BAB : 12Gadis Kecil Itu?***"Om kan sayang sama orang yang kamu panggil Bunda itu, Sayang. Tak mungkin lah Om menyakitinya," ucap Mas Rangga yang berusaha merayu gadis kecil ini."Gak, Om gak boleh sayang sama Bunda. Yang boleh sayang tuh, Riana sama Ayah!" ucap gadis kecil ini lantang. Aku melongo mendengar ucapan gadis kecil ini. Begitu juga dengan Mas Rangga dan Ayahnya gadis ini nampak melongo bersamaan. Sedangkan Pelukannya semakin erat padaku, tatapan matanya tajam mengarah pada Mas Rangga. "Riana, yang sopan kamu! Pak Rangga, Bu, saya bener-bener minta maaf atas ulah Riana, anak saya," ucap Ayah gadis ini dengan tak enak hati."Hmmm … Papa jahat! Aku mau ikut Bunda aja gak mau ikut Papa, hmmm …." Gadis yang ku ketahui bernama Riana ini menangis karena bentakan sang Ayah. Ini tak bisa dibiarkan, aku harus mengambil tindakan. Hal yang kulakukan adalah mengambil kesempatan dalam kondisi sempit seperti ini."Udah ya, Sayang. Jangan menangis lagi ya, ada Bunda disini," ucapku y
BAB : 13Andira Akting?POV RANGGA***"Kapan kamu tak membuat repot rumah ini, Andira," Batinku geram. Setelah pulang dari rumah sakit dengan membayar obatnya yang sangat mahal. Kini Andira kembali membuat ulah dengan Ibu. Aku tak tahu pasti kejadiannya gimana, yang jelas ketika masuk ke dalam rumah posisi Ibu sudah berada di lantai seperti orang terjatuh. Entah terjatuh atau didorong Andira yang seperti kata Ibu, yang jelas Andira memang suka bikin onar."Kenapa kamu gemeteran gitu, kamu mau membunuh bayimu sendiri dengan meremasnya?" tanyaku pada Andira yang terlihat gemetaran. Menggendong bayinya saja seperti diremas."Kasihkan ke Ibu kalau kamu tak becus gendong, Andira," titahku. Karena lama-lama tak tega juga melihat bayi yang menggeliat di gendongan Andira. "Tidaaaakk!" Aku dan Ibu tercengang mendengar teriakan Andira. Rasanya baru kali ini Andira berteriak se-histeris ini. Tangannya semakin gemetar setelah aku meminta bayinya untuk dikasihkan ke Ibu. Suasana jadi mencekam
BAB : 14Ketika Mental DiujiPOV RANGGA***Terdengar helaan nafas berat sekali. Sepertinya Bude menyesal telah marah sama kami. Mampuslah kamu Andira, kali ini Bude yang akan memarahimu langsung. Makanya jangan kurang ajar."Dobrak pintu kamarmu. Bude harus bicara dengan Andira sekarang juga!" ucap Bude tajam.Jujur, aku senang melihat Bude yang marah seperti ini pada Andira. Tapi gak harus dobrak pintu juga kali. Duh, rusak deh pintu kamarku."Tak perlu didobrak juga kali, Mbak, nanti rusak dong pintunya," Ibu berusaha menghalangi Bude Gina.Bude akhirnya berjalan mendekati pintu kamar. Merasa penasaran, Bude menekan dan memutar handle pintu. Namun nihil, karena Andira mengunci pintunya dari dalam. Aku dan Ibu hanya membuntutinya dari belakang."An, buka pintunya, Nak," ucap Bude sambil mengetuk pintu. Namun tak ada sahutan dari dalam. "An, ini Bude, buka pintunya!" Ketukan Bude semakin kencang. Andira, kamu lagi ngapain sih di dalam? "Tak ada cara lain. Dobrak pintunya sekara
BAB : 15Dibalik Sakitnya Andira.***Aku menangis sesenggukan di depan Bude Gina dan Mbak Winda. Entah apa yang aku alami tadi, yang jelas saat Ibu mau menjejali bayiku dengan lumatan pisang, rasa takut luar biasa menyergap di pikiranku. Kalau mereka menyakiti hati dan fisikku mungkin aku bisa kuat, tapi jika bayiku juga ikut jadi sasarannya, sungguh rasa ini tak kuat lagi untuk menahannya."An, kamu masih mengenali Bude kan?" tanya Bude sambil menggendong bayiku. Aku mengangguk pelan, bagaimana mungkin aku bisa tak mengenali Bude Gina yang baik hati ini."Alhamdulillah jika kamu masih mengenali Bude, An, Bude tadi khawatir banget sama kamu," Aku tersenyum mendengar ucapan Bude.Setelah Mas Rangga dan Ibu mau merebut bayiku tadi, ketakutan luar biasa menjalar di seluruh tubuhku. Bahkan, sudah berada di kamar pun, bayang-bayang Ibu terasa nyata di depanku. Seakan menari-nari memperlihatkan kesungguhannya merebut bayiku. Rasanya saat ini badanku lemas sekali. Beruntung sekali aku masih
BAB : 16Rahasia yang Mencengangkan.***Aku tak mau memikirkan pemandangan yang berada di depanku. Entah apa yang direncanakan Ibu mertua, aku tak peduli. Segera kuambil sepiring nasi yang sudah dibawa oleh Mbak Winda tadi, lantas aku memakannya dengan lahap. Yang kuinginkan cuma satu, segera sembuh dan pergi sejauh-jauhnya dari sini."Makannya pelan-pelan, An," ujar Mbak Winda dengan mengambilkan air minum yang ada di meja sebelah kasur."Minum dulu," Mbak Winda menyodorkan air minum disela-sela makanku. "Sabar, An, apapun yang terjadi, aku akan selalu disampingmu. Jangan merasa sendiri, ya," Mbak Winda menguatkanku. Aku hanya mengangguk mendengar ucapannya.Setelah makananku habis, Mbak Winda lantas menaruh piring ke meja. Setelah itu ia mengambil obat yang tergeletak dan memberikannya padaku. Aku sudah selesai makan dan minum obat, namun keluarga ini masih berdrama dan memainkan perannya masing-masing. Silahkan, puaskan saja sandiwara kalian. Aku sudah tak peduli."Mbak, aku ingi
BAB : 17Bertahan Ditengah-tengah Keserakahan.***"Hei, kok malah bengong. Ini saya bawa masuk ke dalam ya, sepertinya kamu kerepotan," ucap Rudi yang berada di depanku.Beginilah sikapnya, manis seperti tak terjadi apa-apa. Tapi sedari dulu aku memang sudah tak suka dengan caranya yang memandangku. Tapi ternyata di hatinya memang melebihi seorang psikopat."Bo-boleh kalau tak merepotkan," ucapku tergagap. Tak kupungkiri, ketakutan menghampiri hingga jantung ini seakan mau melompat dari sarangnya. Namun aku tak boleh gegabah, aku tak mau dia curiga kalau aku mengetahui niat busuknya. Apalagi sampai dia tahu kalau aku sudah mendengar pembicaraannya tadi, yang ada detik ini juga Rudi akan melenyapkanku dari bumi ini."Lagi ngapain kamu, An. Kamu mau menggoda suami saya?" Sinis Mbak Rosa ketika Rudi membawakan keranjangku di depan kamar. Rudi menawarkan untuk membawakan keranjang hingga masuk ke dalam kamar, namun aku menolak. Cih! Lancang sekali. Dan Mbak Rosa cemburu mengira aku meray
BAB : 18Mulai Panik, semakin tegang!***Pantas saja Ibu bisa bergaul dengan geng sosialitanya, jatah dari Mas Rangga juga lebih dari cukup untuk bersenang-senang seorang diri. Baju dan tas yang berjejer di kamarnya, sudah bisa membuktikan kalau Ibu seorang sosialita. Sedangkan aku?Selama ini Mas Rangga menjatahku 3 juta sebulan untuk memenuhi kehidupan kami dikontrakan. Itu pun sudah termasuk membayar kontrakan dan membeli token. Bahkan aku harus mengirit demi bisa menabung untuk biaya persalinanku. Namun lagi-lagi Ibu mertua mengeluhkan uang dan tabunganku pun lenyap untuk memenuhi keinginannya itu."Kuambil uang yang berada di amplop lantas memasukan beberapa lembar di dalamnya. Lalu melipat kembali dan memberikannya pada Mas Rangga. "Buat Ibu," ucapku sembari memberikan amplop coklat pada Mas Rangga yang tengah merapikan bajunya. Mas Rangga menoleh ke arahku, lalu mengambil amplop yang berada di tanganku. "Aku menaruh 2 juta di dalamnya," ucapku lagi.Mas Rangga tersenyum sini
BAB : 19Mempertahankan Hak.***Ibu datang dengan muka manyun dan ditekuk. Lantas duduk di sebelah Bude Gina. Ibu melirik ke arahku dengan tatapan tajam, seakan ingin menerkam. Namun aku pura-pura tak tahu dan cuek. Ibu tak akan berani menyakitiku karena ada Bude Gina di sini. Jika dia nekat menyakitiku, aku juga tak akan segan-segan untuk berteriak agar para tetangga datang menghampiri. Semua itu demi kewarasanku. Ibu nekat, aku juga bisa nekat untuk menjaga bayiku dan tentunya, diri sendiri."Mana Rosa dan suaminya?" tanya Bude pada Ibu. Mas Rangga juga sudah duduk kembali di tempatnya. "Rosa masih tidur kayaknya, Mbak, sudah biarkan saja. Kita sarapan dulu saja, biasanya memang Rosa bangun sekitar jam 9 nanti," ujar Ibu enteng.Bude Gina nampak melotot mendengar ucapan Ibu. Namun sepertinya Ibu tak menyadari bahwa Bude Gina terlihat tak suka dengan ucapan Ibu. Kalau aku sih, sudah terbiasa mendapati Mbak Rosa seperti itu. Bangun, langsung makan, dan komplain segala macam denganku
Bab : 108Bersamamu, aku bahagia, Mas,"Biar saja, Pak, saya bisa mengatasinya." titahku, lantas penjaga itu membungkuk permisi.Hatiku perih melihat penampilan mantan Ibu mertua yang sekarang terlihat lebih kurus. Istri Mas Rangga yang sedang menggendong anaknya pun tak kalah kusut. Namun kemana Mas Rangga? Kenapa meninggalkan Ibu dan istrinya? Aku hampir lupa kalau Mas Rangga adalah karyawan Mas Alan. Tentu saja dia beserta keluarganya pun menghadiri acara ini."Andira, maaf jika dulu Ibu pernah jahat sama kamu. Ibu sangat menyesal. Coba dulu Ibu tak menyia-nyiakan kamu, mungkin sampai sekarang kamu masih menjadi istri Rangga.""Maksud Ibu apa?" Istri Mas Rangga seakan tak terima mendengar ucapan sang mertua."Diam kamu! Menikahi kamu adalah kesalahan terbesar Rangga!" sungut Ibu melotot tajam. Sepertinya perangai Ibu masih seperti dulu. Inikah yang katanya menyesal? Bahkan sama menantunya pun masih seperti itu. "Bu, Mbak, sudah, tak usah ribut, ini tempat umum. Ibu tenang saja, s
Bab : 107Kejutan yang membuatku terharuMas Alan menghela nafas, lalu menghembuskannya pelan. "Kita akan pergi ke pesta, sayang.""Pesta?""Iya, pesta. Pesta pernikahan kita." Entah kejutan apa lagi yang akan diberikan untukku kali ini. Rasanya sudah tak bisa berkata-kata lagi dihadapannya. Bagaimana dia menyiapkan semua ini, tanpa meminta persetujuanku?"Aku sengaja memberikan kejutan untukmu, sayang. Mas yakin, pasti kamu akan senang." Mas Alan menggenggam tanganku."Tapi, kenapa harus mengadakan pesta, Mas?" tanyaku lirih. "Sayang, dengar, Mas hanya ingin menunjukkan ke semua orang bahwa Mas sudah menikah dan mempunyai istri secantik kamu. Memangnya kamu mau, karyawan Mas di kantor menganggap Mas masih single?" ucapnya dengan menggenggam jari ini.Senyumku mengembang mendengar penuturannya. Tak ada alasan untuk tidak jatuh cinta padamu, Mas. Sungguh, hati ini selalu sejuk dengan segala tingkah manismu. Bahkan berkali-kali kamu selalu membuatku jatuh cinta."Makasih banyak, Mas.
Bab : 106Malam pertama yang indah."Terus gimana, Bunda? Apakah setelah itu sang pengembaranya ketakutan?" tanya Riana yang sudah menguap beberapa kali."Awalnya memang ketakutan, Sayang. Lalu tak lama ada seseorang yang datang menyelamatkannya. Tentu sang pengembara itu sangat senang mendapat bantuan. Hingga akhirnya sang pengembara menemukan temannya yang tengah tersesat. Pastilah teman sang pengembara senang, karena telah bertemu dengan teman seperjuangan." Aku menutup buku setelah membacakan dongeng pada anak gadisku. Dan ternyata Riana sudah pulas dengan memeluk guling kesayangannya.Setelah menaruh buku di meja, kukecup sejenak kening Riana yang baru saja memejamkan mata. 'Sungguh, Bunda menyayangimu, Sayang, walaupun kamu bukan terlahir dari rahim Bunda. Tapi Bunda akan berusaha menjadi Bunda yang baik untukmu." Batinku, sembari menata selimut agar nyaman dengan tidurnya.Aku mulai beranjak dari kamar Riana setelah memastikan ia tertidur dengan nyaman. Waktupun sudah menunjukk
Bab : 105Badai orang ketigaDreett … dreett ….Kami yang tengah bercengkrama berdua, terkejut mendengar ponsel Mas Alan berdering. Siapa yang menelpon? Bukannya Mas Alan sedang mengambil cuti? Penasaran, aku pun ingin beranjak mengambil ponsel yang masih tergeletak tersebut, namun Mas Alan menghalangiku."Biar Mas yang ngambil, Sayang. Ganggu aja, siapa sih yang nelpon?" gerutunya, sembari melangkah mengambil ponsel."Bu Puspita, Sayang," ucapnya ragu.Dahiku mengernyit, untuk apa Bu Puspita menelpon? "Angkat aja, Mas!" ujarku. Karena aku sendiri penasaran dengan maunya Bu Puspita kali ini. "Assalamualaikum, Bu," jawab Mas Alan setelah mengangkat telepon. Sejenak, Mas Alan terdiam dengan masih menggenggam ponselnya. Entah apa yang dibicarakan oleh Bu Puspita, aku tak mendengarnya. Lebih baik aku menunggu disini saja."Maaf, Bu, saya tidak bisa. Saya sedang bersama istri saya!" Suara Mas Alan terdengar pelan, namun tegas.Aku meneguk ludah kuat. Kenapa Bu Puspita masih saja menggang
Bab : 104Kamu sempurna di mataku, Mas,Duh, Mas, meleleh hatiku melihat sikapmu seperti ini. Biarlah dikata seperti anak abege yang baru mengenal cinta. Nyatanya hatiku sedang berbunga-bunga melihat sikap manisnya. Sedangkan Yulia terlihat sangat kesal, tatapan matanya tajam ke arahku seakan mau menerkam."Hari ini adalah hari bahagia mereka, Bu, tolong jangan rusak momen indah mereka. Andira sekarang sudah menjadi menantu saya, tanpa mengurangi rasa sayang kami terhadap Renata yang sudah bahagia di alam sana. Jika Ibu ingin dihargai, tolong hargai kami disini!" Suara Mama pelan, namun menusuk. Menusuk bagi yang berpikir, tapi entah jika bagi Bu Puspita. Namun melihat raut wajah Bu Puspita, sepertinya mati kutu. Nyatanya tak mengeluarkan sepatah kata pun. Mulutnya seperti terkunci."Bukan begitu, Bu, saya hanya ingin memberitahu pada Andira, itu saja!" Kilah Bu Puspita pelan."Andira pasti paham, Bu. Iya kan, Sayang?" Mas Alan mengedipkan mata ke arah ku."Tentu saja, Sayang. Sebaga
Bab : 103.Dia yang selalu menyejukkan hati.Aku bernafas lega setelah mobil sudah terparkir manis di depan rumah. Perjalanan panjang ini terasa lebih menyenangkan karena seseorang yang berada disampingku."Sudah sampai rumah, Sayang." Mas Alan melepas seatbelt yang masih menempel di tubuhnya."Iya, Mas. Udah malam ternyata." ucapku sambil melirik jam di pergelangan tangan. Sudah menunjukkan angka 20,00. Aku keluar dengan Mbak Tuti yang menggendong Kania. Dan ternyata Kania pun sudah tertidur pulas. Sedangkan Mas Alan berjalan beriringan denganku sampai kami masuk ke dalam rumah."Duh, menantu Mama baru nyampe rumah." ujar Mama menyambutku."Assalamualaikum, Ma," ucapku dengan mencium takzim tangannya."Waalaikumsalam, Sayang. Pasti capek baru pulang. Istirahat dulu, nanti kita makan malam bareng!" ujar Mama."Ayo sayang!" Mas Alan mengajakku beristirahat sejenak. Aku pun mengikuti langkahnya dengan tangan ini tak lepas dari genggamannya.Mas Alan melepas sweaternya setelah kami masu
Bab : 102Hari yang dinanti pun tiba.Satu tahun kemudian.Hidup memang penuh dengan cobaan dan ujian. Begitu pun hidupku yang pernah mengalami keterpurukan hingga berada di titik terendah. Namun aku percaya bahwa Allah tidak akan menguji seorang hamba diluar batas kemampuannya. Dan bersamaan dengan itu Allah hadirkan Mas Alan sebagai penyembuh lukaku, pelengkap hidupku, dan sebentar lagi akan menjadi pendamping hidupku.Saat ini aku sedang mematut diri di depan cermin. Sedang menunggu detik-detik dimana sebentar lagi statusku akan berubah menjadi seorang istri. Gamis mewah berwarna putih serta hijab yang berwarna senada pula, kubiarkan menjuntai lebar menutupi dada yang kukenakan saat ini. "Masya Allah … adik Mbak cantik banget!" ujar Mbak Winda yang menghampiriku di kamar.Mbak Winda rela datang kesini hanya untuk menyaksikan pernikahanku. Padahal jarak dari rumahnya ke kampungku tidaklah dekat. Terharu, itulah yang kurasa saat melihat Mbak Winda kesini."Iya, Mbak Andira aslinya u
BAB 101. Penyesalan Selalu Datang Belakangan.POV RANGGA"Mas, minta uang dong buat beli skin care! Tuh lipstik aku sudah habis!" Lisa datang menyodorkan lipstiknya yang sudah ia korek dengan jarinya. Apakah Lisa tak melihat aku yang baru saja pulang kerja? Belum apa-apa sudah disuguhi dengan permintaan yang menyebalkan."Sudahlah, Lis, tak usah beli lipstik segala. Kamu tahu buat makan aja sekarang kita susah!" Pekikku. Sungguh, pusing sekali rasanya memikirkan semua masalah yang terus menerpa. Setiap berada di rumah selalu berakhir dengan keributan. Tidak dengan Ibu, tidak dengan Lisa, dan kadang seringnya Ibu yang berdebat dengan Lisa. Membuat kepala ini semakin pusing."Ah, Mas jahat. Coba kalau Ibu yang minta, pasti dibeliin. Kenapa aku yang istrimu minta uang buat beli lipstik saja susah, Mas?"Selalu seperti ini. Mempermasalahkan uang yang tak sepatutnya di bahas. Lisa sibuk meminta uang buat lipstik, sedangkan baru kemarin Ibu mengeluhkan beras yang sudah mulai menipis."Aku
Bab : 100Menjaga Hati***Aku melotot di depannya dengan jarak yang dekat. Biar saja, biar Mas Alan tahu kalau aku juga bisa marah. Menjengkelkan sekali. Mentang-mentang sudah sampai sini malah seenaknya seperti itu. Namun pandangan ini dikacaukan oleh bulu-bulu halus yang berada di pipi, membuat orang yang berada di depanku ini terlihat, sempurna. Sejenak, aku mengagumi ciptaan Tuhan yang amat sempurna."Kamu cantik banget kalau sedang marah. Apalagi menatapku dengan penuh cinta seperti itu." Aku gelagapan dan segera membuang muka. "Siapa juga yang memperhatikan wajahmu. Nyebelin banget sih!" gerutuku. Padahal sebenarnya sedang menyembunyikan rasa malu yang luar biasa. Sedangkan Mas Alan hanya tersenyum menanggapi ucapanku. Baru bertemu sehari dengannya, kenapa jadi se-menyebalkan ini?"Sebentar, Andira. Saya punya sesuatu untukmu." Mas Alan mengambil plastik yang berada di meja depan, lantas kembali mendekat ke arahku."Pakailah ponsel ini, Andira! Sudah saya simpan semua nomor sa