Aku mengantar Rizki ke tempat Bimbanya, usai kami sarapan bersama, jujur ini kali pertama aku mengantarnya ke bimbanya, biasanya ini menjadi rutinitas Sintya. Tapi kali ini, karena Rizki yang meminta, aku bersedia mengantarnya ke tempat bimba.Sepanjang perjalanan pikiranku kacau, beberapa meter lagi sampai ke tempat bimba anakku, tapi getar ponsel di saku celanaku sangat menggangu, beberapa kali aku abaikan, akhirnya aku menepi sebentar dan melihat siapa yang menghubungiku.Nama Eva tertera di layar ponselku yang masih bergetar, entah kenapa ada sedikit malas untuk mengangkat teleponnya, mungkin karena pikiranku sedang kacau, aku hanya ingin sedikit tenang.Tiga kali sudah aku mengabaikan panggilan masuk dari Eva, namun sepertinya ia tak menyerah, ponselku kembali bergetar. Hingga akhirnya aku geser tombol hijau."Halo Eva ada apa sih? Aku lagi di jalan nih!" ucapku ketus pada wanita yang sudah menjadi istri keduaku di seberang sana."Kamu kenapa sih Mas! Aku cuma mau bilang, aku ma
Bahkan Eva sempat teriak tak terima di ruang sidang, mendengar putusan itu, pun dengan Mbak Siska, dia tampak syok dan sorot matanya menatap tajam ke arah Sintya."Kamu sabar dulu lah, Sayang! Harta kan bisa kita cari lagi nanti sama-sama, yang penting kan keinginan kamu memiliki aku sepenuhnya sudah tercapai, Sayang! Kamu tenang, kita bisa mulai semua dari nol, Oke!" Aku mencoba memberi pengertian pada istri mudaku itu."Apa mulai semua dari nol! Nggak, Mas! Aku kira dengan kamu cerai sama Mbak Sintya, aku bisa jadi nyonya di rumah kamu itu, ini justru kamu jadi gembel dan nggak dapat apa-apa!" ucapnya lagi dengan lantang."Eva, sudahlah! Sejak di pengadilan tadi kamu marah-marah terus, aku jadi tambah pusing!" cetusku."Mas pikir aku tidak pusing! Aku juga pusing, Mas!" Eva terlihat frustasi, beberapa kali Eva memegang kepalanya, dengan kedua tangannya, membuat rambut hitam lurus sebahu itu menjadi berantakan.Braak!Eva menutup pintu dengan kasar, ia pergi keluar rumah, entah mau
"Ayo cepet jalan, Yud!" Mbak Siska menepuk punggungku menandakan ia sudah duduk di jok belakangku dan siap jalan. Aku mengangguk dan melajukan kuda besiku.Aku kendarai motorku membelah jalanan, jika benar Eva ada di sana, apa yang dia lakukan di sana, hatiku bertanya-tanya.Aku lajukan kuda besiku dengan kecepatan tinggi, ada sedikit kekhawatiran takut kalau-kalau Eva berbuat nekat, dan berbuat onar di sana, karena sebelum pergi Eva tampak emosi dan tak terima dengan kenyataan ini."Yud, kita cari jalan pintas aja biar cepat sampai," ucap Mbak Siska yang duduk di belakangku sedikit mengeraskan suaranya, agar bisa terdengar olehku.Aku mengangguk dan mulai mencari jalan tikus agar bisa sampai lebih cepat.Aku sudah memasuki komplek perumahan, tempat tinggalku dulu. Tinggal beberapa meter lagi aku sampai di rumah itu, rumah yang cukup besar, dan menyimpan banyak kenangan dengan Sintya dan Rizki anakku."Mbak, kalau mau pisah sama Mas Yudi ya pisah aja! Relakan Mas Yudi hidup sama Aku!
Aku sedikit heran, beberapa menit yang lalu dia mengusir kami, tapi kini memintaku untuk menunggu sebentar, apa yang akan di ambilnya, aku bertanya-tanya sendiri."Ini Mas! Bawa semua barang-barangmu! Siapa tau kamu masih memerlukannya." Sintya melempar Sebuah koper berwarna hitam, aku ingat itu koper yang dulu aku beli beberapa hari sebelum pernikahan kami."Bawa koper itu dan tolong kamu tinggalkan motor kamu itu di sini, Mas! Bukankah motor itu sudah bukan milikmu lagi!"Belum sempat aku mengeluarkan sepatah katapun, kini ucapan Sintya benar-benar membuatku tercengang, dia menyita motorku, benar-benar dia sudah keterlaluan."Kamu sudah keterlaluan, Sintya! Apa tidak bisa aku memberikannya lain waktu!" Aku mulai tersulut emosi melihat tingkahnya."Apa Mas?! Aku keterlaluan? Justru ini akan memudahkanmu, jadi kau tak perlu bolak balik kemari untuk mengambil pakaianmu, dan mengantarkan motor itu," cetusnya."Sintya Mas mohon! Biarkan beberapa waktu ini Mas pakai dulu motornya sampai M
Pagi hari aku berangkat ke galeri, aku berharap perpisahanku dengan Sintya tak membuatku kehilangan pekerjaan, aku berusaha rajin dan berangkat pagi, ke galeri. Agar Sintya tak marah dan kembali mengusirku seperti kemarin.Dengan mengendarai motor matic milik Eva, aku meninggalkan rumah, saat aku berangkat Eva masih tertidur lelap, aku sengaja tak membangunkannya, agar dia istirahat cukup dan bisa kembali tenang hari ini setelah perseteruan di rumah Sintya kemarin.Aku tinggalkan sepiring nasi goreng dan segelas susu untuk sarapan, dan aku meletakkannya di atas meja samping ranjang, berharap ia bisa langsung menyantapnya setelah bangun tidur. Tak lupa aku pamit berangkat kerja, yang kusampaikan di memo yang terselip di sampingnya.Aku lajukan kendaraanku membelah jalanan yang ramai, pikiranku melayang, mulai memikirkan nasibku yang tak lagi mujur seperti dulu.Bagaimana jika sewaktu-waktu Sintya tak mengizinkanku bekerja di galeri, haruskah aku mulai mencari pekerjaan lain untuk jaga-
Aku tak menyangka jika aku benar-benar terusir dari geleri ini, dengan lesu aku melangkah menuju sudut ruangan, tempat kardus berisi barang-barang milikku, memang sih, itu barang receh, dan tak penting, tapi syukur Sintya masih menghargai itu milikku, dan tak membuangnya.Sintya berdiri di depan mejanya, bersilang dada menatapku yang berjalan melewatinya.Hingga tepat di hadapannya, membuat kedua netra kami bertemu, tapi dengan cepat Sintya mengalihkan pandangannya. Tak ada lagi tatapan sendu di matanya seperti dulu, yang terlihat hanya sorot mata penuh kebencian, amarah, dan kekecewaan.Ada sedikit penyesalan terbersit di dalam hatiku karena telah menyakitinya, terlebih karena kebodohanku itu, membuat aku kehilangan semuanya, coba saja dulu aku menahan gelora cinta pada Eva, mungkin semua akan tetap baik-baik saja hingga detik ini.Apalah daya nasi sudah menjadi bubur, mungkin ini balasan atas penghianatan yang aku lakukan, maafkan aku Sintya. Aku melangkah keluar pintu, dan berjal
Aku melajukan kendaraanku menuju ke rumah, seperti apa nanti sikap Eva saat mendengar aku sudah tak bekerja lagi di galeri, aku harus siap.Sepanjang perjalanan pikiranku tak menentu, aku harus berpikir keras di mana aku harus mencari pekerjaan baru, tak mungkin aku berlama-lama menganggur, yang ada nanti bisa-bisa aku di tendang pula sama Eva, karena dia begitu boros, setiap uang yang kuberikan selalu habis tak tersisa. Jika tak menuruti kemauannya, bisa-bisa aku tak di beri jatah di atas ranjang, dan ia bisa betah berlama-lama merajuk.Beberapa meter lagi aku sampai di rumah, dari kejauhan sudah mulai tampak rumah yang aku tinggali bersama istri mudaku.Aku sedikit heran melihat sebuah mobil Xeni* berwarna hitam, bertengger di tepi jalan, tepat di depan rumah, apa ada tamu, tapi siapa, apa teman Eva, hatiku bertanya-tanya.Belum juga sirna rasa heranku, kini aku di buat terkejut dengan apa yang ku lihat. Eva tengah berjalan mesra dengan seorang laki-laki yang aku taksir usianya le
Hingga malam datang, Eva belum juga kembali, entah kemana perginya wanita itu. Selama aku hidup bersamanya, ini kali pertama ia belum pulang hingga selarut ini.Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam, tapi belum ada tanda-tanda Eva pulang, beberapa kali aku coba menghubungi ponselnya, tapi masih sama seperti siang tadi, tidak tersambung.Aku menyalakan televisi agar tidak terlalu sepi, pikiranku kacau, melayang kemana-mana, terbayang apa yang mereka lakukan di luar sana, bagaimana jika benar Eva menghianatiku, hancur luluh lantah sudah semuanya. Tidak, aku tidak boleh berpikiran buruk terlebih dahulu, lebih baik nanti aku minta penjelasan pada Eva mengenai lelaki itu. Tak terasa mata ini terpejam, entah berapa lama aku tertidur, waktu sudah menunjuk pukul satu dini hari, Eva belum juga pulang, kemana dia sebenarnya.Televisi masih menyala, bukan aku yang menonton, tapi justru televisi yang menontonku tertidur.Aku mematikan televisi serta mematikan lampu, baru saja lampu ruang