"Paling tidak saya ngak sendirian," ucap Vino sembari menjalankan mobilnya menuju kos-kosan Rara. Ia ingin mengembalikan boneka yang tak sengaja ia bawa tadi pagi.
Konsentrasi Vino buyar ketika ponselnya berdering. Terlihat nama kontak 'Monik' yang tertera dilayar ponselnya. Tak mau mengambil resiko ditengah jalan, ia menepi kepinggir jalan dan mengangkat telfon dari Monik.
Monik adalah kekasih Vino yang berprofesi sebagai dokter kejiwaan. Ia bekerja disalah satu rumah sakit yang cukup terkenal di Jakarta. Akhir-akhir ini Vino tampak mengabaikan kekasihnya, hal itu dikarenakan banyaknya masalah pekerjaan yang harus ia tangani. Belum lagi masalah ia menginap di kos-kosan bawahannya sendiri. Hal itu menurunkan harga dirinya sebagai seorang manager. Sampai saat ini yang menghantui dirinya.
"Halo sayang, kamu lagi dimana?" Tanya monik dengan suara yang super merdu.
"Ehm, maaf sayang, aku lagi dijalan. Ada apa sayang?"
"Kok tanya ada apa? Ya kangen aja. Emang kamu ngak kangen ya sama aku?" Wajah monik cemberut. Ia memakai sepatunya dan segera berangkat ke rumah sakit. Sepertinya ia dapat panggilan mendadak dari rumah sakit.
Vino membalas pertanyaan Monik dengan tertawa kecil," ya pasti kangen lah"
"Tapi kenapa jawabnya begitu?" Suara mobil monik bercampur dengan suaranya.
"Kamu lagi dimana?"
"Dimobil sayang. Aku mau kerumah sakit. Ada panggilan mendadak"
"Oh, oke, aku lanjut ke rumah dulu ya! Nanti kalau sudah sampai di apartemen pasti aku hubungi, hati-hati di jalan sayang"
"ih, tunggu dulu," suara Monik terdengar manja.
"Apa lagi sayang..?" Suara Vino tampak capek dan enggan berbicara berlama-lama.
"Kissnya belum," Monik tersenyum malu.
"Emuach, i love you"
Monik tersenyum lebar. Semangat hidupnya semakin bertambah setelah mendengar kata cinta dari Vino.
"I love you too sayang"
Mereka melanjutkan perjalanannya masing-masing. Vino langsung menambah kecepatan mobilnya agar cepat sampai ke rumah Rara. Tiba-tiba saja ia dikagetkan dengan barang-barang Rara yang telah tersusun rapi di koper. Wajah Rara tampak lesuh dan beberapa tetesan air mata mendarat di pipinya yang mulus. Malam ini Rara di usir oleh ibu kos karena ia lupa mematikan kompor tadi pagi, hal itu membuat dapur dipenuhi asap. Untung saja ibu kos langsung sigap mendobrak pintu kosnya dan segera mematikan kompor milik Rara. Jika tidak, urusannya akan jauh lebih parah.
"Ini uang kos kamu. Saya lebih baik mengembalikan uang kamu daripada kos-kosan saya terbakar," ucap ibu kos sambil menutup pintu kosnya dengan gembok.
Vino tampak heran dan langsung mencoba menenangkan hati ibu kos yang tampaknya mulai memanas.
"Maaf Bu, kenapa teman saya diusir. Apa uang kosnya belum dibayar? Saya akan bayar sekarang"
Ibu kos makin meradang. "Gara-gara dia lupa mematikan kompor, kos saya hampir terbakar!"
Seketika Vino merasa bersalah. Ia langsung mengingat kejadian tadi pagi yang mendesak Rara cepat ke kantor. Padahal Rara belum sempat mematikan kompornya terlebih dulu.
"Sial!" Ucap Vino dalam hati. Ia pun memutar otaknya untuk mencari kos-kosan ataupun hotel saat ini.
"Masukin semua barang kamu ke mobil saya," perintah pak Vino kepada Rara. Namun ia hanya bisa terdiam sambil meneteskan air mata. Melihat hal itu pak Vino langsung mengangkat koper milik Rara dan menarik pergelangan tangan Rara ke arah mobilnya.
"Tangisanmu tak menyelesaikan masalah. Cepat masuk," teriak pak Ivan dari dalam mobil. Dengan berat hati Rara masuk ke mobil pak Vino. Ia tampak bingung melihat boneka beruangnya dengan posisi duduk tegak lengkap dengan sabuk pengaman. Sungguh pemandangan yang sangat menggelitik. Melihat hal itu Vino langsung membuka sabuk pengaman dan melemparkan boneka itu kebelakang. Ia merasa malu namun menyembunyikannya.
Rara ingin tertawa, tampaknya rasa sedihnya jauh lebih dalam dibandingkan boneka beruang yang sengaja Vino letakkan dimobilnya.
Ia mulai berperang dengan pikirannya yang mulai kacau. Ia tidak tau harus tinggal dimana malam ini. Ia berharap mendapat harga kos yang jauh lebih murah. Maklum saja, gajinya hanya cukup untuk makan, bayar kos, dan harus mengirim uang kepada orang tuanya yang berada dikampung.
"Kamu mau tinggal dimana?" Tanya Vino sambil mengendarai mobilnya.
"Saya tidak tau pak"
"Tolong jangan buat stres malam ini"
"Tapi saya beneran tidak tau mau kemana pak," suara Rara mulai bergetar. Tangisannya seketika pecah. Tidak tahan mendengar tangisan Rara, Vino menepi kepinggir jalan dan berusaha mencari solusi. Kalau bukan karena Vino nginap semalam di kos Rara, hal ini mungkin tidak akan terjadi.
Disamping itu akhirnya Vino memutuskan untuk membawa Rara ke apartement yang belum pernah ia tempati.
"Kita mau kemana pak?" Wajah Rara mulai lesuh.
"Kamu sewa apertement yang kosong didekat saya. Nanti saya akan bantu membayarnya"
Mendengar hal itu membuat Rara semakin berfikir dan menolak tawaran managernya itu."Saya ngak mampu membayarnya pak"
Pusing dengan semua hal yang terjadi seharian ini, pak Vino memutuskan membawa Rara ke apartement miliknya.
Apartement yang ditempati oleh Vino memiliki kamar dua pintu. Rara hanya menatap kosong sebelum akhirnya menerima tawaran pak Vino. Dengan langkah yang kurang yakin Rara masuk ke apertement Vino. Bukan malah senang, tetapi ia berfikir negatif tentang Vino yang tampaknya baik saat ini.
"Saya harus bayar berapa untuk menginap ditempat bapak?"
"Tidak perlu bayar. Saya kasih waktu selama dua minggu untuk mencari tempat kos yang kamu inginkan. Dan satu lagi, jangan sampai ada yang tau kalau kamu tinggal diapertemen saya. Paham?"
Rara mengangguk pelan.
Ruang tamu terlihat rapi, beberapa vas bunga sengaja diletakkan Vino disetiap sudut rumahnya. Lelaki perfeksionis ini tak menyukai tempat yang kotor. Ia memberikan beberapa peraturan kepada Rara agar tetap memperhatikan kebersihan, termasuk kamar mandi.
"Ini kamar kamu untuk sementara selama berada disini," Vino membuka kamar Rara dan kembali keruang tamu. Sementara Rara masih tetap berdiri didepan pintu kamarnya.
"Bapak tinggal sendiri disini?"
"Ya"
"Oh..., berapa lama pak?"
"Sudah dua tahun," jawabnya malas
Rara melangkah mendekat kearah Vino sambil menggeret kopernya. Ia duduk dilantai dan mengambil laptop dari dalam tasnya.
"Tadi siang kenapa bapak bilang laporan saya ngak bagus? Biar saya perbaiki sekarang"
"Tidak perlu kamu perbaiki. Besok saya akan terima laporan kamu"
Rara semakin bingung," tapi pak, bukannya bapak tadi marahi saya dikantor karena laporan saya salah?" Balas Rara nyolot. Tak terima dengar suara Rara yang nyolot, Vino mendekatkan wajahnya ke wajah Rara, membuat Rara tak berkutik. Lagi-lagi jantungnya ingin lari ke kutub utara.
"Kamu paham ngak yang saya katakan. Laporan kamu saya terima. Sampai disini paham?"
Rara menatap bola mata Vino dengan jantung yang berkali-kali bergetar. Tak sanggup melihat bola mata Ivan secara dekat, Rara langsung mengalihkan penglihatannya kebawah," maaf pak, saya paham"
Tak mau berdebat konyol dengan Rara, Ivan segera mengambil handuknya dan pergi ke kamar mandi untuk membasuh diri. Sementara Rara sangat antusias merogoh semua plastik hitam yang berisi ikan gurame, sayur-sayuran, dan beberapa bumbu-bumbu dapur yang sengaja ia bawa dari kos-kosan. Sepertinya ia enggan untuk meninggalkan sebutir beras pun didalam kos-kosan yang penuh kenangan itu.
Dapur itu begitu bersih dan rapi tersusun. Semua peralatan masak sangat lengkap tersedia. Dengan segera Rara mengeluarkan segala jurus masaknya. Sebuah sutil begitu lihai mengaduk ikan gurame yang saat ini ia gulai.
Sementara hidung Vino mendeteksi sangat tajam setelah mencium aroma masakan didalam rumahnya. Sangkin wanginya ia buru-buru keluar dari kamar mandi dengan sebuah handuk merah yang melekat di pinggangnya. Matanya memicing dan mencoba mendekat kearah Rara.
Sutil pun terbang melayang kebelakang akibat Vino muncul dengan sebuah handuk. Hal itu membuat mata Rara canggung dan spontan terkejut lalu berteriak kencang," ahhh...! bapak ngapain keluar tanpa memakai baju!" Rara berusaha menutup kedua matanya dan membelakangi Vino. Sutil yang tercampak itu pun akhirnya patah tak berdaya.
Mendengar teriakan Rara spontan Vino lebih memastikan kembali handuk yang ternyata masih terlilit bagus di pinggangnya," heh! kamu ngapain masak di dapur saya!"
Perlahan Rara membuka kedua matanya yang sengaja ia tutupi dengan telapak tangannya. Dengan rasa gugup Rara menoleh kebelakang, namun sayang matanya dikejutkan dengan sebidang dada yang tampak begitu tegap dan seksi tanpa dibungkus sehelai benang.
Untuk kedua kalinya Rara menjerit sekencang mungkin, membuat Vino langsung mendaratkan telapak tangannya untuk membungkam mulut Rara.
"Heh! Bisa diam ngak sih! Kalau orang dengar bagaimana?" Vino melotot sambil memastikan Rara tidak menjerit lagi. Mulut Rara diam sejenak, namun di hatinya sedikit menggerutu. Dada bidang itu seolah menantang iman Rara. Dan ia tidak mau terjebak dengan perasaan yang awalnya menurut ia mustahil untuk dimiliki.
Rara menganggukkan kepalanya sebagai isyarat bahwa ia tak akan menjerit lagi. Nafasnya mulai terengah-engah. Tangan lebar itu pun akhirnya terlepas dari mulut Rara.
"Maaf pak, saya kaget aja melihat bapak hanya memakai handuk"
"Kamu ngapain? Siapa yang suruh kamu masak?" Vino bertolak pinggang sambil melihat masakan Rara yang hampir matang itu. Vino mengendus, ia mengambil sendok dan mencicipi gurame gulai milik Rara.
"Bagaimana rasanya,pak?" Rara mendekat sambil memperhatikan bibir Vino yang sedang mencicipi ikannya. Ada rasa senang bercampur kesal.
"Biasa aja," Vino berbohong. Ia tak ingin memuji Rara terlalu berlebihan. Kesal dengan penilaian Vino, Rara mencicipi kembali masakannya," perasaan bumbunya sudah pas," celetuknya sebal.
"Itu perasaan kamu. Segala sesuatu jangan terlalu memakai perasaan. Paham?" Vino kembali membasuh dirinya ke kamar mandi.
Masakan telah tersedia rapi di atas meja. Rara berharap masakannya dimakan oleh Vino malam ini.
"Pak, ayo makan. Makanannya sudah siap," ajak Rara yang sudah standby di meja makan.
Vino menarik kursi lalu duduk tepat dihadapan Rara. Meja makan dipenuhi hidangan yang membuat air liur Vino ingin tumpah sedari tadi. Ia sudah tidak sabar melahap ikan gurame yang menurutnya sedap. Belum sempat menghabiskan makanan yang ada di piringnya tiba-tiba saja ada seseorang mengetuk pintu.
Vino terkejut dan mencoba mengintip terlebih dahulu dari sela-sela pintu. Vino tampak panik. Kekasihnya monik sudah sampai di depan pintu. Ia menarik Rara untuk segera bersembunyi didalam kamar. "Kamu bersembunyi dulu disini. Pacar saya datang. Jangan pernah keluar sebelum saya perintahkan. Paham?"
Dengan perasaan yang sedikit gugup akhirnya Vino memberanikan diri untuk membuka pintu secara perlahan. Pelukan hangat langsung menyerang badan Vino,"aku kangen kamu," suara lembut itu terasa hangat menyerang telinga Vino. Vino langsung membalas dengan kecupan hangat dikening Monik.
"Gimana kalau kita makan diluar?" Wajah manja Monik terlihat merayu. Sesekali ia mencubit pipi Vino dengan perasaan gemas.
Sementara Rara sedari tadi membuka pintunya sedikit lebar untuk mengatasi rasa penasarannya. Hatinya hancur, ternyata orang yang ia sukai selama ini sudah memiliki sang kekasih. Rara kembali menutup pintu kamarnya dan berusaha mencoba mematikan perasaan yang selama ini ia pendam.
"Tidak mungkin dia menjadi milikmu, Ra. Sadarlah," ucap Rara pelan sambil menepuk kedua pipinya. Ia berjongkok disamping pintu menunggu Vino membukanya.
Sementara Vino bergegas mengambil kunci rumah dan memastikan pintu sudah terkunci dengan rapat. Mereka berdua menikmati makan malam yang sangat romantis di sebuah cafe. Lampu-lampu terlihat kerdap kerdip menghiasi dinding-dinding. Selama berdua dengan Monik, pikiran Vino melayang kepada Rara yang sedang menunggu didalam kamar. Ia teringat bahwa Rara tidak akan keluar kamar sebelum ia menyuruhnya.
Ia mengetikkan pesan singkat kepada Rara," saya sudah diluar, kamu boleh keluar kamar sekarang," bunyi pesannya. Setelah membaca pesan Vino, Rara melangkah kearah dapur. Makanan yang ia masak dengan rasa cinta kini terlihat terbengkalai.
Bulan tampak mulai menerang. Jalan raya mulai sepi. Udara malam ini terasa dingin, membuat Monik tak berhenti memeluk Vino didepan apartmentnya."Kamu ngak mau singgah?" Ucap Monik rayu Vino agar menginap diapertemen miliknya. Namun tampaknya Vino lelah dan menolak ajakan Monik dengan lembut," lain waktu aja ya sayang. Aku capek banget hari ini"
Monik menggangguk pasrah sambil memonyongkan bibirnya.
"Jangan cemberut gitu dong"
"Oke, ngak apa-apa. Tapi lain waktu harus bisa ya?"
"Iya sayang," Vino mencium keningnya lalu melihat Monik masuk kedalam apartment.
Ia mulai panik dan menancap gas mobilnya. Keresahan terhadap Rara yang ia tinggalkan kini memuncak. Jalanan begitu lengang. Tidak sampai dua puluh menit ia sudah sampai di depan apertementnya. Ia membuka pintu dan melangkah menuju kamar Rara yang terlihat kosong.
"Rara," teriak Vino. Tapi seketika ia terkejut melihat Rara yang tertidur pulas dimeja makan.
"Hm..," sindirnya kepada Rara sambil mematung dengan perasaan bersalah.
Rara terbangun. Matanya memicing," bapak sudah pulang?"
"Ngapain kamu tidur disini?"
"Nungguin bapak pulang. Makanannya kan belum habis. Emangnya bapak ngak mau makan lagi?"
"Saya sudah makan"
"Oh...," Rara seketika tertidur lagi diatas meja makan dengan tangan terlipat dan wajah tertunduk diatas tangannya.
"Heh! Bangun! Malah tidur disini," Vino mencoba menggoyangkan tangan Rara. Ia dikagetkan dengan suhu badan Rara yang sangat panas.
"Ra, kamu demam?" Vino menempelkan telapak tangannya kekening Rara untuk memastikan suhu badan Rara yang mulai tinggi. Tanpa pikir panjang Vino langsung menggendong Rara dan membaringkannya diatas sofa. Wajahnya terlihat pucat. Vino mengambil air dingin dan mengompresnya. Jika satu malam ini panasnya tidak turun, ia berencana untuk membawanya ke dokter.
Suara musik roker terdengar jelas dari gedung rumah berwarna putih itu. Segelas kopi hangat menemani pembicaraan antara Gogi dan Ivan. Kamar yang mereka tempati itu terlihat berantakan dan usang. Sebenarnya Ivan tidak menyukai kondisi tempat tidur yang kotor, tapi ia semakin terbiasa semenjak mendedikasikan hidupnya bersama Gogi. Semakin hari Ivan semakin tampak brutal. Jiwanya yang dulunya terkenal lembut dan mempesona kini berubah 180 derajat menjadi orang yang super tega. Ia sudah menanamkan dirinya untuk melakukan apapun demi mendapatkan uang.Tombol hitam pada radio jadul itu sengaja Gogi matikan, "Saya punya rencana," Gogi membuka pembicaraan yang sempat hening."Apa?" Sambut Ivan penasaran."Saya ada target untuk besok pagi. Kita usahakan subuh sudah ada dilokasi," Gogi mengkerutkan keningnya. Hal baru akan dimulai.***Suara klekson saling bersahutan. Jalanan dipenuhi kendaraan yang tampak saling mendahului satu sama lain. Dua l
Semua jasa media televisi sengaja ia gunakan sebagai bentuk pencarian. Tapi sayangnya belum ada tanda-tanda tertangkapnya pelaku. Hal itu membuat Vino semakin stres. Belum lagi menghadapi Monik, yang ternyata diam-diam datang ke kantor untuk mengajaknya makan siang. Namun ajakan Monik ditolak mentah-mentah oleh Vino, hal itu membuat Monik marah. Monik menunggu Vino diseberang kantor, lengkap dengan dinas kerja yang belum sempat ia ganti. Mereka berdua saling bertatapan. Ada rindu yang tak terkatakan oleh Monik yang membelenggu jiwanya sejak tadi malam. "Tolong sempatkan waktumu untukku, akhir-akhir ini kamu terlalu sibuk," ucap Monik sambil menyentuh pipi Vino. Monik memasang wajah sedih. Tapi sayang, rasa capek dan tekanan pekerjaan membuat Vino harus menolak sang kekasih. "Maaf sayang, aku banyak pekerjaan. Lain waktu pasti akan aku usahakan. Aku janji". Seketika wajah manis berbalut make up tipis itu berubah menjadi kusut. Air mata
Sudah tiga hari Gogi menganggur di rumah. Dan sudah tiga hari juga ia tidak mandi. Lelaki ini memang terkenal dengan kejorokannya. Tidak heran jika sampai saat ini ia masih menyendiri. Namun berbeda dengan Ivan, ia tampak begitu rapi. Aroma tubuhnya menyeruak sampai ke dapur membuat bik Ani semakin mendekat."Rapi banget. Pak Ivan mau kemana," Tanya bik Ani sambil membersihkan ruang tamu."Biasa bik, mau ketemu kekasih saya dikampung," jelas Ivan.Gogi tersenyum tengil. Setelah berhasil menjual mobil milik Gea sepertinya mereka memilih untuk beristirahat dari semua kegiatan. Ia duduk sambil menyilangkan kakinya ke depan sembari menggigit biskuit.Berita hilangnya Gea kini menyebar di televisi. Hal itu membuat Gogi sedikit resah. Tetapi tidak untuk Ivan. Ia tampak tenang sambil tersenyum tengil melihat wajah Gea terpampang di televisi."Cantik banget wanita itu. Aduh, kasihan banget hidupnya. Bibik sumpahi yang menculik segera mati. Te
Sudah tiga hari Gogi menganggur di rumah. Dan sudah tiga hari juga ia tidak mandi. Lelaki ini memang terkenal dengan kejorokannya. Tidak heran jika sampai saat ini ia masih menyendiri. Namun berbeda dengan Ivan, ia tampak begitu rapi. Aroma tubuhnya menyeruak sampai ke dapur membuat bik Ani semakin mendekat."Rapi banget. Pak Ivan mau kemana," Tanya bik Ani sambil membersihkan ruang tamu."Biasa bik, mau ketemu kekasih saya dikampung," jelas Ivan.Gogi tersenyum tengil. Setelah berhasil menjual mobil milik Gea sepertinya mereka memilih untuk beristirahat dari semua kegiatan. Ia duduk sambil menyilangkan kakinya ke depan sembari menggigit biskuit.Berita hilangnya Gea kini menyebar di televisi. Hal itu membuat Gogi sedikit resah. Tetapi tidak untuk Ivan. Ia tampak tenang sambil tersenyum tengil melihat wajah Gea terpampang di televisi."Cantik banget wanita itu. Aduh, kasihan banget hidupnya. Bibik sumpahi yang menculik segera mati. Te
Pagi-pagi buta Monik dikejutkan dengan nada dering ponselnya yang berbunyi tiada henti. Selimut tebal itu seketika dia hempaskan dari atas wajahnya. "Siapa sih, telfon subuh-subuh begini!" Ucapnya spontan setelah menguap beberapa kali.Ternyata Ivan. "Ada apa,Van?" Tanya Monik penasaran. Hampir 6 bulan terakhir mereka jarang komunikasi. "aku butuh bantuan kamu. kamu ada waktu pagi ini?"Monik diam sejenak sambil berfikir jadwal kerja hari ini."Kayaknya sih nggak ada", balasnya dengan mata sedikit memicing. "Oke, nanti aku kerumah kamu,ya!" Monik membalas dengan nada malas. "Hmmmm", lirinya pelan lalu mematikan panggilannya. Belum sempat Monik memejamkan matanya kembali, seorang lelaki yang bernama"my char" tertera di layar ponselnya. Dengan malas ia menatap layar ponselnya. Tapi seketika ia membalasnya dengan senyuman manis lalu mengangkat telfon dari lelaki yang ternyata selama ini memiliki hubungan spesial dengan Monik."Halo sayang," Ucap Monik begitu manis. Seketika panggil
Permisi, pak Gogi". Suara wanita terdengar jelas dari balik pintu. "Sebentar", saut Gea singkat. Ia menuju kearah pintu. Pandangan matanya langsung kepada wanita itu yang ternyata adalah bik Ani."Mau cari siapa?" Tanya Gea jutek."Loh, aku ini pembantu lama dirumah ini. Kamu siapa? pembantu baru?" Ucap bik Ani dengan nada jawa yang tidak terlalu kental. Bik Ani bingung. Baru 1 bulan ia balik ke kampung, sudah ada yang menggantikan dirinya. Hal itu membuat ia kecewa dan langsung menerobos masuk ke rumah. "Pak Gogi, pak Ivan", Teriaknya kencang. Langkahnya terhenti ketika didapatinya mereka terbujur kaku diatas kasur. Beberapa luka memar menghiasi wajah mereka. "Loh, loh, loh, pak, kenapa iki?" tanyanya bingung. "Heh, beraninya kamu masuk! kamu siapa! seenaknya masuk rumah orang", bentak Gea kesal, ia menarik ujung baju bik Ani agar segera keluar. Tetapi bik Ani menepis kencang. Kesal dengan sikap bik Ani yang sedikit arogan, Gea menarik tangannya hingga ke luar pintu."Kamu yang
Perkenalkan, nama saya Gogi. Seorang cowok yang numpang hidup di alam liar alias di jalanan. Saya cowok normal yang ingin cepat kaya tanpa "BEKERJA". Kalau kamu semua sepemikiran dengan saya, selamat! Kamu termasuk orang-orang yang bodohnya hakiki. Saya harap kamu segera bertobat, karena tidak ada orang kaya yang tanpa bekerja kecuali korupsi dan memelihara si botak (situyul yang belum diketahui namanya).Siang ini seperti mencekam bagi saya karena belum ada target selanjutnya yang harus saya rampok. Mata saya memutar ke kanan dan ke kiri melihat semua sudut kamar yang tampak suram. Cat kamar yang saya tempati tiba-tiba berubah warna menjadi kuning kecoklatan, padahal awal catnya berwarna putih. Mengalahkan putihnya kain kafan. Saya tersadar sejenak ketika cat tembok tidak pernah saya rawat dan akhirnya berubah warna, apalagi perasaan orang. Jangan heran ketika saya tetap jomblo, karena saya memang tidak pernah menjaga perasaan orang termasuk tukang parkir, tukang sioma
Pagi ini suasana perusahaan Bintang Utara terasa tegang. Seorang cewek bernama Gea menghentakkan sebuah map biru berisi dokumen tepat dimeja Siska. Siska adalah salah satu karyawan yang sering ketiduran didalam ruangan kerja. Wajah yang terbalut make up itu tampak menegang dan segera merapikan rambutnya."Keruangan saya sekarang," perintah wanita yang bertubuh langsing ini. Suara tumit sepatunya terdengar jelas. Dengan sangat tergesa-gesa Siska mengikuti langka Gea dengan kondisi jantung yang berdebar kencang. Nasibnya saat ini sedang dipertaruhkan. Gea melipat kedua tangannya didada. Pandangan penuh kegeraman. Sedangkan Siska masih mematung berdiri tepat dihadapan Gea yang sedang sibuk membaca laporan di komputernya."Kenapa kamu tidur?" Tanya Gea dengan suara yang masih stabil. Belum sempat dijawab oleh Siska, Gea menyambar pertanyaan lagi, "kamu masih mau kerja atau tidak?"Siska menunduk, ia berharap nasibnya tidak sama seperti Ivan, yang dipecat secara tida