Di rumah, Khaira bimbang. Pikirannya terus tertujuk kepada neneknya yang sudah dibawa ke wisma, tempat singgah sementara hingga renovasi panti selesai dikerjakan. Sebenarnya dia sangat ingin membawa neneknya ke rumah, tapi Khair belum tahu apa-apa.
Adiknya itu bisa marah jika tahu Khaira bertemu neneknya. Cemas dan semakin takut lah Khaira. Untung ada Riang. Gadis itu janji akan membantu Khaira bicara dengan Khair.
Secangkir cappucino jadi andalan Riang untuk menenangkan Khair ketika keduanya bicara di kedai.
“Ada kabar baik,” ucap Riang.
“Apa?”
“Teh Khaira sudah setuju untuk melakukan pemeriksaan medis, tapi ....”
“Apa?”
“Hm ... dia minta kamu janji satu hal.”
“Apa?”
“Janji tidak marah kalau Teh Khaira bertemu nenek.”
Khair mendongak. “Maksud kamu apa?”
Jantung Riang hampir copot melihat bara di mata Khair. Tiba
Pemeriksaan medis dan psikoteraphy berjalan lancar. Khaira pun sudah mulai beraktivitas kembali di kedai. Tentu saja Khair tetap melakukan pengawasan penuh terhadapnya di samping lebih giat promosi dan kejar setoran. Maklum, biaya untuk keperluan medis Khaira cukup menguras tabungannya. Uang yang tadinya akan dia kumpulkan untuk kuliah S2, akhirnya digunakan untuk kesembuhan kakaknya.Di saat kesulitan keuangan, dokter Huda memberikan keringanan. Selain itu, paman Khair yang berada di Malaysia, tanpa disangka-sangka mengirimkan sejumlah uang.“Khair, jom cek rekening bank. Paman dah kirim hasil penjualan kebun oppa engkau yang jadi bagian engkau dan Khaira.” Rupanya sepetak kebun peninggalan neneknya di Putrajaya kini telah laku terjual. Khair sangat bersyukur karenanya.“Apa khabar awak dan Khaira?” tanya sang Paman lewat sambungan telepon. “Awak dah lulus kah dari university?”“Sudah, P
Khaira berjalan ke mini market yang terletak di kantin rumah sakit. Dia mau membeli makanan untuk pengurus panti yang sedang menjaga neneknya di ruang rawat inap. Khaira merasa perlu menyuguhi dan menyediakan makanan buat mereka sebelum dirinya meninggalkan sang Nenek untuk pergi menemui dokter Huda.Pikirannya benar-benar terbagi ke sana kemari. Diambilnya beberapa bungkus roti dan beberapa kotak susu UHT. Setelah keranjangnya penuh, dia pergi ke meja kasir. Disana seorang ibu seusia Bi Ocih tengah kelimpungan membayar belanjaan.“Sebentar, sepertinya saya lupa menaruh dompet.”Khaira agak lama mengantri di belakangnya.“Duh, dompet saya ketinggalan di ruang rawat. Boleh saya titip dulu belanjaannya disini? Nanti saya kembali,” kata ibu perpenampilan rapi dan anggun tersebut kepada kasir.“Maaf,” Khaira menyela. “Berapa semuanya? Biar saya bayarkan dulu!”Ibu tersebut menoleh dan menatap Khair
“Terserah Teteh,” kata Khair dengan wajah masam setelah Khaira menceritakan soal pertemuannya dengan nenek dan mengungkapkan bahwa dirinya ingin merawat nenek. Reaksi Khair sungguh tak terduga.Khaira kira, pemuda itu akan marah besar. Khaira bahkan perlu waktu untuk mengumpulkan keberanian. Setelah istikharah, barulah dia berani menghadap Khair dan mengungkapkan semuanya. Ternyata, Khair tidak marah, hanya saja raut wajahnya masam menunjukkan ketidaksukaan.“Tapi, jangan minta Khair menemui dia. Khair tidak mau ikut campur.”Meski tanya masih berkecamuk di benak Khaira, soal kenapa Khair tidak bisa membuka hatinya kepada nenek sendiri. Namun, Khaira mengambil kesempatan dari sikap lunak adiknya itu dengan mengucap terima kasih.Banyak perkataan pedas yang ditahan Khair di mulutnya demi menjaga perasaan sang Kakak yang belum sepenuhnya stabil. Untung, Khaira tidak memperpanjang pembahasan, jika tidak Khair pasti tidak tahan dan mem
“Ummi tahu dimana Ustaz Ahsan?” tanya Riang di telepon. “Setahu Ummi, Ahsan ada. Kata mamanya dia sedang di Singapura.” “Ngapain ke Singapura?” “Terus kamu, ngapain nanya-nanya?” “Ish ... ini darurat, Ummi. Rencana Riang bisa gagal kalau dia enggak datang.” “Rencana apa?” “Ummi kepo, deh.” “jangan macam-macam kamu, ah!” “Cuma satu macam, ko, Ummi.” “Bisikin sama Ummi, hayoo!” Riang berbisik-bisik di telepon. Namun, segera dia tutup saat tahu dirinya dipergoki Khair. “Hehe ... udah dulu, ya, Ummi.” Dia langsung melipir. “Kamu tadi nyebut soal Ustaz Ahsan?” tanya Khair penasaran. “Iya, memang kenapa?” “Dia dimana sekarang?” Gadis itu manyun. “Kalau aku tahu, udah aku suruh dia kesini sekarang juga.” “Memang kamu ada keperluan apa?” Riang diam. Sambil memeluk nampan, ditatapnya Khaira dari kejauhan. Entah kenapa dia tidak rela Khaira dilamar dokter Huda yang b
Lebih dari seminggu berada di Singapura. Beberapa minggu sebelumnya, dia habiskan waktu untuk melacak keberadaan Arabella, istri kedua papanya di luar kota.Masih segar diingatan Ahsan, panggilan sang Mama yang memberitahu bahwa papanya sudah pulih. Hari itu Ahsan masih berada di masjid usai membagikan bingkisan kepada lansia panti wreda. Dia langsung meluncur ke rumah sakit hingga menolak permintaan ummi Latifah untuk mengantar pulang Khaira.Di rumah sakit, papanya yang baru pulih, langsung menanyakan soal Arabella. Panas hati Ahsan mendengarnya.“Setelah apa yang dia lakukan, Papa masih peduli kepadanya?” tanya Ahsan meluapkan kesal meski tak terdengar dari nada bicaranya yang tetap halus kepada orang tua.“Papa ... “ Dean Yassa, papa Ahsan masih mengap-mengap. “Papa mau ceraikan dia.” Dengan bahasa isyarat, dia minta putranya mendekat, “Cari dia!” bisiknya.“Dia sudah tidak ada di kota ini,
“Assalamualaikum.” Demikian bunyi pesan masuk di handphone Khair. Sebuah pesan yang membuat matanya berbinar-binar. Pesan itu dikirim atas nama seseorang yang memang sedang dia rindukan, Ustaz Ahsan.Tanpa membalas pesan, Khair langsung melakukan panggilan. Dadanya sungguh membuncah dengan kegembiraan. Akhirnya dia bisa terhubung lagi dengan dosen sekaligus sahabatnya itu setelah sekian lama.“Ustaz.”“Khair.”Mereka saling menyapa, meluapkan kerinduan dan sama-sama ingin mengutarakan pesan yang selamaini tertunda untuk disampaikan.“Saya ingin sekali bertemu Ustaz.”“Saya juga ingin sekali bertemu dengan kamu.”“Apakah besok Ustaz ada waktu?”“Insya Allah, saya juga ingin secepatnya menemui kamu.”“Kalau begitu, mari kita bertemu, Ustaz.”“Baik, besok saya akan ke kedai kopi.”“Siap, Ustaz. Nan
Khair merasa sangat lega. Kakaknya sudah dilamar dan akan segera menikah. Dia pun tidak perlu meanggar sumpah. Sebab, dia sudah mendaftar S2 dan mengantongi beasiswa ke Malaysia. Pada akhirnya, dia bisa melanjutkan kuliah setelah Khaira menikah.“Paman, Khair datang ...!” sorak Khair dalam benaknya. Dia sendiri belum mengabarkan apa-apa kepada sang Paman. Rencananya, dia mau bikin kejutan.Sejauh ini segalanya berjalan lancar. Konfirmasi dari kampus yang ditujunya sudah di tangan. Khair juga sudah mendapatkan jadwal ujian masuk. Dia hanya tinggal menyiapkan semua keperluan untuk keberangkatannya bulan depan.Wisuda tinggal menghitung hari. Hanya tanggal pernikahan Khaira saja yang belum ditentukan. Dokter Huda masih harus berdiskusi dengan keluarganya. Jarak membuat proses itu sedikit terhambat. Namun
“Mau Khair antar, Teh?” tawar Khair ketika Khaira bersiap pergi ke rumah sakit. Pagi itu dia hanya datang sebentar untuk membuka kedai dan membantu Bi Ocih menyiapkan keperluan di kedai. Setelahnya, dia pamitan.“Enggak usah. Teteh jalan sendiri aja, biar lebih hemat.”Khair tertawa. Namanya juga antar jemput naik angkot, ongkos pasti doble jadinya. “Kalau gitu, naik taksi online aja, teh. Atau ... minta jemput sama Aa dokter.”Khaira melotot. Sedangkan Bi Ocih cekikikan di belakang gadis itu.“Sudah, ya.Teteh pergi dulu! Assalamualaikum.” Khaira berusaha menghindar. Sungguh pun dia dan dokter Huda sudah berencana menikah, tapi tetap saja Khaira malu jika apa-apa tentang dirinya dihubung-hubungkan terus dengan lelaki itu.Di rumah sakit pun, Khaira tidak menemui dokter Huda karena memang tidak ada jadwal psikoteraphy hari itu. Dia ke sana khusus untuk menjenguk nenek dan mengiriminya makanan.K