Jika Vero telaah lebih lanjut, apa yang sedang Mischa lakukan mengingatkannya pada pejuang cinta. Tapi siapa?! Sosok itu begitu dekat, seolah melekat dalam dirinya. Bukan gue kan?! Gue cool kok dulu waktu deketin Stef.. “Siapa ya?” Ia mulai bertanya-tanya. Demi menemukan jawaban, Vero mengabsen setiap tingkah menjijikan teman barunya itu. Pertama, Mischa selalu berusaha dekat dengan adiknya. Segala cara pria itu lakukan termasuk menjilat Daddy-nya. Poin ini tidak asing dalam benak Vero. Ia seperti pernah melihat pemuda macam ini sebelumnya. Mendesak Ray agar pria penuh kekuasaan tersebut membantu sosok yang belum Vero bisa tebak. Kedua, memaksa Vallery menerima cinta anak itu. Dan kini usahanya berbuah manis. Memang tidak ada hasil yang menghianati kerja keras.“Sekilas mirip gue sih. Bedanya dia nggak tahu diri aja.” gerutu Vero. Ia sedang berada di kantor. Menatap rokok di atas asbak yang sengaja ia nyalakan. Fungsi dari amunisi tersebut tentu untuk menemaninya berpikir. Kata pa
"KEJUTAAAN!" Teriak Ray dan Mellia menyemprotkan pita-pita ke atas kepala anak dan menantunya. Hari ini merupakan perayaan tujuh bulanan Stefany, beberapa hari yang lalu orang tua Stefany diterbangkan dari bandara Ahmad Yani agar bisa melengkapi prosesi syukuran calon penerus Husodo itu."What's going on?" tanya Vero lengkap dengan picingan matanya. Kulit-kulit kening Vero kusut, sekusut pikirannya memikirkan tindakan aneh kedua orang tuanya. "Daddy bawa Papa dan Mama kalian ke Jakarta." Ya, kalian. Ray tidak hanya menerima kehadiran menantunya tapi juga keluarga besarnya. Besannya telah menjadi bagian Husodo sejak detik dimana tangan Papa Stefany menjabat telapak putra kebanggaannya. Sebuah harga yang pantas karena pria itu mau menyerahkan secara paksa putrinya. "Excuse me.. Mereka memang disini kan.. Dimana spesialnya?!" Vallery membalikan tubuhnya. Ia menarik dan mengeluarkan nafas mirip ikan pembersih kaca. "Amazing!" kikiknya terlalu geli dengan pertunjukkan dihadapannya."Me
Vero membuka matanya. Ia merasakan haus di kerongkongannya. Laki-laki itu menguap, memutuskan beranjak dengan gerakan kecil agar wanita yang terlelap disampingnya tidak ikut bangun. "Abis lagi," desah Vero membalikan gelas berada di atas nakas. Tak ada cairan terjatuh dari sana. Kering! Gelasnya kosong. "Mau nggak mau deh!" ia melirik Stefany, istrinya masih bergelung memeluk guling. "Sebentar ya Mami, Papi ke bawah dulu ambil minum. Kering banget ngelawak terus dari tadi." pamit Vero walau Stefany jelas tak mendengarnya. Ia kan si sopan, jadi tidak boleh asal nyelonong pergi begitu saja. Rasanya seperti menemukan oase ketika dirinya terdampar di kompleknya raja Firaun. Air mineral dingin dengan cita rasa manis di after tastenya melambungnya Vero ke awang-awang. “It works!” kekehnya bersenang-senang. Kesenangan tersebut terhenti berkat bel pintu yang terus saja ditekan. “Manusia nggak ada adab! Namu tengah malem gini! Satpam gimana sih! Main dibukain pager aja!” gerutu Vero.
"Pak.." Vero memukul punggung tangan karyawan perempuannya. "Nggak usah kebanyakan nonton sinetron ya! Nggak ada tuh abis ini panas-panas asmara nancep di jantung saya!" Vero meminta karyawannya menyingkirkan tangannya. "Duit saya ini tadi terbang pas ngeluarin HP!" "Panah-panah Pak Vero!" koreksi karyawan yang tak Vero ketahui namanya. Malas saja.. Ia bukan pria lajang yang perlu mengantongi identitas calon pencuri hartanya yang tak sengaja jatuh. "Kamu cantik sih," tak ada angin dan hujan Vero memberi pujian, mengembangkan garis senyum lawan bicaranya. Setelah barang incarannya terselamatkan, Vero melanjutkan kalimatnya, "Tapi cantikan istri saya."Vero bangkit. Wanita memang mudah ditipu. Heran Vero jadinya. Baru disebut punya paras menawan saja lupa tujuan hidup. Sungguh payah sekali jenis perempuan seperti karyawannya yang tadi. Mentalnya lemah akan godaan. "Lumayan seratus ribu." Vero memasukkan pecahan merah tersebut pada saku bagian dalam jasnya. Rejeki di depan mata tentu
“Pak Vero bawa siapa itu?!” “Ada karyawan baru?!” “Ganteng juga. Divisi mana ya kira-kira?!” Bisik-bisik karyawan mulai terdengar seiring dengan langkah Vero dan rombongan kala memasuki lobi perusahaan. Cucu kesayangan Ferdinand Husodo tersebut berjalan di depan, diikuti oleh Mischa yang mengekor di belakangnya. Disamping asisten baru Vero itu ada Fendi, yang bertugas mendampingi keduanya selaku senior Mischa dalam dunia per-asistenan. “Pagi Pak..” Sapa satu orang lalu diikuti oleh yang lainnya. Mereka menunduk memberi hormat kepada Vero. “Jam sepuluh! Sudah siang!” hardik Vero- tidak keras namun juga bernada. “Kalian kembali kerja ke lantai masing-masing! Mentang-mentang Daddy– maksud saya Pak Ray tidak ada ditempat kalian keluyuran!” peringat Vero sok tegas. Sisa-sisa kemarahan karena diremehkan karyawannya sendiri masih membekas. Untuk alasan tersebut Vero kini membedakan dunia realnya dengan dunia kerja. Setelah kepergian Mischa kemarin, Vero langsung menyodorkan nama laki-l
"Hallo Mami, cantiknya Papi." Vero berjalan keluar dari kamarnya dengan ponsel terselip di antara tangan dan daun telinga. "Mami dimana kok Papi cariin di kamar nggak ada?!" "Apa?!" Ia melambaikan tangan, meminta Siti yang hendak membuka mulut menunggu. "Grand Indonesia?!" pekiknya, "kok nggak ada ngabarin Mami?!" "Sit bentar! Mbak Stef berisik ini disana. Gue nggak kedengeran! Gimana Mi?! Mami dimana sekarang?! Kencengan dikit dong ngomongnya!" Siti menghela nafas. Padahal ia berniat memberitahukan pesan yang ditinggalkan majikan perempuannya. "Siti?!" Vero melirik Siti. Bukannya menjawab pertanyaannya, Stefany malah balik bertanya. "Kenapa sama Siti, Mi?! Di depan Papi nih orangnya." 'Tanyain ke Siti akunya kemana! Aku udah bilang ke dia tadi! BYE!'Vero menjauhkan ponselnya. Gila! Ia diteriaki seperti maling yang ketahuan mencuri pakaian dalam di indekos khusus waria. "Siti udah boleh buka mulut Mas?!" Vero mengulum bibirnya, "sorry Sitai! Gue kinap tadi.. Mbak Stef pergi sa
Makan siang tanpa Stefany sudah menjadi rutinitas baru yang Vero lakukan dalam beberapa bulan belakangan ini. Terkadang ia akan menghabiskan jamuan bersama klien-kliennya. Tak jarang, Ray bergabung di tengah-tengah ia dan Mischa demi membahas bisnis serta kehidupan mereka.Tumbuh dan berkembang, itulah yang sedang mereka lakukan. Berjuang bukan untuk orang lain, melainkan demi diri sendiri agar merasa layak. Mencari sebuah pembuktian, dimana keduanya pantas dilahirkan. Karena benar kata orang, menjadi dewasa nyatanya memang tak mudah meski kemudahan selalu datang guna menorehkan kesempatan.Selayaknya Mischa yang mampu membuktikan kesetiaannya, Vero turut mendulang hasil dari kerja kerasnya. Meski singkat, namanya telah menonjol di antara pesaing-pesaing bisnis dan kolega Husodo. Beberapa kali Vero memenangkan tender, mengalahkan seniornya sekelas Darmawan dan Dirgantara yang kini dipegang oleh sahabatnya. Sebuah pencapaian yang lumayan untuk menunjukkan ta
"Pak tolong lah! Istri saya mau lahiran, Pak!"Ada saja cobaan ketika ia buru-buru. Setelah ia digelandang menuju pos polisi, Vero harus antri menunggu petugas lalu lintas untuk menerbitkan surat tilangnya. Ada banyak pengendara yang ternyata tidak patuh."Ini saya semua lengkap loh!" SIM milik Mischa, STNK, BPKB bahkan bukti pembelian kendaraan, semuanya ada. Tapi mengapa ia diperlakukan layaknya orang yang melakukan pelanggaran berat."Mas! Masnya ini harus membuat surat perjanjian tidak akan melakukan tindakan serupa dengan apa yang Mas lakukan tadi. Mohon bersabar..""Astaga! Saya sabar! Anak-anak saya ini loh mana bisa dibilangin! Dokter aja yang bikin prediksi dilawan, apalagi saya yang cuman tinggal enak disenengin Maminya terus jadi dia!"Mischa menarik lengan Vero. Ia memejamkan mata dan menggelengkan kepalanya, meminta Vero menghentikan tingkah konyolnya yang berhasil membuat semua orang menertawakan laki-laki itu.
Blitz kamera para wartawan langsung bermunculan menyambut kedatangan tiga keluarga besar yang memasuki ballroom hotel milik salah satunya. Para wartawan seakan berlomba untuk mengambil gambar dari tempat mereka. Mengabadikan sebanyak-banyaknya momen langka yang baru saja tercipta.Husodo, Darmawan dan Dirgantara– Ketiga nama itu terlalu besar untuk dilewatkan. Kapan lagi mereka bisa menangkap dalam satu acara yang memang ditujukan untuk ketiganya.Malam ini, pesta akbar digelar untuk memperkenalkan pasangan muda yang resmi bergabung pada ketiganya. Memamerkan ikatan erat yang terjalin tidak hanya sebagai rekanan semata, melainkan sebagai keluarga besar utuh yang kelak tak dapat dipisahkan oleh apapun– termasuk itu maut. Katakanlah, Husodo pemenang dari segalanya. Keluarga bertamengkan baja berlapiskan emas tersebut mendapatkan menantu spektakuler– berasalkan putri-putri yang kekayaannya bahkan sebanding dengan milik mereka. Ini merupakan durian runtuh yang nilainya tidak terkira mesk
“Anak kesayangan Papa, mentang-mentang udah jadi bagian Husodo nggak pernah sekali-kalinya nengokin!” Melihat Princess berada di ruang keluarga rumahnya– Justine yang baru saja pulang dari kantor langsung melancarkan sindiran keras. Sebagai ayah, hatinya terluka. Putrinya seakan lupa jika dia memiliki orang tua setelah menikah. Jujur Justin kecewa, tapi dirinya juga tak dapat melakukan apa-apa. Jika saja bisa– Justine ingin protes. Menggerakkan massa untuk demo besar-besaran di depan rumah Vero. Berorasi agar Keluarga Husodo mau mengembalikan putri kesayangannya. Terdengar gila memang– Namun begitulah adanya. Justine ingin membuat keributan supaya putrinya di depak dan kembali padanya. Ia belum siap kehilangan Princess. Rasanya baru kemarin putrinya terlahir ke dunia.Seharusnya Justine telah terbiasa dengan alpanya Princess dari kehidupannya. Hampir empat tahun lamanya Princess tinggal memisahkan diri, memilih apartemen sebagai tempat bernaung. Namun kini kasusnya berbeda. Raga dan
“Jesseeeen!! Musuh bebuyutan gue!!” Mian berjalan cepat, ia menangkap pergelangan tangan Princess. “You are a pregnant woman! Nggak usah lari-lari. Jessen nggak akan kemana-mana!” Peringat Mian dengan wajahnya yang memerah.“Sorry..” Lirih Princess– menyesal karena tak mengingat keadaannya. “Thank you for reminding me, Buy.”“It’s okay. Jangan diulangi. Sini gandengan aja turunnya.” Mian menyatukan tangan mereka dalam genggaman. Ia tidak bisa memarahi Princess karena istrinya terlalu excited setelah bangun tidur. Ketika pertama kali membuka mata– Princess mencari-cari adiknya. Mungkin efek pemberitaan yang Oma Buyutnya sampaikan. Semalam Princess dan Marchellia diantarkan langsung oleh Marchellino. Keduanya terlelap begitu damai, sampai-sampai tak terusik pada pergerakannya dengan Jessen yang memindahkan tubuh mereka.“Sarapan Ces.. Papi denger kamu hari ini ada jadwal bimbingan? Isi tenaga dulu.” Ucap Vero sembari memindahkan sayuran ke piring Marchellia, “harus dimakan. Untuk keseh
Sudah diputuskan, lima persen saham Darmawan diakuisisi oleh Husodo. Saham itu diberikan secara khusus beratasnamakan Jessen Husodo sebagai pemilik saham yang sah. Saham tersebut didapatkan dari milik Ardira Darmawan yang mempunyai lebih dari dua puluh persen saham di perusahaan suaminya. Meski berita resmi dan berkas perpindahan belum diselesaikan secara legal– keluarga besar Darmawan telah mengetahui bergulirnya saham tersebut ke tangan Jessen. “Pilihan yang sangat baik Bu Dira.. Saya mengapresiasi pengorbanan Ibu untuk cucu-cucu kita.” Ucap Mellia. Michell yang mengantarkan Mamanya, memainkan kaki. Mamanya sedang diberikan lawan yang tangguh dalam bermain peran kehidupan. Baru kali ini Michell melihat Mamanya kalah selain dari Mami istri kakaknya.“Di keluarga Darmawan pantang hukumnya menceraikan atau diceraikan oleh pasangan, Merlliana Haryo. Sesuatu yang dipersatukan Tuhan, tidak sepantasnya dipisahkan manusia. Terlebih dalam kasus ini, anak dan cucu saya memang keterlaluan. M
Jessen terengah. Dadanya naik turun karena napas yang tak berjalan mulus keluar dari paru-parunya. Pria muda yang melarikan diri dari jerat saudara, papi dan sahabatnya tersebut mendudukan diri pada sebuah pohon besar dipinggir lapangan bola. Jessen merasa telah berlari sangat jauh, jadi kemungkinan untuk ditangkap sangatlah tipis.“Tega bener mereka,” hela Jessen sembari meluruskan kaki-kakinya. Kepalanya mengadah, bersandar pada batang pohon dengan mata terpejam.Tidak.. Jessen tak mau pernikahannya hancur. Sekuat hati ia memaklumi tingkah Papi dan Abang Marchellia. Menahan letupan amarah yang kadang singgah karena perkataan menjatuhkan mereka. Ia tidak ingin usahanya sia-sia.Jessen sendiri bukannya tidak mengetahui jika kata-kata sinis yang kerap kali ditujukan padanya merupakan bentuk ketidaksukaan mereka. Jessen mengetahuinya. Ia juga memiliki perasaan sama seperti kebanyakan orang. Terlebih mereka menunjukkannya tanpa aling-aling— tidak ditutup-tutupi atau diperhalus. Mereka m
“Kedainya masih lurus lagi Pi. Belokan pertama ke kanan,” Mian memberikan arahan kepada Vero. Mereka berniat untuk menjemput Jessen setelah mengetahui keberadaan anak itu dari balasan pesan Dodit.“Ini kalian seriusan kenapa kalau cari basecamp ngumpul! Nggak habis thinking Papi.” Omel Vero. Ia mengenal baik lingkungan yang sedang mereka lalui. Vero sendiri tidak akan pernah melupakan jalanan menuju indekos yang sempat ia tinggali. “Ini area kos-kosan, Yan! Papi belum pernah liat kedai bintang lima juga di area ini.”“Nggak ada yang namanya kedai berbintang, Papi. Ini warung yang sempet Papi liat pas VCall-an sama Jess.” Terang Mian agar Vero tidak salah paham kemana tujuan mereka yang sebenarnya. Papinya yang kasta bangsawan tidak boleh terkejut karena itu akan menggagalkan misi mereka untuk ke rumah Opa Ray.“Kalian kebanyakan ngumpul sama di Dodit, Dodit itu! Begini jadinya.” Vero melirik gerbang rumah berlantai dua di sisi kanan yang baru saja ia lewati. Pria itu tersenyum, ‘kosan
Usai memberikan bagiannya dalam melampiaskan emosi pada dosennya, Jessen keluar dari ruang kerja Chello. Ia sudah cukup puas menginjak-injak dua telur sang dosen menggunakan sol sepatunya. Setelahnya Jessen menyerahkan semua kepada mertua dan kakak iparnya. Terserah mereka ingin melakukan apa, setidaknya Jessen telah berusaha melindungi Marchellia semampu yang ia bisa.“Balik?”“Princess?” Jessen menjawab Mian dengan pertanyaan lain. Jika mereka pulang sebelum para wanita sampai di rumah, saudara kembarnya bisa mendapat masalah. Jessen tidak ingin hal tersebut terjadi. Mian hari ini banyak menunjukan sisi terhebatnya sebagai seorang kakak— dan Jessen berharap tidak menyulitkan posisi Mian walau hanya sesaat.“Bisa gue chat biar langsung pulang naik Taksi. Gue yakin dia nggak bakalan marah.” Ucap Mian seperti tahu apa yang memberatkan diri Jessen. “Cepetan! Gue males liat komuk mertua sama abang ipar lo, Jes!! Mumpung mereka masih sibuk sama Pak Wisnu.” Seloroh Mian mengajak agar Jesse
Menuruti permintaan Audi Mahendra untuk menyantap makanan yang wanita itu sajikan, telah Jessen lakukan bersama dua pengikut sekte aliran gelapnya. Siapa sangka Mian dan Princess mau diajak ikut serta menyatroni meja makan rumah orang lain. Ya, walau tidak sepenuhnya orang lain karena rumah Marchello Darmawan merupakan salah satu Opa Princess, tapi hebatnya wanita galak Mian rela dibangunkan secara paksa dengan iming-iming traktiran mie instan di Kedai Pelangi. Murahan memang istrinya Mian– Jessen saja dibuat tidak percaya pada awalnya jika makanan seharga sembilan ribuan lengkap dengan telur bisa membuat wanita itu luluh.Lupakan perihal Princess dan mie instan idamannya, kini saatnya Jessen berbicara serius dengan para lelaki di keluarga Darmawan. Ia ingin masalahnya cepat selesai dan manusia lancang yang menjadikan istrinya fantasi liar segera diangkut dan mendapatkan karma atas perbuatan beraninya.“Pi,” Jessen menyambangi Chello di ruang keluarga. Ia menghabiskan makanan lebih d
Jantung Vero berdetak sangat cepat ketika melihat menantu keduanya berlarian menuruni tangga rumah. Demi Tuhan! Jika terjadi sesuatu pada Princess sesungguhnya keluarga Darmawan itu– seluruh manusia bernama belakang Husodo mungkin akan di-bumi hanguskan untuk selama-lamanya. Trah keluarga mereka dipastikan mengalami kepunahan total. Kejadian buruk harus segera Vero cegah.. Sesegera mungkin! “Acheeellll!!! Jangan lari-larian! Jalan aja, Chell!” Teriak Vero dengan tetap menjaga pita suaranya agar tak terdengar membentak. Runyam dunia persilatan kalau si Tuan Putri tersinggung. Jet lee bisa berubah jadi personel boyband nanti.“Papi, Ecen mana?! Ini.. Papi Achell telepon. Dia mau ngomong sama Ecen.” Sulit juga jika memiliki nama panggilan yang sama. Bagaimana nanti jika mereka tengah berada di acara kumpul keluarga besar dan Marchellia hanya memanggil dengan sebutan Papi. Besok-besok, untuk menantu selanjutnya Vero akan meminta Jemima mencarikan besan yang julukannya Bapak, Daddy atau