"Maaf Wenda, aku tidak bisa menerima perasaanmu. Aku tidak ingin menyakiti istriku, dan kini aku sedang dilanda masalah. Jadi, aku mohon sama kamu jangan membuat masalah baru, kita berteman saja." Aku melepas genggaman tangan Wenda yang begitu erat, seketika mimik wajah Wenda berubah. Matanya berkaca-kaca dan wajahnya memerah, seakan ia sedang menahan tangis."Oke, maaf ya sudah ganggu!" pamitnya yang langsung berlalu pergi. Belum sempat saling bertanya ada keperluan apa dirumah sakit, Wenda malah langsung saja terang-terangan mengungkapkan perasaannya, dan kini malah pergi begitu saja.Kami putus bukan sebab keinginan kami sendiri, dan bahkan tidak ada kata putus dalam hubungan kami. Kesibukan masing-masing mengejar pendidikan lah, yang membuat kami tidak lagi saling berkabar dan lost kontak. Kami berkomitmen untuk saling menunggu sampai sama-sama sukses nanti akan bertemu lagi dan menikah, tetapi sayangnya belum lagi terlaksana janji itu aku sudah di jodohkan oleh kedua orang tuaku.
"Kalau gitu Om permisi masuk dulu. Oh ya, kamu uda ketemu Habib?" tanya Om Arifin menghentikan langkahnya."Sudah tadi didalam Om, kalau boleh tau istri Habib kemana ya Om? Kok tidak kelihatan, hanya Om dan Habib saja yang disini?" "Istrinya Habib sedang sakit dirumah, kalau dia ikut kesini dan tau keadaan anaknya Om takut dia malah semakin drop. Jadi, memang sengaja tidak Om kasih buat ikut, biar di jaga tante dia di rumah.""Oh gitu…""Kalau gitu Om permisi dulu ya Wen," kata Om Arifin melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti."Iya Om, silahkan!"Kini aku sudah mendapat jawabannya, aku malah semakin merasa bersalah dan simpati dengan apa yang terjadi pada istri Habib. Bagaimana bisa aku meminta untuk menjadi madunya, disaat dia mengalami masa-masa sulit seperti ini. Kejam! Sungguh kejamnya diriku ini.Hari yang sangat melelahkan untukku, banyak pelajaran yang dapat aku ambil hari ini. Bahkan perlahan aku mencoba untuk merelakan Habib, karena sekarang aku sudah tau bagaimana kead
"Tante," Aku menyapa Tante Alma dan mencium punggung tangannya."Kamu teman SMA Habib kan? Duh siapa namanya lupa tante," ucap Tante Alma sembari mencoba mengingat-ingat."Wenda Tante," kataku sambil tersenyum tipis."Ahh, iya Wenda. Kamu apa kabar sayang? Uda lama banget gak ketemu, kemana aja?""Gak kemana-mana kok Tante, cuma lagi sibuk sama kerjaan aja.""Duh, wanita karir. Eh, kenalin ini Sheila istrinya Habib. Kamu ingatkan dulu Tante pengen banget punya anak perempuan, sekarang uda kesampaian loh. Kamu aja dulu gak mau Tante angkat jadi adiknya Habib!""Hahaha, tante bisa aja."Akupun langsung menyalami Sheila, ya itu nama dari wanita cantik ini. Wajahnya sangat lembut, senyumannya pun begitu manis. Setelah kami berkenalan, sheila langsung memberondong Habib dengan banyak pertanyaan tentang anak mereka. Tampaknya Habib belum jujur mengenai penyakit yang diderita anak mereka."Bang, Hafiz mana Bang? Dia baik-baik saja kan Bang? Hari ini sudah bisa di bawa pulangkan?" tanya Sheil
"Istighfar sayang," kataku mencoba untuk menenangkannya."Kasian Hafiz Bang, kenapa bukan aku aja yang sakit. Kenapa harus dia yang menderita, aku gak kuat lihat anak kita seperti itu," rintih Sheila terus menerus."Kalau bisa di gantikan Aku lebih rela kalau aku yang sakit Dek, aku jauh lebih menderita jika melihat kalian berdua yang sakit, tapi mau bagaimana lagi ini sudah takdir dari Allah. Kita doakan saja semoga Hafiz lekas sembuh ya." Sheila menganggukkan kepalanya pelan memberi isyarat iya, dan aku pun langsung memeluknya dengan erat.Lima belas menit kemudian Umi, Abi, Aisyah, serta Darwis datang ke Rumah Sakit. Duh, ngapain bocah tengil itu ikut kesini. Pasti ia ingin cari muka pada Sheila lagi, tidak akan aku biarkan! Sheila menceritakan semuanya kepada mereka tentang keadaan Hafiz, yang tentunya membuat mereka syok. Karena selama ini yang mereka ketahui Hafiz sangat sehat, mengapa tiba-tiba menjadi sakit parah begini.Aku pun berdiri di samping Darwis, dengan tatapan tidak
"Bagaimana keadaan Ibuku Wen?" tanyaku pada Wenda yang sedari tadi berjalan mondar-mandir di depan sebuah ruangan."Aku gak dikasih masuk, Dokter belum keluar dari tadi," sahutnya panik menggigit bibir bawahnya. Aku pun menjadi panik dengan kondisi Ibu, apakah mungkin Ibu terkena serangan jantung? Ya, Allah selamatkan Ibu hamba.Tidak lama kemudian Ayah lewat dari depan ruangan tempat Ibu dirawat, beliau sangat heran melihat aku dan juga Wenda ada disana."Kalian kenapa ada disini? Hafiz dipindahkan ruangannya ya?" tanya Ayah tiba-tiba yang membuatku terhenyak. Aku kaget sampai terasa ingin melompat."Eh, Ayah dari mana aja? Kenapa lama sekali?" tanyaku."Maaf, tadi Ayah lama karena beli sarapan buat kita," sahut Ayah sembari menunjukan kantong kresek berisi dua bungkus lontong. "Kalian kenapa disini? Ruangan Hafiz dipindahkan atau gimana?" tanya Ayah lagi.Aku gelagapan ingin menjawab, rasanya tidak tega jika bicara bahwa Ibu yang ada di dalam. Pasti beliau akan syok sekali nantinya.
Plak....Tiba-tiba saja Aisyah melayangkan tamparannya dipipiku, aku terhenyak kaget dan rasanya ini benar-benar sakit sekali."Dasar! Bisa-bisanya anak lagi sakit kamu malah selingkuh disini! Kamu itu seharusnya bersyukur karena Sheila mau rujuk sama kamu, tapi gak seharusnya kamu malah selingkuh lagi dan menganggap remeh Sheila!" bentaknya bersungut-sungut, ia terus saja mengomel tanpa memberi kesempatan aku dan Wenda untuk bicara."Kamu lagi!" Aisyah menunjuk Wenda dengan jari telunjuknya, hingga menoyor kepala Wenda. Sungguh, wanita berjiwa preman Aisyah ini fikirku. "Dia itu uda punya istri tau, jangan mau digoda-godain laki-laki ini! Asal kamu tau ya dia itu laki-laki b*jingan, bahkan dia sudah menikah dua kali dan kini rujuk dengan istrinya. Emang kamu mau jadi korbannya yang ke tiga? Enggak kan? Kamu itu cantik bisa cari laki-laki yang lebih baik, jangan mau jadi perempuan bodoh yang dibodoh-bodohin laki-laki gak tau diri ini!"Jleb…Kata-kata Aisyah sungguh menusuk jantungku
"Sudah, walaupun harus kehilangannya aku ikhlas. Setidaknya Hafiz tidak menderita lagi, dan kami sebagai orang tua sudah mengusahakan yang terbaik untuknya," rintih Sheila menangis terisak-isak, Wenda langsung menarik Sheila dalam pelukannya. Ia terus memberi kata-kata motivasi agar Sheila tidak drop, aku yang merasa heran bagaimana Sheila bisa mengetahui tentang resiko operasi ini. Walaupun begitu, aku tetap lega karena Sheila berpikir hal yang sama denganku. Ia ikhlas jika Hafiz dioperasi apapun itu resikonya, kini aku hanya tinggal memikirkan mengurus administrasinya saja.*****"Apa! Dua ratus lima puluh juta?"Aku terhenyak saat mendengar nominal yang cukup banyak bagiku, uang darimana aku sebanyak itu. Sedangkan gajiku sebulan hanya sepuluh juta rupiah, uang tabunganku juga tidak sampai sebanyak itu. Semuanya sudah habis setelah aku menikah dengan Fanny, uang maharnya saja ia meminta seratus juta, belum lagi selama menjadi istriku ia selalu menghambur-hamburkan uangku. Kini yang
Aku mengendarai sepeda motor dengan. Kecepatan sedang, aku menatap sekeliling kota yang padat akan penduduk. Ternyata rambut sama hitam, tetapi isi hati tidak ada yang tau, banyak orang yang berpura-pura baik demi keuntungan dirinya sendiri, dan mengabaikan penderitaan orang lain. Aku menghela nafas panjang, melajukan sepeda motor tanpa tau kemana arah yang kutuju. Setidaknya aku mencari angin segar, agar isi kepalaku tidak buntu.Setelah puas berkeliling, hari sudah mulai sore dan aku kembali ke rumah sakit. Aku lihat semua keluarga berkumpul disana, bahkan ada Wenda dan juga Risa. Aku tidak mengerti mengapa mereka saling bercengkrama satu sama lain di depan sebuah ruang operasi. Aku bergegas melangkah menghampiri mereka, Sheila pun langsung berlari memelukku. Aku mengintip dari ujung mata, tampak Wenda menatap kami dengan sendu dan sebuah kecemburuan."Ada apa ini sayang?" tanyaku panik saat Sheila menangis sesenggukan."Hafiz sedang dioperasi di dalam Bang," sahutnya."Loh bukannya
Tidak terasa waktu sudah menjelang magrib, setelah selesai makan Bang Habib langsung mencuci piring. Hari ini ia sangat memanjakan aku sampai-sampai mencuci piring saja pun ia yang mengerjakan sendiri, semua ini ia lakukan hanya semata-mata untuk menebus semua kesalahannya tadi.****Keesokan harinya seperti biasa aku ikut dengan Bang Habib saat berangkat kerja, ia akan mengantarkan aku ke rumah sakit untuk menjaga Aisyah. Syukurlah ini hari terakhir Aisyah dirawat, karena keadaannya yang sudah mulai membaik sore ini ia sudah diperbolehkan untuk pulang.“Hati-hati di jalan ya Bang,” kataku sambil mencium punggung tangan Bang Habib.Ia mengelus kepalaku dengan lembut lalu berkata, “adek juga hati-hati ya, jangan genit-genit sama Dokter yang ada disini.”“Siapa maksud Abang? Dokter Revan?”“Ya, pokoknya semua Dokter lah. Gak hanya Dokter saja pokoknya semua laki-laki,” ucapnya menoel hidungku pelan.“Ya ampun, Dokternya juga pilih-pilih. Mana mungkin mau sama Ibu beranak satu,” kataku m
"Tuh lah, rasain! Punya istri cantik, pintar, baik hati, rajin disia-siakan," sindir ku padanya. "Iya lah Abang salah, itu kan masa lalu gak usah dibahas lagi. Jadi sekarang Adek mau makan apa, biar Abang masakin?""Oke, karena Abang yang nantangin. Adek mau makan ayam geprek, sambalnya yang pedes ya Bang. Soalnya anak Abang lagi pengen makan yang pedes-pedes nih," ujarku sambil mengelus perut yang sudah mulai membuncit. "Siap Bos," kata Bang Habib yang ikut mengelus perutku. "Kalau gitu Abang keluar dulu ya, mau beli bahan-bahannya. Adek tunggu di kamar aja nanti kalau uda matang Abang panggil," imbuh Bang Habib mengelus kepalaku dengan lembut. Aku tersenyum tipis sambil menganggukkan kepala, lalu ia mencium keningku dan mencubit pipiku dengan gemas.Bang Habib berlalu pergi keluar kamar, tidak lama kemudian aku mendengar suara deru motornya pergi dan tidak butuh waktu yang lama ia sudah kembali. Awalnya aku susah curiga mengapa ia sangat cepat kembali, karena tukang potong ayam b
POV SHEILA… Rasa trauma masa lalu kini menghantuiku. Seandainya kamu jujur sejak awal Bang, aku tidak mungkin akan sesakit ini. Coba kau ada diposisiku sebentar saja, agar kau tau betapa hancurnya saat kebohongan-kebohongan mu menggerogoti batinku.Aku menyeka air mata yang membasahi pipi, setiap teriakan demi teriakan tidak di hiraukan oleh Bang Habib. Ia tetap kekeh mencengkram kaki-kakiku kuat, enggan memberi cela aku untuk pergi. "Tolong tetap disini Dek, malu sama Umi dan Abi kalau setiap ada masalah kita libatkan mereka. Aisyah sedang sakit, jangan buat tambah beban pikiran orang tua lagi," lirih Bang Habib merayu. Aku menelan saliva dengan susah payah, memang apa yang dikatakannya benar. Akan tetapi, hatiku terasa perih saat melihat wajahnya. Entah mengapa bayang-bayang wajah Wenda membuat aku membenci suamiku sendiri.Aku mulai mengendur dan meredam ego perlahan. Tanpa berkata apa-apa aku berbalik kembali masuk ke dalam kamar, ku hempaskan tas di tangan dan kuletakkan Hafiz
"Aku bawa mobil kok, jadi tidak perlu diantar. Kalau begitu aku pamit pulang ya, assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Wenda pun pergi menghilang masuk kedalam mobilnya, ia menyalakan mesin mobil lalu membuka kaca jendela dan melambaikan tangan pada Hafiz."Mau aku antar," cibir Sheila menyindirku lalu ia kembali masuk ke dalam rumah. Ia duduk di sofa sambil memainkan cream kue dengan sendok, tampaknya ia merasa sangat kesal denganku. Aku datang menghampirinya, lalu duduk tepat di sampingnya. Aku berusaha untuk membujuk Sheila dengan cara menggodanya, tetapi ia tidak peduli dan malah membalikkan tubuhnya membelakangiku. Bahkan ia juga menjauhkan Hafiz dariku, aku tidak dapat menyentuh anakku sendiri. Sontak hal itu membuat aku lepas kendali, emosi yang sejak tadi terpendam kini aku keluarkan semuanya "Kamu ini kenapa sih Dek? Dikit-dikit ngambek, buat suami bosen aja dirumah!" seruku kesal. "Oh jadi Abang bosan dirumah? Jadi, kenapa gak ikut Wenda pergi aja tadi!" sahutnya bersungu
Dia tinggal ngomong sih enak, gak ngerti posisiku seperti apa. Dia juga gak tau bagaimana kebaikan Wenda selama ini pada keluargaku, jadi bisa saja Ridwan bicara seperti itu.Aku menyesap kopi susu dingin yang diberi oleh Ridwan, kini rasanya aku tidak ingin memikirkan masalah apa pun. Otakku sudah terasa buntu memikirkan masalah pekerjaan, dan kini malah di tambah lagi perihal wanita yang tiada habisnya. Aku kembali masuk ke dalam kantor dan kembali bekerja. Niat hati tidak ingin memikirkan hal itu lagi, tetapi tetap saja aku kepikiran. Bagaimana bisa Sheila merencanakan hal seperti itu, kenapa dia bisa berpikir sejauh itu sih. Apa mungkin Risa hanya mengada-ngada saja? Ah Entahlah… Hari mulai menjelang sore, dengan pikiran yang masih berkecamuk aku pulang menunggangi kuda besi kesayanganku. Sepanjang perjalanan aku masih terus saja memikirkan ucapan Risa, bagaimana jika yang ia katakan benar. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana terkoyaknya hati Wenda nantinya. Dulu aku dan Wend
"Abi, silahkan duduk sini. Sheila buatkan teh ya," kata Sheila yang langsung bangkit dan hendak ke dapur. "Tidak usah repot-repot, Abi hanya sebentar kok," tolak Abi menahan Sheila. Sheila pun kembali dan duduk disamping Abi lalu berkata, "ini sebenarnya ada apa Abi?"Abi tersenyum tipis lalu menatapku, aku terus menunduk ketakutan. Jantungku berdetak tidak karuan, keringat dingin terus saja mengalir dari dahi."Jadi gini Shel, Umi kan sedang sakit. Kamu boleh gak jaga Aisyah dari pagi sampai siang saja, setelah itu Darwis yang bakal gantikan. Abi juga harus jaga Umi dirumah," tutur Abi pelan. Aku langsung merasa sangat lega saat mendengar penuturan beliau. Duh, Abi malam-malam sudah buat olahraga jantung saja batinku."Habib izinkan Sheila menjaga Aisyah untuk beberapa hari saja menggantikan Umi?" tanya Abi seraya menatapku. "Eh… Kalau Habib sih mengizinkan Abi, apalagi selama ini Aisyah yang selalu menemani Sheila saat menjaga Hafiz," sahutku sedikit gagu akibat spot jantung baru
"Hust, jangan berisik Bang. Hafiz sedang tidur," ujar Sheila yang sedang berbaring diranjang sambil menyusui Hafiz. Aku mengelus dada lega, karena hampir saja jantungku copot rasanya. Aku berjalan keluar sambil mengendap-ngendap tidak mengeluarkan suara agar Hafiz tidak terbangun, begitu juga dengan Sheila yang ikut melangkah keluar mengekori aku. "Kamu kenapa sih bang teriak-teriak begitu?" tanya Sheila."Aku pikir kamu gak ada dirumah, soalnya gak biasa-biasanya kamu dan Hafiz gak menyambut aku pulang kerja," sahutku sambil memijat pelipis yang terasa berdenyut. "Oh itu tadi Hafiz gak tidur siang asik main aja, jadi jam segini uda minta tidur.""Ntar dia tidur sampai magrib?""Nggak Bang, palingan jam lima nanti uda bangun."Aku hanya menganggukkan kepala pelan, ingin rasanya aku bertanya pada Sheila apakah Darwis ada kesini dan bercerita yang aneh-aneh, tapi aku tidak memiliki keberanian sebesar itu. Saat ingin memulai bicara saja lidahku terasa keluh, bibirku enggan terbuka. "A
Sesampainya di rumah sakit, aku menemukan Mbak Aisyah sendirian di ruangan tempat ia dirawat. Tumben sekali Umi tidak ada, padahal biasanya beliau selalu menemani Mbak Aisyah. "Umi kemana Mbak?" tanyaku tiba-tiba yang membuat Mbak Aisyah terkejut. "Astagfirullah Darwis, kamu ini kebiasaan banget ya buat orang terkejut! Kalau masuk ketuk pintu dulu kek, ngucapin salam kek!" Protes Mbak Aisyah. Sementara aku hanya cengar-cengis sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal. "Ya maaf Mbak, namanya lupa. Hehehehe…""He… He… He… Kebiasaan banget lupa, masih muda kok uda pikun!" cetusnya dengan ekspresi wajah galak. Aku hanya mengerucutkan bibir pura-pura merajuk karena dimarahi olehnya, dan aku pun mengambil posisi duduk disamping ranjang sambil menopangkan dagu menatap Mbak Aisyah."Kenapa kamu liatin aku seperti Itu?" tanya Mbak Aisyah dengan ketus. "Gapapa, Mbak cantik aja hari ini," rayuku sambil mengerlingkan sebelah mata.Bukannya tersipu malu seperti wanita lain saat di goda, Mbak
Keesokan harinya saat dalam perjalanan pulang dari sekolah, mataku melihat pemandangan yang membuat aku terhenyak. Bisa-bisanya Om Habib sedang duduk berdua bersama seorang wanita di sebuah taman kota, hatiku bertanya-tanya siapakah wanita itu, apakah mungkin itu selingkuhan Om Habib? Wilayah ini memang cukup jauh dari rumahnya, jadi ia pasti bisa bebas berselingkuh.Cih, dasar lelaki mata keranjang! Jika memang sudah sifatnya tukang selingkuh pasti tidak akan bisa berubah. Dengan emosi yang membuncah aku menghampiri mereka, dan spontan membogem wajah Om Habib sekuat mungkin. Sakit rasanya melihat wanita yang begitu baik malah di khianati, karena gara-gara lelaki seperti Om Habib lah aku kehilangan Kakakku. "Dasar, laki-laki gak tau diuntung! Bisa-bisanya selingkuh lagi setelah diberi kesempatan kedua!" teriak ku kesal. Wanita itu berteriak-teriak saat melihat aku memukul Om Habib sampai bibirnya berdarah dan tersungkur di tanah. Saat ia hendak menolong Om Habib, dengan cepat aku la