luis mencubit batang hidungnya seolah kepalanya mendadak sakit. "Jayden ... bisakah kau berhenti membuatku terkena masalah?" Dia memulai lekturnya. "Raja Arthur sudah mengatakan kalau—" "Luis ... Luis ... Luis ...." Aku mengisyaratkan pada pelayan wanita tadi untuk meninggalkan kami, dan dia segera menuruti tanpa protes. Aku menatap Luis dengan alis terangkat. "Aku tidak mendengarkan saat si tua bangka itu bi
Seperti yang kubilang, anggota dewan konsil adalah sekumpulan orang tua membosankan, dan aku terpaksa harus mentolerir keberadaan mereka. Seharusnya aku menyelinap keluar selagi ada kesempatan. Aku meringis saat Colton menyikut perutku. Aku melempar tatapan sinis ke arahnya, namun anak bodoh ini sama sekali tidak peduli. "Berhenti melamun!" bisik/bentaknya. Aku memutar bola mata, bocah ini berpikir dia bisa mengaturku. Salah satu perwakilan dewan konsil terlihat sedang berbicara dengan si tua Arthur. "... Irealla membutuhkan kepastian, mereka ingin tau siapa diantara kedua pangeran yang menduduki posisi putra mahkota. Rakyat Irealla berhak mengetahui siapa yang akan menjadi raja mereka berikutnya," ucap pria yang paling tua. Pria itu tampaknya merupakan pemimpin dari rombongan ini. Aku mendesah pelan, sudah begitu bosan dengan semua pembahasan ini, aku bahkan tidak peduli siapa yang akan menjadi raja. Hell ... aku tidak pernah mengingink
Aku tersentak dari tidur saat seorang mendobrak pintu kamar. Segera menutupi tubuh Zava dengan selimut, dan melayangkan tatapan tajam pada siapapun yang berani mengganggu kami. Aku sedikit terkejut saat mendapati Luis yang sudah berada di hadapanku. Dia tak bereaksi terhadap ekspresiku dan melempar pakaian ke arahku. "Cepat kenakan pakaianmu dan temui aku di luar." Aku bisa merasakan Zava bergerak di sebelahku. Aku menunggu sampai Luis betul-betul keluar dan menutup pintu sebelum menatap ke arah Zava. Gadis itu tampak khawatir, gurat ketakutan tak dapat disembunyikan dari wajahnya. Aku mengusap kepalanya, menyingkirkan helai rambut yang jatuh menutupi sebagian wajahnya. "Tenanglah, Luis adalah orang kepercayaanku, dia tak akan membuka suara tentang kita." Kata-kataku tampaknya sedikit menghilangkan kecemasannya, namun aku tau Zava tak sepenuhnya percaya. Aku segera berpakaian dan menyusul Luis ke bawah. Reynold tampak tegang saat aku mel
Aku tersentak dari tidur saat seorang mendobrak pintu kamar. Segera menutupi tubuh Zava dengan selimut, dan melayangkan tatapan tajam pada siapapun yang berani mengganggu kami.Aku sedikit terkejut saat mendapati Luis yang sudah berada di hadapanku. Dia tak bereaksi terhadap ekspresiku dan melempar pakaian ke arahku."Cepat kenakan pakaianmu dan temui aku di luar." Aku bisa merasakan Zava bergerak di sebelahku.Aku menunggu sampai Luis betul-betul keluar dan menutup pintu sebelum menatap ke arah Zava. Gadis itu tampak khawatir, gurat ketakutan tak dapat disembunyikan dari wajahnya. Aku mengusap kepalanya, menyingkirkan helai rambut yang jatuh menutupi sebagian wajahnya."Tenanglah, Luis adalah orang kepercayaanku, dia tak akan membuka suara tentang kita." Kata-kataku tampaknya sedikit menghilangkan kecemasannya, namun aku tau Zava tak sepenuhnya percaya.Aku segera berpakaian dan menyusul Luis ke bawah. Reynold tampak tegang saat aku melihatn
Luis memasuki kamarku diikuti oleh beberapa pelayan. Masing-masing mereka membawa sesuatu dalam nampan perak yang ditutupi fabrik berwarna putih. Mereka meletakkan semua barang yang dibawa tadi ke atas tempat tidur. Tiga orang pelayan laki-laki segera mempersiapkan tempat mandi dan mengisi air hangat, sementara dua lainnya membantu melepas pakaianku. Aku segera berendam ke dalam air hangat yang telah dicampur esential oil dan membiarkan para pelayan membantu membersihkan tubuhku. Aku memperhatikan Luis membuka barang-barang yang tadi dibawa para pelayan tadi. Dia mengeluarkan beberapa pakaian dan perhiasan tradisional Irealla. Aku hanya mengamati Luis mempersiapkan semuanya. Aku segera berdiri begitu selesai dan seorang pelayan segera membantu mengeringkan tubuhku. Luis mengisyaratkan pada mereka semua untuk keluar dan mereka segera pergi membawa semua perlengkapan mandi yang telah dipakai tadi. "Kemari." Aku berjalan mendekat, m
Luis memasuki kamarku diikuti oleh beberapa pelayan. Masing-masing mereka membawa sesuatu dalam nampan perak yang ditutupi fabrik berwarna putih. Mereka meletakkan semua barang yang dibawa tadi ke atas tempat tidur. Tiga orang pelayan laki-laki segera mempersiapkan tempat mandi dan mengisi air hangat, sementara dua lainnya membantu melepas pakaianku. Aku segera berendam ke dalam air hangat yang telah dicampur esential oil dan membiarkan para pelayan membantu membersihkan tubuhku. Aku memperhatikan Luis membuka barang-barang yang tadi dibawa para pelayan tadi. Dia mengeluarkan beberapa pakaian dan perhiasan tradisional Irealla. Aku hanya mengamati Luis mempersiapkan semuanya. Aku segera berdiri begitu selesai dan seorang pelayan segera membantu mengeringkan tubuhku. Luis mengisyaratkan pada mereka semua untuk keluar dan mereka segera pergi membawa semua perlengkapan mandi yang telah dipakai tadi. "Kemari." Aku berjalan mendekat, m
Aku tersentak dari tidur saat seorang mendobrak pintu kamar. Segera menutupi tubuh Zava dengan selimut, dan melayangkan tatapan tajam pada siapapun yang berani mengganggu kami.Aku sedikit terkejut saat mendapati Luis yang sudah berada di hadapanku. Dia tak bereaksi terhadap ekspresiku dan melempar pakaian ke arahku."Cepat kenakan pakaianmu dan temui aku di luar." Aku bisa merasakan Zava bergerak di sebelahku.Aku menunggu sampai Luis betul-betul keluar dan menutup pintu sebelum menatap ke arah Zava. Gadis itu tampak khawatir, gurat ketakutan tak dapat disembunyikan dari wajahnya. Aku mengusap kepalanya, menyingkirkan helai rambut yang jatuh menutupi sebagian wajahnya."Tenanglah, Luis adalah orang kepercayaanku, dia tak akan membuka suara tentang kita." Kata-kataku tampaknya sedikit menghilangkan kecemasannya, namun aku tau Zava tak sepenuhnya percaya.Aku segera berpakaian dan menyusul Luis ke bawah. Reynold tampak tegang saat aku melihatn
Aku tersentak dari tidur saat seorang mendobrak pintu kamar. Segera menutupi tubuh Zava dengan selimut, dan melayangkan tatapan tajam pada siapapun yang berani mengganggu kami. Aku sedikit terkejut saat mendapati Luis yang sudah berada di hadapanku. Dia tak bereaksi terhadap ekspresiku dan melempar pakaian ke arahku. "Cepat kenakan pakaianmu dan temui aku di luar." Aku bisa merasakan Zava bergerak di sebelahku. Aku menunggu sampai Luis betul-betul keluar dan menutup pintu sebelum menatap ke arah Zava. Gadis itu tampak khawatir, gurat ketakutan tak dapat disembunyikan dari wajahnya. Aku mengusap kepalanya, menyingkirkan helai rambut yang jatuh menutupi sebagian wajahnya. "Tenanglah, Luis adalah orang kepercayaanku, dia tak akan membuka suara tentang kita." Kata-kataku tampaknya sedikit menghilangkan kecemasannya, namun aku tau Zava tak sepenuhnya percaya. Aku segera berpakaian dan menyusul Luis ke bawah. Reynold tampak tegang saat aku mel
Seperti yang kubilang, anggota dewan konsil adalah sekumpulan orang tua membosankan, dan aku terpaksa harus mentolerir keberadaan mereka. Seharusnya aku menyelinap keluar selagi ada kesempatan. Aku meringis saat Colton menyikut perutku. Aku melempar tatapan sinis ke arahnya, namun anak bodoh ini sama sekali tidak peduli. "Berhenti melamun!" bisik/bentaknya. Aku memutar bola mata, bocah ini berpikir dia bisa mengaturku. Salah satu perwakilan dewan konsil terlihat sedang berbicara dengan si tua Arthur. "... Irealla membutuhkan kepastian, mereka ingin tau siapa diantara kedua pangeran yang menduduki posisi putra mahkota. Rakyat Irealla berhak mengetahui siapa yang akan menjadi raja mereka berikutnya," ucap pria yang paling tua. Pria itu tampaknya merupakan pemimpin dari rombongan ini. Aku mendesah pelan, sudah begitu bosan dengan semua pembahasan ini, aku bahkan tidak peduli siapa yang akan menjadi raja. Hell ... aku tidak pernah mengingink
Seorang pelayan sedang membantuku pakaian saat Luis memasuki kamarku perlahan, dia tampak masih sedikit waspada mendekatiku. "Apakah kau sudah merasa tenang sekarang?" tanyanya. "Aku tidak akan membunuhmu, kalau itu yang kau maksud," jawabku datar. Luis tampak melepas napas lega, tampaknya sikapku kemarin betul-betul membuatnya takut. "Kau akan pergi kemana?" Luis kembali bertanya. "Menjauh dari tempat ini," jawabku malas, menepis tangan pelayan wanita yang sedang memasangkan kancing bajuku, dan mulai melakukannya sendiri. Luis mencubit batang hidungnya seolah kepalanya mendadak sakit. "Jayden ... bisakah kau berhenti membuatku terkena masalah?" Dia memulai lekturnya. "Raja Arthur sudah mengatakan kalau—" "Luis ... Luis ... Luis ...." Aku mengisyaratkan pada pelayan wanita tadi untuk meninggalkan kami, dan dia segera menuruti tanpa protes. Aku menatap Luis dengan alis terangkat. "Aku tidak mendengarkan saat si tua bangka itu bi
Hari sudah cukup gelap saat aku kembali ke kastil. Aku membiarkan angin membawaku naik ke kamarku di lantai dua, bersyukur karena tidak ada yang mengunci jendelanya selama aku pergi.Memasuki kamar, aku segera menutup jendela dan merebahkan diri di atas tempat tidur.Pintu kamar tiba-tiba terbuka dengan kasar dan Luis, sahabat sekaligus tangan kananku, masuk."Aku benar-benar bosan menutupi kelakuanmu." Aku menatapnya yang sudah lebih dulu menatap marah padaku. "Suatu hari aku tidak akan melindungimu, Jayden, jadi belajarlah untuk lebih bertanggung jawab." Aku memutar bola mata dan mengangkat tubuhku ke posisi duduk."Nice to meet you too," ucapku sarkas.Wajah Luis mengerut menunjukkan ekspresi jijik. "Dan lain kali kau memutuskan bermain-main, kau setidaknya bisa menghilangkan aroma mortal dari tubuhmu!" ucapnya jijik.Aku tertawa, sebelum berdiri dan mulai melepas pakaian."Apa masalahmu hari ini?" tanyaku."Masalahku? Lebih
Mengucapkan mantra singkat, aku menatap kilatan cahaya yang menjalar dari jemari, kilatan-kilatan itu tumbuh dan membentuk bola cahaya kebiruan berukuran kecil. Cahaya biru itu berputar perlahan, aku tersenyum saat ukurannya mulai membesar."Jayden!" Konsentrasiku terpecah hingga bola cahaya di tanganku tiba-tiba meluap, menciptakan letupan kecil sebelum lenyap.Menoleh ke belakang, sebuah senyuman tidak dapat kutahan melihat wajah kesalnya."Jayden, aku sudah memperingatkan untuk tidak ke sini." Matanya mencari-cari, seakan takut ada yang melihat. Aku hampir tertawa melihatnya."Mau bagaimana lagi, kau terus menolak untuk menemuiku." Aku mengulurkan tangan, mengisyaratkan agar dia mendekat.Zava masih terlihat kesal, tapi mulai berjalan ke arahku. Aku meraih tangannya ketika dia sudah cukup dekat dan mengarahkannya duduk di sampingku. Zava menghela napas, aku hanya tersenyum melihatnya."Jayden, kau tidak bisa selalu datang kemari, seorang