Ketika Suamiku Berubah Pelit
"Nggak bisa! Itu urusanmu, yang penting aku sudah memberimu nafkah. Urusan cukup atau tidak itu tergantung bagaimana kamu mengaturnya!"
"Lihat lah, Mas, anak kita sudah dua, mau diatur yang model bagaimana pun ya tetap saja kurang!" protes Fitri pada suaminya ketika menerima uang belanja bulanan. Setiap akhir bulan, Aditya memberikan uang penghasilan bengkel padanya.
"Ya itu tergantung kamu! Makanya, kuajak tinggal dengan Ibuku kamu tidak mau! Coba saja kalau kita tinggal di sana, uang belanjamu tidak akan habis untuk memberi makan Ibu dan adikmu!" hardik Aditya lagi. Tak henti bibirnya menyalahkan Fitri soal di mana mereka tinggal. Setelah berucap demikian, Aditya melangkah keluar menuju bengkelnya yang berjarak seratus meter dari rumah mereka.
Mendapati suaminya berkata demikian membuat tenggorokan Fitri tercekat. Rasanya tak mampu untuk sekedar menelan air liurnya sendiri.
Apa yang diucapkan oleh suaminya memang benar adanya. Keadaan keluarganya yang miskin membuatnya menggantungkan nafkah hanya pada suaminya saja. Ibu Fitri yang seorang janda dengan seorang adik yang masih membutuhkan biaya sekolah.
Pekerjaan Ibu Fitri, Rohmah namanya, yang hanya seorang penjahit rumahan membuat Fitri tak tega untuk menopang kehidupan hanya pada penghasilan ibunya saja. Hatinya tergerak untuk turut menafkahi keluarganya, meskipun pada akhirnya pengeluaran lebih besar dari pada pemasukan yang membuat suaminya kesal tiap kali Fitri mengeluh.
Tak ada yang bisa dilakukan Fitri lagi selain diam dan menerima berapapun pemberian suaminya. Sepuluh lembar uang ratusan itu disimpannya dalam dompet lusuh yang dibelinya ketika bekerja dahulu.
"Semoga uang ini cukup untuk memenuhi kebutuhan kami hingga Mas Aditya memberiku uang belanja lagi." Doanya dalam hati.
Setelah memasukkan uang pemberian suaminya, Fitri bergegas ke dapur untuk mengambil sepiring nasi beserta lauknya sebelum memanggil Annida dan Annisa untuk sarapan.
Kedua anaknya sedang asik melihat acara televisi kesukaan mereka.
"Yuk makan dulu, Nak," ajak Fitri pada keduanya dengan membawa sepiring nasi di tangannya.
Annisa dan Annida yang tengah rebahan segera bangkit dan duduk untuk sarapan.
Dua bocah yang sedang dalam masa pertumbuhan itu membuat Fitri harus rela menahan segala keinginannya untuk memanjakan diri demi memenuhi asupan gizi untuk keduanya. Fitri ingin anaknya tumbuh sempurna dengan gizi seimbang. Termasuk juga suaminya yang selalu mencari lauk ikan, telur atau ayam tiap kali makan.
"Enak, Bu, ikannya," ujar Nisa, bocah empat tahun itu menikmati tiap suapan yang disodorkan Ibunya.
"Iya, habiskan ya?" sahut Fitri seraya menyiapkan sesendok nasi beserta mujair goreng kepada Annida, kakak Nisa.
Keduanya makan dengan lahap hingga meminta nambah. Dalam hatinya, Fitri senang melihat kedua anaknya makan dengan lahap meskipun ia merasa ketar-ketir dengan uang yang diberikan suaminya akan kurang jika tiap kali makan anak dan suaminya meminta lauk demikian. "Biarlah, nanti pasti dapat rejeki lebih," batin Fitri.
Setelah menyuapi kedua anaknya, Fitri kembali berkutat dengan pekerjaan rumah. Meskipun sudah dibantu oleh sang Ibu, rasanya pekerjaan rumah tangga tak ada habisnya. Membuat Fitri kadang terpaksa mengabaikan pekerjaannya sejenak ketika lelah mendera.
Hari sudah siang, waktunya Fitri mengantarkan bekal makan siang untuk suaminya. Meskipun pagi tadi sedikit ada drama antara dirinya dengan Aditya, tetapi tak membuat Fitri melupakan kewajibannya.
Serantang nasi, lauk juga sayur sudah berada dalam genggaman ketika ia melihat pemandangan di depannya.
"Makasih ya, Mas Bro," ujar Aditya pada seseorang di sebelahnya. Tangan kiri Aditya memegang amplop tebal dalam genggamannya yang kemudian buru-buru ia masukkan ke dalam kantong.
"Sama-sama, Mas. Itu rejeki buat, Mas. Hasil kerja Mas bagus banget, bikin motorku laku lumayan mahal."
"Ah kamu, Mas. Bisa aja." Aditya berujar sambil tersenyum malu.
"Aku balik dulu, ya? Makasih banyak sekali lagi." Lelaki itu tersenyum sambil berjalan menuju mobil sedan warna hitam yang terparkir di depan bengkel Aditya.
Fitri kemudian berjalan mendekati Aditya dengan tangan memeluk rantang makanan. Dalam hati Fitri ada sedikit rasa bahagia ketika melihat suaminya memegang amplop cokelat panjang yang sudah jelas isinya adalah uang. Apalagi memang yang dimasukkan amplop cokelat panjang selain uang?
"Ini makannya, Mas," ujar Fitri. Tetapi sang suami malah sibuk merapikan bajunya yang sedikit tersingkap ke atas, memperlihatkan ujung amplop dalam sakunya yang tidak masuk secara sempurna.
"Kamu? ngagetin aja!" pekik Aditya.
"Hehehe maaf, Mas." Fitri tersenyum tetapi tak menoleh. Ia tetap berjalan menuju sebuah ruangan kecil dalam bengkel yang digunakan Aditya ketika letih mendera.
Dengan cekatan, Fitri membuka rantang itu dan menatanya di atas meja plastik usang tetapi masih terlihat bersih. Fitri mengambil sebuah piring di atas rak untuk makan suaminya dengan satu sendok yang sudah berada di atasnya.
"Mas, sudah siap ini," ujar Fitri sedikit keras.
Aditya yang tengah membersihkan sisa kotoran bekas oli motor segera beranjak dan berjalan menuju wastafel untuk mencuci tangannya sebelum ia menikmati makanan dari sang istri.
"Habis dapat rejeki ya, Mas?" tanya Fitri ketika Aditya baru saja duduk di sebelahnya. Pertanyaan Fitri membuat tangan Aditya berhenti di udara, urung mengambil nasi yang sudah di tata di atas rantang. Mata Aditya menoleh ke wajah Fitri yang tengah tersenyum sumringah.
"Rejeki apa? Tiap hari ya dapat rejeki, sudah kubagi buat kamu kan? Kalau ada rejeki lebih juga itu untuk modal bengkel aku lagi!" hardik Aditya sedikit lantang.
Fitri yang tadinya tersenyum senang karena merasa bahwa ia akan mendapat tambahan belanja seketika wajahnya berubah menjadi terdiam dan kaku. Ia tak berani menjawab ucapan suaminya kalau nada bicaranya sudah meninggi. Lagi-lagi ia hanya bisa menelan ludah sambil mengurut dada.
Aditya pun kembali melanjutkan makanannya dengan lahap tanpa sedikitpun merasakan perubahan mimik wajah istrinya. Baginya, sudah cukup uang belanja yang ia berikan. Tak perlulah memberi istri uang diluar uang belanja, toh nanti pasti habis juga.
Selesai makan, Aditya kembali melanjutkan pekerjaannya. Sudah sering kali Fitri mengingatkan untuk salat dahulu setelah makan siang, tetapi Aditya tak pernah mengindahkan perintahnya.
Fitri pun hanya bisa diam. Ia membereskan sisa makanan suaminya dengan diam dan dongkol. Ingin rasanya mendapat uang selain dari jatah belanja. Baginya, uang sepuluh ribu pun jika bukan untuk jatah belanja, lumayan bisa untuk jajan di warung. Walau hanya sebungkus biskuit. Atau bisa untuk membeli pelembab wajah sekedar untuk memoles wajahnya.
Kepala Fitri lelah jika harus mengatur uang sedemikian hemat untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Belum lagi sekarang Nisa mulai suka jajan di warung. Ini akan semakin menambah usahanya untuk menekan kebutuhan demi uang jajan untuk buah hatinya bisa tercukupi.
Aditya masih sibuk dengan alat bengkelnya saat Fitri pulang. Padahal dalam hati Fitri berharap jika suaminya luluh hatinya untuk mau membagi sedikit saja rejeki yang ia miliki untuknya.
Lagi-lagi Fitri harus menelan pil pahit bernama kecewa. Ia harus belajar menata hati untuk tidak merebut apa yang bukan haknya. Jika diberi ya diterima, jika tak diberi ya sudah. Memaksa jati untuk berkeyakinan bahwa sedikit namun berkah itu lebih baik daripada banyak tapi tak berkah. Fitri menghela napas dalam.
Fitri berjalan dengan langkah gontai. Kemana lagi ia harus mencari uang untuk tambahan belanja minggu depan sementara uang yang ia pegang hanya bisa bertahan untuk dua minggu saja. Seperti dua bulan yang sudah-sudah.
"Hei, jalan sambil ngelamun aja!" sapa seseorang yang suaranya sangat dikenal oleh Fitri. Dia Kartika, teman baik Fitri yang biasanya ia mintai tolong saat sedang butuh uang. Keduanya lantas berjalan bersama menuju rumah Fitri.
"Dari mana kamu, tumben," tanya Fitri lemah. Ia yang sedang tak bersemangat membuatnya enggan menanggapi sahabatnya itu.
"Mau ke rumah kamu, eh kamu ada di sini. Kamu dari mana kok cemberut gitu?" tanya Tika.
"Habis antar makan siang Bang Aditya," jawab Fitri sambil menunjukkan rantang yang ia bawa.
"Duh baik banget sih," sambar Tika.
"Ya lah! Gimana pun dia tetap suamiku." Setengah hati Fitri berujar. Serapat apapun suaminya dengan uang, selama tidak main kekerasan, Fitri masih berusaha menerima. Karena manusia tak bisa memperlakukan seseorang berdasarkan rejeki yang ia dapatkan. Manusia hanya bisa berusaha untuk bekerja dan berdoa, selebihnya Allah yang menentukan rezekinya. Jika rejeki yang Aditya bagi untuk dirinya hanya itu, ya sudah, bagi Fitri itu yang harus diterima. Asal suaminya ikhlas. Fitri tak keberatan jika harus mencari tambahan belanja dari hasil keringatnya sendiri.
"Terus kalau kurang? Hutang lagi?" sindir Tika. Meskipun menyindir, Fitri tidak sakit hati. Ia sudah terbiasa bergurau dengan Tika. Baik buruknya Fitri, Kartika suka mengingatkan jika salah, meskipun terkadang caranya terlalu sadis. Seperti saat ini.
"Yaelah kamu! Sama sahabat sendiri masak nggak mau bantu!" Fitri mencebik. Jika bukan pada Tika, kepada siapa lagi ia akan berharap.
"Bosen!" sahut Tika sambil memalingkan muka.
Fitri lantas memukul gemas lengan Tika. Keduanya lantas tertawa bersama. Begitulah sahabat, saling membantu dan memberikan semangat.
"Butuh berapa?" tanya Tika saat keduanya sudah duduk di ruang tamu. Fitri duduk selonjoran di lantai sambil sesekali matanya mengawasi Annisa yang tengah bermain di halaman.
Fitri tercengang mendengar ucapan sahabatnya itu. Ia lantas menoleh ke arah sahabatnya.
"Butuh berapa?" ulang Fitri. Ia masih belum mengerti maksud pertanyaan Tika.
"Tadi bilang mau hutang, sekarang ditanya malah balik tanya," sindir Tika. Ia sibuk mengipasi wajahnya dengan sobekan buku milik Annida yang sudah tak terpakai.
"Kalau hutang, aku takut tak mampu bayar," sela Fitri. Ia yang merasa mendapat jatah belanja pas-pasan ragu untuk berhutang.
"Terus?"
"Aku mau kerja saja," jawab Fitri akhirnya.
"Kerja apa kamu? Anakmu gimana?"
"Nggak tahu. Aku lelah memutar otak untuk mengelola uang pemberian Mas Aditya yang bagaimanapun tak akan cukup untuk hidup sebulan. Dua bulan ini terasa sekali pengeluaran setelah Annisa kenal susu formula," papar Fitri.
"Jualan online saja," sahut Tika lagi.
"Jual apa? Modalnya nggak punya!" sergah Fitri.
"Jualan pulsa enggak harus pakai modal banyak. Kamu bisa pakai uang belanjamu, nanti setelah seminggu pasti balik modal," papar Tika lagi. Ia yang sudah lebih dulu bergelut dengan dunia penjualan secara online memberikan masukan pada Fitri.
Akhirnya tanpa banyak berkata-kata lagi, Fitri mengiyakan ucapan Kartika. Sore harinya ia segera berangkat ke konter agen pulsa untuk mengisi saldo.
Tak henti Fitri promosi di story w******p-nya untuk memberitahu para teman dan tetangga dekat bahwa ia julan pulsa, dan benar saja, banyak yang akhirnya berlangganan dengannya.
Benar saja, seminggu setelahnya, Fitri sudah balik modal. Ia pun menambah modal jualannya hingga dua kali lipat. Sedikit banyak, keuntungan itu membuat Fitri tak perlu terlalu bersusah payah memutar otak agar asap dapurnya tetap ngebul.
Malam itu, Fitri sedang mengajari Nida di ruang tamu. Ibunya datang menghampiri sambil membawa jarum dan kain di tangannya. Ketiganya berkumpul di ruang tamu dengan diam.
"Nduk, besok ikut Ibu ke rumah budemu, ada tasyakuran kehamilannya Fisa," ujar Ibunya memecah keheningan.
Otak Fitri segera berpikir untuk mencari tambahan uang lagi sebab uang hasil jualan pulsanya hanya cukup untuk ia gunakan sebagai tambahan belanja saja.
"Iya, Bu." Fitri hanya mengiyakan, tanpa mampu menanyakan bingkisan apa yang akan ia bawa nantinya.
Setelah itu ia kembali fokus pada buku pelajaran anaknya. Namun gagal. Kepalanya sudah tak fokus lagi untuk mengajari Nida.
"Sebaiknya nanti bicara pada Mas Aditya saja agar mau memberi uang lagi untuk membeli bingkisan," batinnya berucap.
Setelah beberapa saat, ketiganya bubar masuk ke kamar masing-masing. Fitri yang sudah lelah memilih mengajak kedua putrinya untuk beristirahat.
Cahaya rembulan menyinari bumi yang kian kelam. Gemerlap beribu bintang yang indah membuat Aditya betah berada di teras rumah sambil memainkan ponsel miliknya. Ia asik dengan game online yang membuatnya candu. Sesekali bibirnya berteriak kegirangan karena mendapatkan poin tambahan.
Hawa dingin mulai menusuk-nusuk persendian Aditya. Setelah dirasa badannya dingin dan letih, Aditya segera masuk ke dalam rumah. Dijajarinya sang istri yang sudah terlelap lebih dulu. Ia berbaring di ranjang yang sama.
Namun pergerakan tubuh Aditya membuat Fitri kembali membuka matanya.
"Mas, jam berapa ini baru masuk kamar?" tanya Fitri sambil sibuk mengucek matanya. Keningnya berkerut manakala melihat jarum pendek jam dinding sudah berada di angka satu.
"Baru juga jam satu," ujar Aditya acuh. Ia lantas berbaring membelakangi tubuh istrinya.
"Mas, besok ada acara di rumah bude, bagi uang ya buat beli bingkisan," pintanya lembut.
"Bingkisan buat apa? Datang ya datang aja, ngapain bawa bingkisan segala! Kalau pakai bawa-bawa gitu mending ngga usah berangkat ke sana! Kamu nggak kekurangan saja sudah beruntung!" hardiknya sambil memejamkan mata. Setelah berucap kasar, Aditya semakin tenggelam dalam tidurnya. Ia tak lagi peduli bagaimana respon istrinya.
Sedangkan di belakang tubuh Aditya, Fitri tengah nelangsa. Ia menangis dalam diam. Ia sudah berusaha adil dengan ibu dan mertuanya. Sedikit rejeki yang ia miliki sudah berusaha ia bagi rata untuk semuanya. Namun sang suami malah acuh pada saudara lainnya.
Padahal siang tadi Fitri melihat amplop cokelat dalam lemari yang masih utuh terselip di bawah tumpukan baju milik suaminya. "Sebegitu perhitungannya kah dirimu, Mas?" batin Fitri.
Bersambungπππ
Ketika Suamiku Berubah Pelit 2"Kamu kenapa kok murung gitu, Fit?" tanya Bu Rohmah.Fitri yang tengah melamun menatap Ibunya sejenak. Kemudian ia menundukkan kepalanya lagi dengan tangan saling tertaut. Ia cemas dengan kondisinya saat ini yang belum menemukan solusi untuk pergi ke rumah Budenya "Fit, ditanya kok malah diem?" Bu Rohmah mengulang pertanyaannya. Keningnya berkerut melihat putrinya murung. Ia lantas duduk di sebelah Fitri di amben bambu yang terletak depan pintu dapur. "Fitri enggak ikut ke rumah Bude aja ya, Bu?" Ragu Fitri berucap. Ia takut Ibunya akan marah mengingat saat ia melahirkan Annisa, Fisa datang dengan bingkisan besar juga uang dalam amplop. "Kenapa nggak ikut?" tanya Bu Rohmah memastikan. Ia merasa ada yang tidak beres dengan putrinya. "Emm-mm ...." Mendadak lidah Fitri kelu. Ia takut pada Bu Rohmah untuk mengatakan yang sejujurnya. "Bilang to Fit, ada apa kamu itu," sahut Bu Rohmah lagi. "Fitri ng-nggak punya ....""Uang?" sahut Bu Rohmah cepat. Ia bi
Ketika Suamiku Berubah PelitAditya mengacak rambutnya frustasi. Uang yang ia simpan nyatanya terpaksa ia gunakan untuk membayar hutang yang telah ia ambil beberapa bulan lalu. "Semua gara-gara kamu!" hardik Aditya keras. "Dasar kamu ngga bisa bantu suami! Malah nyusahin aja!" lanjut Aditya lagi. Ia berjalan ke arah lemari pakaian yang ada di depannya, lalu mengambil amplop cokelat yang kemarin ditemukan Fitri di bawah tumpukan baju. Benda itu lalu dimasukkan ke dalam saku celananya dan kemudian keluar setelah membanting pintu dengan keras. Beberapa langkah dari depan pintu, Aditya berhenti lantas menoleh ke arah Fitri duduk. "Sudah untung kamu kunafkahi rutin, tapi masih nyusahin suami aja kerjaannya! Makanya belajar cari uang sendiri!" hardik Aditya lantang dengan mata penuh kobaran amarah. Mendengar itu, Fitri hanya mampu menangis sambil memeluk Nisa. Gadis kecilnya itu tengah menangis karena takut dengan amukan Bapaknya. Tak henti Fitri mengusap pucuk kepala Nisa agar ia tena
Ketika Suamiku Berubah Pelit 4Aditya yang merasa telah melampiaskan emosinya pada sang istri kini merasa bersalah. Namun, bibirnya kelu hanya sekedar untuk meminta maaf. Susah memang jika kebiasaan meminta maaf ketika salah tidak dibiasakan sedari kecil. Setelah makanan tertata di atas meja, Fitri kembali pulang dengan perasaan sedikit lega. Meskipun Aditya tak meminta maaf secara langsung, dari wajahnya terpancar sinar penyesalan. Bagi Fitri, meskipun tidak meminta maaf, minimal suaminya sadar jika perlakuannya itu adalah sebuah hal yang bisa menyakiti siapapun, termasuk anak kandung mereka sendiri. Fitri berjalan dengan sedikit cepat. Bagaimanapun bayangan Nisa saat gemetar tadi membuatnya tak tega jika haru meninggalkannya sendirian dalam keadaan yang masih ketakutan. "Nduk, buruan siap-siap, biar bisa sedikit lama di rumah budemu. Biar bisa bantu nyiapin acaranya buat malam nanti," ujar Bu Rohmah saat Fitri baru saja masuk ke rumah. "Sekarang, Buk?""Ya kamu siap-siap dari se
Ketika Suamiku Berubah Pelit 5"Apa sih kamu! Orang lagi capek ada aja! Aku tuh capek! Seharian nggak istirahat! Ngga bisa apa lihat orang santai sejenak!" hardik Aditya dengan tangan kanan dan kiri menekuk di pinggang. Matanya menyala penuh dengan kobaran api. Fitri terpekik kaget melihat suara suaminya dengan nada tinggi itu. Ia tercengang menatap wajah suaminya dengan hati berdebar. Ditambah lagi kini di hadapannya ada Nida yang tengah belajar. Kejadian siang tadi kembali terulang. "Aku tuh capek! Di bengkel banyak kerjaan, terus ke rumah Budemu! Sekarang mau istirahat aja kamu nyuruh-nyuruh! Besok kamu saja yang kerja, biar tahu capeknya orang cari uang!" Lagi Aditya berujar. Tak peduli bagaimana suasana rumah, ia asal mengeluarkan emosinya. Fitri hanya mampu menunduk dan memeluk Nida dalam dekapan. Hatinya sudah jengah melihat emosi suaminya yang selalu meledak-ledak. Nelangsa dengan uang belanja seadanya nyatanya tak hanya menjadi satu-satunya ujian dalam hidupnya. Masih ada
Ketika Suamiku Berubah Pelit 6Kepala Fitri terasa pening memikirkan apa yang telah diucapkan oleh Bu Rohmah. Pasalnya memang benar jika perlakuan Aditya pada dirinya terbilang kurang baik. Sedikit demi sedikit tabir mulai tersingkap untuk mengungkapkan bagaimana karakter Aditya yang sesungguhnya. Apalagi semenjak Nisa lahir. Waktu Fitri yang harus terbagi untuk mengurus kedua buah hatinya membuatnya tak sempat lagi memperhatikan suaminya. Bagi Fitri, sudah bisa menyajikan makanan setiap hari dan mengantarkannya ke bengkel saja sudah cukup. Namun itu tak membuat Aditya peduli terhadap istrinya. Ia hanya membantu bila ingin. Bila tak ingin maka Fitri sendiri yang akan mengerjakannya. Meskipun terkadang badannya terasa letih. Demi kedua buah hatinya, Fitri dengan ikhlas mengerjakan semuanya sendiri. Bu Rohman juga tahu jika semua manusia pasti ada salahnya dan kurangnya, tapi baginya kesalahan itu cukup untuk dijadikan pelajaran, bukan untuk diulangi. Melihat apa yang dilakukan Adit
Ketika Suamiku Berubah Pelit 7Badan Fitri gemetar mendengar jawaban Aditya untuk sang ibu. Pasalnya uang belanja saja diberi pas-pasan tapi malah mau menanggung biaya renovasi rumah ibunya. "Kalau memang harus diganti ya sudah nggak apa-apa, Aditya carikan tukang buat renovasi rumah Ibu," jawab Aditya lirih. Dada Fitri bak diremas-remas mendengar ucapan itu. Tetapi ia tak punya pilihan lain. Ia pun tak kuasa untuk menolak jawaban yang sudah terucap dari bibir suaminya. Bagaimana pun yang meminta itu mertuanya, ibu dari suaminya sendiri. Fitri hanya mampu mengurut dada sambil mengatur kembali irama napasnya yang terasa menusuk-nusuk hatinya. Rasanya protes pun percuma jika itu untuk ibunya, malah akan berujung pertengkaran. Dibantu usaha jualan pulsa pun, suaminya masih enggan untuk peduli akan kebutuhan yang sering kali kurang. Selama ini Fitri mencoba untuk berdamai dengan keadaan, tetapi melihat hal ini, ia tak lagi mampu untuk diam. Kini saatnya ia bergerak untuk hidup yang le
Ketika Suamiku Berubah Pelit 8"Mas Rahman?" lirih Fitri. Matanya terpaku menatap pemuda yang ada di depannya. Pemuda yang bernama Rahman itu lantas turun dari motornya dan menghampiri Fitri yang tengah terpaku. Ia mengulurkan tangannya pada Fitri. "Apa kabar?" ujarnya sambil tersenyum. Lesung pipi yang tampak ketika lelaki itu tersenyum membuat kedongkolan yang mencokol dalam hati Fitri seketika mencair. Setelah beberapa saat terpaku, Fitri lalu menerima uluran tangan Rahman sambil membalas senyuman Rahman. "Kabar baik, Mas. Kamu sendiri gimana? Eh ngapain ke situ?" jawab Fitri setelah melepas tangannya. Fitri tampak malu-malu melihat lelaki di hadapannya ini. Ia tak menyangka jika bertemu dengan pujaan hatinya semasa sekolah dulu. Dulu, waktu pulang sekolah menengah Fitri pernah terjatuh dari motor ketika hendak menaiki motornya. Kakinya berpijak pada sebuah batu lumayan besar yang membuatnya tergelincir. Kaki yang tidak bisa mengimbangi tubuhnya lantas ambruk ke atas tanah.
Ketika Suamiku Berubah Pelit 9 "Nak, itu bukan mama," sahut perempuan paruh baya dengan rambut tersanggul rapi. Tangannya berusaha melerai pelukan jagoan kecil yang sudah mendekap erat pinggang Fitri yang ramping. Namanya Amiinah. Fitri terenyuh melihat tingkah bocah cilik yang tanpa aba-aba itu. Ia pun memiliki anak yang seusia dengannya yang masih suka bermanja padanya. Fitri hanya diam sambil mengusap punggung bocah itu. Tak sampai hati ia untuk melerai tangan bocah kecil itu. "Ini Mama, Nek! Ini Mamaku!" "Bukan, Nak!" "Nggak apa-apa, Bu." Fitri mencoba mengerti. "Maafkan cucu saya ya, Mbak?" ujar perempuan itu. Matanya penuh duka. Sesekali ia menghembuskan napas dalam melihat sang cucu yang tak mau menurut padanya. Putus asa karena sudah berusaha meminta bocah itu melepas pelukannya, mata ibu paruh baya itu penuh dengan butiran air bening. Kepalanya menunduk dengan tangan sibuk menyapu air yang mulai bercucuran turun dari kelopak matanya. Fitri mencoba mengerti. Ia be