"Ya Allah, permudahlah segala urusanku. Berikanlah aku kekuatan untuk Bisa membahagiakan Ais. Amin."Lantunan doa, terus saja melahirkan setelah melakukan kewajiban sebagai seorang muslim. Berharap hanya pada Allah, itu lah yang saat ini aku lakukan. Karena berharap pada manusia, hanya akan mendapatkan kekecewaan belaka. Aku tahu, pasti tak akan mudah menjadi seorang single parent, akan banyak cibiran dan tentu saja cobaan yang menipiskan iman. Tetapi aku akan berusaha menghalau semua itu, demi Ais."Bu, Ais boleh tidur lagi?" Ais yang baru saja melipat mukena-nya, bertanya. "Kan hari ini tanggal merah, sekolah libur."Gadis kecilku itu meminta dengan wajah yang dibuat semanis mungkin. Tentu saja hal itu membuatku menjadi teramat gemas.Cup Cup Dua buah kecupan lembut mendarat cantik di pipi dan keningnya, sebelum aku mengangguk."Boleh, Sayang."Ais yang terlihat seneng, pun mencium pipiku, setelahnya segera kembali naik ke peraduan.Biasanya, setelah kami salat subuh berjamaa
"Persetan dengan Tuhan. Karena dia tak pernah sayang aku. Aku tak percaya Tuhan!"Bu Ratna, ibunda Eka, hanya bisa mendengelus dada sambil beristighfar mendengar apa yang dikatakan oleh putrinya itu."Sekecewa apa pun kamu, jangan bilang seperti itu, Nduk." Sebagai seorang ibu, tetap dia merasa punya kewajiban untuk mengingatkan anaknya itu. "Kamu itu kurang bersyukur saja."Eka mendengus kasar demi mendengar ucapan sang ibu. "Kurang bersyukur?!" Dengan mata melotot sempurna, Eka berjalan mendekati sang ibu, sambil berkacak pinggang. "Nggak salah nih kalau ngomong?"Emosi Eka semakin tersulut saja kali ini. Wanita tak tahu diri itu berjalan mengelilingi sang ibu yang menggendong bayi. Dengan tatapan mata yang begitu sinis."Rasanya ibu masih belum terlalu tua untuk menjadi pikun!" Eka menunjuk tepat di samping kening sang ibu, nyaris menoyornya. "Coba diingat lagi, apa pernah ada kebahagiaan di rumah ini sejak aku kecil? Apa pernah keluarga kita harmonis?"Bu Ratna memilih diam, samb
"Aku bangun sebelum subuh tadi, karena perutku begitu mulas. Saat melihat ke luar jendela, dari kamar atas. Nampak seseorang berlari, sepertinya dari arah rumah kamu Mbak. Memakai pakaian serba hitam."Mulut menganga mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Mbak Hana itu."Mbak yakin ... nggak sedang berhalusinasi kan?" Sesungguhnya aku berusaha tak mempercayai hal ini.Mbak Hana mencebik, tetapi sepertinya dia cemas juga padaku. " Ya Allah, Nisa. Ngapain sih aku bohong sama kamu?" ucapnya sembari menepuk bahuku. " Aku awalnya juga kayak nggak percaya sih, Nis. Tapi saat kuperhatikan dengan seksama, itu benar kok. Kuperhatikan orang itu sampai belok ke gang sebelah.."Kali ini aku sedikit lebih percaya. Untuk apa juga Mbak Hana berbohong padaku? Dia malah punya cap yang baik di lingkungan ini.Mbak Hana kembali menepuk pundakku. "Kamu pokoknya harus lebih berhati-hati, sepertinya ada yang ingin mencelakai kamu, Nisa." Wejangan pun diucapkan oleh Mbak Hana. "Semoga tak ada hal bu
Saat ini pikiranku langsung tertuju pada dua pengkhianat itu.Pesanku dibaca dan langsung dibalas.[Aku hanya ingin kamu gila dan hancur!]Emosiku langsung meroket saat ini. Tak lagi berpikir panjang, aku pun langsung mencoba menelepon nomer baru itu. Yang kupastikan salah satu dari Mas Asep atau pun Eka.Tut Tetapi panggilan dariku malah langsung ditolak oleh dia."Kurang ajar!" Aku mendesis dengan begitu geram. Keluar dari kamar sembari tetap berusaha untuk menelepon, karena aku tak ingin nanti membangunkan Ais yang saat ini masih tertidur lelap. Segala amarah sudah memberontak, dan pasti, saat nanti panggilan ini diterima, aku akan sangat marah.Namun kembali, sampai beberapa kali percobaan itu, dia tak menerima dan menolak.[Terima panggilanku, jika kamu memang hebat!] Ŕarah kusematkan begitu banyak. Kurang ajar, ternyata dia malah membalas dengan cepat pesanku itu.[Wah kamu panik ya? Hahaha ... itu yang aku mau. Kamu terus panik dan takut, hingga jadi gila nantinya!]Kutarik
"Belajar yang rajin ya, Sayang." Kukecup pelan dahi Ais. Putri kecilku itu mengangguk sambil tersenyum. "Nanti ibu jemput ya."Setelahnya, aku pun meninggalkan Ais. Gadis kecil itu melambai dan berlari masuk bersama dengan teman temannya."Ibu akan terus membersamai, hingga cita cita kamu tercapai, Nak." Sebuah janji terucap dengan tulus. Janji seorang ibu yang akan berjuang seorang diri demi anaknya. Setelah kejadian dengan Mas Asep dan juga Eka, aku sungguh tak ingin kecolongan lagi.Hari ini aku mulai bekerja pada Ryan, proyek pembangunan pabrik itu sudah harus dimulai hari ini. Setelah beberapa hari terakhir terus mempelajari tentang proyek itu, akhirnya aku mantap. Aku bisa, demi masa depan yang lebih cerah."Saya tahu kamu cerdas, dan mudah belajar hal baru." Kalimat penyemangat itu diucapkan tidak sekali dua kali oleh Ryan, sungguh seperti menjadi mood booster untukku.Beruntung pula aku mendapatkan bos seperti Ryan, karena dia memperbolehkan aku mengajak Ais. Jadi, sepulang
"Oh iya aku mau tanya juga. Apa si Asep dan Eka itu udah cerai ta, Nis? Kok sejak lahiran, perempuan itu nggak pernah lagi datang ke rumah Asep, beserta dengan bayinya yang katanya sumbing itu."Dahiku langsung mengerut. Aku yang tadi tak begitu berselera dengan topik ini, sekarang malah menjadi penasaran."Eka nggak tinggal di rumahnya Mas Asep begitukah, Mbak?" Mungkin tak masalah menunda berangkat kerja untuk beberapa menit ke depan, ini masih pagi. "Loh, kamu malah baru tahu ta?" Mbak Ira membelalakkan mata. Tebakanku, dia sebenarnya ingin mendapatkan informasi tentang ini dariku, tetapi nyatanya dia malah salah alamat. Aku menggelengkan kepala dengan cepat. "Aku benar benar tak tahu, Mbak."Memang baik Eka atau pun Mas Asep beberapa waktu yang lalu menghubungi, tetapi aku malah menyangka mereka masih bersama. Mereka saling bekerja sama untuk mengelabui ku lagi, itu saja.Mbak Ira mendengus kasar. "Si Eka nggak pernah pulang ke rumah itu sejak melahirkan." Kubuka helm yang s
"Tidak berlebihan untuk seorang anak kecil yang spesial seperti Ais." Ryan berkata sambil menatap dan memberikan sebuah senyuman manis. Senyum yang membuat hatiku sedikit berdebar. 'Ah, pikiran apa ini?'*"Apa ada yang kurang?" Suara bariton Ryan membuyarkan lamunanku. "Kemana kamu senyum sendiri?" Ryan berucap sambil mengerutkan dahinya.'Duh mati aku!'Malu banget dong, karena memang aku sesaat tadi sempat membayangkan yang tidak tidak. Dasar bodoh, kenapa pikiranku jadi tidak normal seperti ini sih?"Ah ... nggak kok, Pak. Eh, Ryan."Aku malah jadi salah tingkah, sepertinya wajahku saat ini pun, tak jauh beda dengan kepiting rebus. Wajah dingin Ryan malah makin membuatku malu, untung saja aku bisa menguasai diri."Bawa kuncinya. Ini ruangan pribadi kamu dan Ais saat sedang bekerja disini."Kuterima saja langsung anak kunci itu. "Terima kasih."Ryan sejak dulu memang baik, meski terkesan dingin dan jahat. Tetapi, dulu saat masih berada di luar negeri, berada satu rumah dengan
"Ayo kita berangkat, mumpung masih pagi. Enak banyak embun dan masih segar udaranya."Selepas Subuh ini, aku mengajak Ais ke pasar. Letak pasar tradisional sekitar tiga puluh menit dari sini. "Ais sudah siap, Bu!" Putriku pun sama antusiasnya denganku.Seperti biasa, setiap akan ke luar rumah di pagi hari, aku akan menjadi orang yang paling was was. Mengintip dulu dari jendela, memastikan kondisi luar aman. Aman dari orang jahat yang masih mengintai dan aman dari paket paket misterius yang acap kali masih sering datang. Segera kami pun berangkat, menembus pagi yang masih lumayan gelap dengan embun dan kabut. Seperti mengenang memori, dulu saat aku masih kecil, ibu dan bapak sering mengajakku ke pasar selepas subuh seperti ini.Dulu juga, sebelum aku berangkat kerja ke luar negeri, aku pun sering berangkat ke pasar sendiri, sepagi ini.Sekarang aku seorang single parent, aku harus berani menghadapi semuanya seorang diri. Jika masih bisa diatasi, maka aku tak akan membutuhkan bantuan