"Sudah, walaupun harus kehilangannya aku ikhlas. Setidaknya Hafiz tidak menderita lagi, dan kami sebagai orang tua sudah mengusahakan yang terbaik untuknya," rintih Sheila menangis terisak-isak, Wenda langsung menarik Sheila dalam pelukannya. Ia terus memberi kata-kata motivasi agar Sheila tidak drop, aku yang merasa heran bagaimana Sheila bisa mengetahui tentang resiko operasi ini. Walaupun begitu, aku tetap lega karena Sheila berpikir hal yang sama denganku. Ia ikhlas jika Hafiz dioperasi apapun itu resikonya, kini aku hanya tinggal memikirkan mengurus administrasinya saja.*****"Apa! Dua ratus lima puluh juta?"Aku terhenyak saat mendengar nominal yang cukup banyak bagiku, uang darimana aku sebanyak itu. Sedangkan gajiku sebulan hanya sepuluh juta rupiah, uang tabunganku juga tidak sampai sebanyak itu. Semuanya sudah habis setelah aku menikah dengan Fanny, uang maharnya saja ia meminta seratus juta, belum lagi selama menjadi istriku ia selalu menghambur-hamburkan uangku. Kini yang
Aku mengendarai sepeda motor dengan. Kecepatan sedang, aku menatap sekeliling kota yang padat akan penduduk. Ternyata rambut sama hitam, tetapi isi hati tidak ada yang tau, banyak orang yang berpura-pura baik demi keuntungan dirinya sendiri, dan mengabaikan penderitaan orang lain. Aku menghela nafas panjang, melajukan sepeda motor tanpa tau kemana arah yang kutuju. Setidaknya aku mencari angin segar, agar isi kepalaku tidak buntu.Setelah puas berkeliling, hari sudah mulai sore dan aku kembali ke rumah sakit. Aku lihat semua keluarga berkumpul disana, bahkan ada Wenda dan juga Risa. Aku tidak mengerti mengapa mereka saling bercengkrama satu sama lain di depan sebuah ruang operasi. Aku bergegas melangkah menghampiri mereka, Sheila pun langsung berlari memelukku. Aku mengintip dari ujung mata, tampak Wenda menatap kami dengan sendu dan sebuah kecemburuan."Ada apa ini sayang?" tanyaku panik saat Sheila menangis sesenggukan."Hafiz sedang dioperasi di dalam Bang," sahutnya."Loh bukannya
"Aduh, gimana sih Mbak kalau bawa mobil hati-hati. Jangan mentang-mentang orang kaya bisa seenaknya!" seru penjual sate menekankan suaranya. Tampak sate yang masih banyak berserakan dimana-mana, pasti tukang sate ini baru keluar untuk berjualan."Maaf ya Bang, temen saya gak sengaja," ucap ku memohon."Emangnya maaf aja bisa ganti kerugian saya? Gak mau tau pokoknya saya minta ganti rugi.""Iya saya bakalan ganti kok, Abang minta ganti rugi berapa?" Abang itu tampak mulai menghitung kerugiannya, dari mulai gerobak yang hancur hingga modal dari sate-sate yang belum terjual."Sepuluh juta, karena saya harus mulai dari nol lagi. Ini uda gak ada yang bisa dipakai, hancur lebur semuanya.""Haaa?"Aku kaget mendengarnya, hanya untuk berjualan sate saja bisa menghabiskan modal sebanyak itu. Uang dari mana aku mengganti semua kerugian ini, sementara semua uangku sudah habis untuk membantu keluarga Habib."Tuh kan aku bilang juga apa, kita gak punya uang Abang ini pasti minta ganti rugi. Bagus
"Aku mau beli sarapan, kamu mau titip apa?" tanyaku mengalihkan pembicaraan."Samain aja, aku uda laper berat nih," celetuk Aisyah sambil mengelus perutnya."Perutmu buncit gitu Ais? Kamu hamil?" seloroh ku sambil terkekeh."Sembarangan kamu kira aku wanita apaan, emangnya kamu pernah lihat aku deket sama laki-laki!" serunya kesal sembari melototkan matanya."Duh, umur udah dua enam masih aja jomblo. Anak tetangga aja umur delapan belas anaknya uda tiga," cibirku yang langsung berlalu pergi."Sheila, awas aja kamu ya!" pekiknya tidak terima.Aku berjalan menuju warung lontong yang tidak jauh dari rumah sakit, aku memesan dua bungkus lontong untukku dan juga Aisyah. Sambil Ibu penjual lontong menyiapkan pesananku, aku duduk sambil melamun entah mengapa tiba-tiba saja aku kepikiran dengan kata-kata Aisyah."Ya ampun, zaman sekarang orang baik banyak maksudnya." Apakah mungkin Wenda baik kepada keluarga kami karena ada maksudnya? Akan tetapi, maksud apa dan apa sebenarnya yang ia inginka
"Suami? Hahaha, memangnya lelaki buaya darat pantas disebut suami. Sudah di kasih kesempatan kedua, masih saja berulah!" hardik Aisyah tidak mau kalah."Berulah apanya? Aku sudah berubah dan menjadi suami yang baik untuk Sheila. Walaupun wajahku yang terlalu tampan ini membuat banyak para gadis tergila-gila, aku tidak pernah lagi mengkhianati Sheila. Cih, dari pada kamu perawan tua. Gak laku-laku!""Apa kamu bilang? Mulutmu itu mau aku remas-ramas!""Silahkan kalau bisa, lagi pula apa yang aku katakan itu benar. Umur sudah tua, tapi gak ada laki-laki yang mau minang kamu. Itu karena kelakuanmu seperti preman, luarannya aja cantik!""Sekali lagi kamu buka mulut, aku lempar kursi ini kamu ya!""Uhh, takut!""Sudah-sudah, kalian ini sehari saja tidak bertengkar aku rasa rugi ya? Sampai bosan aku melihatnya. Lebih baik kamu segera pulang Ais, anak gadis gak baik malam-malam di jalan takutnya nanti ada apa-apa." Aku menyela pertengkaran mereka, karena malu dilihat para penjenguk dari kelua
"I… I… Iya, Wenda teman satu meja Abang. Ya, jadi kami memang sangat dekat sejak dulu. Lagian kamu kenapa tanya hal seperti itu sih?""Gapapa, cuma tanya aja gak salah kan Bang?""Enggak sih, kamu cemburu ya?" Bang Habib menuding ku dengan jari telunjuknya, ia menaik turunkan kedua alisnya seolah menggodaku."Apaan sih! Ya nggak lah. Ngapain juga aku cemburu, lagian ya kalau Abang selingkuh lagi aku gapapa kok!" seruku mengedikkan bahu."Yang bener? Entar kamu nangis lagi?""Gak! Aku gak bakalan nangis, hanya saja aku gak mau ketemu Abang lagi, dan anak-anak juga bakalan aku bawa, Abang gak aku kasih ketemu anak-anak seumur hidup Abang!" ancamku membulatkan mata menatapnya tajam."Ihh, seremnya Adek ini! Kalau gitu takut Abang jadinya mau macem-macem," ujar Bang Habib bergidik ngeri."Jadi sebelumnya Abang mau macem-macem gtu?" "Hahaha, gak usah ngegas juga lah Dek. Abang bercanda loh, Abang janji gak akan macem-macem lagi. Cukup Adek seorang aja di hati Abang.""Gombal!" Aku menoel
"Lepas Bang, gak boleh begituan masih hamil muda," pintaku."Kalau gak boleh jadi ngapain Adek bawa itu bajunya. Boleh itu Dek, ayo pelan-pelan aja," goda Bang Habib terus-menerus."Nggak boleh ahh, turunin Sheila Bang!""Gak mau, wekkk! Pokoknya Abang mau bawa Adek ke hotel malam ini, ngomong-ngomong kita belum pernah merasakan seperti itu di hotel. Kira-kira seperti apa ya rasanya, Abang jadi penasaran.""Ihh, Abang mesum!""Mesum sama Istri sendiri kan gapapa sih," ujar Bang Habib memonyong-monyongkan bibirnya hendak menciumku, tetapi aku terus saja mendorong wajahnya dengan telapak tanganku. Tidak lama kemudian, tanpa permisi tiba-tiba saja Wenda datang dan masuk ke dalam ruangan. Kami terhenyak kaget begitupun dengan dirinya yang kaget menyaksikan Kemesraan kami berdua. Spontan saja Bang Habib langsung menurunkan aku dari gendongannya."Maaf aku udah ganggu kalian, kalau begitu aku permisi keluar," ucap Wenda yang berbalik badan hendak pergi keluar."Eh, nggak ganggu kok Wen. Sin
Setelah kejadian malam itu aku tidak bertegur sapa dengan Bang Habib, aku diam dan ia malah semakin mendiami ku. Ada rasa rindu dan ingin menyapanya, tapi keegoisan mengalahkan kerinduan di dalam dada. Kami bicara hanya seperlunya saja, bahkan kini kami bagaikan dua orang asing yang setiap hari bertemu.Beberapa hari berlalu, Hafiz sudah siuman dan keadaannya semakin membaik, walaupun tidak pulih sepenuhnya. Aku sangat bahagia melihatnya kembali membuka mata, tersenyum dan bahkan ia mengoceh seperti biasanya. Masyaallah, aku sangat merindukan momen tersebut. Setelah dua hari Hafiz siuman kami diperbolehkan untuk membawanya pulang, rasanya aku sangat bahagia karena bisa membawa putraku keluar dari rumah sakit yang pasti sangat menyiksanya.Setelah kepulangan Hafiz, aku dan Bang Habib masih saling diam dan hanya bertegur sapa seperlunya. Sudah sangat lama kami seperti ini, tetapi tidak ada satupun dari kami yang mau mengalah untuk meminta maaf dan memperbaiki semuanya. Rasa gengsi terus