Manusia adalah sesuatu yang kompleks, tidak mudah untuk dipahami. Terkadang manusia itu sendiri tak bisa memahami adirinya dengan baik. Ada beberapa hal yang tak mampu dijelaskan dengan kata-kata, hanya dapat dirasakan. Misal seperti perasaan rindu yang tidak bisa diungkapkan begitu saja.
Saat ini, sembari berdiri membatu, ada seorang pria bertubuh tinggi sedang menatap langit dari balik kaca jendela. Tidak lupa dengan segelas anggur di tangan. Minuman itu tak kunjung diminum, menandakan sang empunya sedang fokus dengan pikiran lain.
Langit senja terlihat begitu indah, setidaknya ada beberapa orang di luar sana yang sedang tersenyum melihat keindahan alam. Tetapi hal itu tak berlaku bagi pria tersebut. Alih-alih terkesima, justru dia memikirkan sosok lain, mengira-ngira apakah orang yang dia pikirkan sedang melihat ke arah langit yang sama.
"Kenapa ... harus dia?" gumamnya berbisik, hanya dia sendiri yang bisa mendengar pertanyaan tersebut. Setelah bertanya,
Agar tidak melulu terbawa masa lalu, Anna menyempatkan waktu untuk berolahraga ringan di luar. Akhir-akhir ini tempat favorit untuk melakukan jogging adalah taman di dekat area hotel. Taman penuh kehijauan dan bunga, memang ditujukan untuk bersantai atau berolahraga ringan. 'Aku harus menanam bunga ini kalau punya taman,' batin Anna kala berhenti sejenak setelah melihat bunga-bunga yang cantik di semak-semak dan berselancar di internet untuk mengetahui namanya. Setelah itu, dia kembali melanjutkan aktivitas sebelumnya. Seperti biasa, kaki Anna membawa perempuan itu untuk mengelilingi taman untuk tiga putaran. Tempatnya yang cukup luas membuat Anna sudah kelelahan sendiri di akhir putaran ketiga. Selain itu, dia juga sudah puas melihat pemandangan seluruh taman selama berlari. Dengan tangan dan handuk kecil yang menyeka dahi dan leher, mata Anna mencari tempat duduk. Sekarang matahari cukup bersinar dengan terik sampai-sampai peluh keringat tak henti-hentinya
Tanpa menunggu waktu lama, Raden telah mendapatkan perawatan dari dokter. Sebagai sekretaris, Laila memastikan bahwa sang bos mendapatkan pengobatan dengan cepat dan tidak mengalami kecelakaan lebih serius. Selama setengah jam lebih dokter profesional dan dua orang perawat lain yang mengikuti memeriksa luka Raden dan mengobati. “Kita hanya perlu menunggu Pak Raden kembali sadar. Setelah itu, saya akan kembali memeriksa apa yang telah terjadi.” Memang Laila sudah berkata bahwa sebelum kepalanya tak sengaja terbentur pinggir meja, Raden sempat berteriak seperti kesakitan. Itu juga kenapa Laila langsung meninggalkan pekerjaan di meja dan masuk ke ruangan Raden. Makanya sang dokter merasa mungkin Raden mengalami gejala lain sebelum jatuh dan terbentur meja. “Kira-kira butuh berapa jam untuk beliau sadar?” tanya Laila hati-hati sekaligus cemas. Si dokter berusaha memperkirakan jawaban sambil menoleh ke tempat Raden berbaring. “Paling cepat satu jam, paling lama mu
Seusai diperiksa oleh dokter, Raden hanya mendapat pernyataan bahwa dia memerlukan istirahat sampai besok. Setelahnya dia bisa melakukan aktivitas seperti biasa. Lalu di saat itu juga ponselnya berdering. Laila segera mengambil tanggung jawab untuk mengecek siapa peneleponnya dan untuk beberapa detik matanya menatap ke arah Raden dengan ragu. Tentu saja itu berhasil membuat Anna penasaran. "Siapa itu? Jika dia orang penting, jangan dibuat menunggu." "Ini adalah Bu Anna yang menelepon, Pak." Laila sudah memiliki dugaan bahwa sang bos akan menyuruh dia menolak telepon tersebut, hubungan mereka 'kan masih sangat buruk. Maka dari itu dia tertegun ketika justru Raden mengulurkan tangan untuk mengambil alih teleponnya. "Bapak ingin menjawabnya?" Dengan yakin Anna menjawab, "Iya." Tentu saja itu adalah telepon dari Raden dan dia bisa mendapatkan informasi terkini mengenai tubuhnya dari situ. "Cepat berikan pada saya." Alhasil benda tipis itu berpindah tempat
Telepon diangkat. Hal pertama yang menyapa gendang telinga Anna adalah suara miliknya sendiri. "Anna." Jawabannya terdengar pelan, masih merasa takut akibat aura intimidasi Raden yang langsung terasa hanya dengan satu panggilan nama, "Ya?" Ketika pria itu hendak mengucapkan sesuatu, mendadak lidahnya seperti tertahan dan membuat dia berpikir ulang untuk jadi bertanya atau tidak. Namun jika tidak dia tanyakan sekarang, dia akan terjebak dalam pikirannya sendiri yang di mana belum tentu itu adalah kebenarannya. "Sebenarnya apa yang terjadi kepadamu?" "Ah itu ... Sepertinya aku keracunan." "Sepertinya?" Raden mendengus. "Kamu bukannya sengaja meracuni dirimu sendiri agar kita bisa bertukar tubuh, kan?" Tuduhan bermasuk negatif itu segera Anna sangkal dengan gelengan kepala keras meski orang yang bertanya tidak akan bisa melihat gerakan tersebut. "Tentu saja tidak. Memangnya aku segila itu sampai-sampai mau melukai diri sendiri?" "Siapa ta
Memang benar bahwa ego di dalam hati Raden telah memutuskan untuk tidak menemui Anna meski dengan alasan untuk kembali ke tubuh masing-masing. Akan tetapi ada hal yang lebih penting dari hal tersebut, yakni semua pekerjaan yang berakitan dengan perusahaan. Beruntung selama seminggu lebih saat tubuh Anna masih dirawat di rumah sakit, wanita itu bisa mengerjakan segalanya dengan baik. Hanya saja tidak ada yang tahu sampai kapan kualitas performa kerja Anna bisa bertahan tanpa ada pengarah. Maka dari itu, setiap pagi Raden selalu menghubungi Anna untuk mendikte apa saja yang wanita itu harus lakukan selama seharian. Lalu, saat malam mereka akan melakukan rapat pribadi secaradaring melalui aplikasi biru putih. Mungkin bagi Raden yang sekarang punya terlalu banyak waktu luang tidak akan merasa itu membebani dirinya, sama sekali tak bisa dibandingkan dengan pekerjaan sehari-harinya. Berbeda dengan Anna yang merasa tidak ada satu detik pun untuknya beristirahat. Bangu
Semakin dipikirkan justru dibuat semakin pusing. Kini Raden terjebak dalam pikiran dan penyesalannya tersendiri. Setelah berbicara dengan Malik melalui telepon sebagai Anna, Raden merasa dia telah berbuat keputusan yang salah. Di dalam telepon, Malik tanpa yakin dan gigih untuk menyakinkan Raden, yang ia kira adalah Anna, untuk mau menemui Noah untuk kali pertama secara resmi sebagai putri sulung Setiawan, tidak peduli apakah dia sudah menikah dan akan menjadi janda tak lama lagi. Kembali pada percapan telepon, Raden berubah hening untuk beberapa detik sebab butuh waktu untuk berpikir. Sedangkan Malik sudah tak sabaran dari sana hingga mengulang pemanggilan nama sang putri. "Anna? Apakah kamu masih ada di sana?" "Sebentar," pinta Raden berbisik. Beruntung Malik mendengar dan mau menuruti permintaannya. Sadar bahwa dia tak punya waktu banyak untuk merenung, Raden memutuskan untuk mencari cara lain untuk memastikan kenyataan tersebut. "Apakah aku boleh bertanya
"Kamu pantas untuk melampiaskan amarahmu. Justru ... akulah yang tidak pantas untuk berada di dekatmu." "Kumohon jangan berkata seperti itu," gumam Anna berbisik. Padahal bukan dia yang harus meminta maaf, tapi wanita itu tetap menundukkan kepala. Mungkinkah dia tidak ingin melihat wajah Raden? Begitu pikir laki-laki tersebut. Tapi kenyataan tak seperti itu. Justru Anna menundukkan kepala agar tak menunjukkan matanya yang perlahan diselaputi air mata. "Sekali lagi aku minta maaf. Aku juga akan melakukan apa pun yang kamu inginkan jika itu bisa menebus kesalahanku ini," ucapnya dengan putus asa. Apakah sebentar lagi Anna akan mau bertemu dengannya lagi? Pasti perempuan itu akan meminta untuk menjauh karena muak melihat mukanya. Betul, tidak? Kedua tangan yang terlipat dan sedaritadi memeluk kedua sikunya sendiri perlahan mencengkram lebih keras. Tanpa sadar bahwa tindakan itu dapat membuat bekas kemerahan di kulit nanti. Kembali Anna mengumpulkan kekuatan untu
Apa? Kakaknya pulang? Ariel dan Erik merasakan hal yang sama ketika mendengar pernyataan itu. Mengapa Kakak mereka pulang? Bukankah Anna sudah bertekad untuk tidak lagi kembali dan memulai hidup baru di tempat lain? Terlebih si sulung bukannya kembali ke rumah sang suami, justru kembali ke rumah orang tuanya. Bukannya Ariel dan Erik tidak menyukai itu, justru mereka merasa lebih baik Anna tinggal di hotel saja daripada bersama dua orang tua yang selama ini membawa mimpi buruk kepadanya. Akan tetapi karena mereka baru diberitahu saat Anna sudah tiba di bandara, tidak banyak waktu yang ditawarkan untuk mereka berpikir. Mereka berdua buru-buru pergi ke bandara untuk menjemput Anna. Ketika mereka tiba, mereka sudah melihat bagaimana Anna bersikukuh untuk diam di satu tempat dan terus menerus menolak tawaran taksi yang datang. "Kak!" teriak Erik. Anna menoleh dan kedua sudut bibirnya terangkat ke atas. Ia biarkan kedua adiknya berlari terengah-engah ke ara