Bab 49
Nisrina menyandarkan kepalanya di sandaran kursi selama perjalanan. Ia masih sibuk dengan hati dan jalan hidupnya yang jauh dari kata bahagia. Matanya menerawang menatap pemandangan luar dengan helaan napas berat yang sesekali keluar dari bibirnya."Jangan melamun," ucap Ferdy membuyarkan lamunan perempuan di sebelahnya."Kenapa ya, Mas, takdirku seperti ini. Aku merasa tidak pernah menyakiti orang lain tapi kebahagiaan sepertinya sulit untuk kudapatkan." Nisrina mengalihkan pandangannya dari jendela menuju sosok laki-laki yang sedang memegang kemudi.Ferdy tersenyum tanpa suara. Ia pernah merasa berada di posisi yang berbalik dengan Nisrina."Aku pernah merasa menjadi orang yang paling buruk sedunia dan kehilangan dia adalah balasan yang menurutku setimpal. Aku berusaha bersyukur dengan hidupku yang sekarang karena hadirnya Caca membuatku merasa selalu ingat akan kesalahan yang dulu pernah kulakukan sehingga membuatku selaluBab 50Nisrina menjauh dari hadapan laki-laki yang sedang diselimuti emosi itu. Ia tak mau menuruti sebab sudah terlanjur memesan ojek online untuk membawanya pulang ke rumahnya sendiri."Masuk, Rin! Jangan membantah!" pekik Abi lagi. Ia tak peduli pada beberapa pasang mata yang menoleh sebab suaranya yang keras.Seorang driver ojek online baru saja berhenti tepat di depan Nisrina. Ia menoleh ke arah Nisrina sambil mengulurkan helm."Tidak jadi, Pak! Ambil uangnya, biar dia pergi sama saya!" ucap Abi setelah memberikan selembar uang ratusan ribu pada driver ojek tersebut.Nisrina memicingkan matanya. Ia tak habis pikir dengan tingkah suaminya itu."Mas, aku mau pergi!" sengit Nisrina tak terima sebab Abi mengusir ojek online yang telah dipesannya."Aku tidak izinkan kamu naik ojek! Pulang sama aku sekarang!" teriak Abi makin kencang.Nisrina mengitari sekitar dengan pandangannya. Badannya merasa risih sebab
Bab 51Abi duduk dengan cemas di ruang tengah. Ia tak tahu bagaimana caranya untuk mengatakan pada Nisrina soal permintaan mamanya sebab hubungan keduanya sudah dingin sejak beberapa hari yang lalu.Televisi yang menyala itu hanya mengoceh sendiri tanpa diperhatikan oleh seseorang yang sedang duduk di hadapannya itu."Bagaimana aku akan mengatakan pada Rina soal ini?" gumam Abi frustasi. Ia gengsi untuk memulai pembicaraan dengan Nisrina, terlebih setelah pertikaian yang terakhir itu membuatnya kerap menghindar saat tak sengaja berpapasan.Setelah beberapa saat termenung, Rina keluar dari kamarnya sembari membawa gelas yang kosong. Ia berjalan tanpa sedikitpun peduli pada sosok yang ada di depan televisi itu.Sedangkan Abi, lidahnya kelu untuk mengatakan ajakan mamanya. Akan tetapi, kesempatan tidak akan datang dua kali. Ia berusaha mengatur napas agar bisa berbicara dengan lancar sesuai dengan apa yang akan dikatakannya."R
Bab 52Abi tak bisa berkonsentrasi saat bekerja. Ia merasa senang hari ini sebab mamanya sudah setuju dengan perpisahan yang mereka ajukan.Bayangan pernikahannya dengan Rania berulang kali muncul dalam kepala Abi. Senyum yang sumringah, serta ucapan selamat dari para tamu undangan yang ia balas dengan senyum bahagia pun tak luput dalam ingatannya itu."Senyum terus dari tadi, sampai ngga sadar aku sudah ada di sini," sapa Ferdy yang sudah duduk di kursi tamu di ruangan Abi. Ia mengamati sahabatnya itu dengan seksama.Abi mengangkat pandangannya menuju sosok yang sedang berdiri di depannya. Ia terdiam sejenak, seharusnya masih tersimpan amarah sebab Ferdy telah membawa Nisrina ke sebuah kafe untuk makan hanya berdua. Akan tetapi, kabar baik yang ia terima tadi pagi membuat amarah itu lenyap seketika."Iya, aku lagi bahagia," ucap Abi setelah meletakkan ponselnya di atas meja. Binar bahagia itu terpancar dengan sempurna di wajah Abi."Bahagia?" sahut Ferdy mengulangi ucapan Abisatya. D
Bab 53"Sayang, kamu datang?" sambut Rania manja. Ekspresi wajahnya berubah seketika. Tanpa aba-aba ia menghambur ke pelukan Abisatya.Namun, dengan cepat Abi mendorong badan Rania menjauh darinya. "Siapa yang hamil? Kenapa ada laki-laki lain dalam rumahmu? Lihatlah, dia tidak memakai pakaian. Habis ngapain kalian?" cecar Abi. Ia menatap Rania dan Natan bergantian. Wajah yang kusut serta badan Natan yang terekspos sempurna membuat pikiran negatif seketika memenuhi pikiran Abi."Emm dia ... Dia hendak mencoba menggodaku," ucap Rania terbata. Ia berdiri dengan tangan saling meremas satu sama lainnya. Rahasianya diambang kehancuran."Menggoda?" Dahi Abi mengerut. Sorot matanya menatap Rania dengan menelisik."Katakan saja semuanya. Biar dia tahu bagaimana kamu sebenarnya!" sembur Natan tegas. Ia tak peduli dengan rencana Rania, yang jelas ia ingin menjaga bayi dalam kandungan Rania dengan tangannya sendiri."Diam kamu!" bentak Rania keras. Mendengar ucapan Natan, keberaniannya muncul sek
Bab 54Abisatya meninggalkan gedung apartemen Rania dengan emosi yang meletup-letup. Ia harus meluapkannya sebelum kembali ke rumah.Apapun masalah yang sedang dihadapi di luar, tak seharusnya dibawa pulang kerumah dan membuat keluarga menjadi sasaran emosinya.Abi masuk ke sebuah bar setelah memarkirkan mobilnya. Ia duduk di meja paling ujung setelah memanggil seorang pelayan untuk memesan sesuatu.Setelah beberapa saat, pelayan itu datang membawa pesanan Abi. Ia memesan beberapa botol minuman beralkohol. Hati yang patah, serta terbalut rasa kecewa membuatnya tak lagi semangat untuk melanjutkan hidup.Malam yang penuh cinta, yang tadinya sudah dibayangkan akan terjadi dengan indah bersama pasangan, berubah menjadi malam yang penuh luka.Harapan itu sirna seiring dengan rasa kecewa yang perlahan menggerogoti hati Abisatya. Semakin tinggi rasa kecewa, semakin bersemangat ia meneguk air haram tersebut.Tangan yang penuh dengan cairan kental merah itu diabaikan oleh Abi. Ia sibuk meneguk
Bab 55"Darah? Di atas ranjang?" gumam Abi. Ia tercenung sejenak.Di dalam pikiran Abisatya sedang terjadi perang. Darah apa yang bisa ada di atas ranjang? Apalagi setelah melihat kondisi badannya yang tanpa busana saat masuk ke dalam kamar mandi.Abi menjambak rambutnya keras. Ia merutuki diri atas kecerobohannya. Bagaimana bisa hal itu terjadi.Tak mau tenggelam dalam prasangka, Abi meninggalkan kamarnya menuju kamar Nisrina. Ia harus memastikan bahwa apa yang terjadi itu bukanlah hal yang nyata."Tidak mungkin. Tidak mungkin itu terjadi," racau Abi sambil berjalan menuju kamar Nisrina."Rin," panggil Abi saat tangannya baru saja mendorong hendle pintu. Matanya menyapu sekitar, tapi tak didapati Nisrina di dalamnya. Ia pun melangkah masuk untuk mencari keberadaan sang istri di dalam kamar mandi."Rin ... Rina," panggil Abi lagi. Ia mendorong pintu kamar mandi yang setengah terbuka agar terbuka makin lebar.
Bab 56Rania termangu setelah mendengar ucapan Abi. Kata demi kata yang terlontar dari mulut laki-laki yang menjadi obsesinya itu menusuk tepat di relung hati yang terdalam."Kamu jahat!" sentak Rania. Mendung perlahan muncul di wajahnya."Lebih jahat mana kamu atau aku? Kamu mengharapkanku berpisah dengan istriku demi menuruti keinginanmu yang tidak masuk akal itu. Beruntung aku mendengar semuanya, sehingga tidak sampai masuk terlalu jauh ke dalam permainanmu yang ngga bermutu itu."Rania menatap Abi dengan tatapan nyalang. Ia lantas pergi dengan air mata yang berderai.Sementara Abi, moodnya kian buruk setelah berjumpa dengan Rania. Beruntung masih ada waktu untuk menetralkan hati sebelum Ferdy berada di depannya.Satu porsi mie goreng seafood sudah tersaji di atas meja. Ditambah dengan segelas air lemon untuk melepas dahaga setelah menikmati mie tersebut. Abi berusaha menelan mie itu, meskipun sebenarnya ia enggan. Badannya harus kuat agar bisa mencari Nisrina dimana pun dia berada
Bab 57Pak Gunawan masuk ke dalam ruangannya setelah beberapa jam meninggalkan kantor. Matanya memicing melihat sang putra sudah tertidur di atas sofa yang terletak di sudut ruangan.Urung melangkah menuju meja kerjanya, Pak Gunawan berhenti di dekat sofa itu. Ia meletakkan beberapa barangnya di atas meja, lalu duduk tak jauh dari tempat Abi terbaring."Sakit tadi cuma alasan berarti?" Suara Pak Gunawan seketika membuat Abi yang baru saja terlelap langsung tersentak. Ia bangkit tanpa persiapan. Matanya mengerjap, mengumpulkan kesadaran untuk menghadap orang tuanya."Pa," sapa Abi sambil meraup wajahnya. Ia mengubah posisinya menjadi duduk."Sedang apa kamu?""Aku ... Emm ... Aku mau bicara sama Papa," ucap Abi terbata.Pak Gunawan menatap sang putra dengan tatapan menelisik. Tak biasanya sang putra bersikap seperti ini. Rasa cemas bercampur rasa bersalah membuat sikap Abi berbeda."Katakan, apa yang mau kamu