Share

Bab 2

Ketika Suamiku Berubah Pelit 2

"Kamu kenapa kok murung gitu, Fit?" tanya Bu Rohmah.

Fitri yang tengah melamun menatap Ibunya sejenak. Kemudian ia menundukkan kepalanya lagi dengan tangan saling tertaut. Ia cemas dengan kondisinya saat ini yang belum menemukan solusi untuk pergi ke rumah Budenya 

"Fit, ditanya kok malah diem?" Bu Rohmah mengulang pertanyaannya. Keningnya berkerut melihat putrinya murung. Ia lantas duduk di sebelah Fitri di amben bambu yang terletak depan pintu dapur. 

"Fitri enggak ikut ke rumah Bude aja ya, Bu?" Ragu Fitri berucap. Ia takut Ibunya akan marah mengingat saat ia melahirkan Annisa, Fisa datang dengan bingkisan besar juga uang dalam amplop. 

"Kenapa nggak ikut?" tanya Bu Rohmah memastikan. Ia merasa ada yang tidak beres dengan putrinya. 

"Emm-mm ...." Mendadak lidah Fitri kelu. Ia takut pada Bu Rohmah untuk mengatakan yang sejujurnya. 

"Bilang to Fit, ada apa kamu itu," sahut Bu Rohmah lagi. 

"Fitri ng-nggak punya ...."

"Uang?" sahut Bu Rohmah cepat. Ia bisa menebak masalah putrinya karena sudah dua minggu Fitri berjualan pulsa. Jika ditanya Fitri selalu jawab untuk menambah mencukupi kebutuhan saja. Jadi dengan mudah Bu Rohmah menebak keluhan putrinya. 

Bu Rohmah yang tengah duduk di sebelah Fitri lantas mengusap bahu putri sulungnya itu. Ia menatap dengan tatapan dalam dan lembut. 

"Kalau nggak punya uang, nggak usah dipaksain. Sampai sedih begitu," lirih Bu Rohmah. 

"Fitri nggak usah datang saja ya, Bu?"

"Jangan. Datang saja sama Ibu. Biar Ibu yang beli sesuatu di warung buat oleh-oleh."

"Ibu punya uang?" tanya Fitri cepat. 

"Ada sedikit. Alhamdulillah. Kemarin Bu Noto ambil jahitan, jadi Ibu ada pegangan sedikit," jawab Bu Rohmah jujur. 

"Makasih ya, Bu? Fitri harus cari kerja biar bisa bantu-bantu nyukupi kebutuhan," keluh Fitri. 

"Apa boleh sama suamimu? Jangan memaksakan kehendak kalau suamimu tidak memberi izin," jelas Bu Rohmah. 

"Tapi kalau Fitri bilang uang belanjanya kurang, Mas Aditya tidak mau tahu. Fitri harus berusaha sendiri, Bu. Fitri nggak bisa diam saja sementara kebutuhan semakin banyak. Belum lagi susu formula Annisa," keluh Fitri lagi. 

"Minimal minta izin dulu sama suamimu," sahut Bu Rohmah. 

"Iya, Bu."

Setelah mendengar penjelasan putrinya, Bu Rohmah lantas bangkit menuju meja jahitnya. Ia masih harus menyelesaikan satu baju lagi agar segera mendapat upah untuk tambahan membeli bingkisan sebagai oleh-oleh di acara kakaknya. 

Fitri yang tengah menunggui Annisa bermain tanah segera mengajak Nisa untuk cuci kaki dan tangan karena hari hampir siang. Waktunya Fitri untuk mengantar makanan di bengkel suaminya. 

"Yuk cuci tangan dulu, Nak?" ajak Fitri pada Nisa yang tangannya sedang memegang sendok juga mangkuk kecil yang berisi tanah dan air. Ia tak mau menoleh ke wajah ibunya karena merasa masih belum puas. 

"Nda mau, Bu," elak Nisa saat Fitri kembali mengajaknya berdiri. 

Fitri lantas kembali duduk, menemani sang putri bungsu bermain di pekarangan belakang. 

Saat ia tengah melamun, terdengar suara ketukan pintu dari ruang tamu. Fitri lantas bangkit menuju sumber suara. Tak biasanya jam seperti ini ada seseorang yang datang berkunjung. 

Seorang laki-laki gagah dengan jaket hitam dan sepatu besar sedang berdiri di depan pintu rumah. Ia menunggu sang pemilik datang menemuinya di depan. Pintu rumah yang terbuka tak membuat si tamu langsung masuk begitu saja. Laki-laki itu rupanya masih memiliki etika yang baik dalam bertamu meski wajahnya terlihat garang. 

"Cari siapa, Pak?" tanya Fitri setelah ia berada di depan lelaki itu. 

"Pak Aditya nya ada?"

"Ada tapi di bengkel. Bapak ada perlu apa?" tanya Fitri. 

"Saya sudah ke bengkelnya, tetapi kosong."

"Oh iya, sebentar biar saya cek ke bengkelnya. Bapak silahkan tunggu sebentar," ujar Fitri seraya menunjuk sebuah kursi kayu untuk tamunya yang terletak di teras rumah. Sebab ia takut hendak menyuruh lelaki itu masuk sementara dirinya harus keluar mencari keberadaan suaminya. 

Setelah meminta izin pada Bu Rohmah untuk menitipkan Nisa, Fitri kemudian berlari kecil untuk menuju bengkel suaminya. Ia merasa tak enak jika tamunya terlalu lama menunggu. 

"Bang! Dicari sama orang," ujar Fitri saat ia baru saja sampai. Aditya sedang mengerjakan satu motor yang sudah dilepas semua mesinnya. 

"Iya, suruh tunggu," jawabnya tanpa menoleh. 

"Baik, aku langsung pulang."

Aditya tak lagi membalas. Ia tetap sibuk dengan mesin yang ada di depannya. 

Fitri pun bergegas pulang. Ia merasa tak enak jika tamu suaminya nunggu di rumah terlalu lama. 

Kembali Fitri berlari kecil agar jarak rumah dengan bengkel kian terpangkas. Ia abaikan sengatan matahari yang terasa panas menyengat pori-pori. Peluh didahi pun kian menetes hingga ia akhirnya sampai di halaman rumahnya. 

"Gimana, Mbak? Ada Bapaknya?" tanya lelaki itu saat ia melihat Fitri sampai di halaman. 

"Ada, lagi ngerjakan mesin. Bapak mau nunggu di sini apa langsung ke bengkel?" tanya Fitri lagi. 

"Ya sudah saya ke bengkel saja," ujarnya lalu berpamitan. 

Lelaki itu pun kembali menaiki motornya untuk kembali bertemu dengan Aditya di bengkel. 

Fitri lantas masuk untuk mengajak Nisa mencuci tangan dan kakinya. Fitri merasa bahwa tak baik membiarkan anak terlalu lama bermain kotor-kotor. Cukup sebentar, yang penting anaknya senang. 

"Yuk Nak, kita cuci kaki sama tangan?" ajak Fitri. 

Nisa pun menurut. Ia meraih tangan Ibunya untuk digandeng. Keduanya berjalan menuju kamar mandi sambil banyak bercerita. 

Fitri adalah ibu yang cerdas. Ia mampu membesarkan anaknya dengan dua tangannya sendiri. Mendidik putri-putrinya agar tumbuh dengan baik dan cukup kasih sayang. 

Namun setelah kehadiran Nisa, hidupnya terasa lebih berat. Apalagi saat Aditya tak mau menambah uang belanja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Fitri harus berpikir sendiri agar uang pemberian itu cukup untuk hidup satu bulan bersama keluarganya. Tetapi Fitri tak lagi mampu mengeluh ketika nada tinggi selalu menjadi jawaban ketika ia menyampaikan keluhannya. Nada tinggi itu bak momok yang kerap membuatnya takut dan trauma. 

Setelah mencuci tangan, baju Nisa banyak yang terkena tanah sehingga membuat Fitri harus mengganti pakaian putrinya itu. 

"Yuk ke kamar, kita ganti baju," ajak Fitri setelah melepas pakaian Nisa dan meletakkannya di bak cuci. 

Keduanya lantas berjalan ke kamar untuk mengambil baju ganti. 

"Nisa anak baik, habis ini Ibu mau nyiapin makan siang untuk Ayah. Nisa lihat televisi dulu ya? Jangan main keluar kalau Ibu belum pulang," papar Fitri pada gadis bungsunya. 

"Iya I-,"

"Dek!"

Aditya datang dengan teriakan yang menggema di seluruh ruangan. Pintu yang tadinya setengah terbuka mendadak menjadi terbanting karena tendangan keras kaki besarnya. 

Nisa dan Fitri terpekik kaget melihat apa yang dilakukan lelaki gagah itu. Ia lantas mendekap erat sang putri agar tak melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana saat amarah sedang membalut wajah sang bapak. 

Nisa semakin merapatkan tubuhnya pada Fitri saat Aditya dengan kerasnya berteriak. 

"Aku suruh dia tunggu di rumah, kenapa kamu suruh dia datang ke bengkel? Hah?" teriak Aditya dengan kobaran amarah dalam matanya yang menyala. Jari telunjuknya mengarah pada mata sang istri. 

"Kamu sudah dinafkahi, bukannya bantu urusan suami malah menjerumuskan!" Lagi Aditya berkata sambil berteriak. Tak peduli di dalam rumah ada sang mertua yang juga tengah mendengar keributan yang terjadi di kamar putrinya. 

Fitri tak mampu menjawab sebab ia belum paham apa yang sudah menyulut api amarah suaminya. Tetapi meski Fitri diam, Aditya tak lantas menghentikan emosinya yang sudah terlanjur meledak. 

"Mas kenapa, sih?" sahut Fitri lirih saat ia merasa bahwa amarah suaminya memantik gemetar takut dalam tubuh putrinya. Fitri tak sampai hati merasakan getar yang timbul dari badan Nisa. 

"Kenapa katamu? Kamu tahu laki-laki tadi siapa?"

Bersambung 🍄🍄🍄

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status