Ketika Suamiku Berubah Pelit 7
Badan Fitri gemetar mendengar jawaban Aditya untuk sang ibu. Pasalnya uang belanja saja diberi pas-pasan tapi malah mau menanggung biaya renovasi rumah ibunya.
"Kalau memang harus diganti ya sudah nggak apa-apa, Aditya carikan tukang buat renovasi rumah Ibu," jawab Aditya lirih.
Dada Fitri bak diremas-remas mendengar ucapan itu. Tetapi ia tak punya pilihan lain. Ia pun tak kuasa untuk menolak jawaban yang sudah terucap dari bibir suaminya. Bagaimana pun yang meminta itu mertuanya, ibu dari suaminya sendiri.
Fitri hanya mampu mengurut dada sambil mengatur kembali irama napasnya yang terasa menusuk-nusuk hatinya. Rasanya protes pun percuma jika itu untuk ibunya, malah akan berujung pertengkaran. Dibantu usaha jualan pulsa pun, suaminya masih enggan untuk peduli akan kebutuhan yang sering kali kurang.
Selama ini Fitri mencoba untuk berdamai dengan keadaan, tetapi melihat hal ini, ia tak lagi mampu untuk diam. Kini saatnya ia bergerak untuk hidup yang lebih baik. Berhenti berpangku tangan pada sang suami. Berhenti menjadikan suami satu-satunya sandaran untuk berlangsungnya kehidupan. Hati Fitri mulai jengah. Ia lelah mengalah. Ia lelah berkorban untuk keutuhan rumah tangganya.
Fitri kembali menghembuskan napas dalam dan teratur. Setelah batinnya tenang, ia kembali berjalan menuju ruang tamu di mana tempat dua orang tadi berbincang.
"Ini, Bu, tehnya," ujar Fitri sambil memindahkan cangikir teh ke atas meja di hadapan mertuanya. Meskipun hatinya nelangsa, Fitri berusaha menjaga raut wajahnya untuk tetap terlihat biasa saja di hadapan dua izin orang tersebut.
"Iya, makasih. Ini sarapan, ajak makan suamimu," ujar Bu Siti sambil menyunggingkan senyuman yang menampakkan deretan giginya yang rapi sekali pun telah dimakan usia.
"Mas mau sarapan dulu apa mandi dulu?" tanya Fitri pada Aditya yang masih duduk bersandar pada sandaran sofa. Sesekali bibir Aditya menguap karena masih dilanda kantuk.
Lagi, Fitri mencoba memaksa hatinya untuk bersikap biasa saja pada suaminya. Sekalipun jengah sudah melihat suami yang sikapnya seperti tak lagi berpihak padanya.
"Aku mau makan dulu saja," jawab Aditya akhirnya.
Fitri pun bangkit untuk ke dapur guna mengambil piring dan sendok. Ia pun tak lupa mengajak Nisa untuk ke ruang tamu agar bersalaman pada neneknya.
"Ada nenek di luar, Nisa salim dulu ya?" tanya Fitri. Nisa yang tengah asik bermain boneka, seketika menatap Fitri.
"Nenek?"
"Iya, yuk salim ke depan sama nenek," ajak Bu Rohmah. Ia pun meraih tangan cucunya untuk diajak ke depan. Nisa menurut saja.
Namun ketika sampai di pintu pembatas antara ruang tengah dengan ruang tamu, tangan Nisa semakin erat menggandeng tangan neneknya. Entah apa yang tengah Nisa rasakan. Ia pun semakin mengeratkan badannya pada badan sang nenek.
Bu Rohmah merasa ada yang tak beres dengan cucunya. Ia pun memeluk sang cucu sambil berjalan bersisihan menuju besannya.
"Waah cucu Nenek sudah bangun ya?" sapa Bu Siti pada Nisa.
Bu Rohmah pun menyambut uluran tangan Bu Siti dengan sumringah. Keduanya saling berpelukan dan cium pipi kanan dan kiri sebelum Bu Siti kembali duduk di tempatnya.
"Silahkan diminum, Bu," sapa Bu Rohmah ramah. Keduanya berbincang sebentar sambil Bu Rohmah memangku Nisa dalam pangkuannya.
Nida dan Rika keluar dari ruangan tengah hendak berpamitan pada Ibu juga Neneknya. Senyum sumringah menghiasi wajah Nida saat bersalaman dengan sang nenek yang jarang bertemu. Tetapi wajah Nida berubah ketika hendak bersalaman dengan Aditya. Senyum itu tiba-tiba hilang dari wajah ayu Nida.
Aditya sedikit merasa bersalah, namun ia enggan untuk meminta maaf pada putrinya.
"Biarlah kesalahan itu akan hilang dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu," batin Aditya. Ia pun kembali menikmati sarapan nasi pecel yang dibawa oleh sang Ibu.
Sedangkan Fitri, melihat kejadian di depannya makin membuat hatinya teriris. Perubahan ekspresi wajah putrinya baginya adalah sebuah hal besar, mengingat Aditya adalah ayahnya. Seharusnya, Aditya menjadi cinta pertama bagi sang putri, bukannya malah menjadi orang yang paling dibenci.
Fitri merasa ini PR buatnya untuk mengubah isi hati putrinya. Sebisa mungkin ia berusaha membuat hubungan bapak dan anak itu kembali baik.
"Nida berangkat ya, Bu?" pamitnya pada Fitri. Ia mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Fitri pun tersenyum melihat sikap manis Nida padanya.
"Iya, hati-hati ya, Nak?"
"Iya, Bu."
Fitri pun turut berjalan ke depan, mengantar kepergian Nida dan Rika. Ia menunggu dengan sabar di depan teras hingga keduanya menghilang dari pandangan.
Tak lama setelah Fitri kembali masuk, Bu Siti undur diri. Tak lupa ia mengingatkan Aditya agar segera merenovasi atap rumahnya. "Jangan lupa yo, Le? Nanti kalau sudah dapat tukang kamu kabari Ibu," lirihnya di depan Aditya, tetapi cukup terdengar jelas di telinga Fitri yang juga berada di sisi Bu Siti.
"Iya, Bu." Tak ada kata lain selain terpaksa mengiyakan permintaan Ibunya. Tetapi tidak dalam batin Fitri. Aja sebongkah daging yang menggerutu di dalamnya.
Aditya bersiap untuk bekerja. Pikiran yang kalut, membuatnya murung pagi itu. Bagaimana tidak, baru selesai ia membayar hutang untuk modal bengkel pada rentenir, kini ia kembali harus mencari uang dalam jumlah besar untuk merenovasi rumah Ibunya yang seorang janda. Pada siapa lagi Bu Siti mengadu jika bukan pada dirinya. Sang kakak yang sudah jadi istri orang tak mungkin ia mintai bantuan karena ekonomi yang pas-pasan.
Satu-satunya harapan hanya Aditya.
Fitri melihat wajah kusut suaminya semakin tak berani mendekati. Masalah semalam saja belum tuntas ia bahas. Wanita berumur dua puluh sembilan tahun itu enggan untuk memulai pembahasan kembali, apalagi itu menyangkut soal uang.
Setelah menyiapkan sarapan untuk suaminya juga memandikan Nisa, Fitri minta izin untuk ke rumah Tika.
"Iya." Aditya hanya mengiyakan tanpa bertanya maksud dan tujuan Fitri ke rumah sahabatnya itu.
Fitri yang sudah enggan melihat wajah kusut suaminya pun pergi menemui sang Ibu.
"Bu, nitip Nisa sebentar ya? Fitri mau ke rumah Tika." Fitri berucap dengan nada sedikit takut. Apalagi Bu Rohmah pun turut mendengar permintaan Bu Siti yang diucapkan pada Aditya saat akan berpamitan.
Bu Rohmah yang tengah membereskan kain di atas mesin jahatnya lantas menoleh sejenak. Keningnya berkerut melihat wajah Fitri.
"Kamu kenapa? Pagi-pagi sudah ke rumah Tika," jawab Bu Rohmah dengan sebuah pertanyaan.
Wajah Fitri mendongak menatap wajah sang ibu. Kemudian kelopak mata itu mengerjap beberapa kali sebelum Fitri menjawab pertanyaan ibunya.
"Fitri mau cari lowongan kerja, Bu. Tanya ke Tika barangkali tahu," jawabnya lirih.
"Ya sudah, kamu tinggal aja. Semoga dapat kerjaan beneran." Doa Bu Rohmah turut mengiringi kepergian Fitri ke rumah sahabatnya itu.
Rumah Tika yang berjarak lima ratus meter membuat Fitri memilih dengan berjalan kaki saja. Menikmati udara pagi yang sekiranya bisa sedikit saja menghilangkan sesak di hatinya akibat permasalahan yang terjadi di rumahnya.
Perlahan Fitri menghembuskan napas dalam dan tenang. Oksigen yang masuk sempurna ke dalam seluruh aliran darah sedikit membuatnya rileks.
Tiba-tiba ada seseorang yang memotong jalan di depan Fitri dan berbelok ke sebuah ruko di pinggir jalan yang dilewati oleh Fitri.
Fitri terpekik kaget.
"Hei!" hardiknya sedikit keras.
Seorang pemuda yang baru saja mematikan mesin motornya itu dengan cepat melepas helm yang ia kenakan. Kemudian matanya memicing melihat pemandangan tak asing di depannya.
"Fitri?"
Bersambung🌵🌵🌵
Ketika Suamiku Berubah Pelit 8"Mas Rahman?" lirih Fitri. Matanya terpaku menatap pemuda yang ada di depannya. Pemuda yang bernama Rahman itu lantas turun dari motornya dan menghampiri Fitri yang tengah terpaku. Ia mengulurkan tangannya pada Fitri. "Apa kabar?" ujarnya sambil tersenyum. Lesung pipi yang tampak ketika lelaki itu tersenyum membuat kedongkolan yang mencokol dalam hati Fitri seketika mencair. Setelah beberapa saat terpaku, Fitri lalu menerima uluran tangan Rahman sambil membalas senyuman Rahman. "Kabar baik, Mas. Kamu sendiri gimana? Eh ngapain ke situ?" jawab Fitri setelah melepas tangannya. Fitri tampak malu-malu melihat lelaki di hadapannya ini. Ia tak menyangka jika bertemu dengan pujaan hatinya semasa sekolah dulu. Dulu, waktu pulang sekolah menengah Fitri pernah terjatuh dari motor ketika hendak menaiki motornya. Kakinya berpijak pada sebuah batu lumayan besar yang membuatnya tergelincir. Kaki yang tidak bisa mengimbangi tubuhnya lantas ambruk ke atas tanah.
Ketika Suamiku Berubah Pelit 9 "Nak, itu bukan mama," sahut perempuan paruh baya dengan rambut tersanggul rapi. Tangannya berusaha melerai pelukan jagoan kecil yang sudah mendekap erat pinggang Fitri yang ramping. Namanya Amiinah. Fitri terenyuh melihat tingkah bocah cilik yang tanpa aba-aba itu. Ia pun memiliki anak yang seusia dengannya yang masih suka bermanja padanya. Fitri hanya diam sambil mengusap punggung bocah itu. Tak sampai hati ia untuk melerai tangan bocah kecil itu. "Ini Mama, Nek! Ini Mamaku!" "Bukan, Nak!" "Nggak apa-apa, Bu." Fitri mencoba mengerti. "Maafkan cucu saya ya, Mbak?" ujar perempuan itu. Matanya penuh duka. Sesekali ia menghembuskan napas dalam melihat sang cucu yang tak mau menurut padanya. Putus asa karena sudah berusaha meminta bocah itu melepas pelukannya, mata ibu paruh baya itu penuh dengan butiran air bening. Kepalanya menunduk dengan tangan sibuk menyapu air yang mulai bercucuran turun dari kelopak matanya. Fitri mencoba mengerti. Ia be
Ketika Suamiku Berubah Pelit 10"Kamu yakin?" tanya Bu Amiinah. Ia menatap Fitri dengan tatapan dalam setelah mengusap air matanya. "Saya sedang butuh pekerjaan, Bu. Jika berkenan saya bisa menemani Hasbi setiap hari sambil mengasuhnya," jelas Fitri lagi. Ia berusaha meyakinkan dua orang di depannya agar mau menerimanya bekerja. "Bagaimana Tsar?" tanya Bu Amiinah pada putra pertamanya. "Terserah Mama saja. Kautsar menurut saja asal Hasbi senang." Kautsar menatap Bu Amiinah pasrah. Ia sudah lelah menghadapi sikap Hasbi yang selalu merengek mencari mamanya.Kautsar mengusap wajahnya kasar. Sejenak ia menatap Fitri dalam-dalam. Ada debaran halus yang ia rasakan kala menatap perempuan sederhana di hadapannya itu. Sedetik kemudian Kautsar sadar bahwa wajah ayu yang dipandangnya itu bukan yang halal untuknya. Ia mengusap wajahnya kasar. Sedang yang dipandang masih sibuk dengan darah dagingnya. Kautsar makin tertarik kala melihat sikap Fitri yang penuh kasih sayang pada putranya itu. Ka
Suamiku Pelit 11Sebuah pesan masuk ke dalam ponsel Aditya. Tetapi ia tak sempat membukanya karena pekerjaan yang masih menumpuk, juga tangan yang masih berbalut kotoran perbengkelan. Aditya sibuk dengan pekerjaannya hari itu. Beruntung Fitri datang tepat waktu sehingga Aditya tak harus telat makan karena tak sempat melihat jam dinding. Dengan lincah Fitri menyiapkan makanan di atas meja seperti biasanya. Hingga saat ia telah selesai menyiapkan nasi dan lauk, Aditya juga telah selesai mencuci tangannya. Sebelum makan, Aditya menyempatkan diri melihat ponselnya terlebih dahulu. Ia berjalam menuju tas kecil yang ia letakkan di atas rak. Mata Aditya memicing melihat sebuah gambar yang menurutnya sedikit berlebihan. Mata itu lantas beralih ke wajah ayu di depannya yang juga tengah sibuk mengamati aktivitas Aditya. "Ada apa, Mas?" tanya Fitri tak biasa. Jarang Aditya memandang dirinya dengan tatapan yang demikian. Entah itu tatapan amarah atau tatapan cemburu. "Kamu habis dari mana?"
Ketika Suamiku Berubah Pelit"Nggak bisa! Itu urusanmu, yang penting aku sudah memberimu nafkah. Urusan cukup atau tidak itu tergantung bagaimana kamu mengaturnya!""Lihat lah, Mas, anak kita sudah dua, mau diatur yang model bagaimana pun ya tetap saja kurang!" protes Fitri pada suaminya ketika menerima uang belanja bulanan. Setiap akhir bulan, Aditya memberikan uang penghasilan bengkel padanya. "Ya itu tergantung kamu! Makanya, kuajak tinggal dengan Ibuku kamu tidak mau! Coba saja kalau kita tinggal di sana, uang belanjamu tidak akan habis untuk memberi makan Ibu dan adikmu!" hardik Aditya lagi. Tak henti bibirnya menyalahkan Fitri soal di mana mereka tinggal. Setelah berucap demikian, Aditya melangkah keluar menuju bengkelnya yang berjarak seratus meter dari rumah mereka. Mendapati suaminya berkata demikian membuat tenggorokan Fitri tercekat. Rasanya tak mampu untuk sekedar menelan air liurnya sendiri. Apa yang diucapkan oleh suaminya memang benar adanya. Keadaan keluarganya yang
Ketika Suamiku Berubah Pelit 2"Kamu kenapa kok murung gitu, Fit?" tanya Bu Rohmah.Fitri yang tengah melamun menatap Ibunya sejenak. Kemudian ia menundukkan kepalanya lagi dengan tangan saling tertaut. Ia cemas dengan kondisinya saat ini yang belum menemukan solusi untuk pergi ke rumah Budenya "Fit, ditanya kok malah diem?" Bu Rohmah mengulang pertanyaannya. Keningnya berkerut melihat putrinya murung. Ia lantas duduk di sebelah Fitri di amben bambu yang terletak depan pintu dapur. "Fitri enggak ikut ke rumah Bude aja ya, Bu?" Ragu Fitri berucap. Ia takut Ibunya akan marah mengingat saat ia melahirkan Annisa, Fisa datang dengan bingkisan besar juga uang dalam amplop. "Kenapa nggak ikut?" tanya Bu Rohmah memastikan. Ia merasa ada yang tidak beres dengan putrinya. "Emm-mm ...." Mendadak lidah Fitri kelu. Ia takut pada Bu Rohmah untuk mengatakan yang sejujurnya. "Bilang to Fit, ada apa kamu itu," sahut Bu Rohmah lagi. "Fitri ng-nggak punya ....""Uang?" sahut Bu Rohmah cepat. Ia bi
Ketika Suamiku Berubah PelitAditya mengacak rambutnya frustasi. Uang yang ia simpan nyatanya terpaksa ia gunakan untuk membayar hutang yang telah ia ambil beberapa bulan lalu. "Semua gara-gara kamu!" hardik Aditya keras. "Dasar kamu ngga bisa bantu suami! Malah nyusahin aja!" lanjut Aditya lagi. Ia berjalan ke arah lemari pakaian yang ada di depannya, lalu mengambil amplop cokelat yang kemarin ditemukan Fitri di bawah tumpukan baju. Benda itu lalu dimasukkan ke dalam saku celananya dan kemudian keluar setelah membanting pintu dengan keras. Beberapa langkah dari depan pintu, Aditya berhenti lantas menoleh ke arah Fitri duduk. "Sudah untung kamu kunafkahi rutin, tapi masih nyusahin suami aja kerjaannya! Makanya belajar cari uang sendiri!" hardik Aditya lantang dengan mata penuh kobaran amarah. Mendengar itu, Fitri hanya mampu menangis sambil memeluk Nisa. Gadis kecilnya itu tengah menangis karena takut dengan amukan Bapaknya. Tak henti Fitri mengusap pucuk kepala Nisa agar ia tena
Ketika Suamiku Berubah Pelit 4Aditya yang merasa telah melampiaskan emosinya pada sang istri kini merasa bersalah. Namun, bibirnya kelu hanya sekedar untuk meminta maaf. Susah memang jika kebiasaan meminta maaf ketika salah tidak dibiasakan sedari kecil. Setelah makanan tertata di atas meja, Fitri kembali pulang dengan perasaan sedikit lega. Meskipun Aditya tak meminta maaf secara langsung, dari wajahnya terpancar sinar penyesalan. Bagi Fitri, meskipun tidak meminta maaf, minimal suaminya sadar jika perlakuannya itu adalah sebuah hal yang bisa menyakiti siapapun, termasuk anak kandung mereka sendiri. Fitri berjalan dengan sedikit cepat. Bagaimanapun bayangan Nisa saat gemetar tadi membuatnya tak tega jika haru meninggalkannya sendirian dalam keadaan yang masih ketakutan. "Nduk, buruan siap-siap, biar bisa sedikit lama di rumah budemu. Biar bisa bantu nyiapin acaranya buat malam nanti," ujar Bu Rohmah saat Fitri baru saja masuk ke rumah. "Sekarang, Buk?""Ya kamu siap-siap dari se