Pagi itu gue udah siap-siap berangkat sekolah, cuma bikin sarapan nasi goreng yang gampang. Bin keluar dari kamarnya dengan wajah masih setengah ngantuk, tapi senyum sumringah langsung nongol pas dia lihat gue.
"Pagi, istrinya Mbin," katanya sambil tepuk-tepuk kepala gue ringan.Gue jadi senyum-senyum sendiri. "Pagi juga, suaminya Ayu. Nih, sarapan dulu," balas gue sambil bawa dua porsi nasi goreng ke meja makan.Kita makan bareng, suasana pagi yang terasa hangat. Biasanya sebelum sekolah pasti ribut dulu soal hal-hal nggak penting, tapi sekarang beda. Nggak ada debat, cuma ada obrolan kecil sambil nikmatin sarapan.Setelah sarapan, Bin langsung siapin motor buat berangkat. Gue di bonceng sama dia. Refleks, gue meluk dia dari belakang, ngerasa aman dengan cara yang nggak pernah gue duga sebelumnya.Pas nyampe sekolah, Bin parkirin motornya di tempat biasa. Dia bantuin gue lepasin helm dengan gerakan yang lembut, bahkan sambil bercanda. "RPulang sekolah, gue sama Bin inget kalau harus belanja dulu sebelum pulang. Kita udah di parkiran, siap-siap naik motor. Tapi perhatian gue langsung ke anak-anak GGS yang lain.Gue ngelihatin Bang Jinu sama Bang M yang lagi sibuk sama temen-temen gue. Dan ya ampun, sumpah mereka so sweet banget.Bang Jinu lagi bantuin Siska pake helm, sementara Bang M dengan santainya nyodorin jaket ke Arum, terus maksa dia buat pake.Gue yang tadinya udah naik ke boncengan Bin, langsung berhenti dulu."Heh, Arum! Siska! Lo anjir kenapa bisa deket sama abang-abang gue?" Gue nyerocos ke mereka sambil berkacak pinggang.Arum nyengir jahil, sementara Siska udah duduk manis di belakang Bang Jinu."Nanti aja ceritanya, ya!" Arum malah ketawa sambil lambai-lambai tangan kayak artis dadah-dadah ke fans.Terus tanpa ba-bi-bu, motor mereka langsung melesat keluar gerbang sekolah.Gue cuma bisa melongo. "Hah?"Bin ketawa dikit, t
Gue coba teriak, tapi baru aja suara gue keluar, tiba-tiba ... "Berisik!" Bentakan keras dari seorang laki-laki bikin gue kaget. Suaranya kasar, penuh amarah. Gue langsung panik, nangis tanpa bisa nahan. Kenapa gue bisa diculik? Kenapa gue? Dari suaranya, gue bisa nebak dia seumuran sama gue. Tapi siapa? Dan kenapa dia ngelakuin ini? Gue nggak tahu ada berapa orang di mobil ini. Yang jelas, di samping kanan-kiri gue ada yang duduk, dan mereka nahanin badan gue biar nggak bisa banyak gerak. Gue meronta, berusaha nepis tangan-tangan itu. Tapi gue malah makin ditekan ke sandaran jok. Tangan gue mulai diiket di belakang. Gue ngos-ngosan, tapi gue nggak mau berhenti. Gue terus nangis, terus tanya ke mereka dengan suara parau. "Siapa kalian?! Mau apa?! Kenapa culik gue segala?!" Meski suara gue nggak kedengeran jelas karena di bekap, tapi gue terus aja berusaha teriak. Tapi nggak ada jawaban. Sebagai
"Gue kasih lo kesempatan terakhir buat pasrah baik-baik." Dia jongkok di depan gue, jaraknya cuma sejengkal."Nggak usah banyak bacot, lo nggak bakal bisa ngelawan." Gue hela napas, otak gue muter nyari celah buat kabur.Gue tahu Bin pasti lagi nyari gue sekarang. Gue cuma harus bertahan sampai dia datang. Tapi sebelum gue bisa mikir lebih jauh, cowok itu maju, tangannya berusaha megang dagu gue.Gue refleks nyampingin kepala, nendangin kaki gue sekenceng mungkin buat ngusir dia. "Anj*ng lo!" Dia murka, langsung mencengkram bahu gue kuat-kuat. Gue kesakitan, tapi gue nggak mau nyerah.Tiba-tiba ... BRAK! Pintu gudang itu kebuka paksa. Suara hantaman keras bikin cowok bertindik itu langsung noleh.Gue juga ikut ngelihat, napas gue masih tersengal karena ketakutan."LO NGAPAIN BANGSAT?!"Suara itu, gue kenal. Gue langsung terbelalak pas liat sosoknya berdiri di ambang pintu. ROCKY!Mata dia penuh amarah, napasnya kasar kayak abis lari. Ada darah di sudut bibirnya, dan sedikit lebam
Bin nggak kasih si cowok bertindik itu kesempatan buat bangkit. Dengan napas memburu, dia menghantam wajah lawannya berulang kali.BUG! BUG!Tinju Bin terus melayang, nggak ada jeda, nggak ada belas kasihan. Waktu seakan berjalan lebih lambat.Gue tertegun, jantung gue mencelos. Ini bukan Bin yang gue kenal. Ini bukan Bin. Sorot matanya gelap, dipenuhi amarah yang menggelegak. Rahangnya mengeras, gerakannya brutal, nggak ada lagi kontrol. "AARRGGHH!!" cowok bertindik itu merintih, tapi Bin nggak peduli. Dia terus menghajar, mencengkram kerah lawannya, mengangkatnya sedikit, lalu meninju lagi, lebih keras."BIN UDAH! CUKUP! JANGAN TERUSIN! PLEASE! KALAU LO BEGITU, LO SAMA AJA KAYAK MEREKA!"Suara gue pecah di udara. Gue nggak peduli seberapa takutnya gue barusan. Gue nggak peduli seberapa sakit yang udah gue rasain. Yang gue peduliin sekarang cuma Bin. Tangan Bin berhenti di udara. Napasnya masih berat, dadanya naik tur
Gue udah lari masuk sawah, napas gue tersengal-sengal, dada naik turun cepat. Tapi di sebelah gue, Rocky jauh lebih parah. "Sial ..." desis Rocky, suaranya lemah. Gue lihat betisnya masih tertancap belati kecil itu. Darah udah mulai merembes keluar lebih banyak. Gue panik. Cepat-cepat gue keluarin sapu tangan dari saku gue, lalu membalut betis Rocky biar belatinya nggak goyang-goyang waktu jalan. Hasan langsung ngebantu, mijitin bahu Rocky biar dia tetap sadar. "Tahan sebentar lagi, Ky. Kita hampir sampai," kata Hasan, berusaha tetap tenang meski gue tahu dia juga khawatir. Kami terus jalan. Tanah sawah becek, bikin langkah makin berat. Setiap Rocky kesandung sedikit, dia meringis, keringatnya udah bercucuran. Akhirnya, saung udah di depan mata. Ada Siska dan Arum di sana. Begitu mereka lihat kami, mereka langsung lari nyamperin. "Iky! Astaga!" Siska langsung kaget lihat belati yang masih nempel di betis
Suara dengung ambulans akhirnya terdengar dari kejauhan, semakin lama semakin mendekat. Hati gue sedikit lega, tapi tetap saja rasa cemas belum hilang.Begitu mobil ambulans berhenti di dekat sawah, beberapa petugas medis langsung turun membawa tandu. Langkah mereka cepat dan sigap, menuju saung tempat kami berlindung.Di belakang para petugas medis, beberapa polisi juga ikut datang. Seragam mereka tampak kontras dengan warna keemasan sawah yang mulai meredup terkena cahaya matahari petang.Kedatangan mereka seharusnya membuat gue lebih tenang, tapi kenyataannya nggak begitu.Siska buru-buru membantu Rocky naik ke tandu, memastikan lukanya tetap stabil. Gue lihat wajah Rocky masih pucat, tapi dia berusaha tetap sadar. "Gue ikut sama Iky," kata Siska cepat sebelum masuk ke ambulans bersama Rocky.Sementara itu, Arum merangkul gue, membantu gue keluar dari saung dan berjalan melewati pematang sawah menuju ke tepian jalan. Gue nggak tahu seb
"Itu mereka..."Suara Pak Polisi terdengar samar di telinga gue, tapi cukup buat jantung gue berdegup lebih kencang.Gue reflek noleh, ngikutin arah telunjuknya.Dan di sana, di bawah pancaran lampu ambulans dan mobil polisi yang menerangi jalan berdebu itu, tiga sosok berjalan mendekat.Bin di tengah, Nunu di sisi kanan, dan Hasan di sisi kiri.Angin petang berhembus pelan, menggoyangkan rambut mereka yang acak-acakan. Pakaian mereka berdebu, sobek di beberapa bagian, dan darah kering menempel di wajah serta tangan mereka. Tapi, justru luka-luka itu yang bikin mereka terlihat semakin gahar. Napas mereka masih tersengal, tapi langkah mereka tetap tegap, seakan nggak mau menunjukkan rasa sakit yang mungkin mendera tubuh mereka.Gue membeku di tempat. Mata gue nggak bisa lepas dari Bin."Bin..."Suara gue keluar lirih, hampir kayak rintihan yang tercekik di tenggorokan.Dan seketika itu juga, ai
Gue nangis dalam pelukan Bin, nggak bisa nahan semua perasaan yang campur aduk di hati gue. Perasaan kehilangan, takut, sedih, dan marah bercampur jadi satu. Gue nggak siap pisah sama dia, bahkan untuk sementara pun rasanya kayak mimpi buruk yang nggak mau gue jalani.Tanpa kata, Bin narik diri pelan, matanya yang selalu penuh keyakinan kini basah. Dia menatap gue lama, seolah menghafal setiap detail wajah gue, seolah ini mungkin terakhir kalinya dia bisa lihat gue sedekat ini."Tunggu gue, Yu ...," katanya lirih, suaranya hampir serak, sebelum akhirnya dia menunduk dan mencium bibir gue dengan lembut.Ciuman itu nggak lama, tapi cukup buat hati gue semakin sakit. Gue ingin percaya semua akan baik-baik saja, tapi ketidakpastian yang dia berikan bikin gue takut.Gue melepas ciuman itu perlahan, menatap dia dengan air mata yang belum berhenti mengalir. "Berapa lama?" suara gue bergetar.Bin menghela napas, jemarinya menyentuh pipi gue denga
Dua Tahun KemudianDua tahun sudah berlalu sejak semua kekacauan itu terjadi. Sekarang hidup gue jauh lebih tenang, lebih teratur, dan lebih bahagia.Mbin akhirnya masuk kuliah tahun lalu, sementara gue sendiri udah jadi seniornya. Iya, gue senior Bin sekarang. Kocak banget nggak sih? Tapi di kampus, semua orang udah tahu kalau kita suami istri. Udah bukan rahasia lagi kalau kita kemana-mana selalu berdua.Dan ... kalau pulang, ada si kecil yang selalu nungguin gue.Iya, setelah setahun lebih kuliah, gue dan Bin akhirnya memutuskan buat nggak menunda punya anak. Sekarang, gue udah jadi ibu dari seorang bayi laki-laki yang super lucu.Namanya Bintang.Dia baru enam bulan, tapi ya ampun, ganteng banget! Mirip banget sama Bin, kayak versi mininya. Makanya kita sengaja kasih nama Bintang, biar tetep ada unsur "Bin" di namanya."Dia yang nyinari hidup gue sekarang."Kadang gue suka mikir, nanti kalau gue lulus kuliah
Begitu sampai di kampus, gue langsung menuju bangku taman buat duduk sebentar. Pagi ini matahari nggak terlalu terik, tapi tetep aja gue ngerasa gerah, apalagi pakai turtleneck gini. Tapi nggak ada pilihan, kan ya?Baru aja pantat gue mendarat di bangku, Siska dan Arum langsung nanya dengan tatapan penuh kecurigaan."Kenapa jalan lo aneh?""Nggak apa-apa ah," gue buru-buru jawab, berusaha santai sambil langsung duduk. Tapi ya tetep aja, gue tahu mereka pasti sadar.Si Nunu, yang udah lebih pengalaman dalam hal beginian, duduk di samping gue sambil nyengir penuh arti. Bedanya, dia agak menjauh dari anak-anak GGS lain, kayak mau nyulik gue buat interogasi."Tch, belah duren si Mbin euy!" katanya sambil nuduh terang-terangan.Gue langsung melotot ke arah dia."Yaaa! Shibal Sekiya anjir!" Gue spontan ngumpat pake bahasa Korea, ala-ala drama yang biasa gue tonton.Tapi si Nunu malah ngakak, makin jadi anjir!
Pagi ini gue bangun dengan tubuh masih terasa remuk. Gue mengerjap pelan, menyesuaikan diri dengan cahaya yang masuk dari celah tirai jendela.Mbin ada di samping gue, masih kebluk tidur, napasnya teratur, dan... tanpa baju!Astaga! Gue juga!Refleks, gue langsung narik selimut buat nutupin badan gue, walau sebenarnya udah nggak ada gunanya juga. Malam tadi dia udah melihat semuanya, menyentuh semuanya, dan... merasakan semuanya.Gue buru-buru meraih baju-baju gue yang bertebaran di lantai, yang dia lempar sembarangan semalam. Ckck, gila, predator memangsa ini mah. Tapi ya, dia lembut banget, karena tahu ini pertama kalinya buat gue.Semalam, dia sempat khawatir dan kasihan lihat gue kesakitan. Tapi pada akhirnya, dia juga nggak bisa nahan lagi.Gue bangkit dari ranjang dengan kaki yang terasa pegal, lalu tertatih masuk ke kamar mandi. Begitu gue berdiri di depan cermin, gue langsung menahan napas.Ya ampun.Ref
"Maafin aku, Yu." Napasnya terasa hangat di tengkuk gue, sedikit bergetar, seolah menyimpan semua beban yang selama ini dia pikul sendirian. Lalu perlahan, dia menarik diri dari pelukan, menatap gue lekat-lekat dengan mata yang menyimpan banyak cerita. Ada kelelahan, ada kesedihan, tapi juga ada ketulusan di sana. "Terus kamu nggak daftar kuliah karena harus urus Mama, ya?" tanya gue pelan. Dia nggak langsung jawab, cuma tersenyum tipis sebelum menuntun gue duduk di tepi ranjang. Tangannya masih menggenggam tangan gue, erat seolah nggak mau kehilangan lagi. "Ya, itu keadaannya. Nggak apa-apa 'kan, Yu? Aku bisa daftar kuliah tahun depan. Sementara nunggu, aku mau urus bengkel dulu. Mama juga udah sembuh, udah bisa jalan, ke toilet sendiri," katanya lirih. Suaranya sedikit bergetar, dan matanya yang berkaca-kaca menatap ke awang-awang, seakan sedang mengenang masa-masa sulit yang baru saja dia lewati.
Mbin menggenggam tangan gue erat, seakan nggak mau gue ragu atau malah mundur. Dia menuntun gue masuk ke dalam rumah, ke tempat yang dulu gue anggap sebagai rumah gue juga. Hawa di dalam masih sama seperti yang gue ingat, hangat, tapi tetap terjaga kondisi rumahnya.Dia terus menuntun gue ke arah kamar utama. Setiap langkah yang gue ambil terasa semakin berat, karena gue nggak tahu apa yang bakal gue temuin di dalam sana. Perasaan gue nggak enak, tapi gue tetap mengikuti langkahnya.Begitu Mbin membuka pintu kamar, pandangan gue langsung tertuju pada dua sosok yang gue kenal betul.Gue terdiam. Jantung gue serasa berhenti berdetak sejenak.Di dalam kamar itu, duduk seorang wanita di kursi roda. Beliau menoleh ke arah gue dengan senyum lembut yang begitu gue rindukan."Mama?" Gue menyebutnya pelan, hampir seperti bisikan.Ibunya Mbin, yang selama ini gue panggil 'Mama', menatap gue penuh kasih sayang. Tapi kenapa ... kenapa beliau
Akhirnya, momen yang selama ini gue tunggu-tunggu juga datang. Gue sama temen-temen diterima di universitas impian. Meskipun minat kita beda-beda, tetep aja kita selalu kompak dan kumpul bareng. Anak-anak GGS, yang udah dikenal sebagai sosok pemberani dan berjiwa teknik, pada ambil jurusan Teknik Mesin, ada juga yang masuk jurusan Manajemen buat ngelola bisnis bengkel kita nanti. Sementara itu, gue sendiri memilih jurusan Sastra Bahasa, persis seperti yang gue rencanakan dari dulu. Meskipun gedung fakultas kita beda, tapi setiap sore, kita selalu ngumpul di satu spot di taman kampus, tempat yang udah jadi saksi dari tawa, cerita, dan rindu yang kita bagi bersama. Tapi, ada satu hal yang bikin hati gue masih berat, yaitu Bin. Dia selalu bilang bakal nyusul daftar kuliah, bilang "Tunggu, Yu, nanti aku bakal nyusul daftar kuliahnya." Tapi sekarang udah lewat enam bulan, dan gue belum pernah lihat dia muncul di hadapan gue, nggak di kampus m
Akhirnya, setelah puas memata-matai Rocky alias Iky dan Jeni, kita semua mencar dan pergi dari food court setelah makan. Perut kenyang, hati agak lega, tapi otak gue masih muter-muter mikirin obrolan yang tadi gue denger.Seperti biasa, Arum langsung lengket sama Bang M, entah mereka mau ke mana. Siska juga udah pergi duluan bareng Bang Jinu, mesra banget kayak dunia milik mereka berdua. Tinggal gue, Hasan, dan Nunu yang masih berdiri di parkiran basement, kayak anak ilang nggak punya tujuan."Gue pulang bareng Hasan ajalah," kata gue tiba-tiba, sambil melipat tangan di dada dan melirik tajam ke Hasan yang baru aja ngeluarin motornya. "Mau gue ceramahin dia!"Hasan yang lagi masang helm langsung ngebelalak. "Hah? Ceramahin apaan, sih?"Nunu ketawa dikit sebelum masukin kunci ke motornya dan nyalain mesin. "Ya udah, gue cabut duluan ya. Lo hati-hati ama si Setan cewek nih, San!" katanya sambil nyengir ke Hasan.Hasan malah ketawa sambil ng
Nunu akhirnya balik dari toilet, dia ikutan mantau Iky sama Jeni.Jeni Langsung ganti baju pake baju yang di pilih Iky tadi, terus gue, Nunu sama Hasan berdiri jauh dari seberang toko, lihat Iky sama Jeni bergerak keluar toko.Kita ikutin mereka pelan-pelan, sementara pasangan Jinu-Siska, Bang M-Arum kelihatan mulai ngikutin juga dengan jarak yang lumayan jauh juga dari gue.Iky menuju food court, kita juga duduk cari meja kosong agak jauh tapi tetep bisa kelihatan mantau iky sama Jeni.Dari kejauhan, gue lihat Iky duduk di seberang Jeni. Mereka kelihatan ngobrol, tapi ekspresi Iky masih datar kayak biasanya.Jeni nyengir kecil sambil nunjuk-nunjuk menu di tangannya, kayak lagi nawarin sesuatu ke Iky. Gue bisa nebak, pasti dia maksa Iky buat pesen makanan bareng."Kayaknya Jeni bakal mesenin makanan buat mereka," bisik Nunu, nyikut lengan gue pelan.Gue mengangguk, mata masih fokus ke mereka. Benar aja, beberapa menit ke
Kita terus ngikutin Iky dari belakang, menjaga jarak biar nggak ketahuan. Gue pikir mereka bakal langsung pulang ke rumah Jeni, tapi ternyata motor Iky malah belok ke arah pusat kota dan akhirnya berhenti di parkiran mall."Jeni ngajak ke mall?" gumam gue sambil turun dari motornya Nunu."Ya baguslah, biar mereka bisa berduaan," sahut Nunu santai sambil melepas helmnya.Gue masih memperhatikan mereka dari jauh. Jeni turun lebih dulu, terus nungguin Iky yang lagi matiin mesin motor. Dari cara Jeni berdiri yang sedikit berjinjit sambil ngelirik Iky, kelihatan banget dia excited. Sementara Iky, seperti biasa, mukanya datar. Tapi entah kenapa, dia nggak kelihatan seketus tadi pagi.Hasan juga turun dari motornya, terus jalan ke arah gue dan Nunu. "Jadi gimana nih? Kita ngikutin ke dalem?" tanyanya, suaranya agak berbisik biar nggak ketahuan yang lain."Iya lah! Masa sampe sini doang," jawab Nunu enteng.Gue masih agak ragu. "Tapi kal