Usai menceritakan bagaimana kronologinya beasiswa Eva dipertangguhkan hanya karena sebuah absen, ke-tiga gadis yang menjadi sahabat Eva itu sama-sama terdiam. Rautnya terlihat murung seperti ikut terbebani dengan masalah Eva.
"Cari ke kelas 12 IPS 2, Va," ujar Ana menyarankan. Riska dan Yana mengangguk menyetujui akan hal itu.
"Kelas yang bersangkutan. Karena gue rasa hilangnya di situ, gak mungkin tempat lain. Atau kakel yang lo titipin itu gak ngasihin ke ketua kelas, terus lupa," seloroh Yana.
Riska nimbrung, "wajib disamper sih."
Eva tak mau juga terlalu banyak berpikir dan mempertimbangkan hal yang tidak perlu. Yang dibutuhkan saat ini adalah action, bukan hanya sibuk berperang dengan pikiran sendiri. Maka dari itu ia mendorong kursi ke belakang, lalu be
Eva tidak tahu apakah perjalanan yang telah ditempuhnya ini sudah sampai setengah perjalanan atau belum. Namun yang jelas dirinya sudah merasa sangat lama berada di dalam bus ini. Tangisan Eva tak kunjung berhenti sedari tadi membuat Arta bingung harus melakukan apa lagi agar Eva dapat merasa baik-baik saja ketika bersamanya. Tentu saja Arta kebingungan sekarang, membuat orang menangis adalah kehaliannya karena biasanya dia selalu membuat orang menangis. Namun sekarang dirinya harus menenangkan orang yang sedang menangis. Sangat keterbalikan dari kebiasannya dan hanya Eva yang bisa membuat Arta melakukan itu."Hiks mamah ...," isak Eva lagi sangat gelisah. Berulang kali dia memanggil mamanya berharap dapat tenang, tapi yang ada Eva semakin gelisah karena harus menerima kenyataan bahwa mamanya tidak ada di sini."Shh, nggak papa ada gue ...." Arta berdesis pelan dan berujar lembut dengan jemari kekarnya yang senantiasa aktif memijit pelipis Eva. Sedikit banyak perlakuannya itu membuat E
Rasa hati ingin bicara pada Arta. Cowok itu punya kuasa di sini. Setidaknya jika Eva mengadu padanya, Arta akan angkat suara dan menjadi pusat atensi seluruh manusia di ruangan ini.Sukar dijelaskan, tapi tak dapat Eva menampiknya bahwa ia merasa menjadi orang kecil dan bukan siapa-siapa di sini hingga pantas didengarkan. Arta benar-benar merenggut seluruh keberanian yang ia punya.Belum lagi cowok itu benar-benar mengabaikannya. Tak sedikit pun meliriknya yang berdiri di sini. Marah soal Eva yang pembangkang dan lebih memilih ikut Adam tadi? Sikap Arta yang abai begini justru semakin membuat Eva ciut.Tak memedulikan Arta lagi, Eva melangkah ke arah kursi depan paling dekat dengan pintu masuk. Cewek ini, kakak tingkat entah siapa namanya yang waktu itu Eva titipi absen. Untung saja orang yang ingin dimintai pertanggungjawaban
"Masih bisa senyum kamu hah?!!"Aurel berjengit kaget atas bentakan papinya yang menggelegar secara tiba-tiba itu. Wiratama melotot dengan urat leher menonjol kencang, marah dengan putrinya yang pembangkang."Kalau Papi tidak tahu sendiri kebenarannya, mau sampai kapan kamu berbohong seperti ini huh? Sini!!" Laki-laki paruh baya itu merebut paksa tas ransel yang dikenakan putrinya itu. Membuka paksa resleting itu kemudian mengeluarkan baju beserta seluruh aset seragam lainnya yang super mini.Tak ingin memandang baju dari neraka itu, Wiratama merobeknya tepat di depan wajah putrinya sendiri. Mengoyak baju tersebut hingga rusak tak berbentuk. "Papi gak pernah ajarin kamu jadi wanita seperti ini Aurel!!" murkanya yang tak kunjung padam.Aurel sendiri sudah membelalakkan matanya melihat a
Sebenarnya Eva begitu enggan. Namun jika ia tidak ke kawasan belakang, kesannya Kompeni men-judge bahwa Eva tak berusaha keras dalam mencari absen yang katanya so important itu. Maka dengan menepis segala kemalasan yang ada, Eva mengitari gedung XII IPS lantai tiga untuk sampai ke tempat ini. Tepat di belakang kelas XII IPS 2, sedang Kompeni menjenguknya lewat kaca terang yang terbuka. Reza pun baru usai menelpon Edo. Katanya cowok itu seperti biasa tengah berduaan dengan sang kekasih. Tanpa tahu bahwa berduaan maksud Edo adalah virtual karena menghabiskan waktu melalui video call dengan Aurel. "Kapan katanya ke sini?" imbuh Rehan seraya memiringkan kepala memandang Reza yang terhalang Yoyon dari posisinya berada ini. Reza mengendik. "Gak tau."
Hingga sampai mereka di ruangan teratas gedung ini, Arta menyentak tubuh mungil gadis itu untuk masuk ke dalam. Nyaris saja Eva jatuh tersungkur jika tidak ada tembok yang menjadi tumpuan ke-dua tangannya.Dengan segera Eva membalikkan tubuh hingga bola matanya yang sudah berkaca-kaca hendak menitikkan cairan bening bertumburan dengan tatapan Arta yang kian menajam. Jiwanya dilingkupi perasaan takut juga marah. Takut dengan alasan yang Eva tak mengerti mengapa cowok ini melampiaskan amarah padanya. Marah karena Arta mencampakkan begitu saja absen tadi ke tong sampah. Terlebih saat Eva ingin memungutnya kembali, cowok itu malah menghalangi dan justru menariknya ke rooftop."Kakak kenapa sih?" Suara Eva tercekat. Ingin berteriak marah, tapi ketakutan cukup mendominasinya saat ini.Ingatkan bahwa ia hanya berdua dengan Arta di rua
Suasana semakin memanas. Uma benar-benar terkucilkan dan disudutkan oleh semua orang. Berbeda dengan Uma yang keadaan hatinya jauh dari kata baik-baik saja, Selin justru tersenyum penuh kemenangan. Ia melangkah mendekat membuat Melly dan teman-temannya segera menyingkir untuk memberi tempat pada Selin. Cewek itu memandang Uma dengan tatapan datar. Si gadis yang sudah lancang bergerak sejauh ini mendekati Rehan tanpa ia ketahui.Hingga satu kali layangan dari tangan Selin membuat wajah Uma langsung tertoleh ke samping. Satu kali tamparan mendarat di pipi Uma. Suara tumburan antar kulit itu benar-benar terdengar jelas di telinga siapa saja yang berada di ruangan ini.Tangisan yang Uma usahakan tahan untuk tak jatuh sedari tadi, akhirnya menitik juga saat ini. Pipinya memanas mendapat tamparan sekeras ini. Tangannya terangkat menyentuh lembut pipinya yang memerah bekas tan
"Gue bantu, tapi gak janji bakal berhasil. Lo tau sendiri Arta gimana orangnya."Ucapan Rehan seperti memaksa Melly untuk sadar saja bahwa ia tak boleh berharap banyak agar tak kecewa dengan hasilnya. Namun yang namanya Melly keras kepala, omongan Rehan hanya ia anggap bagai angin lalu saja. Begitu percaya diri bahwa takdir tuhan akan mempersatukan dirinya dengan Arta.Setelah mengucapkan terima kasih pada Rehan, tiga cewek itu berpamitan untuk pergi. Tak ingin mengganggu momen uwu Rehan dengan pacarnya. Walau Melly sendiri tak menghargai keberadaan Uma di sana. Selama ia berbicara dengan Rehan, bahkan Melly dengan sengaja berdesah manja pada Rehan. Cowok itu tak marah, Uma pun hanya diam dan menunduk saja. Mana mungkin juga ia berani marah pada seorang Melly Diandra ketua Queen ini 'kan??"Uma tuh gak cocok bet jadi pacar kak
Cengkeraman kuat pada pergelangan tangan mungilnya ini membuat Eva meringis. Ia berusaha untuk lepas, tapi justru bukan kebebasan yang ia dapatkan, melainkan rasa sakit yang semakin menjadi."Please Kak Arta, jangan gini. Gue nggak bisa. Gue harus ngomong berapa kali sih supaya lo ngerti?!! Gue nggak bisa!!" Eva meraung dalam cengkeraman cowok itu.Tak henti-hentinya Arta meneror Eva untuk memaksanya ikut ke acara anniv Liondrak. Bukankan sudah Eva katakan bahwa ia tidak mau? Menolak ajakan orang lain itu adalah hak mutlak! Tak ada seorang pun yang berhak mengambil hak tersebut dari masing-masing manusia. Beginilah jika dua orang yang sama keras kepalanya dipersatukan. Yang satu arogan dan suka memaksakan kehendak, yang satu lagi teguh terhadap pendirian, tak goyah meski dipaksa sekali pun!"Gue kasih perintah