Bak dihantam seluruh isi dunia, Fendi kembali murka pada Vero. Setelah berpesta melihat kengenesan Vero, ia diperintahkan untuk mengurusi dua iblis jelmaan laki-laki itu. Dua bocah versi Vero lebih kecil itu tingkahnya sama saja– sama-sama membuat Fendi ingin mengibarkan bendera kuning di lobby apartemen mewahnya sebagai penanda jika salah satu pemilik unit disana telah tiada. Fendi menyandarkan punggungnya pada mobil pribadinya. Ia memang kerap meninggalkan tunggangannya di kantor ketika secara tiba-tiba Vero meminta dirinya untuk menjadi supir dadakan. Bukan apa-apa, ia memiliki dua mobil yang salah satunya merupakan pemberian cuma-cuma karena hasil kerja cemerlangnya. Setidaknya dari kekejian seluruh pemuda Husodo, Fendi selalu mendapatkan harga yang pantas. Melalui kaca yang dibuka setengah, pria seusia Daddy Vero tersebut memasukan lengannya untuk merogoh isi dashboard. Ia mengambil kotak rokok lengkap bersama pemantik yang selalu ia sediakan di setiap mobilnya. Masih ada waktu
“Sayang!” Vero mengeluarkan kepalanya tepat setelah Fendi keluar dari rumah mereka. Diantara pintu kamar yang menelan Vero, pria itu melambaikan tangan kanannya, memanggil-manggil sang istri yang tengah menemani dua putra mereka menonton Televisi di ruang keluarga.“Mami! Papi mau ngomong penting!” Ulang Vero agar istrinya mau beranjak dan menghampirinya. “Mami,” Jessen yang terusik oleh suara Papinya menepuk pelan paha Maminya, “itu Papi panggil-panggil.” Ia tidak ingin acara menontonnya terganggu. “Papi berisik, Mami!” Mau tidak mau Stefany meletakan toples cemilan ditangannya ke atas meja. Wanita hamil itu bangkit, “jangan fight ya?! Mami tinggal sebentar.” Peringat Stefany. Ia menitipkan si kembar pada Siti. “Kita memang pernah kelahi ya, Mian? Mami kenapa ngomong gitu?!” Mian menatap Jessen tajam. Satu jarinya berada tepat di depan bibir, berdesis memberi kode supaya saudara kembarnya tidak lagi bersuara. Jessen ber-oh, “Ultramennya lagi lawan musuh ya?! Oke aku diem.” Pasrah
Vero mendaratkan telapak tangannya pada pantat sekal Stefany hingga sang istri mengaduh. Pria itu terlampau gemas pada dua bulatan bakpao istrinya. Ia tengah membayangkan apa yang ada di dalam genggamannya sebagai squishy. “Kenyal banget, Mami.. Papi rasanya nggak pengen jauh-jauh!” Kekeh Vero. Stefany yang diperlakukan layaknya mainan lantas memberikan bogem mentah. “Makan nih pantat!” Ucapnya kesal. Ia bangkit dari atas tubuh Vero, melepaskan penyatuan dadakan mereka. Jika tadi wanita itu mendamba, berbeda halnya dengan sekarang. Seluruh kesadarannya telah terkumpul penuh. “Nyesel aku terbuai rayuan! Dasar sikopet selangkangan!” Gara-gara Fendi ia jadi berakhir dipelukan tak hangat suaminya. Awas saja kalau Fendi benar mengincar Siti. Stefany akan memotong alat tempur pria dewasa itu. Jadi manusia nggak sadar diri sekali. Usianya dengan Siti jelas-jelas terbentang layaknya laut Indonesia dan Amerika. Jauh! “Urusin kembar! Capek aku, mau istirahat!” “Nggih Paduka Ratu!!” Jawab Ver
Siti melempar nampan yang wanita itu bawa masuk ke dalam. Asisten sekaligus pengasuh Mian dan Jessen itu terlalu kaget menyaksikan Tuan Mudanya. “Ya Tuhan Mas Vero! Mas!!” Jerit Siti. Ia kalut. Saat ini Vero terlihat seperti ikan cupang yang terdampar ke atas tanah. Kaki dan tangannya menghentak ranjang, mulutnya terbuka lalu tertutup kembali layaknya orang kekurangan oksigen di dalam paru-parunya. Ini gawat! Sangat malahan!Malaikat maut tampaknya sedang mengincar anak majikannya. “Nggak boleh!” Pekik Siti sembari menggelengkan kepalanya berulang kali. Jika nyawa Adennya yang petakilan walau sudah memiliki buntut ini lewat, pasti akan ada dua orang lagi yang menyusul ke alam baka– menyandang gelar Almarhum dan Almarhumah di batu nisannya. Nyonya Besar meskipun seringkali bertingkah layaknya ibu tiri yang kejam, tapi Siti tahu benar jika wanita itu sangat mencintai putra satu-satunya. Tuan Besarnya apalagi! Anaknya lecet saja sudah seperti kesurupan reog ditumpangi jin ifrit. Ini t
“Klakson!” Ray memerintahkan Jamal– salah satu supirnya untuk kembali menekan bel mobil. Sudah lima menit mereka menunggu dan sekuriti tak kunjung membukakan pintu gerbang. Kemana perginya manusia-manusia yang harus berjaga di depan. Sepertinya mereka tidak ada di pos saat ini. “Biar saya turun, Pak.” Daddy Vero itu hanya mengibaskan tangan, tanda ia setuju. Dirinya mengalihkan pandangan pada si sulung yang bersandar di tubuh istrinya. Diam-diam Ray mengucapkan syukur karena anak kesayangannya masih berpijak di bumi yang sama dengannya. “Abang yakin nggak apa-apa pulang ke rumah?! Infusnya tadi aja belum habis, Bang.” “Kita udah bahas ini tadi, Daddy!” Vero tidak menyukai rumah sakit– itu alasan pertamanya. Ke dua, ayah si kembar tersebut tidak ingin membuat Stefany-nya khawatir karena ia hilang mendadak. Ia tak juga sempat melarang Daddy dan Mommy-nya memberitahu Stefany. Bagaimanapun istri cantiknya sedang hamil muda. Sangat tidak baik jika wanita itu harus mendengar kabar buruk
“Jangan keras-keras, mereka masih anak kecil.” Bisik Ray ke telinga Mellia. Saat ini mereka tengah berada di ruang kerja pribadi Ray. “Nanti malah nangis, Mom.” Peringat Ray, takut jika cucunya justru membuat keributan baru. Mellia menutup matanya– hanya sebentar, sebelum kilat penuh amarah tertuju pada Ray. Hal seperti ini yang menjadi boomerang setiap ibu. Dikala mereka ingin meluruskan kelakuan nakal anak-anaknya, ada saja pengganggu dengan dalih ini-itu. Tidak tahukah hal seperti itu justru tidak baik dilakukan. “Diem Dad.” Balas Mellia serupa desisan. Kejadian seperti ini sudah sering Mellia temui ketika mengasuh Vero dulu. Ia tidak menyangka jika Ray akan mengucapkan kata-kata yang sama untuk menangani cucu mereka. “Vero itu nggak sekuat kamu bodinya. Anaknya baru ngabisin duitnya beberapa ratus juta aja, dia anfal! Apalagi kalau anaknya senakal dia dulu.” Ini memang belum seberapa dengan kelakuan mengguncang akal sehat Vero semasa kecil. “Kamu keluar Dad.. Biar aku sebagai Om
Vero mengambil cuti. Pria itu membutuhkan istirahat panjang dari dunia yang kejam. Berhubung Mommy-nya sedang baik hati, jadi ia bisa bertingkah semaunya. Kapan lagi waktu seperti ini datang. Vero rasa setahun sekali pun tidak akan mungkin. Ini keajaiban yang bisa di daftarkan pada Unesco agar dilindungi. “Papi Mami berangkat ke kantor dulu ya..” Stefany dengan setelan kerjanya berdiri di samping ranjang. Wanita itu menjinjing sebuah tas kerja yang di dalamnya Vero yakini terdapat laptop dan beberapa berkas penting. Vero mengulurkan tangannya untuk dicium Stefany. “Iya. Mami kerja yang rajin ya. Inget, ada atasan yang hidupnya bergantung dari hasil kerja Mami dan yang lain.” Ujarnya, dengan cekikikan yang mengudara. Tidak salah bukan?! Di perusahaan ialah pemegang kasta tertinggi setelah jabatan komisaris. Anak buah seperti Stefany dan yang lainnya merupakan aset berharga. Kerja keras mereka membuat orang yang menduduki manajemen puncak seperti dirinya menjadi semakin kaya raya. Un
“Pagi Mbak, Stef. Ini beneran Bos Vero cuti seminggu?” Fendi datang dengan segudang pertanyaannya di meja kerja Stefany. “Tumben banget libur nggak ngajak-ngajak Mbak Stef.” Fendi cukup heran ketika Vero mengatakan Stefany akan tetap bertugas seperti biasa. Tak biasanya hal tersebut terjadi. Secara Vero tergolong pada suami protektif. Dimana ada dirinya, disitulah seharusnya Stefany berada. “Disuruh kerja istrinya, Fen. Biar duitnya ngalir terus.” Fendi tergelak. Disampingnya Mischa hanya geleng-geleng kepala. Pagi tadi adik ipar Vero itu diberikan mandat spesial. Selain mengantarkan istrinya kuliah, ia juga harus menjadi supir pribadi Stefany selama Vero meliburkan diri. Ruang kerjanya bahkan berpindah di meja panjang sekretaris pribadi sekaligus istri Vero itu. “Kalau urusan duit Mas Vero emang bukan kaleng-kaleng.. Jadi kita bertiga kerjanya disini ya buat seminggu ke depan?!” “Bos Besar bertitah.” Ujar Mischa, “Fen kamu minta meja lagi sama stop kontak ke bagian perkap. Suruh