“Terserah Teteh,” kata Khair dengan wajah masam setelah Khaira menceritakan soal pertemuannya dengan nenek dan mengungkapkan bahwa dirinya ingin merawat nenek. Reaksi Khair sungguh tak terduga.
Khaira kira, pemuda itu akan marah besar. Khaira bahkan perlu waktu untuk mengumpulkan keberanian. Setelah istikharah, barulah dia berani menghadap Khair dan mengungkapkan semuanya. Ternyata, Khair tidak marah, hanya saja raut wajahnya masam menunjukkan ketidaksukaan.
“Tapi, jangan minta Khair menemui dia. Khair tidak mau ikut campur.”
Meski tanya masih berkecamuk di benak Khaira, soal kenapa Khair tidak bisa membuka hatinya kepada nenek sendiri. Namun, Khaira mengambil kesempatan dari sikap lunak adiknya itu dengan mengucap terima kasih.
Banyak perkataan pedas yang ditahan Khair di mulutnya demi menjaga perasaan sang Kakak yang belum sepenuhnya stabil. Untung, Khaira tidak memperpanjang pembahasan, jika tidak Khair pasti tidak tahan dan mem
“Ummi tahu dimana Ustaz Ahsan?” tanya Riang di telepon. “Setahu Ummi, Ahsan ada. Kata mamanya dia sedang di Singapura.” “Ngapain ke Singapura?” “Terus kamu, ngapain nanya-nanya?” “Ish ... ini darurat, Ummi. Rencana Riang bisa gagal kalau dia enggak datang.” “Rencana apa?” “Ummi kepo, deh.” “jangan macam-macam kamu, ah!” “Cuma satu macam, ko, Ummi.” “Bisikin sama Ummi, hayoo!” Riang berbisik-bisik di telepon. Namun, segera dia tutup saat tahu dirinya dipergoki Khair. “Hehe ... udah dulu, ya, Ummi.” Dia langsung melipir. “Kamu tadi nyebut soal Ustaz Ahsan?” tanya Khair penasaran. “Iya, memang kenapa?” “Dia dimana sekarang?” Gadis itu manyun. “Kalau aku tahu, udah aku suruh dia kesini sekarang juga.” “Memang kamu ada keperluan apa?” Riang diam. Sambil memeluk nampan, ditatapnya Khaira dari kejauhan. Entah kenapa dia tidak rela Khaira dilamar dokter Huda yang b
Lebih dari seminggu berada di Singapura. Beberapa minggu sebelumnya, dia habiskan waktu untuk melacak keberadaan Arabella, istri kedua papanya di luar kota.Masih segar diingatan Ahsan, panggilan sang Mama yang memberitahu bahwa papanya sudah pulih. Hari itu Ahsan masih berada di masjid usai membagikan bingkisan kepada lansia panti wreda. Dia langsung meluncur ke rumah sakit hingga menolak permintaan ummi Latifah untuk mengantar pulang Khaira.Di rumah sakit, papanya yang baru pulih, langsung menanyakan soal Arabella. Panas hati Ahsan mendengarnya.“Setelah apa yang dia lakukan, Papa masih peduli kepadanya?” tanya Ahsan meluapkan kesal meski tak terdengar dari nada bicaranya yang tetap halus kepada orang tua.“Papa ... “ Dean Yassa, papa Ahsan masih mengap-mengap. “Papa mau ceraikan dia.” Dengan bahasa isyarat, dia minta putranya mendekat, “Cari dia!” bisiknya.“Dia sudah tidak ada di kota ini,
“Assalamualaikum.” Demikian bunyi pesan masuk di handphone Khair. Sebuah pesan yang membuat matanya berbinar-binar. Pesan itu dikirim atas nama seseorang yang memang sedang dia rindukan, Ustaz Ahsan.Tanpa membalas pesan, Khair langsung melakukan panggilan. Dadanya sungguh membuncah dengan kegembiraan. Akhirnya dia bisa terhubung lagi dengan dosen sekaligus sahabatnya itu setelah sekian lama.“Ustaz.”“Khair.”Mereka saling menyapa, meluapkan kerinduan dan sama-sama ingin mengutarakan pesan yang selamaini tertunda untuk disampaikan.“Saya ingin sekali bertemu Ustaz.”“Saya juga ingin sekali bertemu dengan kamu.”“Apakah besok Ustaz ada waktu?”“Insya Allah, saya juga ingin secepatnya menemui kamu.”“Kalau begitu, mari kita bertemu, Ustaz.”“Baik, besok saya akan ke kedai kopi.”“Siap, Ustaz. Nan
Khair merasa sangat lega. Kakaknya sudah dilamar dan akan segera menikah. Dia pun tidak perlu meanggar sumpah. Sebab, dia sudah mendaftar S2 dan mengantongi beasiswa ke Malaysia. Pada akhirnya, dia bisa melanjutkan kuliah setelah Khaira menikah.“Paman, Khair datang ...!” sorak Khair dalam benaknya. Dia sendiri belum mengabarkan apa-apa kepada sang Paman. Rencananya, dia mau bikin kejutan.Sejauh ini segalanya berjalan lancar. Konfirmasi dari kampus yang ditujunya sudah di tangan. Khair juga sudah mendapatkan jadwal ujian masuk. Dia hanya tinggal menyiapkan semua keperluan untuk keberangkatannya bulan depan.Wisuda tinggal menghitung hari. Hanya tanggal pernikahan Khaira saja yang belum ditentukan. Dokter Huda masih harus berdiskusi dengan keluarganya. Jarak membuat proses itu sedikit terhambat. Namun
“Mau Khair antar, Teh?” tawar Khair ketika Khaira bersiap pergi ke rumah sakit. Pagi itu dia hanya datang sebentar untuk membuka kedai dan membantu Bi Ocih menyiapkan keperluan di kedai. Setelahnya, dia pamitan.“Enggak usah. Teteh jalan sendiri aja, biar lebih hemat.”Khair tertawa. Namanya juga antar jemput naik angkot, ongkos pasti doble jadinya. “Kalau gitu, naik taksi online aja, teh. Atau ... minta jemput sama Aa dokter.”Khaira melotot. Sedangkan Bi Ocih cekikikan di belakang gadis itu.“Sudah, ya.Teteh pergi dulu! Assalamualaikum.” Khaira berusaha menghindar. Sungguh pun dia dan dokter Huda sudah berencana menikah, tapi tetap saja Khaira malu jika apa-apa tentang dirinya dihubung-hubungkan terus dengan lelaki itu.Di rumah sakit pun, Khaira tidak menemui dokter Huda karena memang tidak ada jadwal psikoteraphy hari itu. Dia ke sana khusus untuk menjenguk nenek dan mengiriminya makanan.K
Lepas subuh, Khaira ditelepon Mbak pengurus panti yang menjaga neneknya.“Mbak Khaira bisa ke rumah sakit sekarang?”“Ada apa, Mbak?”“Neneknya Mbak ... meninggal dunia.”Bak disambar petir, Khaira menjatuhkan gawainya tanpa sadar. Bulir bening sudah membasahi pipinya. Dia langsung memanggil Khair.Adiknya itu tidak bisa menolak ketika sang Kakak memintanya mengantar ke rumah sakit. Mereka langsung meluncur dengan motor pinjaman dari Mang Ajat.Sepanjang jalan Khaira menangis di punggung adiknya. Dia bahkan tidak tahu apa yang terjadi kepada neneknya, sebab kemarin semuanya baik-baik saja.“Tabah ya, Mbak. Ikhlaskan ....” Mbak pengurus panti memeluk Khaira.“Apa yang terjadi dengan nenek? Kenapa Mbak enggak ngabarin dari semalam?”“Tadi sore, anak dan menantunya nenek kemari. Saya tahu mereka karena dulu mereka yang membawa nenek ke panti.” Mba
“Selamat datang di kedai kopi Khaira,” sambut Khaira, bersama segaris senyum yang mempercantik wajahnya. “Ibu mau pesan apa?” tanyanya kepada seorang pelanggan wanita setengah tua yang muncul di kedainya sore itu.Wanita itu berwajah ayu, hasil perawatan yang tentunya tidak murah. Usianya sudah diatas 50, namun masih terlihat segar seperti masih berusia 40-an. Menenteng tas tangan tangan, penampilannya memang sederhana, tapi harganya pasti luar biasa. Tasnya branded, outfitnya stylish, bahkan kaca matanya saja dari merek terkenal.Khaira dan apronenya nampak kumal di hadapan dia.“Kamu yang bernama Khaira?” tanya wanita itu dengan tatapan tajam.“Iya. Ibu siapa?”Wanita itu tegas dan luga menjawab, “Saya ibunya Huda.”Khaira tergagap. “Ibu ... oh, iya.” Dia mengulurkan tangan untuk menyalami wanita itu. Namun, tak ditanggapi. “Mari duduk dulu, Bu.” Khaira lan
Ambyar sudah mimpi indah Riang untuk bisa meresmikan hubungan dengan Khair, setelah pemuda itu bicara baik-baik kepadanya ketika menutup kedai hari itu. “Soal tadi, aku minta maaf!” ucap Khair. Riang mengangguk lemah. “Yang jelas, aku mau fokus kuliah S2. Aku belum mau menikah, dengan kamu atau siapapun juga. Kecuali, jika Allah berkehendak. Paham, kan?” Riang mengangguk semakin lemah. “Salam buat Abi kamu, ya!” Khair mengunci pintu kedai. “Semoga kamu dapat jodoh yang terbaik, Riang!” Mata Riang berkaca-kaca. Dia tidak pernah menyerah memperjuangkan sesuatu yang diinginkannya. Namun tentang Khair, dia pun tidak bisa memaksa. Soal jodoh, Allah lah yang mengaturnya. Riang sadar akan hal itu. Dia hanya merasa malu karena ini pertama kalinya dia ditolak. Padahal biasanya, dia yang menampik orang orang lain. Dia juga merasa takut, jika dijodhkan dengan orang yang tidak dia suka. Namun, dia tidak mungkin menahan langka