Ketika Melahirkan di Rumah Mertua
BAB : 3
Katanya Menjenguk, Tapi?
***
"Mbak Andira, sudah ada Ibu. Saya permisi pulang dulu ya," ujar Mbak Winda.
"Makasih banyak ya, Mbak. Entahlah, kalau gak ada Mbak Win gak tahu nasibku gimana. Cuma Mbak Win yang baik padaku saat ini," ucapku yang sengaja menyindir Ibu mertua. Entahlah, Ibu merasa atau tidak, mendengar ucapanku Ibu mertua mendelik matanya.
"Sekali lagi, maaf lo Mbak Win. Memang Andira ini sukanya ngerepotin orang terus. Padahal sudah tak bilangin belajar mandiri, eh, malah manggil Mbak Win di rumah!" ujar Ibu enteng.
Sungguh, aku bingung dengan pemikiran Ibu mertua saat ini, kalau aku dianggap beban kenapa memintaku untuk melahirkan di rumahnya? Kenapa tak membiarkanku dikontrakan saja, toh aku juga lebih senang tinggal di kontrakan ketimbang sama Ibu yang banyak huru hara.
"Ah, gak repot, Bu, justru saya senang bisa membantu Mbak Andira. Kalau gitu, saya permisi dulu ya, Bu," ujar Mbak Winda.
Namun sebelum Mbak Winda beranjak keluar, ia sempatkan untuk menengok bayiku sebentar lantas berlalu menuju keluar.
Lihatlah, Mbak Winda saja merasa sayang sekali dengan bayiku, padahal orang lain. Tapi melihat Ibu mertua yang seperti ini, sepertinya peduli dengan bayiku saja tidak. Padahal cucu kandungnya.
"Bu ini benar nama bayinya?" tanya Suster yang masuk ke ruanganku, lalu menyodorkan kertas bernama bayiku. Kania Dilbara, adalah nama yang kusematkan untuk bayiku.
"Iya benar, Suster," ucapku. Lalu Suster itu berlalu membawa catatan nama bayiku.
"Andira, kamu sudah memberi nama untuk bayimu. Kenapa gak nunggu Rangga untuk memberinya nama?" ucap Ibu mertua melotot ke arahku.
"Mas Rangga mana sekarang, Bu? Mas Rangga saja tak peduli sama anaknya, kok," ucapku mengimbangi suara Ibu hingga terasa nyeri disini. Mungkin bekas sayatan operasi semalam.
"Jangan manja kamu, Andira. Belajarlah mandiri, apalagi kamu sudah punya anak. Jadi, belajarlah mengurus diri sendiri dan bayimu!" ucap Ibu mertua tajam.
"Baiklah, jangan salahkan aku kalau aku memberi nama anakku sendiri tanpa melibatkan Mas Rangga. Dan satu lagi, Bu, kalau Ibu menyuruhku mengurus diriku sendiri, untuk apa Ibu menyuruhku tinggal di tempat Ibu?" ketusku geram pada Ibu.
Aku yang masih tak berdaya, baru selesai melahirkan semalam. Menengok anakku pun tidak, malah mengajak berdebat denganku. Menyesal sekali aku menuruti permintaannya.
"Aku hanya tak ingin, anakku Rangga kesusahan membayar kontrakan Andira. Aku tak ingin anakku susah gara-gara kamu!"
"Dan Ibu menggunakan alasan itu agar bisa mengambil hak-ku sebagai istri Mas Rangga. Dengan begitu semua gaji Mas Rangga bisa berada ditangan Ibu tanpa melibatkan aku, istrinya. Begitu kan maksud Ibu?"
"Lancang sekali kamu, bicara seperti itu sama Ibu!" Terdengar suara seseorang yang baru datang, membuatku tercengang melihatnya.
Ibu nampak sumringah mendapati anak laki-lakinya mendekat ke arahnya. Tatapan tajam mengarah padaku, seakan ingin menelanku hidup-hidup.
Namun aku tak gentar sama sekali. Selama ini aku sudah banyak mengalah dengan keluarganya, namun seperti ini balasannya. Selama tiga bulan aku tinggal di rumah mertua, tak sepeserpun Mas Rangga memberi nafkah untukku. Semua gajinya diberikan utuh untuk Ibu. Alasannya karena semua kebutuhan sudah dijamin sama Ibu, jadi aku tak perlu memegang uang lagi. Itu yang pernah diucapkan oleh Mas Rangga ketika aku memprotes sikapnya.
Aku berusaha sabar. Karena kupikir, semua itu akan berubah setelah adanya anakku nanti. Mereka pasti akan menyayangi anakku, karena bagi Mas Rangga ini anak pertama, dan cucu pertama buat Ibu. Karena Mbak Rosa belum dikaruniai keturunan sampai sekarang. Namun, pikiranku salah, ternyata Ibu mertua hanya menginginkan uang Mas Rangga saja.
"Kenapa kamu larinya kesini, ngelahirin sesar lagi! Emang kamu gak mikir, biayanya disini sangat besar. Ini rumah sakit besar, An, sesar lagi, duh kamu ini ya!" geram Mas Rangga dengan pelan.
Aku membelalakkan mata mendengar ucapannya. Datang-datang bukannya menanyakan keadaanku, menengok bayinya pun tidak. Tapi malah menyemburku dengan kata-kata kasar. Entahlah, otaknya mungkin sudah digadaikan di tempat Ibunya. Eh lupa, Ibunya sendiri aja gak punya otak.
Tok tok! Permisi.
Dokter dan beberapa perawat masuk ingin memeriksa keadaanku. Sehingga Ibu dan Mas Rangga langsung terdiam dan tak mendongeng lagi. Lantas memeriksa keadaanku dan mengontrol bekas jahitanku.
Salah satu suster menggendong bayiku dengan gemasnya. "Bu, bayinya cantik banget sih, gemes ih," ucap suster tersebut.
"Ya iyalah, Ibunya aja cantik, ya, Dek," ucap suster yang lain, hingga membuatku tersanjung. Sepertinya hanya keluarga suamiku yang tak menginginkan bayiku.
"Jahitan Ibu Andira udah bagus, kondisinya juga sudah mulai stabil. Tetap dijaga jahitannya ya Bu. Dan jangan pegang yang berat-berat dulu," ucap Dokter ramah.
"Coba ulang Dok, kata-katanya agar suami dan mertua saya dengar," ucapku sengaja. Agar Ibu dan Mas Rangga tak menyepelekanku terus.
Muka Dokter nampak bingung, lantas tersenyum dan menjelaskan. "Iya, Mas, Bu, kalau melahirkan sesar itu gak boleh megang berat-berat. Ntar takutnya ada pendarahan di bekas jahitannya, dijaga ya, Bu Andiranya," ucap Dokter ramah.
Aku tersenyum puas ke arah mereka. Namun muka keduanya nampak sekali menahan kesal. 'Kalian salah kalau menganggap Andira terlalu remeh, aku akan melawan kalian, dengan caraku sendiri,' Batinku pada mereka.
Tak lama setelah itu, dokter berlalu meninggalkan kami. Aku yang melihat muka mereka yang menahan kesal, pura-pura tak peduli dengan mereka. Lebih tepatnya, pura-pura bego dan merapatkan selimut untuk beristirahat.
"Andira, jangan tidur dulu. Aku belum selesai ngomong!" sungut Mas Rangga pelan namun nadanya mengancam.
"Mas, kamu datang kesini, itu sebenarnya untuk apa sih? Anakmu saja belum kamu tengok sama sekali, udah ngajak ribut saja. Kalau mau ngajak ribut, kamu salah tempat. Mau aku laporin satpam buat ngusir kamu?" ucapku kesal.
Sebenarnya rasa hati ingin bodo amat, tapi sikapnya benar-benar membuatku geram. Entahlah, kenapa dulu aku mencintai laki-laki seperti dia. Lihatlah, nafasnya masih memburu. Bukannya berpikir tapi hanya marah yang menjadi andalan.
Tok tok! Permisi.
Suara seorang perawat mengagetkan kami yang sedang berdebat.
"Maaf, Pak, Bu, ini obat yang harus diminum oleh Bu Andira. Tadi ada pesan dari bagian administrasi untuk memanggil keluarga Bu Andira. Permisi." ucap perawat itu sambil berlalu meninggalkan kami.
Muka Mas Rangga menegang. Namun kali ini aku bodo amat. Biarlah dia pikirkan sendiri.
"Kamu harus membayar tagihan sendiri, Andira. Karena kamu yang meminta masuk kesini," ucap Mas Rangga dengan geram luar biasa.
"Mas, kamu lupa, uang tabunganku yang pernah kamu pinjam, belum pernah kamu kembalikan. Pake uang itulah, karena waktu itu kamu janji jika aku melahirkan nanti akan kamu kembalikan." ucapku lalu melengos membuang muka. Kulirik Ibu, nampak sekali mukanya menahan kesal. Begitu juga dengan Mas Rangga. Biar saja, memang kenyataannya seperti itu.
Teringat waktu itu Mas Rangga meminjam tabunganku untuk merenovasi dapur Ibu. Uang 5 juta bukanlah jumlah sedikit untukku yang susah payah ku sisihkan untuk biaya persalinan. Namun aku memberikannya ketika Mas Rangga berjanji akan mengganti uangku. Sekarang, nikmatilah, Mas!
***********
Ketika Melahirkan di Tempat MertuaBAB : 4Siapa yang menanggung biaya Rumah sakit?POV RANGGA***"Jangan macem-macem kamu sama aku, Andira. Aku minta kamu bertanggung jawab atas pilihanmu kesini. Kenapa kamu mengungkit uang yang sekarang sudah tak ada wujudnya!" ucapku yang sangat geram sekali."Ada atau tidak, itu bukan urusanku, Mas. Karena aku hanya mengingatkan janji yang pernah kamu ucapkan. Oh ya, daripada Mas Rangga capek berdebat denganku, lebih baik pikirkan biaya untuk membayar persalinanku di rumah sakit ini," Memang benar-benar sialan Andira ini. Aku yang panik setengah mati memikirkan biayanya, tapi dia malah terlihat santai seperti ini. Dia yang berulah tapi aku yang menanggung akibatnya. Aku disini hanya menahan geram luar biasa. Tak bisa berbuat apa-apa karena masih berada di rumah sakit. Awas kamu Andira, habis kau nanti setelah berada di rumah!"Istrimu ini memang keterlaluan, Ga. Nggak menghargai suami sama sekali. Biar sajalah dia di rumah sakit, tak usah kita u
Ketika Melahirkan Di Tempat Mertua.BAB : 5Kesepakatan.***Aku menangis sesenggukan seorang diri disini. Menangis untuk menghilangkan sesak di dalam sini. Aku tak habis pikir dengan sikap mereka. Menjenguk bayiku saja tidak, tetapi sudah meributkan biaya yang memang menjadi tanggungannya. Dan Mas Rangga, apa dia tak ingin sedikit saja menengok anaknya? Cukuplah ini air mata terakhir. Tangisanku terlalu berharga untuk mereka. Aku tak mau terlihat lemah di depan mereka.Empat hari sudah aku berada di rumah sakit. Mas Rangga dan Ibu hanya menjengukku sebentar saja. Itu pun selalu merusuh dan bicara menyakitkan. Kata Dokter, hari ini aku sudah boleh pulang. Tentu saja Mas Rangga tahu, karena memang Dokter sendiri yang berbicara dengan Mas Rangga kemarin.Aku sudah menelpon Ibu di kampung. Karena Bapak sedang sakit, jadi aku melarang Ibu untuk kesini dulu. Lagian, saat ini bukan waktu yang pas untuk Ibu berkunjung. Aku tak ingin Ibu melihat perlakuan mereka yang menjengkelkan. "Maaf, B
BAB : 6Kesepakatan Dimulai.POV RANGGANafasku menderu saat Andira memberikan kertas berisi surat perjanjian untukku. Jelaslah itu sah dimata hukum, jika terbubuh tanda tangan diatas materai. Ternyata aku masih kalah licik dengan Andira. Aku tak menyangka kalau orang yang dulu lugu dan penurut, kini berubah menjadi licin seperti belut. Ternyata Andira memang tak main-main dengan ucapannya. Setelah ada pemberitahuan dari Suster tentang kepulangannya hari ini, dia berkemas sendiri, dan tak sedikitpun melirik ke arahku. Tok tok! Permisi, Maaf Pak, ditunggu di ruang administrasi sekarang. Masih ada yang belum diselesaikan," ucap seorang suster yang baru datang tersebut."Apalagi?""Saya hanya menyampaikan pesan, Pak. Untuk lebih jelasnya, silahkan bertanya langsung pada yang berjaga. Permisi!" ucap Suster tersebut, lantas keluar dari ruangan ini. Aku melirik tajam ke arah Andira. Namun sepertinya Andira nampak cuek saja. Ia masih merapikan barang-barangnya. Lebih baik aku ke ruang a
BAB : 7. Babak Baru Dimulai.***"Mulutmu itu dijaga kalau ngomong, An. Ngelahirin aja minta sesar, kok segala ngomongin Rosa. Udah, mendingan kamu pulang dulu sana!" sungut Ibu mertua meluap-meluap. Emang bener kan, kalau tujuannya kesini cuma pamer mobil doang. Lah, mau jemput siapa? Mas Rangga juga bawa motor."Sudahlah, An, mending kamu pulang dulu saja. Jangan bikin ribut disini, malu tau dilihat orang!" ketus Mas Rangga menatap tajam ke arahku.Tanganku mengepal kuat mendengar ucapan Mas Rangga. Seharusnya Mas Rangga bisa menjadi jembatan antara aku dan keluarganya. Namun malah ikutan memojokkanku. Apa dia tak memikirkanku sama sekali? Ah, lupa, jelas dia tak bisa berpikir dengan baik, otaknya saja sudah digadaikan. Okelah, aku ikuti permainan kalian semua."Baiklah Mas, aku pulang duluan. Tapi aku tak mau naik ojek, aku maunya naik taxi aja. Kalian semua naik mobil masa aku ojek." "Eh, eh, apa-apaan minta naik taxi segala. Emang kamu gak tau, taxi itu mahal. Lihatlah, Rangga
BAB : 8Sakit hati yang belum terbalaskan.POV RANGGAAku masih mematung di tempat ketika Andira berlalu dari hadapanku. Andira sekarang memang tak bisa dianggap remeh. Uang dari penjualan emas kemarin hampir habis dipakai untuk Andira sendiri. Padahal nilainya lumayan besar, 15 juta hampir habis dalam hitungan hari. Bahkan belum genap tiga hari."Rangga, Ibu mau jalan-jalan dengan Rosa menggunakan mobil baru. Ibu minta uang dong," Pinta Ibu menadahkan tangannya.Ah, kenapa semua orang jadi menyebalkan seperti ini, sih. Tadi Andira, sekarang Ibu. Tak bisakah aku tenang sedikit saja."Uangku habis, Bu, buat biaya Andira.""Yaudah kalau gitu, balikin emas-emas Ibu!" Mataku melotot mendengar ucapan Ibu. Begitu juga Mbak Rosa yang nampak mendelikkan mata. Tak bisakah Ibu mengerem mulutnya? Kurogoh kantong lantas mengeluarkan selembar warna merah pada Ibu, namun mukanya masih masam."Kok selembar? Tadi Andira dua lembar lo.""Aku capek, Bu, mau pulang!" ketusku sambil berlalu meninggalka
BAB : 9Ketika Teman-teman Ibu Berkunjung.***"Rangga, lagi ngapain kamu? Yang benar saja Andira, kamu menyuruh Rangga mencuci baju. Kalau manja jangan kebangetan," sinis Ibu meradang.Jelas meradang, karena selama ini Mas Rangga tak pernah menyentuh pekerjaan di rumah, apalagi mencuci baju. Aku terkikik geli melihat Mas Rangga yang cuek mendengar Ibu merepet. Padahal Ibu gak tahu apa yang Mas Rangga lakukan padaku tadi. Yang Ibu lihat ketika Ibu baru pulang adalah Mas Rangga nampak membantuku mencuci baju.Perdebatan dengan Mas Rangga tadi memang menyisakan sedikit ngilu di daerah perut. Semoga tak terjadi apa-apa di sekitar sini. Berhadapan dengan Mas Rangga memang tak perlu menggunakan otot, karena pasti aku sendiri yang repot. Aku harus cari cara supaya tetap aman dan waras disini. Terlebih harus cepat sembuh, agar bisa pergi jauh selamanya dari neraka ini. Ya, selamanya, karena setelah ini aku akan menggugat cerai Mas Rangga."Daripada berisik, mending Ibu bantuin jemur!" Aku
BAB : 10Ucapan yang Menyakitkan.***Mataku mengerjap ketika mendengar suara adzan mengalun merdu. Kania juga masih tertidur dengan pulas karena semalem sempat bangun beberapa kali. Mas Rangga? Terserahlah mau tidur dimana. Semenjak ada Kania dia memang tak mau tidur sekamar denganku. Berisik dengan tangis Kania katanya. Miris bukan? Tapi aku tak mau ambil pusing, toh nanti juga Kania tak akan melihat ayahnya lagi ketika aku pergi dari sini. Sejenak kurentangkan tangan dan leher yang terasa pegal. Setelah membersihkan diri aku lantas bersiap diri untuk bergegas ke tukang sayur sebelah. Dengan meninggalkan anakku yang masih tertidur pulas, aku berjalan pelan menuju tukang sayur. Semua penghuni rumah ini masih tertidur pulas, aku tak mungkin berdiam diri di dalam rumah. Sedangkan saat ini, ada Kania yang membutuhkanku. "Eh, Mbak Andira, baru melahirkan kok sudah sampai sini?" ujar Mamang tukang sayur."Iya, Mang, pelan-pelan juga bisa kok. Mumpung Dedeknya masih tidur juga, jadi pen
BAB : 11Bayar Lukaku dengan Mahal, Mas!***Aku menahan sakit luar biasa di sekitar area perut hingga berdiri pun rasanya sangat susah. Namun melihat keadaanku yang seperti ini masih saja membuat Mbak Rosa angkuh. "Yang, itu Andira kenapa?" tanya Rudi, suami Mbak Rosa. "Biarin aja, Yang. Biar dirasakan sendiri akibatnya. Berani sama Rosa, tanggung sendiri akibatnya." Melihat Mbak Rosa yang angkuh begini, membuatku mengepalkan tangan. Aku tidak akan melupakan perbuatanmu, Mbak, lihat saja nanti."Kita periksakan aja, Yang, gimana kalau aku saja yang mengantarnya ke rumah sakit?" Aku terkesiap mendengar tawaran Rudi. Tampangnya saja yang sok alim, tapi pandangannya sungguh menjijikan. Lebih baik aku mati di tempat, daripada diantar oleh Rudi brengsek itu."Jangan, Yang! Tanganmu terlalu berharga untuk membantunya. Biar saja dia menanggung sakit sendiri. Biar tahu rasa dia!" ketus Mbak Rosa angkuh lantas meninggalkanku yang sedang menahan sakit.Aku tertatih dan mencari Mas Rangga n
Bab : 108Bersamamu, aku bahagia, Mas,"Biar saja, Pak, saya bisa mengatasinya." titahku, lantas penjaga itu membungkuk permisi.Hatiku perih melihat penampilan mantan Ibu mertua yang sekarang terlihat lebih kurus. Istri Mas Rangga yang sedang menggendong anaknya pun tak kalah kusut. Namun kemana Mas Rangga? Kenapa meninggalkan Ibu dan istrinya? Aku hampir lupa kalau Mas Rangga adalah karyawan Mas Alan. Tentu saja dia beserta keluarganya pun menghadiri acara ini."Andira, maaf jika dulu Ibu pernah jahat sama kamu. Ibu sangat menyesal. Coba dulu Ibu tak menyia-nyiakan kamu, mungkin sampai sekarang kamu masih menjadi istri Rangga.""Maksud Ibu apa?" Istri Mas Rangga seakan tak terima mendengar ucapan sang mertua."Diam kamu! Menikahi kamu adalah kesalahan terbesar Rangga!" sungut Ibu melotot tajam. Sepertinya perangai Ibu masih seperti dulu. Inikah yang katanya menyesal? Bahkan sama menantunya pun masih seperti itu. "Bu, Mbak, sudah, tak usah ribut, ini tempat umum. Ibu tenang saja, s
Bab : 107Kejutan yang membuatku terharuMas Alan menghela nafas, lalu menghembuskannya pelan. "Kita akan pergi ke pesta, sayang.""Pesta?""Iya, pesta. Pesta pernikahan kita." Entah kejutan apa lagi yang akan diberikan untukku kali ini. Rasanya sudah tak bisa berkata-kata lagi dihadapannya. Bagaimana dia menyiapkan semua ini, tanpa meminta persetujuanku?"Aku sengaja memberikan kejutan untukmu, sayang. Mas yakin, pasti kamu akan senang." Mas Alan menggenggam tanganku."Tapi, kenapa harus mengadakan pesta, Mas?" tanyaku lirih. "Sayang, dengar, Mas hanya ingin menunjukkan ke semua orang bahwa Mas sudah menikah dan mempunyai istri secantik kamu. Memangnya kamu mau, karyawan Mas di kantor menganggap Mas masih single?" ucapnya dengan menggenggam jari ini.Senyumku mengembang mendengar penuturannya. Tak ada alasan untuk tidak jatuh cinta padamu, Mas. Sungguh, hati ini selalu sejuk dengan segala tingkah manismu. Bahkan berkali-kali kamu selalu membuatku jatuh cinta."Makasih banyak, Mas.
Bab : 106Malam pertama yang indah."Terus gimana, Bunda? Apakah setelah itu sang pengembaranya ketakutan?" tanya Riana yang sudah menguap beberapa kali."Awalnya memang ketakutan, Sayang. Lalu tak lama ada seseorang yang datang menyelamatkannya. Tentu sang pengembara itu sangat senang mendapat bantuan. Hingga akhirnya sang pengembara menemukan temannya yang tengah tersesat. Pastilah teman sang pengembara senang, karena telah bertemu dengan teman seperjuangan." Aku menutup buku setelah membacakan dongeng pada anak gadisku. Dan ternyata Riana sudah pulas dengan memeluk guling kesayangannya.Setelah menaruh buku di meja, kukecup sejenak kening Riana yang baru saja memejamkan mata. 'Sungguh, Bunda menyayangimu, Sayang, walaupun kamu bukan terlahir dari rahim Bunda. Tapi Bunda akan berusaha menjadi Bunda yang baik untukmu." Batinku, sembari menata selimut agar nyaman dengan tidurnya.Aku mulai beranjak dari kamar Riana setelah memastikan ia tertidur dengan nyaman. Waktupun sudah menunjukk
Bab : 105Badai orang ketigaDreett … dreett ….Kami yang tengah bercengkrama berdua, terkejut mendengar ponsel Mas Alan berdering. Siapa yang menelpon? Bukannya Mas Alan sedang mengambil cuti? Penasaran, aku pun ingin beranjak mengambil ponsel yang masih tergeletak tersebut, namun Mas Alan menghalangiku."Biar Mas yang ngambil, Sayang. Ganggu aja, siapa sih yang nelpon?" gerutunya, sembari melangkah mengambil ponsel."Bu Puspita, Sayang," ucapnya ragu.Dahiku mengernyit, untuk apa Bu Puspita menelpon? "Angkat aja, Mas!" ujarku. Karena aku sendiri penasaran dengan maunya Bu Puspita kali ini. "Assalamualaikum, Bu," jawab Mas Alan setelah mengangkat telepon. Sejenak, Mas Alan terdiam dengan masih menggenggam ponselnya. Entah apa yang dibicarakan oleh Bu Puspita, aku tak mendengarnya. Lebih baik aku menunggu disini saja."Maaf, Bu, saya tidak bisa. Saya sedang bersama istri saya!" Suara Mas Alan terdengar pelan, namun tegas.Aku meneguk ludah kuat. Kenapa Bu Puspita masih saja menggang
Bab : 104Kamu sempurna di mataku, Mas,Duh, Mas, meleleh hatiku melihat sikapmu seperti ini. Biarlah dikata seperti anak abege yang baru mengenal cinta. Nyatanya hatiku sedang berbunga-bunga melihat sikap manisnya. Sedangkan Yulia terlihat sangat kesal, tatapan matanya tajam ke arahku seakan mau menerkam."Hari ini adalah hari bahagia mereka, Bu, tolong jangan rusak momen indah mereka. Andira sekarang sudah menjadi menantu saya, tanpa mengurangi rasa sayang kami terhadap Renata yang sudah bahagia di alam sana. Jika Ibu ingin dihargai, tolong hargai kami disini!" Suara Mama pelan, namun menusuk. Menusuk bagi yang berpikir, tapi entah jika bagi Bu Puspita. Namun melihat raut wajah Bu Puspita, sepertinya mati kutu. Nyatanya tak mengeluarkan sepatah kata pun. Mulutnya seperti terkunci."Bukan begitu, Bu, saya hanya ingin memberitahu pada Andira, itu saja!" Kilah Bu Puspita pelan."Andira pasti paham, Bu. Iya kan, Sayang?" Mas Alan mengedipkan mata ke arah ku."Tentu saja, Sayang. Sebaga
Bab : 103.Dia yang selalu menyejukkan hati.Aku bernafas lega setelah mobil sudah terparkir manis di depan rumah. Perjalanan panjang ini terasa lebih menyenangkan karena seseorang yang berada disampingku."Sudah sampai rumah, Sayang." Mas Alan melepas seatbelt yang masih menempel di tubuhnya."Iya, Mas. Udah malam ternyata." ucapku sambil melirik jam di pergelangan tangan. Sudah menunjukkan angka 20,00. Aku keluar dengan Mbak Tuti yang menggendong Kania. Dan ternyata Kania pun sudah tertidur pulas. Sedangkan Mas Alan berjalan beriringan denganku sampai kami masuk ke dalam rumah."Duh, menantu Mama baru nyampe rumah." ujar Mama menyambutku."Assalamualaikum, Ma," ucapku dengan mencium takzim tangannya."Waalaikumsalam, Sayang. Pasti capek baru pulang. Istirahat dulu, nanti kita makan malam bareng!" ujar Mama."Ayo sayang!" Mas Alan mengajakku beristirahat sejenak. Aku pun mengikuti langkahnya dengan tangan ini tak lepas dari genggamannya.Mas Alan melepas sweaternya setelah kami masu
Bab : 102Hari yang dinanti pun tiba.Satu tahun kemudian.Hidup memang penuh dengan cobaan dan ujian. Begitu pun hidupku yang pernah mengalami keterpurukan hingga berada di titik terendah. Namun aku percaya bahwa Allah tidak akan menguji seorang hamba diluar batas kemampuannya. Dan bersamaan dengan itu Allah hadirkan Mas Alan sebagai penyembuh lukaku, pelengkap hidupku, dan sebentar lagi akan menjadi pendamping hidupku.Saat ini aku sedang mematut diri di depan cermin. Sedang menunggu detik-detik dimana sebentar lagi statusku akan berubah menjadi seorang istri. Gamis mewah berwarna putih serta hijab yang berwarna senada pula, kubiarkan menjuntai lebar menutupi dada yang kukenakan saat ini. "Masya Allah … adik Mbak cantik banget!" ujar Mbak Winda yang menghampiriku di kamar.Mbak Winda rela datang kesini hanya untuk menyaksikan pernikahanku. Padahal jarak dari rumahnya ke kampungku tidaklah dekat. Terharu, itulah yang kurasa saat melihat Mbak Winda kesini."Iya, Mbak Andira aslinya u
BAB 101. Penyesalan Selalu Datang Belakangan.POV RANGGA"Mas, minta uang dong buat beli skin care! Tuh lipstik aku sudah habis!" Lisa datang menyodorkan lipstiknya yang sudah ia korek dengan jarinya. Apakah Lisa tak melihat aku yang baru saja pulang kerja? Belum apa-apa sudah disuguhi dengan permintaan yang menyebalkan."Sudahlah, Lis, tak usah beli lipstik segala. Kamu tahu buat makan aja sekarang kita susah!" Pekikku. Sungguh, pusing sekali rasanya memikirkan semua masalah yang terus menerpa. Setiap berada di rumah selalu berakhir dengan keributan. Tidak dengan Ibu, tidak dengan Lisa, dan kadang seringnya Ibu yang berdebat dengan Lisa. Membuat kepala ini semakin pusing."Ah, Mas jahat. Coba kalau Ibu yang minta, pasti dibeliin. Kenapa aku yang istrimu minta uang buat beli lipstik saja susah, Mas?"Selalu seperti ini. Mempermasalahkan uang yang tak sepatutnya di bahas. Lisa sibuk meminta uang buat lipstik, sedangkan baru kemarin Ibu mengeluhkan beras yang sudah mulai menipis."Aku
Bab : 100Menjaga Hati***Aku melotot di depannya dengan jarak yang dekat. Biar saja, biar Mas Alan tahu kalau aku juga bisa marah. Menjengkelkan sekali. Mentang-mentang sudah sampai sini malah seenaknya seperti itu. Namun pandangan ini dikacaukan oleh bulu-bulu halus yang berada di pipi, membuat orang yang berada di depanku ini terlihat, sempurna. Sejenak, aku mengagumi ciptaan Tuhan yang amat sempurna."Kamu cantik banget kalau sedang marah. Apalagi menatapku dengan penuh cinta seperti itu." Aku gelagapan dan segera membuang muka. "Siapa juga yang memperhatikan wajahmu. Nyebelin banget sih!" gerutuku. Padahal sebenarnya sedang menyembunyikan rasa malu yang luar biasa. Sedangkan Mas Alan hanya tersenyum menanggapi ucapanku. Baru bertemu sehari dengannya, kenapa jadi se-menyebalkan ini?"Sebentar, Andira. Saya punya sesuatu untukmu." Mas Alan mengambil plastik yang berada di meja depan, lantas kembali mendekat ke arahku."Pakailah ponsel ini, Andira! Sudah saya simpan semua nomor sa