Pagi hari aku berangkat ke galeri, aku berharap perpisahanku dengan Sintya tak membuatku kehilangan pekerjaan, aku berusaha rajin dan berangkat pagi, ke galeri. Agar Sintya tak marah dan kembali mengusirku seperti kemarin.Dengan mengendarai motor matic milik Eva, aku meninggalkan rumah, saat aku berangkat Eva masih tertidur lelap, aku sengaja tak membangunkannya, agar dia istirahat cukup dan bisa kembali tenang hari ini setelah perseteruan di rumah Sintya kemarin.Aku tinggalkan sepiring nasi goreng dan segelas susu untuk sarapan, dan aku meletakkannya di atas meja samping ranjang, berharap ia bisa langsung menyantapnya setelah bangun tidur. Tak lupa aku pamit berangkat kerja, yang kusampaikan di memo yang terselip di sampingnya.Aku lajukan kendaraanku membelah jalanan yang ramai, pikiranku melayang, mulai memikirkan nasibku yang tak lagi mujur seperti dulu.Bagaimana jika sewaktu-waktu Sintya tak mengizinkanku bekerja di galeri, haruskah aku mulai mencari pekerjaan lain untuk jaga-
Aku tak menyangka jika aku benar-benar terusir dari geleri ini, dengan lesu aku melangkah menuju sudut ruangan, tempat kardus berisi barang-barang milikku, memang sih, itu barang receh, dan tak penting, tapi syukur Sintya masih menghargai itu milikku, dan tak membuangnya.Sintya berdiri di depan mejanya, bersilang dada menatapku yang berjalan melewatinya.Hingga tepat di hadapannya, membuat kedua netra kami bertemu, tapi dengan cepat Sintya mengalihkan pandangannya. Tak ada lagi tatapan sendu di matanya seperti dulu, yang terlihat hanya sorot mata penuh kebencian, amarah, dan kekecewaan.Ada sedikit penyesalan terbersit di dalam hatiku karena telah menyakitinya, terlebih karena kebodohanku itu, membuat aku kehilangan semuanya, coba saja dulu aku menahan gelora cinta pada Eva, mungkin semua akan tetap baik-baik saja hingga detik ini.Apalah daya nasi sudah menjadi bubur, mungkin ini balasan atas penghianatan yang aku lakukan, maafkan aku Sintya. Aku melangkah keluar pintu, dan berjal
Aku melajukan kendaraanku menuju ke rumah, seperti apa nanti sikap Eva saat mendengar aku sudah tak bekerja lagi di galeri, aku harus siap.Sepanjang perjalanan pikiranku tak menentu, aku harus berpikir keras di mana aku harus mencari pekerjaan baru, tak mungkin aku berlama-lama menganggur, yang ada nanti bisa-bisa aku di tendang pula sama Eva, karena dia begitu boros, setiap uang yang kuberikan selalu habis tak tersisa. Jika tak menuruti kemauannya, bisa-bisa aku tak di beri jatah di atas ranjang, dan ia bisa betah berlama-lama merajuk.Beberapa meter lagi aku sampai di rumah, dari kejauhan sudah mulai tampak rumah yang aku tinggali bersama istri mudaku.Aku sedikit heran melihat sebuah mobil Xeni* berwarna hitam, bertengger di tepi jalan, tepat di depan rumah, apa ada tamu, tapi siapa, apa teman Eva, hatiku bertanya-tanya.Belum juga sirna rasa heranku, kini aku di buat terkejut dengan apa yang ku lihat. Eva tengah berjalan mesra dengan seorang laki-laki yang aku taksir usianya le
Hingga malam datang, Eva belum juga kembali, entah kemana perginya wanita itu. Selama aku hidup bersamanya, ini kali pertama ia belum pulang hingga selarut ini.Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam, tapi belum ada tanda-tanda Eva pulang, beberapa kali aku coba menghubungi ponselnya, tapi masih sama seperti siang tadi, tidak tersambung.Aku menyalakan televisi agar tidak terlalu sepi, pikiranku kacau, melayang kemana-mana, terbayang apa yang mereka lakukan di luar sana, bagaimana jika benar Eva menghianatiku, hancur luluh lantah sudah semuanya. Tidak, aku tidak boleh berpikiran buruk terlebih dahulu, lebih baik nanti aku minta penjelasan pada Eva mengenai lelaki itu. Tak terasa mata ini terpejam, entah berapa lama aku tertidur, waktu sudah menunjuk pukul satu dini hari, Eva belum juga pulang, kemana dia sebenarnya.Televisi masih menyala, bukan aku yang menonton, tapi justru televisi yang menontonku tertidur.Aku mematikan televisi serta mematikan lampu, baru saja lampu ruang
Aku menggebrak meja dengan keras, membuat teh hangat yang di meja bergoyang-goyang bahkan sedikit ada yang tumpah ke meja, akibat getaran yang aku timbulkan.Eva terdiam membisu, sikapnya santai menikmati teh hangat, dan roti sandwich yang kubuat, membuat kesabaranku semakin habis."Apaan sih, Mas! Pagi-pagi udah berisik! Kamu mau tau dia siapa? Yang jelas dia lebih baik darimu, Mas!" Aku tak percaya dengan apa yang di katakan Eva, ia bahkan berkata dengan mudahnya."Jadi kamu selingkuh sama Dia?! Eva ingat! Kamu itu masih sah istriku!" sungutku"Iya aku memang masih istrimu, Mas! Kalau kamu tidak suka, silahkan kamu talak aku! toh juga kita cuma nikah siri, bercerai pun tak perlu sampai ke pengadilan, kan!" Eva kembali berucap dengan entengnya.Aku menggeleng tak percaya, semudah itu ia berubah setelah aku korbankan semua untuknya. Oh tuhan! Aku benar-benar laki-laki paling bodoh sedunia, rela meninggalkan Sintya yang setia dan lebih memilih wanita seperti Eva, yang tak lebih adalah
Kedua netraku mengerejap, aku harus tinggal dimana, jika aku keluar dari rumah ini. Tapi tak mungkin juga aku hidup bersama wanita arogan yang di kepalanya hanya uang, uang dan uang!"Oke! Aku akan keluar dari rumah ini hari ini juga."Aku melenggang masuk ke dalam kamar, mengemasi semua baju-bajuku, dan memasukkannya ke dalam koper berwarna hitam yang beberapa hari lalu aku bawa dari rumah Sintya, aku benar-benar tak menyangka hidupku demikian tragis, di usir oleh dua wanita dalam rentan waktu yang tak begitu lama.Semua baju aku masukkan ke dalam koper, pakaian yang tergantung di balik pintu kamar pun tak luput dari sapuanku.Hingga kedua netraku menangkap sebuah benda kecil tergeletak di lantai samping lemari, aku mendekat dan memungut benda itu. Betapa terkejutnya diriku, saat meyakini jika benda itu adalah sebuah alat kontrasepsi, yang biasa di gunakan oleh lelaki, padahal aku sendiri tidak pernah memakai benda itu selama berhubungan dengan Eva, lalu benda ini milik siapa? Inga
POV SintyaAku dan Mas Yudi telah resmi bercerai, semua harta jatuh ke tanganku sesuai dengan yang kuinginkan, perempuan murahan itu bahkan datang ke rumah meluapkan emosinya, karena tak terima dengan putusan sidang.Aku tak mau kalah, kedatangan mereka ke rumah ini justru memudahkan aku untuk menarik motor milik Mas Yudi yang kini sudah beralih menjadi milikku, dan menyerahkan sebuah koper berisi baju-baju miliknya.Aku tak habis pikir perempuan itu, macam orang yang kurang waras, datang-datang marah-marah nggak jelas, padahal sudah pernah kukatakan, jika dia menginginkan Mas Yudi, silahkan ambil, tapi jangan harap ia juga bisa memiliki semua yang sudah aku perjuangkan. Enak saja. Memangnya aku ini bodoh, tidak bisa melihat gelagatnya.Sekarang aku sudah tenang, biarlah Mas Yudi, nanti akan merasakan balasan dari Allah karena telah menyakitiku. Sebisa mungkin aku tegar demi Rizki putraku.Beberapa kali Rizki bertanya soal ayahnya yang tak pulang-pulang, tapi dengan hati-hati aku jela
"Suamimu, mana? Kok nggak ikut ngobrol santai sore di sini!" Aku terdiam mendengar pertanyaannya.Rasanya tak pantas aku mengatakan jika aku baru saja bercerai dari Mas Yudi, apapun itu alasannya, menjadi janda adalah status yang kurang enak di dengar."Hm, Dhani masih lama di sini?" Ayah mencoba mengalihkan pembicaraan. Beliau sepertinya tau isi hati ini."Seperti biasa, Pak. Seminggu paling lama, Pak! Kerjaan di sana juga nggak bisa di tinggal lama-lama soalnya, Pak." Aku dan Ayah mengangguk."Saya ke rumah Bude Aminah dulu, Pak Imran, takutnya dia nungguin," pamitnya.Bu Aminah rumahnya di belakang rumah Ayah, selang dua rumah.Dhani pun pergi usai pamit, sepintas ia menatapku, hingga netra kami bertemu, tapi aku buru-buru mengalihkan pandangan."Si Dhani itu seorang duda, istrinya meninggal, yang Ayah dengar, istrinya meninggal karena sakit. Mereka belum di karunia seorang anak." Ayah menjelaskan status Dhani, padahal aku sendiri tak bertanya."Sekitar setahun yang lalu istrinya D