Vero membuka matanya. Ia merasakan haus di kerongkongannya. Laki-laki itu menguap, memutuskan beranjak dengan gerakan kecil agar wanita yang terlelap disampingnya tidak ikut bangun. "Abis lagi," desah Vero membalikan gelas berada di atas nakas. Tak ada cairan terjatuh dari sana. Kering! Gelasnya kosong. "Mau nggak mau deh!" ia melirik Stefany, istrinya masih bergelung memeluk guling. "Sebentar ya Mami, Papi ke bawah dulu ambil minum. Kering banget ngelawak terus dari tadi." pamit Vero walau Stefany jelas tak mendengarnya. Ia kan si sopan, jadi tidak boleh asal nyelonong pergi begitu saja. Rasanya seperti menemukan oase ketika dirinya terdampar di kompleknya raja Firaun. Air mineral dingin dengan cita rasa manis di after tastenya melambungnya Vero ke awang-awang. “It works!” kekehnya bersenang-senang. Kesenangan tersebut terhenti berkat bel pintu yang terus saja ditekan. “Manusia nggak ada adab! Namu tengah malem gini! Satpam gimana sih! Main dibukain pager aja!” gerutu Vero.
"Pak.." Vero memukul punggung tangan karyawan perempuannya. "Nggak usah kebanyakan nonton sinetron ya! Nggak ada tuh abis ini panas-panas asmara nancep di jantung saya!" Vero meminta karyawannya menyingkirkan tangannya. "Duit saya ini tadi terbang pas ngeluarin HP!" "Panah-panah Pak Vero!" koreksi karyawan yang tak Vero ketahui namanya. Malas saja.. Ia bukan pria lajang yang perlu mengantongi identitas calon pencuri hartanya yang tak sengaja jatuh. "Kamu cantik sih," tak ada angin dan hujan Vero memberi pujian, mengembangkan garis senyum lawan bicaranya. Setelah barang incarannya terselamatkan, Vero melanjutkan kalimatnya, "Tapi cantikan istri saya."Vero bangkit. Wanita memang mudah ditipu. Heran Vero jadinya. Baru disebut punya paras menawan saja lupa tujuan hidup. Sungguh payah sekali jenis perempuan seperti karyawannya yang tadi. Mentalnya lemah akan godaan. "Lumayan seratus ribu." Vero memasukkan pecahan merah tersebut pada saku bagian dalam jasnya. Rejeki di depan mata tentu
“Pak Vero bawa siapa itu?!” “Ada karyawan baru?!” “Ganteng juga. Divisi mana ya kira-kira?!” Bisik-bisik karyawan mulai terdengar seiring dengan langkah Vero dan rombongan kala memasuki lobi perusahaan. Cucu kesayangan Ferdinand Husodo tersebut berjalan di depan, diikuti oleh Mischa yang mengekor di belakangnya. Disamping asisten baru Vero itu ada Fendi, yang bertugas mendampingi keduanya selaku senior Mischa dalam dunia per-asistenan. “Pagi Pak..” Sapa satu orang lalu diikuti oleh yang lainnya. Mereka menunduk memberi hormat kepada Vero. “Jam sepuluh! Sudah siang!” hardik Vero- tidak keras namun juga bernada. “Kalian kembali kerja ke lantai masing-masing! Mentang-mentang Daddy– maksud saya Pak Ray tidak ada ditempat kalian keluyuran!” peringat Vero sok tegas. Sisa-sisa kemarahan karena diremehkan karyawannya sendiri masih membekas. Untuk alasan tersebut Vero kini membedakan dunia realnya dengan dunia kerja. Setelah kepergian Mischa kemarin, Vero langsung menyodorkan nama laki-l
"Hallo Mami, cantiknya Papi." Vero berjalan keluar dari kamarnya dengan ponsel terselip di antara tangan dan daun telinga. "Mami dimana kok Papi cariin di kamar nggak ada?!" "Apa?!" Ia melambaikan tangan, meminta Siti yang hendak membuka mulut menunggu. "Grand Indonesia?!" pekiknya, "kok nggak ada ngabarin Mami?!" "Sit bentar! Mbak Stef berisik ini disana. Gue nggak kedengeran! Gimana Mi?! Mami dimana sekarang?! Kencengan dikit dong ngomongnya!" Siti menghela nafas. Padahal ia berniat memberitahukan pesan yang ditinggalkan majikan perempuannya. "Siti?!" Vero melirik Siti. Bukannya menjawab pertanyaannya, Stefany malah balik bertanya. "Kenapa sama Siti, Mi?! Di depan Papi nih orangnya." 'Tanyain ke Siti akunya kemana! Aku udah bilang ke dia tadi! BYE!'Vero menjauhkan ponselnya. Gila! Ia diteriaki seperti maling yang ketahuan mencuri pakaian dalam di indekos khusus waria. "Siti udah boleh buka mulut Mas?!" Vero mengulum bibirnya, "sorry Sitai! Gue kinap tadi.. Mbak Stef pergi sa
Makan siang tanpa Stefany sudah menjadi rutinitas baru yang Vero lakukan dalam beberapa bulan belakangan ini. Terkadang ia akan menghabiskan jamuan bersama klien-kliennya. Tak jarang, Ray bergabung di tengah-tengah ia dan Mischa demi membahas bisnis serta kehidupan mereka.Tumbuh dan berkembang, itulah yang sedang mereka lakukan. Berjuang bukan untuk orang lain, melainkan demi diri sendiri agar merasa layak. Mencari sebuah pembuktian, dimana keduanya pantas dilahirkan. Karena benar kata orang, menjadi dewasa nyatanya memang tak mudah meski kemudahan selalu datang guna menorehkan kesempatan.Selayaknya Mischa yang mampu membuktikan kesetiaannya, Vero turut mendulang hasil dari kerja kerasnya. Meski singkat, namanya telah menonjol di antara pesaing-pesaing bisnis dan kolega Husodo. Beberapa kali Vero memenangkan tender, mengalahkan seniornya sekelas Darmawan dan Dirgantara yang kini dipegang oleh sahabatnya. Sebuah pencapaian yang lumayan untuk menunjukkan ta
"Pak tolong lah! Istri saya mau lahiran, Pak!"Ada saja cobaan ketika ia buru-buru. Setelah ia digelandang menuju pos polisi, Vero harus antri menunggu petugas lalu lintas untuk menerbitkan surat tilangnya. Ada banyak pengendara yang ternyata tidak patuh."Ini saya semua lengkap loh!" SIM milik Mischa, STNK, BPKB bahkan bukti pembelian kendaraan, semuanya ada. Tapi mengapa ia diperlakukan layaknya orang yang melakukan pelanggaran berat."Mas! Masnya ini harus membuat surat perjanjian tidak akan melakukan tindakan serupa dengan apa yang Mas lakukan tadi. Mohon bersabar..""Astaga! Saya sabar! Anak-anak saya ini loh mana bisa dibilangin! Dokter aja yang bikin prediksi dilawan, apalagi saya yang cuman tinggal enak disenengin Maminya terus jadi dia!"Mischa menarik lengan Vero. Ia memejamkan mata dan menggelengkan kepalanya, meminta Vero menghentikan tingkah konyolnya yang berhasil membuat semua orang menertawakan laki-laki itu.
Jerimian Stevero Husodo untuk kakak yang lahir terlebih dahulu, dan Jessen Stevero Husodo untuk si adik yang menyusul keberhasilan kakaknya melihat dunia. Keduanya terlahir tanpa kurang, menyejukkan hati orang tuanya yang selama ini tak sabar menanti kehadiran si jabang bayi. Nama tersebut mereka cetuskan tanpa sengaja kala tengah berbincang. Vero dan Stefany sepakat menyelipkan gabungan nama mereka sebagai pembeda keturunan-keturunan Husodo lainnya.Stevero— yang berarti Stefany dan Vero.Simpel, tapi Vero menyukainya. Ia dapat memberikan ruang untuk Stefany pada nama anak-anak mereka. Jadi tak hanya Husodo yang melekat sebagai identitas jagoan-jagoannya."Bentar lagi rame nih.. Sodara-sodaranya Papi dateng Bang, Dek.. Jadi nggak cuman Opa Oma Jawa aja yang nengokin kalian.."Gemas.. Ingin rasanya Vero memakan bibir-bibir mungil anaknya. Ia tak bisa membendung perasaan yang membuncah di d
Vero membekap kepalanya dengan bantal kala suara salah satu anaknya terdengar memekakan telinga. Vero yakin ini adalah ulah Jessen. Bayi termirip dengan Vero itu tak hanya mewarisi wajah rupawan sang papi, tapi juga kelakuannya yang merepotkan. Terhitung sudah enam kali Vero terbangun demi menemani anak itu menyerap sari-sari makanannya dari tubuh maminya.“Ayang.. Jess nakal.. Boboin dia lagi, Ayang..” Vero mengais-ngais ranjang disebelahnya— aneh, tidak ada tanda-tanda Stefany disana.“Ayang, Mian ikut bang,” ketika kepalanya berputar, Vero terkejut. Istrinya berada di atas sofa, menutup semua tubuhnya menggunakan bed cover.“Disumpelin apaan sih kupingnya sampai nggak kebangun anak konser?!” decak Vero. Jika ia tak segera bertindak, penyanyi solo tengah malam itu pasti akan menarik pasangan duetnya. “Damn! Anak gue beneran bakat jadi bintang D'academy!”“Jess.. Latih