Khaira keluar dari kamar bersama Riang. Gadis itu mau pamit pulang. Namun, di ruang tengah langkah keduanya terhenti karena mendapati seorang tamu tengah berbincang dengan Khair.
“Apa kabar, Khaira?” sapa tamu tersebut yang tidak lain adalah dokter Huda.
Khaira tergagap, “Ba ... baik, Dok.”
Riang terkesima melihat tatapan Dokter Huda kepada Khaira. Apalagi senyumnya, bikin Riang deg-degan. Beda dengan senyum Khair yang manisnya tipis, senyum Pak Dokter satu ini sungguh berwibawa tapi tetap legit.
“Astaghfirullah ....” gumam gadis imut yang gampang terbawa perasaan itu.
Khaira mengamit tangan Riang. Dia seolah berkata, ‘Jangan dulu pulang!’ dan Riang meresponnya dengan tetap berdiri di tempat.
“Teteh sama Riang sudah selesai ngobrol?” tanya Khair.
Khaira tidak menjawab. Dia semakin mengeratkan gengaman tangannya kepada Riang seperti takut ditinggalkan sendirian.
“
Apa yang akan dilakukan Khaira?
Di rumah, Khaira bimbang. Pikirannya terus tertujuk kepada neneknya yang sudah dibawa ke wisma, tempat singgah sementara hingga renovasi panti selesai dikerjakan. Sebenarnya dia sangat ingin membawa neneknya ke rumah, tapi Khair belum tahu apa-apa.Adiknya itu bisa marah jika tahu Khaira bertemu neneknya. Cemas dan semakin takut lah Khaira. Untung ada Riang. Gadis itu janji akan membantu Khaira bicara dengan Khair.Secangkir cappucino jadi andalan Riang untuk menenangkan Khair ketika keduanya bicara di kedai.“Ada kabar baik,” ucap Riang.“Apa?”“Teh Khaira sudah setuju untuk melakukan pemeriksaan medis, tapi ....”“Apa?”“Hm ... dia minta kamu janji satu hal.”“Apa?”“Janji tidak marah kalau Teh Khaira bertemu nenek.”Khair mendongak. “Maksud kamu apa?”Jantung Riang hampir copot melihat bara di mata Khair. Tiba
Pemeriksaan medis dan psikoteraphy berjalan lancar. Khaira pun sudah mulai beraktivitas kembali di kedai. Tentu saja Khair tetap melakukan pengawasan penuh terhadapnya di samping lebih giat promosi dan kejar setoran. Maklum, biaya untuk keperluan medis Khaira cukup menguras tabungannya. Uang yang tadinya akan dia kumpulkan untuk kuliah S2, akhirnya digunakan untuk kesembuhan kakaknya.Di saat kesulitan keuangan, dokter Huda memberikan keringanan. Selain itu, paman Khair yang berada di Malaysia, tanpa disangka-sangka mengirimkan sejumlah uang.“Khair, jom cek rekening bank. Paman dah kirim hasil penjualan kebun oppa engkau yang jadi bagian engkau dan Khaira.” Rupanya sepetak kebun peninggalan neneknya di Putrajaya kini telah laku terjual. Khair sangat bersyukur karenanya.“Apa khabar awak dan Khaira?” tanya sang Paman lewat sambungan telepon. “Awak dah lulus kah dari university?”“Sudah, P
Khaira berjalan ke mini market yang terletak di kantin rumah sakit. Dia mau membeli makanan untuk pengurus panti yang sedang menjaga neneknya di ruang rawat inap. Khaira merasa perlu menyuguhi dan menyediakan makanan buat mereka sebelum dirinya meninggalkan sang Nenek untuk pergi menemui dokter Huda.Pikirannya benar-benar terbagi ke sana kemari. Diambilnya beberapa bungkus roti dan beberapa kotak susu UHT. Setelah keranjangnya penuh, dia pergi ke meja kasir. Disana seorang ibu seusia Bi Ocih tengah kelimpungan membayar belanjaan.“Sebentar, sepertinya saya lupa menaruh dompet.”Khaira agak lama mengantri di belakangnya.“Duh, dompet saya ketinggalan di ruang rawat. Boleh saya titip dulu belanjaannya disini? Nanti saya kembali,” kata ibu perpenampilan rapi dan anggun tersebut kepada kasir.“Maaf,” Khaira menyela. “Berapa semuanya? Biar saya bayarkan dulu!”Ibu tersebut menoleh dan menatap Khair
“Terserah Teteh,” kata Khair dengan wajah masam setelah Khaira menceritakan soal pertemuannya dengan nenek dan mengungkapkan bahwa dirinya ingin merawat nenek. Reaksi Khair sungguh tak terduga.Khaira kira, pemuda itu akan marah besar. Khaira bahkan perlu waktu untuk mengumpulkan keberanian. Setelah istikharah, barulah dia berani menghadap Khair dan mengungkapkan semuanya. Ternyata, Khair tidak marah, hanya saja raut wajahnya masam menunjukkan ketidaksukaan.“Tapi, jangan minta Khair menemui dia. Khair tidak mau ikut campur.”Meski tanya masih berkecamuk di benak Khaira, soal kenapa Khair tidak bisa membuka hatinya kepada nenek sendiri. Namun, Khaira mengambil kesempatan dari sikap lunak adiknya itu dengan mengucap terima kasih.Banyak perkataan pedas yang ditahan Khair di mulutnya demi menjaga perasaan sang Kakak yang belum sepenuhnya stabil. Untung, Khaira tidak memperpanjang pembahasan, jika tidak Khair pasti tidak tahan dan mem
“Ummi tahu dimana Ustaz Ahsan?” tanya Riang di telepon. “Setahu Ummi, Ahsan ada. Kata mamanya dia sedang di Singapura.” “Ngapain ke Singapura?” “Terus kamu, ngapain nanya-nanya?” “Ish ... ini darurat, Ummi. Rencana Riang bisa gagal kalau dia enggak datang.” “Rencana apa?” “Ummi kepo, deh.” “jangan macam-macam kamu, ah!” “Cuma satu macam, ko, Ummi.” “Bisikin sama Ummi, hayoo!” Riang berbisik-bisik di telepon. Namun, segera dia tutup saat tahu dirinya dipergoki Khair. “Hehe ... udah dulu, ya, Ummi.” Dia langsung melipir. “Kamu tadi nyebut soal Ustaz Ahsan?” tanya Khair penasaran. “Iya, memang kenapa?” “Dia dimana sekarang?” Gadis itu manyun. “Kalau aku tahu, udah aku suruh dia kesini sekarang juga.” “Memang kamu ada keperluan apa?” Riang diam. Sambil memeluk nampan, ditatapnya Khaira dari kejauhan. Entah kenapa dia tidak rela Khaira dilamar dokter Huda yang b
Lebih dari seminggu berada di Singapura. Beberapa minggu sebelumnya, dia habiskan waktu untuk melacak keberadaan Arabella, istri kedua papanya di luar kota.Masih segar diingatan Ahsan, panggilan sang Mama yang memberitahu bahwa papanya sudah pulih. Hari itu Ahsan masih berada di masjid usai membagikan bingkisan kepada lansia panti wreda. Dia langsung meluncur ke rumah sakit hingga menolak permintaan ummi Latifah untuk mengantar pulang Khaira.Di rumah sakit, papanya yang baru pulih, langsung menanyakan soal Arabella. Panas hati Ahsan mendengarnya.“Setelah apa yang dia lakukan, Papa masih peduli kepadanya?” tanya Ahsan meluapkan kesal meski tak terdengar dari nada bicaranya yang tetap halus kepada orang tua.“Papa ... “ Dean Yassa, papa Ahsan masih mengap-mengap. “Papa mau ceraikan dia.” Dengan bahasa isyarat, dia minta putranya mendekat, “Cari dia!” bisiknya.“Dia sudah tidak ada di kota ini,
“Assalamualaikum.” Demikian bunyi pesan masuk di handphone Khair. Sebuah pesan yang membuat matanya berbinar-binar. Pesan itu dikirim atas nama seseorang yang memang sedang dia rindukan, Ustaz Ahsan.Tanpa membalas pesan, Khair langsung melakukan panggilan. Dadanya sungguh membuncah dengan kegembiraan. Akhirnya dia bisa terhubung lagi dengan dosen sekaligus sahabatnya itu setelah sekian lama.“Ustaz.”“Khair.”Mereka saling menyapa, meluapkan kerinduan dan sama-sama ingin mengutarakan pesan yang selamaini tertunda untuk disampaikan.“Saya ingin sekali bertemu Ustaz.”“Saya juga ingin sekali bertemu dengan kamu.”“Apakah besok Ustaz ada waktu?”“Insya Allah, saya juga ingin secepatnya menemui kamu.”“Kalau begitu, mari kita bertemu, Ustaz.”“Baik, besok saya akan ke kedai kopi.”“Siap, Ustaz. Nan
Khair merasa sangat lega. Kakaknya sudah dilamar dan akan segera menikah. Dia pun tidak perlu meanggar sumpah. Sebab, dia sudah mendaftar S2 dan mengantongi beasiswa ke Malaysia. Pada akhirnya, dia bisa melanjutkan kuliah setelah Khaira menikah.“Paman, Khair datang ...!” sorak Khair dalam benaknya. Dia sendiri belum mengabarkan apa-apa kepada sang Paman. Rencananya, dia mau bikin kejutan.Sejauh ini segalanya berjalan lancar. Konfirmasi dari kampus yang ditujunya sudah di tangan. Khair juga sudah mendapatkan jadwal ujian masuk. Dia hanya tinggal menyiapkan semua keperluan untuk keberangkatannya bulan depan.Wisuda tinggal menghitung hari. Hanya tanggal pernikahan Khaira saja yang belum ditentukan. Dokter Huda masih harus berdiskusi dengan keluarganya. Jarak membuat proses itu sedikit terhambat. Namun
Dear Good Novel readers, Terima kasih saya ucapkan untuk pembaca setia Khair dan Khaira. Semoga ending kisah ini menyenangkan. Saya harap pembaca bisa mengambil sesuatu di dalamnya. Bukan sekedar hiburan yang menyenangkan, tetapi saya juga ingin pembaca merasakan manfaat dari bacaannya. Semoga ada hikmah atau pelajaran yang bisa diambil dalam cerita ini dan bisa menjadi kebermanfaatan bagi semua pembacanya. Mohon maaf atas segala kekurangan dan kekeliruan yang mungkin tertulis di dalamnya. Saya sangat mengharapkan masukan dan saran dari semuanya sehingga saya bisa melakukan perbaikan pada karya-karya berikutnya. Oh, iya ... apakah Khair dan Khaira perlu dibuat sekuelnya? Sebenarnya, ide untuk melanjutkan kisah ini sudah ada. Namun, saya perlu pendapat dari pembaca juga. Tolong berikan masukan dan saran di kolom komentar, ya. Sekali lagi, terima kasih bayak atas dukungannya, baik dalam bentuk vote, komentar, maupun ulasan tentan
“Jangan nangis, Teh,” bisik Khair saat mereka berpelukan. “Khair enggak bawa sapu tangan.” Pemuda itu tertawa. Namun, matanya jelas berkaca-kaca. Dia juga merasa berat meninggalkan kakaknya.Khaira menggelengkan kepala. “Awas kamu ... jangan kangen sama tumis kangkung Teteh loh, ya ...!”Tanpa sadar keduanya sesenggukan.“Khair mau minta sesuatu sama Teteh ....” ucap dia sebelum melepas pelukan.“Apa?”“Khair minta keponakan!” Dia terkekeh sambil mengusap bulir yang jatuh jatuh dari sudut matanya.“Kamu mah ....” Khaira melepas pelukan sambil mencubit lengan adiknya.Khair meringis.“Kenapa?” tanya Ahsan khawatir.“Khair lupa minum obat,” sahut Khaira sekenanya. Mukanya sudah kemerah-merahan menahan malu campur kesal. Jika tidak ingat bahwa hari itu adalah pertemuan terakhirnya dengan sang Adik sebelum pergi dalam
Sehari setelah pernikahan Khaira dengan Ahsan, Khair dijadwalkan terbang ke Malaysia. Pemuda yang akan menjalani perkuliahan pascasarjana itu sudah menyiapkan koper dan bekal.Dia sudah janjian dengan Ahsan dan Khaira yang akan datang menjemput dan mengantarnya ke Bandara. Jadi, begitu terdengar ketukan di pintu, Khair langsung keluar dengan wajah ceria. Namun, langkahnya terhenti kala mendapati seseorang berdiri di dekat pintu masuk. Orang itu bukan kakaknya.Khair menatap heran. Keberadaan orang tersebut sungguh di luar dugaannya.“Hm ....” Khair jadi speechless. “Kenapa kamu ada di sini?” tanyanya kepada sosok wanita bercadar yang tampak sudah lama berdiri di depan pintu itu. Dari mata dan tatapannya saja Khair langsung bisa mengenali siapa wanita itu.“Riang ke sini hanya mau menyampaikan sesuatu.”Heran bercampur penasaran membuat jantung Khair sedikit berdebar. “Apa yang mau disampaikan Riang?”
Ekspresi muka Khaira tidak berubah. Dia belum dapat jawaban yang diinginkannya. Eh, malah ditertawakan. Menyebalkan sekali suaminya. Mana bisa Khaira percaya.“Saya sudah suka sama kamu sejak lama,” kata Ahsan. Kali ini mukanya serius supaya bisa dipercaya.“Sejak kapan?” Khaira sama sekali tidak mengubah ekspresinya. Selama ini dia pikir Ahsan bahkan tidak pernah memperhatikannya sama sekali. Boro-boro jatuh cinta, jika saling bertatapan saja dia langsung buang muka.Ahsan nyengir lagi. “Hm ... itu sepertinya sejak nama kita tertulis di lauhul mahfudz.”Khaira menghela napas. Lelah hayati dia mengharapkan jawaban serius dari orang serius yang ternyata suka bercanda.Ekspresi kesal itu terbaca. Ahsan lantas berkata, “Saya tidak tahu tepatnya, tapi sejak melihat kamu sepuluh atau sebelas tahun lalu, saya tidak bisa melupakan kamu.”Khaira memicingkan mata sambil menghitung mundur ke
Ketika segala sesuatu berlaku sesuai kehendak-Nya, maka segala jalan terbuka dengan sendirinya. Tidak ada aral apapun yang merintangi perjalanan sang Waktu hingga menyatukan Ahsan dan Khaira di depan penghulu.Sebagai wali dari kakaknya, Khair menjabat tangan Ahsan dan mengucap ijab dengan mantap. Demikian juga Ahsan, mengucap qabul dengan mantap dalam satu tarikan napas. Saat itu, tepat sehari sebelum jadwal keberangkatan Khair, arasy berguncang tersebab sebuah ikrar yang beratnya seperti perjanjian ketika Allah mengangkat seorang rasul bagi manusia. Itulah akad yang disebut sebagai mitsaqan Ghaliza.Hari itu, telah Khair tunaikan sumpahnya. Telah tunai pula tanggung jawabnya menjaga sang Kakak sebagaimana diamanahkan orang tuanya. Meski bahagia, air matanya tumpah juga. Apalagi ketika Khaira dan Ahsan bergantian memeluknya.“Teteh jangan nangis!” kata Khair sambil mengusap pipi kakaknya. Padahal air mata dia lebih deras daripada bulir bening di mat
Persoalan nikah membuat Khaira gelisah, terutama karena calon suaminya adalah Ahsan. “Kenapa harus dia sih?” pikir Khaira. Lama-lama wanita itu jadi greget ingin mengintrogasi adiknya. Namun, sejak acara lamaran di kedai waktu itu, Khaira menahan keinginan itu demi kelancaran Khair dalam menempuh studinya. Meski hari pernikahannya kian dekat, Khaira berusaha tidak terlalu memikirkannya. Meski begitu, masih ada satu ganjalan di hatinya yakni tentang seseorang yang dia lihat tanpa sengaja di rumah sakit tempo hari. “Apa Ahsan mengenalnya?” Pertanyaan itu terus berkelindan di kepalanya tanpa berani dia utarakan kepada siapapun. Sampai pada jadwal terapi berikutnya, Khaira datang ke rumah sakit. Untuk pertama kalinya, dia bertemu psikiater baru pengganti dokter Huda. Di sana, seusai terapi, tanpa sengaja Khaira berpapasan dengan Ahsan. Dia merasa sangat canggung. Namun seulas senyum hangat yang disuguhkan lelaki di depannya itu mampu mencairkan suasana. “
Khaira percaya kepada Khair. Dia bahkan tidak mencari tahu soal calon yang disodorkan adiknya hingga mereka dipertemukan di kedai. Hari itu Khaira keluar untuk memberi makan kucing-kucing di pelataran. Seorang ibu berpakaian rapi nampak berdiri mengamati kedainya dari pinggir jalan. Khaira pun memperhatikan gerak-gerik wanita itu sambil memberi makan kucing-kucing yang mengerubungi kakinya. Wanita itu kemudian berjalan ke arah kedai kopi sambil menenteng beberapa paper bag. Lamat-lamat, Khaira dapat melihat wajahnya dengan jelas. “Maaf, bukankah ibu yang waktu itu belanja di mini market rumah sakit?” tanya Khaira. Ekspresi terkejut di wajah wanita itu berubah sumringah. Dia tersenyum ramah sambil menganggukan kepala. “Apakah kamu Khaira?” “Iya. Saya Khaira.” Wanita itu mengulurkan tangan meski heran, bagaimana ibu tersebut bisa menebak dengan tepat siapa dirinya. “Mungkin karena aprone dan kedai ini,” pikir Khaira. “Masya Allah.”
Khair tiba di kedai sesaat setelah Khaira pergi. Jadi dia tidak bisa langsung memberitahu ‘kabar ajaib’ yang dibekalnya dari restoran.“Teh Khaira kemana gitu, Bi?” tanya Khair gemas sekali. Tidak mungkin kan dia menyampaikan kabar sepenting itu di telepon atau pesan teks.“Katanya sih ke panti, nemenin Neng Riang yang mau perpisahan,” terang Bi Ocih.”Perpisahan?” Khair mengernyitkan dahi.Bi Ocih mengangguk sambil kipas-kipas melepas lelah.“Perpisahan apa?” tanya Khair sambil tetap jaga image. Jangan sampai Bi Ocih beranggapan dia kepo atau penasaran soal Riang.Dari cengiran wanita itu Khair bisa menebak apa yang akan dikatakan, “Kepo, ya?”“Bibi mah ....” Khair jadi salah tingkah. Akhirnya dia mengalah dan memutuskan mengakhiri pembicaraan. Biar nanti dia tanya Teh Khaira saja sepulang dari sana. Begitu rencana dia.***“Teh Kh
Khair pergi ke hotel tersebut bukan untuk menemui bos pemiliknya ataupun berniat mengungkap kembali kasus Khaira. Dia kesana hanya dengan satu tujuan, yakni berkonsultasi tentang kafarat sumpah yang akan dibatalkannya.Mereka beremu di restoran sebelum pertemuan tak terduga dengan bos besar itu terjadi.Ketika Khair tiba, seorang pria berperawakan proporsional dengan raut wajah ramah menyambut Khair di salah satu meja. Dia memakai jas bergaya single breasted sebagai outer yang dipadukan dengan kurta.Khair tertegun sejenak sebelum berani menyapa. Penampilan pria itu membuatnya khawatir salah mengenali orang. Dari kejauhan dia memang terlihat seperti artis India atau Pakistan. Namun, dari dekat nampak bahwa wajahnya familiar.“Syukurlah kamu bisa datang lebih awal,” kata Ahsan, lelaki yang ditemui Khair di tempat tersebut. Senyumnya mengembang tanpa baking soda, namun terlihat manis seperti mengandung gula.“Alhamdulill