"Kamu mau ngapain Gog?" Tanya Ivan ketakutan," Saya mau merampok, bukan untuk membunuh orang. Kamu gila ya!"
Gogi berbalik kearah Ivan yang masih duduk diatas tempat tidur," lebih baik kamu mandi sekarang. Setelah itu kita akan latihan menembak di markas kami," terang Gogi
Gogi mempersiapkan segala peralatan yang dibutuhkannya, termasuk obat bius yang selalu ia gunakan untuk melumpuhkan sasaran. Lelaki ini tampak lihai memainkan pistol diujung telunjuknya. Ia memutar-mutarkan pistolnya dengan menggunakan jari telunjuknya. Dengan sigap ia menempelkannnya kesaku jaketnya sebelah kiri. Aroma keringat yang melekat berhari-hari menyeruak didalam ruangan. Hal itu membuat hidung Ivan tidak nyaman.
Tepat pukul 09.15, kedua insan ini siap untuk melakukan aksinya. Ivan yang sedari tadi kaku kini tampak bersemangat untuk melatih tangannya menembak. Segala teknik merampok tampak diajarkan oleh Gogi kepada Ivan. Markas yang mereka gunakan jauh dari penduduk. Itu alasannya kenapa mereka harus berangkat lebih awal, agar tidak diperhatikan oleh tetangga.
Kelompok Gogi tampak berdiri menyambut anggota mereka yang baru, yaitu Ivan. Genggaman tangan mereka sangat kencang, hingga membuat Ivan kesakitan ketika bersalaman. Markas ini terletak di pelosok Bogor. Sekitar rumah hanya terdapat rerumputan yang mulai meninggi. Biasanya tempat ini digunakan sebagai tempat untuk persembunyian ketika polisi hendak mencari mereka.
***
Gadis berambut sebahu itu tiba-tiba terbangun. Dengan perasaan kaget ia mencoba menepuk kedua pipinya secara bergantian. Rara tidak menyangka akan bangun kesiangan hari ini.
"Mati! Sudah jam berapa ini!" Ucap Rara dengan nada agak kuat. Pak Vino tersadar dan langsung berusaha bangkit dari tidurnya. Matanya masih cilingak cilinguk melihat sekitar. Sesekali ia menyentuh kepalanya yang masih terasa pusing. Melihat Rara tepat disamping, ia pun langsung berdiri.
"Ra, ngapain kamu dirumah saya!" Wajah Vino kebingungan dan bengong sesaat.
"Sekarang bapak berada dirumah saya, bukan dirumah bapak," saut Rara lembut. Wanita ini segera mandi dan membereskan semua selimut yang masih berlumur muntah. Sedangkan pak Vino masih sibuk dengan kebingungannya.
Teringat dengan ikan kesukaan pak Vino, Rara langsung mengambil ikan gurame dari dalam kulkasnya. Tampaknya pagi ini Rara ingin menyiapkan ikan gurame spesial untuk pak Vino. Namun sayangnya ikan gurame yang masih digoreng itu terpaksa Rara tinggalkan karena pak Vino mengajak Rara untuk buru-buru ke kantor. Tanpa pikir panjang Rara langsung mengambil tasnya, namun ia lupa untuk mematikan kompornya.
Dengan langkah yang sangat tergesa-gesa Vino menuju keparkiran dan tangannya masih menggenggam boneka beruang milik Rara hingga kedalam mobil. Sangkin paniknya, lelaki perfeksionis ini tampak gugup.
Rara melotot sambil melihat boneka beruangnya yang masih terjepit di ketiak pak Ivan," ngapain bapak bawa boneka saya?" Tanyanya dengan wajah datar
Seketika Vino tersadar dan langsung melemparkan boneka yang tak berdosa itu kebelakang. Dengan sigap ia merapikan kemejanya. Terlihat bercak bekas muntah dibagian kantong kemejanya.
"Kamu bawa parfum?"
"Bawa pak"
"Saya minta sedikit. Baju saya sepertinya terkena muntah. Baunya sangat menyengat".
Rara memberikan parfum rasa vanila yang selalu ia pakai setiap hari," ini pak".
Vino meraihnya lalu menyemprot kedua lehernya dan kedua lengan bajunya dengan parfum. Sepertinya bau muntah sudah sedikit menghilang.
"Soal tadi malam, saya minta maaf. Dan saya harap kamu melupakan kejadian itu"
"Baik pak," balas Rara lembut.
Rara dan pak Vino dirundung kecemasan selama diperjalanan. Sementara kondisi ruang rapat terlihat tegang dan menghening ketika Gea mulai duduk dikursi untuk memulai rapat hari ini. Toni dan Siska mulai terlihat panik. Sudah sepuluh pesan ia kirimkan ke W******p Rara untuk segera datang ke kantor, namun tidak ada balasan dari Rara.
Wanita berambut pendek ini pasrah, sepertinya ia harus melihat sahabatnya ini kena sanksi oleh bu Gea. Wanita sadis itu.
"Dimana pak Vino?" Gea melirik kursi yang biasa diduduki oleh Vino ketika rapat.
"Sepertinya terkena macet bu," balas Toni spontan.
"Rara dimana? Masih belum datangkah? Kenapa mereka berdua belum datang?" Gea meradang. Tampaknya ia akan mengeluarkan kata-kata yang pahit ketika Rara sudah tiba.
Melihat raut wajah yang muram, Siska langsung menyambar pertanyaan bu Gea."Tadi Rara datang bu, sepertinya masih di toilet," ujar Siska berusaha meyakinkan.
Belum sempat membalas pernyataan Siska, pak Ivan tiba-tiba muncul di depan pintu. Keringatnya bercucuran akibat mengejar waktu. Sedangkan Rara sengaja belakangan datang agar tidak dicurigai. Ia menepi sebentar ketoilet hanya untuk menarik nafas yang panjang. Ia rapikan kemeja dan roknya. Dengan perasaan cemas akhirnya Rara memberanikan diri menuju keruang rapat dengan jantung yang berdebar.
"Maaf menunggu lama," Vino senyum dengan terpaksa. Ia berusaha tetap tenang, namun mata semua karyawan memandang dirinya dari atas hingga kebawah. Bukan tanpa alasan, mereka dikagetkan oleh kemeja yang pak Vino pakai saat ini, itu adalah kemeja yang ia pakai kemarin.
"Lihat deh, baju pak Vino, kenapa ngak di ganti ya," bisik Siska kearah Toni. Namun Toni hanya membalas dengan anggukan singkat.
Pak Vino tampak santai dan berusaha untuk tetap tenang dan cool didepan mereka. Ia membuka laptopnya dan segera memulai rapat dengan wajah yang sedikit memerah. Hal ini bukan dikarenakan gugup untuk tampil, tapi karena baju yang ia gunakan sudah dua hari ia pakai. Sepertinya lelaki perfeksionis ini harus menelan malu akibat perbuatannya tadi malam.
Rapat sudah mulai satu menit, namun terpaksa dihentikan karena Rara masuk kedalam ruangan.
"Maaf menunggu lama," ucap Rara didepan pintu dengan wajah yang lusuh. Tapi Rara tidak seberuntung pak Vino. Tanpa rasa iba, ia disuruh keluar oleh bu Gea dari ruangan.
Bu Gea tampak berdiri dari kursinya. "Tolong kamu tunggu diluar," ucap wanita sadis itu.
Semua mata tertuju pada Rara. Apalagi Siska. Rasanya ia ingin memblender mulut wanita sadis itu. Yang dengan teganya mempermalukan Rara didepan semua orang.
Rara ikhlas, ia tahu hal ini akan terjadi. Tapi tidak ada sedikit pun ketakutan untuk dipecat oleh bu Gea. Pikirannya masih blom move on tentang pak Vino yang menginap ditempat tidurnya tadi malam. Ia tampak melamun di depan parkiran. Menatap mobil putih yang pernah ia duduki bersama pak Vino. Senyumnya mengukir kecil. Tampaknya ia dibutakan oleh cinta saat ini.
Lamunan Rara buyar ketika bu Gea muncul secara tiba-tiba dihadapannya.
"Keruangan sekarang," perintah Gea dengan wajah yang jutek. Sesampainya didalam ruangan, Gea melampiaskan amarahnya kepada Rara tanpa ampun. Sayangnya lelaki yang Rara sukai tepat berada didepannya. Harga dirinya terasa rendah ketika dicaci maki didepan pak Vino. Namun pak Vino hanya diam seribu bahasa. Dia hanya seorang manager yang kapan saja dapat ditendang keluar oleh wanita sadis ini.
"Apa benar kamu tadi ketoilet?" Gea curiga terhadap Siska yang memberikan alasan itu ketika ditanya.
Siska memandang tajam mata Rara seolah memberikan sinyal atau kode," jawab ia, Ra....!" Siska berkata dalam hati.
"Iya bu, tadi saya ketoilet," Rara menunduk pasrah. Sedangkan Siska bernafas lega. Siska takut jika Rara menjawab tidak dari toilet. Hal itu akan membuat bu Gea tidak segan-segan menendang ia keluar dari perusahaan ini.
"Untuk kali ini saya maafkan," ujar Gea lalu meninggalkan ruangan.
Mereka berempat langsung menuju kemeja masing-masing. Namun Siska dan Toni masih memperhatikan gerak gerik pak Vino yang tak biasa. Ditambah lagi aroma parfum pak Vino yang sempat menyeruak diruang rapat. Sangkin penasaran, Siska berpura-pura menghampiri pak Vino hanya untuk memastikan aroma parfum yang sedang ia pakai.
"Pak, parfum baru ya? Tumben bapak pakai parfum aroma vanila," ejek Siska sambil tersenyum.
"Iya, saya mengoleksi parfum yang beraroma soft saat ini," jelas Vino sedikit gugup. Ia merasa bodoh telah meminta parfum Rara pagi tadi. Sepertinya hari ini sangat menyebalkan baginya.
Siska tersenyum lebar dan memilih kembali kemeja kerjanya. Rasa penasaran kini terjawab. Namun, tetap saja ia dan Toni mencium aroma yang tidak biasa diantara Rara dan pak Vino. Tetapi mereka sengaja memendamnya sendiri.
Kondisi gedung yang berlantai dua puluh lima ini tampak ramai. Semua karyawan begitu antusias keluar gedung untuk mencari makanan termasuk Toni, Siska dan Rara.
"Kemarin sore kamu langsung pulang Ra?" Toni membuka pembicaraan. Ia berharap kecurigaannya tidak benar.
"Iya, kenapa Ton?" Sambar Rara pede. Ia menyedot jus mangga yang baru saja ia pesan.
"Oh, saya kira kamu pergi lagi dengan pak Vino"
"Ya ngak lah. Ngapain saya pergi malam- malam dengan dia. Kurang kerjaan aja," ucap Rara berbohong.
"Ya bisa aja kan?" Cetusnya
"Eh, kamu mau ngak satu apertement dengan saya, Ra? Saya kewalahan membayar sewanya," ajak Siska.
"Aduh, sorry Sis, saya uda boking tiga tahun itu kos-kosan. Sayang banget kan kalau ditinggal gitu aja"
"Oh," mulut Siska mengerucut.
Pak Vino melihat mereka dari kejauhan dan melangkah mendekat kearah mereka.
"Eh bapak, mau makan juga pak?" Tanya Toni mencari perhatian.
Namun sayang, pak Vino tidak menggubris, sorot matanya tertuju langsung kepada Rara," handphone kamu mati? Saya hubungi beberapa kali ngak masuk," nada suara Pak Vino sedikit mencekam.
"Maaf pak, handphone saya lobet"
"Ikut saya sebentar," pak Vino berjalan menuju kantor dengan langkah yang cepat.
"Saya pergi sebentar ya! Tolong kamu bayarin ya Ton, nanti saya ganti," Rara langsung mengejar pak Vino. Rasa gugupnya tiba-tiba semakin bertambah ketika pak Vino mengajaknya ke dalam ruangan. Diruangan hanya mereka berdua. Rara yang sedari tadi menahan lapar kini terlihat gugup. Tangannya sedikit basah. Sesekali ia menggosokkan telapak tangannya ke rok span yang saat ini ia pakai.
"Ada apa bapak mengajak saya kesini?"
"Tolong kamu jaga rahasia saya. Jangan sampai ada yang tahu kalau saya pernah nginap dikos-kosan kamu. Paham?" Vino menatap kedua bola mata Rara sambil menyentuh kedua pundaknya. Hal itu membuat Rara mati gaya. Kalau bisa mati saat ini juga.
"Kamu kenapa? Kok bengong? Ada yang salah dari ucapan saya, atau jangan-jangan kamu sudah bercerita sama Siska dan Toni?" Vino mendadak suudzan. Ia tampak gugup dan panik. Wajahnya yang menawan kini terlihat cemas akibat Rara tak menjawab pertanyaannya.
Dengan sekuat tenaga Rara menahan getaran jantungnya yang ingin meranjak dari tadi. Tatapan mata pak Vino seperti menyihir Rara jadi seorang cewek yang tak berdaya. Dengan nada gugup Rara menjawabnya," sa, sa, sa.."
"Sa, sa kenapa? Jawab yang jelas Ra?" Ucap Vino semakin penasaran. Kedua tangan Vino terlihat semakin kencang menggoncang lengan Rara yang langsing itu. Sepertinya Vino sudah lupa bahwa dirinya seorang manager dan atasan Rara. Sikap perfeksionisnya kini ia singkirkan sementara. Hal itu membuat Rara tidak menyangka bahwa lelaki yang selama ini ia kenal itu ternyata bisa panik hanya karena masalah menginap semalam.
"Saya tidak pernah bercerita hal itu kepada siapa pun, pak Vino tidak perlu khawatir," ungkap Rara memastikan. Mendengar hal itu perlahan kedua tangan Vino terlepas dari lengan Rara. Hatinya mulai tidak khawatir lagi.
Vino menunduk sembari membuang nafas dari mulut," syukurlah," desisnya pelan.
"Apa bapak cuma mau menanyakan itu saja?"
"Ya, sekarang kamu boleh pergi"
"Baik pak, permisi," Rara keluar ruangan. Belum sempat membuka pintu, Siska dan Toni terlebih dulu masuk. Tak mau dicurigai, Vino berubah menjadi pemarah. Tiba-tiba saja ia melontarkan kata-kata kepada Rara didepan Siska dan Toni.
"Pokoknya saya ngak mau tau! Laporan kamu berantakan! Besok harus sudah selesai," suara Vino meninggi.
Rara berbalik badan dan sedikit kebingungan. Ia tidak sadar bahwa itu hanya rekayasa pak Vino agar tidak dicurigai oleh Siska dan Toni.Mulut Rara tertahan. Matanya mulai berkaca-kaca. Lelaki yang baru saja mendebarkan jantungnya kini berubah menjadi monster naga yang ingin melahap orang seketika. Padahal sebelum jam istirahat pak Vino sudah menyetujui laporan Rara. Tak sanggup melihat bentakan pak Vino yang tiba-tiba, Rara meminta maaf dan langsung menuju toilet. Sedangkan Siska dan Toni bergegas memeriksa laporannya berulang-ulang sebelum diberikan kepada pak Vino.
Seharian penuh ruangan kerja mereka tampak senyap. Tidak ada canda tawa seperti biasa. Belum lagi mood pak Vino yang suka berubah-ubah membuat para pekerja canggung untuk mengajak bicara.
Rara merasa lega ketika melihat jam tangannya sudah menunjuk ke angka lima. Ia bergegas membereskan semua map yang tampak berserak diatas mejanya.
"Kamu langsung pulang, Ra? Kita dua mau nonton nih, kamu ikut ngak!" Ajak Toni sambil menyebar senyumnya yang memuakkan.
"Saya kayaknya capek banget hari ini,Ton. Kamu sama Siska aja. Saya balik duluan ya" saut Rara lalu meninggalkan mereka. Rara tanpa pikir panjang menolak ajakan Toni yang sebenarnya untuk menghibur dirinya agar tidak sedih karena dimarahi bu Gea dan pak Vino hari ini.
"Pak Vino ngak pulang?" Tanya Siska memastikan.
"Kalian pulang duluan saja. Hari ini saya banyak pekerjaan," lanjutnya sembari mengetik dengan fokus.
"Oke, baik pak," Siska dan Toni meninggalkan pak Vino sendirian diruangan. Sepertinya Vino ingin menghabiskan malam ini didalam kantor.
Hampir satu jam pak Vino menenggelamkan dirinya dikesunyian malam. Ia tampak stres menghadapi bu Gea yang sengaja memberikannya tekanan kerja yang cukup berat. Sudah tidak tahan menahan kantuk yang menyerang, Vino memutuskan untuk pulang. Kakinya tampak tergesa-gesa menuju kearah mobil. Sesampainya didalam mobil, ia dikagetkan dengan boneka beruang yang masih ada dikursi belakang mobilnya. Segera ia menariknya dan meletakkan boneka yang malang itu kedepan kursi lalu memasangkannya sabuk pengaman. Sepertinya dia mulai tidak waras saat ini. "Paling tidak saya ngak sendirian," ucap Vino sembari menjalankan mobilnya menuju kos-kosan Rara. Ia ingin mengembalikan boneka yang tak sengaja ia bawa tadi pagi. Konsentrasi Vino buyar ketika ponselnya berdering. Terlihat nama kontak 'Monik' yang tertera dilayar ponselnya. Tak mau mengambil resiko ditengah jalan, ia menepi kepinggir jalan dan mengangkat telfon dari Monik. Monik adalah kekasih Vino yang berprofesi
Suara musik roker terdengar jelas dari gedung rumah berwarna putih itu. Segelas kopi hangat menemani pembicaraan antara Gogi dan Ivan. Kamar yang mereka tempati itu terlihat berantakan dan usang. Sebenarnya Ivan tidak menyukai kondisi tempat tidur yang kotor, tapi ia semakin terbiasa semenjak mendedikasikan hidupnya bersama Gogi. Semakin hari Ivan semakin tampak brutal. Jiwanya yang dulunya terkenal lembut dan mempesona kini berubah 180 derajat menjadi orang yang super tega. Ia sudah menanamkan dirinya untuk melakukan apapun demi mendapatkan uang.Tombol hitam pada radio jadul itu sengaja Gogi matikan, "Saya punya rencana," Gogi membuka pembicaraan yang sempat hening."Apa?" Sambut Ivan penasaran."Saya ada target untuk besok pagi. Kita usahakan subuh sudah ada dilokasi," Gogi mengkerutkan keningnya. Hal baru akan dimulai.***Suara klekson saling bersahutan. Jalanan dipenuhi kendaraan yang tampak saling mendahului satu sama lain. Dua l
Semua jasa media televisi sengaja ia gunakan sebagai bentuk pencarian. Tapi sayangnya belum ada tanda-tanda tertangkapnya pelaku. Hal itu membuat Vino semakin stres. Belum lagi menghadapi Monik, yang ternyata diam-diam datang ke kantor untuk mengajaknya makan siang. Namun ajakan Monik ditolak mentah-mentah oleh Vino, hal itu membuat Monik marah. Monik menunggu Vino diseberang kantor, lengkap dengan dinas kerja yang belum sempat ia ganti. Mereka berdua saling bertatapan. Ada rindu yang tak terkatakan oleh Monik yang membelenggu jiwanya sejak tadi malam. "Tolong sempatkan waktumu untukku, akhir-akhir ini kamu terlalu sibuk," ucap Monik sambil menyentuh pipi Vino. Monik memasang wajah sedih. Tapi sayang, rasa capek dan tekanan pekerjaan membuat Vino harus menolak sang kekasih. "Maaf sayang, aku banyak pekerjaan. Lain waktu pasti akan aku usahakan. Aku janji". Seketika wajah manis berbalut make up tipis itu berubah menjadi kusut. Air mata
Sudah tiga hari Gogi menganggur di rumah. Dan sudah tiga hari juga ia tidak mandi. Lelaki ini memang terkenal dengan kejorokannya. Tidak heran jika sampai saat ini ia masih menyendiri. Namun berbeda dengan Ivan, ia tampak begitu rapi. Aroma tubuhnya menyeruak sampai ke dapur membuat bik Ani semakin mendekat."Rapi banget. Pak Ivan mau kemana," Tanya bik Ani sambil membersihkan ruang tamu."Biasa bik, mau ketemu kekasih saya dikampung," jelas Ivan.Gogi tersenyum tengil. Setelah berhasil menjual mobil milik Gea sepertinya mereka memilih untuk beristirahat dari semua kegiatan. Ia duduk sambil menyilangkan kakinya ke depan sembari menggigit biskuit.Berita hilangnya Gea kini menyebar di televisi. Hal itu membuat Gogi sedikit resah. Tetapi tidak untuk Ivan. Ia tampak tenang sambil tersenyum tengil melihat wajah Gea terpampang di televisi."Cantik banget wanita itu. Aduh, kasihan banget hidupnya. Bibik sumpahi yang menculik segera mati. Te
Sudah tiga hari Gogi menganggur di rumah. Dan sudah tiga hari juga ia tidak mandi. Lelaki ini memang terkenal dengan kejorokannya. Tidak heran jika sampai saat ini ia masih menyendiri. Namun berbeda dengan Ivan, ia tampak begitu rapi. Aroma tubuhnya menyeruak sampai ke dapur membuat bik Ani semakin mendekat."Rapi banget. Pak Ivan mau kemana," Tanya bik Ani sambil membersihkan ruang tamu."Biasa bik, mau ketemu kekasih saya dikampung," jelas Ivan.Gogi tersenyum tengil. Setelah berhasil menjual mobil milik Gea sepertinya mereka memilih untuk beristirahat dari semua kegiatan. Ia duduk sambil menyilangkan kakinya ke depan sembari menggigit biskuit.Berita hilangnya Gea kini menyebar di televisi. Hal itu membuat Gogi sedikit resah. Tetapi tidak untuk Ivan. Ia tampak tenang sambil tersenyum tengil melihat wajah Gea terpampang di televisi."Cantik banget wanita itu. Aduh, kasihan banget hidupnya. Bibik sumpahi yang menculik segera mati. Te
Pagi-pagi buta Monik dikejutkan dengan nada dering ponselnya yang berbunyi tiada henti. Selimut tebal itu seketika dia hempaskan dari atas wajahnya. "Siapa sih, telfon subuh-subuh begini!" Ucapnya spontan setelah menguap beberapa kali.Ternyata Ivan. "Ada apa,Van?" Tanya Monik penasaran. Hampir 6 bulan terakhir mereka jarang komunikasi. "aku butuh bantuan kamu. kamu ada waktu pagi ini?"Monik diam sejenak sambil berfikir jadwal kerja hari ini."Kayaknya sih nggak ada", balasnya dengan mata sedikit memicing. "Oke, nanti aku kerumah kamu,ya!" Monik membalas dengan nada malas. "Hmmmm", lirinya pelan lalu mematikan panggilannya. Belum sempat Monik memejamkan matanya kembali, seorang lelaki yang bernama"my char" tertera di layar ponselnya. Dengan malas ia menatap layar ponselnya. Tapi seketika ia membalasnya dengan senyuman manis lalu mengangkat telfon dari lelaki yang ternyata selama ini memiliki hubungan spesial dengan Monik."Halo sayang," Ucap Monik begitu manis. Seketika panggil
Permisi, pak Gogi". Suara wanita terdengar jelas dari balik pintu. "Sebentar", saut Gea singkat. Ia menuju kearah pintu. Pandangan matanya langsung kepada wanita itu yang ternyata adalah bik Ani."Mau cari siapa?" Tanya Gea jutek."Loh, aku ini pembantu lama dirumah ini. Kamu siapa? pembantu baru?" Ucap bik Ani dengan nada jawa yang tidak terlalu kental. Bik Ani bingung. Baru 1 bulan ia balik ke kampung, sudah ada yang menggantikan dirinya. Hal itu membuat ia kecewa dan langsung menerobos masuk ke rumah. "Pak Gogi, pak Ivan", Teriaknya kencang. Langkahnya terhenti ketika didapatinya mereka terbujur kaku diatas kasur. Beberapa luka memar menghiasi wajah mereka. "Loh, loh, loh, pak, kenapa iki?" tanyanya bingung. "Heh, beraninya kamu masuk! kamu siapa! seenaknya masuk rumah orang", bentak Gea kesal, ia menarik ujung baju bik Ani agar segera keluar. Tetapi bik Ani menepis kencang. Kesal dengan sikap bik Ani yang sedikit arogan, Gea menarik tangannya hingga ke luar pintu."Kamu yang
Perkenalkan, nama saya Gogi. Seorang cowok yang numpang hidup di alam liar alias di jalanan. Saya cowok normal yang ingin cepat kaya tanpa "BEKERJA". Kalau kamu semua sepemikiran dengan saya, selamat! Kamu termasuk orang-orang yang bodohnya hakiki. Saya harap kamu segera bertobat, karena tidak ada orang kaya yang tanpa bekerja kecuali korupsi dan memelihara si botak (situyul yang belum diketahui namanya).Siang ini seperti mencekam bagi saya karena belum ada target selanjutnya yang harus saya rampok. Mata saya memutar ke kanan dan ke kiri melihat semua sudut kamar yang tampak suram. Cat kamar yang saya tempati tiba-tiba berubah warna menjadi kuning kecoklatan, padahal awal catnya berwarna putih. Mengalahkan putihnya kain kafan. Saya tersadar sejenak ketika cat tembok tidak pernah saya rawat dan akhirnya berubah warna, apalagi perasaan orang. Jangan heran ketika saya tetap jomblo, karena saya memang tidak pernah menjaga perasaan orang termasuk tukang parkir, tukang sioma