Langkah kaki Vero melambat. Penampilannya yang acak-acakan semakin kusut saat mendengar suara tawa menyeruak, memasuki gendang telinganya. Melewati ruang tamu, tawa tersebut justru semakin keras terdengar hingga kurcaci-kurcaci yang mendiami palung terdalam hati Vero berbaris rapi untuk upacara pengibaran bendera kecemburuan.Sepanjang dunia persilatannya dengan Justine, baru ini hatinya sesak melihat Justine menghibur seorang wanita. Sialnya wanita itu adalah istrinya dan laki-laki itu kini telah berhasil membuat Vero insecure untuk pertama kalinya.‘Apa yang lucu sih Mi, sampai kamu segitunya ketawa?’ Buku-buku jari Vero memutih menahan kepingan hati terakhirnya supaya tak ikut hancur. Tawa Stefany tak pernah selepas ini ketika bersamanya. Wanita itu juga tak pernah sampai menghapus air di sudut mata karena cerita dan tingkahnya. Lantas, mengapa bersama Justine respon wanitanya berbeda? Seperti bukan Stefany yang ia kenal. Mereka bahkan dulunya musuh bebuyutan. Anak-anak kalangan bo
"Abang tuh rajin banget sih masuk rumah sakit?!" Vallery menghentak kakinya. Ia panik sampai berlari seperti orang gila ketika mendapat telepon dari Mommy-nya, mengira jika kakak laki-lakinya kritis. "Kamu kok masih pake itu Dek?!" "Apa?" sentak Vallery galak. Ia meneruskan pandangannya pada apa yang Mellia lihat. Gadis itu berdecak. "Ya gara-gara Mommy!" melepaskan pengait apron khusus pegawai cafe-nya, bibir Valery tetap terus melanjutkan unek-unek dalam hatinya. "Makanya Mommy jangan telepon sambil nangis-nangis. Ngiranya Abang beneran parah, pake segala bilang Abang sesak napas.." tapi yang ia lihat pria itu biasa saja. Menempel erat pada kakak iparnya alih-alih terkapar tak berdaya layaknya penderita asma yang kambuh. "Ya emang!" Mellia mencubit pinggang putrinya. Ia kesal karena putrinya berkata seolah ia seorang pembohong. "Bukan kamu aja yang kesetanan, Valley! Mommy sama Daddy sampai nabrak orang." Anak kesayangan mereka berada diambang hidup dan mati, tak mungkin suaminya
Jika Vero telaah lebih lanjut, apa yang sedang Mischa lakukan mengingatkannya pada pejuang cinta. Tapi siapa?! Sosok itu begitu dekat, seolah melekat dalam dirinya. Bukan gue kan?! Gue cool kok dulu waktu deketin Stef.. “Siapa ya?” Ia mulai bertanya-tanya. Demi menemukan jawaban, Vero mengabsen setiap tingkah menjijikan teman barunya itu. Pertama, Mischa selalu berusaha dekat dengan adiknya. Segala cara pria itu lakukan termasuk menjilat Daddy-nya. Poin ini tidak asing dalam benak Vero. Ia seperti pernah melihat pemuda macam ini sebelumnya. Mendesak Ray agar pria penuh kekuasaan tersebut membantu sosok yang belum Vero bisa tebak. Kedua, memaksa Vallery menerima cinta anak itu. Dan kini usahanya berbuah manis. Memang tidak ada hasil yang menghianati kerja keras.“Sekilas mirip gue sih. Bedanya dia nggak tahu diri aja.” gerutu Vero. Ia sedang berada di kantor. Menatap rokok di atas asbak yang sengaja ia nyalakan. Fungsi dari amunisi tersebut tentu untuk menemaninya berpikir. Kata pa
"KEJUTAAAN!" Teriak Ray dan Mellia menyemprotkan pita-pita ke atas kepala anak dan menantunya. Hari ini merupakan perayaan tujuh bulanan Stefany, beberapa hari yang lalu orang tua Stefany diterbangkan dari bandara Ahmad Yani agar bisa melengkapi prosesi syukuran calon penerus Husodo itu."What's going on?" tanya Vero lengkap dengan picingan matanya. Kulit-kulit kening Vero kusut, sekusut pikirannya memikirkan tindakan aneh kedua orang tuanya. "Daddy bawa Papa dan Mama kalian ke Jakarta." Ya, kalian. Ray tidak hanya menerima kehadiran menantunya tapi juga keluarga besarnya. Besannya telah menjadi bagian Husodo sejak detik dimana tangan Papa Stefany menjabat telapak putra kebanggaannya. Sebuah harga yang pantas karena pria itu mau menyerahkan secara paksa putrinya. "Excuse me.. Mereka memang disini kan.. Dimana spesialnya?!" Vallery membalikan tubuhnya. Ia menarik dan mengeluarkan nafas mirip ikan pembersih kaca. "Amazing!" kikiknya terlalu geli dengan pertunjukkan dihadapannya."Me
Vero membuka matanya. Ia merasakan haus di kerongkongannya. Laki-laki itu menguap, memutuskan beranjak dengan gerakan kecil agar wanita yang terlelap disampingnya tidak ikut bangun. "Abis lagi," desah Vero membalikan gelas berada di atas nakas. Tak ada cairan terjatuh dari sana. Kering! Gelasnya kosong. "Mau nggak mau deh!" ia melirik Stefany, istrinya masih bergelung memeluk guling. "Sebentar ya Mami, Papi ke bawah dulu ambil minum. Kering banget ngelawak terus dari tadi." pamit Vero walau Stefany jelas tak mendengarnya. Ia kan si sopan, jadi tidak boleh asal nyelonong pergi begitu saja. Rasanya seperti menemukan oase ketika dirinya terdampar di kompleknya raja Firaun. Air mineral dingin dengan cita rasa manis di after tastenya melambungnya Vero ke awang-awang. “It works!” kekehnya bersenang-senang. Kesenangan tersebut terhenti berkat bel pintu yang terus saja ditekan. “Manusia nggak ada adab! Namu tengah malem gini! Satpam gimana sih! Main dibukain pager aja!” gerutu Vero.
"Pak.." Vero memukul punggung tangan karyawan perempuannya. "Nggak usah kebanyakan nonton sinetron ya! Nggak ada tuh abis ini panas-panas asmara nancep di jantung saya!" Vero meminta karyawannya menyingkirkan tangannya. "Duit saya ini tadi terbang pas ngeluarin HP!" "Panah-panah Pak Vero!" koreksi karyawan yang tak Vero ketahui namanya. Malas saja.. Ia bukan pria lajang yang perlu mengantongi identitas calon pencuri hartanya yang tak sengaja jatuh. "Kamu cantik sih," tak ada angin dan hujan Vero memberi pujian, mengembangkan garis senyum lawan bicaranya. Setelah barang incarannya terselamatkan, Vero melanjutkan kalimatnya, "Tapi cantikan istri saya."Vero bangkit. Wanita memang mudah ditipu. Heran Vero jadinya. Baru disebut punya paras menawan saja lupa tujuan hidup. Sungguh payah sekali jenis perempuan seperti karyawannya yang tadi. Mentalnya lemah akan godaan. "Lumayan seratus ribu." Vero memasukkan pecahan merah tersebut pada saku bagian dalam jasnya. Rejeki di depan mata tentu
“Pak Vero bawa siapa itu?!” “Ada karyawan baru?!” “Ganteng juga. Divisi mana ya kira-kira?!” Bisik-bisik karyawan mulai terdengar seiring dengan langkah Vero dan rombongan kala memasuki lobi perusahaan. Cucu kesayangan Ferdinand Husodo tersebut berjalan di depan, diikuti oleh Mischa yang mengekor di belakangnya. Disamping asisten baru Vero itu ada Fendi, yang bertugas mendampingi keduanya selaku senior Mischa dalam dunia per-asistenan. “Pagi Pak..” Sapa satu orang lalu diikuti oleh yang lainnya. Mereka menunduk memberi hormat kepada Vero. “Jam sepuluh! Sudah siang!” hardik Vero- tidak keras namun juga bernada. “Kalian kembali kerja ke lantai masing-masing! Mentang-mentang Daddy– maksud saya Pak Ray tidak ada ditempat kalian keluyuran!” peringat Vero sok tegas. Sisa-sisa kemarahan karena diremehkan karyawannya sendiri masih membekas. Untuk alasan tersebut Vero kini membedakan dunia realnya dengan dunia kerja. Setelah kepergian Mischa kemarin, Vero langsung menyodorkan nama laki-l
"Hallo Mami, cantiknya Papi." Vero berjalan keluar dari kamarnya dengan ponsel terselip di antara tangan dan daun telinga. "Mami dimana kok Papi cariin di kamar nggak ada?!" "Apa?!" Ia melambaikan tangan, meminta Siti yang hendak membuka mulut menunggu. "Grand Indonesia?!" pekiknya, "kok nggak ada ngabarin Mami?!" "Sit bentar! Mbak Stef berisik ini disana. Gue nggak kedengeran! Gimana Mi?! Mami dimana sekarang?! Kencengan dikit dong ngomongnya!" Siti menghela nafas. Padahal ia berniat memberitahukan pesan yang ditinggalkan majikan perempuannya. "Siti?!" Vero melirik Siti. Bukannya menjawab pertanyaannya, Stefany malah balik bertanya. "Kenapa sama Siti, Mi?! Di depan Papi nih orangnya." 'Tanyain ke Siti akunya kemana! Aku udah bilang ke dia tadi! BYE!'Vero menjauhkan ponselnya. Gila! Ia diteriaki seperti maling yang ketahuan mencuri pakaian dalam di indekos khusus waria. "Siti udah boleh buka mulut Mas?!" Vero mengulum bibirnya, "sorry Sitai! Gue kinap tadi.. Mbak Stef pergi sa