Ketika Suamiku Berubah Pelit 8
"Mas Rahman?" lirih Fitri. Matanya terpaku menatap pemuda yang ada di depannya.
Pemuda yang bernama Rahman itu lantas turun dari motornya dan menghampiri Fitri yang tengah terpaku. Ia mengulurkan tangannya pada Fitri.
"Apa kabar?" ujarnya sambil tersenyum. Lesung pipi yang tampak ketika lelaki itu tersenyum membuat kedongkolan yang mencokol dalam hati Fitri seketika mencair.
Setelah beberapa saat terpaku, Fitri lalu menerima uluran tangan Rahman sambil membalas senyuman Rahman.
"Kabar baik, Mas. Kamu sendiri gimana? Eh ngapain ke situ?" jawab Fitri setelah melepas tangannya. Fitri tampak malu-malu melihat lelaki di hadapannya ini. Ia tak menyangka jika bertemu dengan pujaan hatinya semasa sekolah dulu.
Dulu, waktu pulang sekolah menengah Fitri pernah terjatuh dari motor ketika hendak menaiki motornya. Kakinya berpijak pada sebuah batu lumayan besar yang membuatnya tergelincir. Kaki yang tidak bisa mengimbangi tubuhnya lantas ambruk ke atas tanah.
Ketika hendak berdiri, rok yang ia kenakan tak sengaja tersangkut di sebuah ranting pohon. Karena rasa malu sudah menjalari hingga ujung kepala, Fitri segera bangkit dari tempatnya terjatuh. Tetapi rasa malunya kian mendera manakala rok yang menyangkut pada ranting yang ia paksa untuk bangkit yang malah membuat rok Fitri robek.
"Aaahhhh!" pekik Fitri saat melihat rok yang ia kenakan robek hampir terlihat pahanya. Dengan sigap Fitri menutup sobekan dengan kedua tangannya.
"Duh!" kesal Fitri sambil menutup rok dengan kedua tangannya. Fitri panik. Ia tak tahu lagi harus bagaimana. Namun sebuah suara mengagetkannya.
"Tunggu, kamu diam di situ!" teriak seseorang yang tak lain adalah Rahman. Ia adalah kakak kelas beda jurusan yang banyak dikagumi oleh teman-teman sekelasnya.
Bagaimana tidak kagum jika pemuda tampan yang juga atlet basket itu ternyata ramah dan baik hati. Suka menebar senyuman pada siapa pun yang menyapanya tetapi tak pernah sekalipun terlihat menggandeng seorang siswi sebagai pacar atau teman dekat.
Rahman melepas jaket yang ia kenakan lalu diberikannya pada Fitri.
Dengan cepat Fitri menerima jaket dari tangan Rahman. Ia lantas menutup sobekan itu dengan jaket pemberian Rahman lalu ia berdiri dan kembali menaiki motornya terparkir. Namun sebelum melangkah, Fitri yang wajahnya sudah seperti udang rebus menyempatkan diri untuk menoleh sejenak pada kakak kelasnya itu.
"Makasih ya jaketnya, besok aku kembalikan," ucap Fitri malu-malu.
Rahman hanya tersenyum dan mengacungkan jari jempolnya. Senyum yang membuat hati Fitri berdebar-debar.
"Aku kerja di sini," jawab Rahman. Tetapi yang diajak ngobrol malah sibuk mengenang awal mula kedekatan mereka berdua.
"Fit?" panggil Rahman lagi.
"Eh iya, Mas. Apa?" sahut Fitri gelagapan. Fitri yang tengah mengenang masa-masa sekolah itu semakin membuat hatinya berdebar tak menentu.
"Kamu mau kemana kok jalan kaki?" tanya Rahman lagi. Ia berusaha mencairkan suasana.
"Mau ke rumah temen, Mas. Nggak jauh dari sini makanya aku jalan kaki. Mas sendiri ngapain di situ?"
"Aku kerja di sini," Jawab Rahman sambil tersenyum. Duh lesung pipinya membuat Fitri mabuk. Mabuk kepayang.
Sekelebat bayangan akan kejadian tadi pagi membuat Fitri tersadar akan posisinya. Ah iya, ia lupa kalau sudah jadi istri orang. Fitri menahan kembali gejolak hati yang menggebu-gebu. Sadar akan status.
"Oh kerja di situ?" tanya Fitri sambil menatap sebuah banner yang digelar di atas atap depan toko.
"Berkah Seluler"
Sebuah konter ponsel dan servis.
"Iya." Rahman berjalan menuju teras toko. "Yuk duduk sini," ajaknya.
"Nggak usah, Mas. Aku di sini saja." Fitri melirik sekilas teras yang tengah diduduki oleh Rahman. Tak sengaja matanya melihat sebuah kertas tertempel di dinding sebelah pintu besi.
"Dicari karyawati."
Fitri tertegun membaca tulisan itu. Sesaat kemudian ia melirik lelaki yang tengah duduk di bawah tulisan itu.
Wajah itu masih tetap sama seperti saat sekolah menengah dulu, bahkan setelah sepuluh tahun berlalu. Bukan tak mungkin jika ia bekerja di tempat itu, benih yang sudah lama ia kubur akan kembali lagi menjadi sebuah rasa yang tak lagi bisa ia tahan. Fitri kembali mengurut dada.
"Oh ya, baik." Rahman duduk di lantai teras lalu mengeluarkan ponselnya.
"Aku permisi dulu ya, Mas?" ujar Fitri sebelum ia kembali melangkah pergi.
"Iya. Hati-hati." Rahman sedikit berteriak karena Fitri mulai melangkah.
Ada rasa senang dan sedih yang tumbuh di hati Fitri. Pertemuan singkat dengan pujaan hatinya semasa sekolah dulu sedikit menjadi penghibur lara ditengah sikap suaminya yang tak berpihak padanya.
Fitri kembali berjalan menuju rumah Tika. Tak ada lagi teman yang ia miliki setelah menikah selain Tika yang juga tetangga kampung. Sahabat yang sudah seperti saudaranya sendiri. Ia pun mempercepat langkahnya agar segera sampai dan bisa menyampaikan maksud tujuannya datang berkunjung.
"Carikan aku pekerjaan," ujar Fitri setelah sedikit berbasa-basi pada Kartika. Ia tengah duduk di atas amben bambu di bawah pohon mangga di halaman belakang rumah Kartika. Saking dekatnya, rumah Tika pun sudah seperti rumah Fitri sendiri.
"Kerja apa kamu?" tanya Tika lagi. Ia tengah menikmati sepiring opor ayam buatan ibunya.
"Terserah pokoknya kerja. Aku capek berharap sama Mas Aditya terus! Aku mau mandiri! Usaha jualan pulsa pun kalau untuk menutup semua kebutuhan rasanya masih kurang. Aku mau kerja yang full time," keluh Fitri.
"Tumben sih kamu kok mendadak pengen kerja full time? Habis kenapa?" tanya Tika santai sambil menikmati sisa ayam setelah semua nasinya berpindah ke perutnya.
Fitri menatap Tika dengan pandangan memelas. Tak lupa juga ia hembuskan napas dalam sebelum memulai cerita soal tadi pagi yang memang membuat dadanya kian sesak.
Setelah dadanya lega, Fitri mulai bercerita. Dengan hati yang remuk dan mata yang penuh dengan gelombang air mata, Fitri menyampaikan seluruh unek-unek yang dirasakannya beberapa hari ini.
"Ya nanti kalau ada info lowongan kubantu cari," jawab Tika setelah Fitri selesai berkeluh kesah.
"Beneran ya? Aku sudah ngga mau lagi bergantung pada Mas Aditya," jawab Fitri lemah.
Setelah menyampaikan keperluannya, Fitri pamit undur diri. Ia tak bisa meninggalkan Nisa terlalu lama. Juga karena saat siang hari ia harus menyiapkan bekal makan siang suaminya ke bengkel.
Fitri kembali berjalan dengan santai untuk sampai di rumah. Pikirannya berkelana mengingat saat-saat masih belum menikah dulu. Ia bebas menggunakan gajinya untuk jajan apapun setelah ia berikan sebagian untuk ibunya. Tak perlu repot memikirkan kebutuhan hidup seperti saat ini. Susah memang tapi derajatnya jelas berbeda.
Saat Fitri tengah berjalan, tiba-tiba seorang anak laki-laki berlari ke arahnya. Tanpa aba-aba jagoan kecil itu memeluk tubuh Fitri erat sambil meraung.
"Mama! Huuhuuhuu. Jangan pergi lagi. Huuhuuhhu."
Bersambungšµšµšµ
Ketika Suamiku Berubah Pelit 9 "Nak, itu bukan mama," sahut perempuan paruh baya dengan rambut tersanggul rapi. Tangannya berusaha melerai pelukan jagoan kecil yang sudah mendekap erat pinggang Fitri yang ramping. Namanya Amiinah. Fitri terenyuh melihat tingkah bocah cilik yang tanpa aba-aba itu. Ia pun memiliki anak yang seusia dengannya yang masih suka bermanja padanya. Fitri hanya diam sambil mengusap punggung bocah itu. Tak sampai hati ia untuk melerai tangan bocah kecil itu. "Ini Mama, Nek! Ini Mamaku!" "Bukan, Nak!" "Nggak apa-apa, Bu." Fitri mencoba mengerti. "Maafkan cucu saya ya, Mbak?" ujar perempuan itu. Matanya penuh duka. Sesekali ia menghembuskan napas dalam melihat sang cucu yang tak mau menurut padanya. Putus asa karena sudah berusaha meminta bocah itu melepas pelukannya, mata ibu paruh baya itu penuh dengan butiran air bening. Kepalanya menunduk dengan tangan sibuk menyapu air yang mulai bercucuran turun dari kelopak matanya. Fitri mencoba mengerti. Ia be
Ketika Suamiku Berubah Pelit 10"Kamu yakin?" tanya Bu Amiinah. Ia menatap Fitri dengan tatapan dalam setelah mengusap air matanya. "Saya sedang butuh pekerjaan, Bu. Jika berkenan saya bisa menemani Hasbi setiap hari sambil mengasuhnya," jelas Fitri lagi. Ia berusaha meyakinkan dua orang di depannya agar mau menerimanya bekerja. "Bagaimana Tsar?" tanya Bu Amiinah pada putra pertamanya. "Terserah Mama saja. Kautsar menurut saja asal Hasbi senang." Kautsar menatap Bu Amiinah pasrah. Ia sudah lelah menghadapi sikap Hasbi yang selalu merengek mencari mamanya.Kautsar mengusap wajahnya kasar. Sejenak ia menatap Fitri dalam-dalam. Ada debaran halus yang ia rasakan kala menatap perempuan sederhana di hadapannya itu. Sedetik kemudian Kautsar sadar bahwa wajah ayu yang dipandangnya itu bukan yang halal untuknya. Ia mengusap wajahnya kasar. Sedang yang dipandang masih sibuk dengan darah dagingnya. Kautsar makin tertarik kala melihat sikap Fitri yang penuh kasih sayang pada putranya itu. Ka
Suamiku Pelit 11Sebuah pesan masuk ke dalam ponsel Aditya. Tetapi ia tak sempat membukanya karena pekerjaan yang masih menumpuk, juga tangan yang masih berbalut kotoran perbengkelan. Aditya sibuk dengan pekerjaannya hari itu. Beruntung Fitri datang tepat waktu sehingga Aditya tak harus telat makan karena tak sempat melihat jam dinding. Dengan lincah Fitri menyiapkan makanan di atas meja seperti biasanya. Hingga saat ia telah selesai menyiapkan nasi dan lauk, Aditya juga telah selesai mencuci tangannya. Sebelum makan, Aditya menyempatkan diri melihat ponselnya terlebih dahulu. Ia berjalam menuju tas kecil yang ia letakkan di atas rak. Mata Aditya memicing melihat sebuah gambar yang menurutnya sedikit berlebihan. Mata itu lantas beralih ke wajah ayu di depannya yang juga tengah sibuk mengamati aktivitas Aditya. "Ada apa, Mas?" tanya Fitri tak biasa. Jarang Aditya memandang dirinya dengan tatapan yang demikian. Entah itu tatapan amarah atau tatapan cemburu. "Kamu habis dari mana?"
Ketika Suamiku Berubah Pelit"Nggak bisa! Itu urusanmu, yang penting aku sudah memberimu nafkah. Urusan cukup atau tidak itu tergantung bagaimana kamu mengaturnya!""Lihat lah, Mas, anak kita sudah dua, mau diatur yang model bagaimana pun ya tetap saja kurang!" protes Fitri pada suaminya ketika menerima uang belanja bulanan. Setiap akhir bulan, Aditya memberikan uang penghasilan bengkel padanya. "Ya itu tergantung kamu! Makanya, kuajak tinggal dengan Ibuku kamu tidak mau! Coba saja kalau kita tinggal di sana, uang belanjamu tidak akan habis untuk memberi makan Ibu dan adikmu!" hardik Aditya lagi. Tak henti bibirnya menyalahkan Fitri soal di mana mereka tinggal. Setelah berucap demikian, Aditya melangkah keluar menuju bengkelnya yang berjarak seratus meter dari rumah mereka. Mendapati suaminya berkata demikian membuat tenggorokan Fitri tercekat. Rasanya tak mampu untuk sekedar menelan air liurnya sendiri. Apa yang diucapkan oleh suaminya memang benar adanya. Keadaan keluarganya yang
Ketika Suamiku Berubah Pelit 2"Kamu kenapa kok murung gitu, Fit?" tanya Bu Rohmah.Fitri yang tengah melamun menatap Ibunya sejenak. Kemudian ia menundukkan kepalanya lagi dengan tangan saling tertaut. Ia cemas dengan kondisinya saat ini yang belum menemukan solusi untuk pergi ke rumah Budenya "Fit, ditanya kok malah diem?" Bu Rohmah mengulang pertanyaannya. Keningnya berkerut melihat putrinya murung. Ia lantas duduk di sebelah Fitri di amben bambu yang terletak depan pintu dapur. "Fitri enggak ikut ke rumah Bude aja ya, Bu?" Ragu Fitri berucap. Ia takut Ibunya akan marah mengingat saat ia melahirkan Annisa, Fisa datang dengan bingkisan besar juga uang dalam amplop. "Kenapa nggak ikut?" tanya Bu Rohmah memastikan. Ia merasa ada yang tidak beres dengan putrinya. "Emm-mm ...." Mendadak lidah Fitri kelu. Ia takut pada Bu Rohmah untuk mengatakan yang sejujurnya. "Bilang to Fit, ada apa kamu itu," sahut Bu Rohmah lagi. "Fitri ng-nggak punya ....""Uang?" sahut Bu Rohmah cepat. Ia bi
Ketika Suamiku Berubah PelitAditya mengacak rambutnya frustasi. Uang yang ia simpan nyatanya terpaksa ia gunakan untuk membayar hutang yang telah ia ambil beberapa bulan lalu. "Semua gara-gara kamu!" hardik Aditya keras. "Dasar kamu ngga bisa bantu suami! Malah nyusahin aja!" lanjut Aditya lagi. Ia berjalan ke arah lemari pakaian yang ada di depannya, lalu mengambil amplop cokelat yang kemarin ditemukan Fitri di bawah tumpukan baju. Benda itu lalu dimasukkan ke dalam saku celananya dan kemudian keluar setelah membanting pintu dengan keras. Beberapa langkah dari depan pintu, Aditya berhenti lantas menoleh ke arah Fitri duduk. "Sudah untung kamu kunafkahi rutin, tapi masih nyusahin suami aja kerjaannya! Makanya belajar cari uang sendiri!" hardik Aditya lantang dengan mata penuh kobaran amarah. Mendengar itu, Fitri hanya mampu menangis sambil memeluk Nisa. Gadis kecilnya itu tengah menangis karena takut dengan amukan Bapaknya. Tak henti Fitri mengusap pucuk kepala Nisa agar ia tena
Ketika Suamiku Berubah Pelit 4Aditya yang merasa telah melampiaskan emosinya pada sang istri kini merasa bersalah. Namun, bibirnya kelu hanya sekedar untuk meminta maaf. Susah memang jika kebiasaan meminta maaf ketika salah tidak dibiasakan sedari kecil. Setelah makanan tertata di atas meja, Fitri kembali pulang dengan perasaan sedikit lega. Meskipun Aditya tak meminta maaf secara langsung, dari wajahnya terpancar sinar penyesalan. Bagi Fitri, meskipun tidak meminta maaf, minimal suaminya sadar jika perlakuannya itu adalah sebuah hal yang bisa menyakiti siapapun, termasuk anak kandung mereka sendiri. Fitri berjalan dengan sedikit cepat. Bagaimanapun bayangan Nisa saat gemetar tadi membuatnya tak tega jika haru meninggalkannya sendirian dalam keadaan yang masih ketakutan. "Nduk, buruan siap-siap, biar bisa sedikit lama di rumah budemu. Biar bisa bantu nyiapin acaranya buat malam nanti," ujar Bu Rohmah saat Fitri baru saja masuk ke rumah. "Sekarang, Buk?""Ya kamu siap-siap dari se
Ketika Suamiku Berubah Pelit 5"Apa sih kamu! Orang lagi capek ada aja! Aku tuh capek! Seharian nggak istirahat! Ngga bisa apa lihat orang santai sejenak!" hardik Aditya dengan tangan kanan dan kiri menekuk di pinggang. Matanya menyala penuh dengan kobaran api. Fitri terpekik kaget melihat suara suaminya dengan nada tinggi itu. Ia tercengang menatap wajah suaminya dengan hati berdebar. Ditambah lagi kini di hadapannya ada Nida yang tengah belajar. Kejadian siang tadi kembali terulang. "Aku tuh capek! Di bengkel banyak kerjaan, terus ke rumah Budemu! Sekarang mau istirahat aja kamu nyuruh-nyuruh! Besok kamu saja yang kerja, biar tahu capeknya orang cari uang!" Lagi Aditya berujar. Tak peduli bagaimana suasana rumah, ia asal mengeluarkan emosinya. Fitri hanya mampu menunduk dan memeluk Nida dalam dekapan. Hatinya sudah jengah melihat emosi suaminya yang selalu meledak-ledak. Nelangsa dengan uang belanja seadanya nyatanya tak hanya menjadi satu-satunya ujian dalam hidupnya. Masih ada