Lia mendengus. Mengapa hari ini tiba-tiba Yoga mengatakan orang tua Lia adalah orang tuanya juga? Bukankah sebelumnya Yoga tidak pernah berkata demikian, bahkan untuk bicara saja kepada orang tua Lia Yoga selalu menolak.Nampak sekali jika ucapan Yoga hanyalah bualan Semata."Cukup katakan saja apa yang ingin kamu tanyain sama aku hari ini, Yoga! Nggak perlu baanyak berte-tela. Sebab aku nggak punya cukup waktu. Aku ingin kerja." ujar Lia terdengar terburu-buru."Tolonglah Lia, kamu nggak usah terburu-buru gini. Aku perlu bicara serius sama kamu. Ada yang harus kita bahas. Semua demi masa depan kita. Masa depan aku, kamu, dan juga Chika anak kita." tutur Yoga."Yoga, sayangnya aku nggak perlu ngebahas apapun terkait masa depan sama kamu. Karena aku udah punya masa depanku sendiri. Kalau kamu pengen bicara soal masa depan, kamu bisa membicarakannya sama Riana. Kamu salah jika ingin pengen obrolin itu sama aku. Masa depan aku bukan di kamu. Begitu juga sama masa depan anak aku." Ucap
Serta merta Yoga mendekat. Tangannya bermaksud untuk memegang kedua lutut lia. Namun dengan tak kalah cepat Lia segera menepis sentuhan tangan dari laki-laki yang sudah terlanjur banyak menyakiti hatinya tersebut.Akhirnya, Yoga memilih untuk duduk dengan bersanggah pada kedua lututnya sendiri."Lia aku minta maaf, sungguh minta maaf yang sebesar-besarnya jika dulu pernah bilang sama kamu kalau jika bukan anakku. Tapi asalkan kamu tahu, semua itu aku katakan tidaklah bersungguh-sungguh. Itu semua tidak terucap dari hati. Percayalah, Lia! Aku sungguh tidak bermaksud seperti itu? Aku tahu bener gimana sakit hati kamu sama aku. Aku maklum kamu benci sama aku karena aku udah nikahin Riana. Tapi aku jujur sama kamu Lia aku nikahin Riana Itu nggak sengaja, bukan maksud dari hati aku buat menikahi wanita kayak gitu. Aku sadar benar kalau kamu jauh lebih baik daripada Riana. Aku nyesel nikahin dia." Yoga menundukkan kepala dengan keadaan bersimpar di hadapan dia."Yoga, aku udah denger dari t
"Tolong jangan bicara kayak gitu Lia! Mengertilah keadaanku sekarang!""Keadaanmu yang bagaimana yang harus aku ggertiin?""Lia, kenapa kamu jadi kayak benci banget sama aku? Apa salahku ini? Apa Kesalahan terbesarku? Katakan padaku biar aku lekas merubahnya. Demi kamu dan Chika, demi Tuhan aku akan berubah. Hmm, aku bolehkan untuk sementara tinggal di sini?" Kembali permohonan yang terlalu tak tahu diri."Kamu masih bertanya apa saja kesalahan yang udah kamu lakuin? Astaga Yoga, kesalahan kamu sendiri aja kamu nggak sadar? Ya Tuhan! Makhluk apa sebenarnya kamu ini.""Ingat, Yoga! Aku sama kamu bukan lagi suami istri. Jadi kamu nggak usah mimpi aku akan ngizinin kamu buat tinggal di sini. Bahkan sehari saja aku nggak akan ngizinin. Kalau kamu pengen ketemu sama Chika dan pengen menunggunya samle pulang, kamu bisa aja kan nyewa hotel ataupun penginapan gitu, itu sih kalau kamu mikirnya bener. Tapi kalau kamu emang bener-bener nggak tahu diri ya jadinya kayak gini, kayak nggak punya ota
"Kamu memalukan, Yoga! Mau sampai kapan kamu pura-pura menangis di depan rumah kami? Apa nggak malu kamu menangis kayak anak kecil di depan rumah orang kayak gini? Nggak malu kamu sama umur?"Yoga tak mengira, Ternyata Lia mendekat bukannya mau memeluk ataupun meminta maaf, Justru untuk melontarkan kata-kata yang cukup menyakitkan. Bahkan lebih menusuk hati daripada sebelumnya. Sekali lagi Yoga harus menuai perasaan malu di hadapan Lia."Lia! Seharusnya kamu nggak berkata kayak gini! Apa kamu nggak ngehargain aku yang baru saja datang dan dengan niat yang amat baik menemui kamu kemari?" Yoga mulai menghapus air matanya yang terasa tak membawa manfaat sedikitpun dalam tujuan yang sebenarnya."Niat yang amat baik? Niat baik yang mana? Terus kamu mau minta di hargain? Ha... Ha... Ha..! Apa harus aku ngehargain kamu? Apa yang harus aku hargai dari kamu? Harusnya kamu itu ya yang menghargai tuan rumah. Bukannya malah lancang. " tandas Lia.Tawa Lia kian menciptakan rasa hina di benak Yoga.
"Kamu bener-bener keras kepala, Lia! Udah berusah payah aku datang kemari dengan niat dan tujuan yang baik, tapi ternyata begini sambutan dari kamu!" Yoga berkata dengan menggenggamkan kelima jarinya. Yoga merasa emosinya mulai naik. Kesalnya karena gagal menarik perhatian Lia dengan jalan memelas. Yoga berpikir, berarti Lia harus dihadapi dengan kekerasan."Tak perlu kau bawa emosi kamu kemari Yoga! Bukankah aku nggak pernah meminta kamu untuk datang kemari? Aku bahkan nggak pernah mengharap kamu datang menemui aku. Maka jika kamu merasa capek datang kemari, maka itu bukan salahku!"Yoga menelan kekecewaan. Yoga gerah dengan emosi yang muncul karena kekecewaannya secara tidak langsung telah merusak rencananya.Namun sekali lagi Yoga berusaha menampik emosinya meski terasa berat."Lia, aku mohon sama kamu. Terimalah aku kembali, Lia! Aku nggak bisa hidup tanpa kamu dan Chika.""Kamu nggak perlu mohon-mohon kayak gini. Bukankah aku bukan wanita yang baik di mata keluarga kalian? Aku m
Aku tidak akan pernah kembali mengulang rumah tangga sama kamu. Kamu dengar? Enggak akan pernah. Sekarang lebih baik kamu pulang dan jangan kembali lagi datang ke sini. Aku dan Chika tak butuh sosok kamu lagi. Bahkan tanpa kamu kehidupan kami jauh lebih baik." imbuh Lia mulai bosan hingga membuatnya bicara lebih kasar daripada sebelumnya."Tega bener kamu, Lia! Ninggalin aku sewaktu keadaan aku terpuruk kayak gini! Aku tahu kamu emang kaya, tapi setidaknya kamu nggak harus berlaku kayak gini juga sama aku. Seburuk-buruknya aku, aku juga pernah jadi suami kamu. Semiskin-miskinnya aku sekarang, tapi aku pernah menafkahi kamu sebagai suami!""Omong kosong kamu, justru ucapan kamu terbalik. Dulu ketika kamu miskin aku bela-belain bantuin kamu. Tapi ketika gaji kamu naik, kamu malah kasih duit cuma-cuma sama perempuan lain dan cuma mikirin ibu sama adik kamu ajah! Bahkan lebih dari itu, aku yang lebih sering menafkahi kalian. Bener-bener gak punya malu kamu ya!""Pokoknya aku nggak tahu,
Yoga membaca pesan itu dengan rasa prihatin pada diri sendiri."Ya Tuhan, apa mungkin Lia emang bener-bener nggak nyimpen perasaan lagi sama aku walaupun sedikit saja?"Yoga melirik ke arah spion mobil. Ia voba memperbaiki rambutnya dengan tangan.Melalui kaca spion mobil, Yoga bisa melihat jika wajahnya yang cukup tampan belum begitu banyak berubah. Wajahnya masih tetap terlihat sama seperti dulu. Hanya saja sedikit kurang terawat. Tapi itu sama sekali tidak mengurangi tampang rupawan yang ia miliki."Mengapa Lia bisa secepat ini melupakan laki-laki setampan diriku? Aduh Lia, Apa nggak rugi kamu ngelepasin laki-laki kayak aku? Seharusnya kamu yang punya tampang pas-pasan gitu bersyukur punya suami yang tampangnya nggak malu-maluin seperti aku ini." pikir Yoga dengan rasa percaya dirinya yang tinggi.Beberapa kali setelah itu, Yoga masih mencoba untuk menghubungi. Namun sepertinya Lia tetap mengabaikan. Akhirnya karena Lia tak kunjung mengiyakan permintaan tolong dari Yoga, bahkan b
Serta merta Yoga mengubah haluan mobil.Yoga sudah tak sabar untuk menggebrak. "Melisa ...!" Yoga berteriak memanggil adiknya yang tengah berjalan bersama pria tua di sampingnya. "Melisaaaa ...!" kali ini teriakan Yoga semakin keras. Sontak teriakan Yoga membuat Melisa menoleh. Sejenak terlihat Melisa mematung. Mata gadis itu seperti tidak percaya. Yoga semakin cepat berjalan setengah berlari mendekati sang adik. "Melisa! Apa yang kamu lakukan di sini, Mel? Ini hari udah malam! Katanya kamu kerja di..." ucapan Yoga terhenti. Yoga menarik tangan Melisa. "Hei! Apa-apaan kamu, nggak usah narik Meluaa kayak gini?" lelaki yang bersama Melisa mencegah aksi Yoga."Sayang, siapa dia ini?" laki-laki paruh baya yang berada di sam
Beberapa tahun kemudian, setelah sekian lama hidup dalam jeruji besi, Bu Lasmi dan Yoga keluar dalam keadaan menanggung kemiskinan.keadaan jauh lebih sulit. Tak ada rumah untuk Bernaung dan tak ada tempat untuk pekerjaan.Sedangkan Melissa, sekarang anak itu harus meringkuk di sudut ruangan sempit di pojok ruang kontrakan. Tak ada lagi yang bisa di harapkan dari gadis itu. Penyakit HIV yang menyerangnya membuatnya tak bisa melakukan apa-apa. Penyakit yang menggerogoti Melissa juga membuat orang-orang menjauh dari mereka. Mereka di kucilkan.Sementara Bu Lasmi yang juga sudah menua dan tulang punggung yang membungkuk juga tak bisa melakukan apa-apa. Keadaan yang benar-benar menyedihkan. Seiring usia tua yang menyongsong hidupnya, telinga Bu Lasmi tak bisa lagi berfungsi dengan baik, begitupun dengan indera penglihatan yang ia miliki. Wanita yang dulu selalu mau menang sendiri tersebut harus menerima takdirnya sebagai wanita tua yang tuli dan hampir buta.Akhirnya dengan segala perti
Sementara itu, di sebuah gedung yang cukup mewah, sebuah pesta pernikahan di adakan. Dengan dekorasi yang menawan dan elegan, pesta perayaan itu terlihat begitu megah.Di deretan parkir, deretan mobil mewah berjejer, menunjukkan bahwa sebagian besar tamu yang hadir di sana bukanlah orang biasa.Benar-benar luar biasa.Yoga yang kebetulan baru saja datang ke kota Jakarta dengan harapan akan mendapatkan pekerjaan lebih baik, untuk pertama kalinya harus puas dengan menyandang tugas sebagai satpam di acara pernikahan tersebut."Mewah banget acara pernikahannya ya." celetuk teman Yoga."Iya bener, baru sekali ini sih aku melihat pesta pernikahan semewah ini. Wajar kalau bayaran kita gede. Ternyata sesuai sih sama kemewahan pestanya." Yoga menimpali."Ya iyalah, mereka bayarin kita gede. Toh kedua mempelainya memang berasal dari keluarga kaya semua, kok. Masa keluarga konglomerat bayarin kita kecil. Tuh liat tamu-tamu mereka! Rata-rata pakai mobil bagus kan. Tamu-tamu Mereka emang orang pen
Lia memegang kepalanya. Lia merasakan kepalanya sedikit pusing. Terasa kurang nyaman. Akhirnya, dengan menggunakan sepeda motornya, Lia memutuskan untuk pulang. Di tengah perjalanan, Lia merasakan pusing di kepalanya semakin menjadi-jadi. “Aduuh! sepertinya aku harus berhenti dulu.” Lia meminggirkan sepeda motornya.Lia memegang kepalanya. Lia bisa merasakan keningnya panas.“Ada apa denganku? Mengapa tubuhku seperti ini?”“Seharusnya aku harus sampai di rumah lebih cepat.” batin Lia.Lia mencoba menstarter kembali sepeda motornya. Namun kepalanya terasa tak bisa diajakdi ajak bekerja sama. Pusingnya malah bertambah-tambah.Dengan kepala yang terasa berputar-putar, Lia meraih ponsel, dan mencoba menghubungi seseorang yang bisa ia hubungi.Dengan pemandangan kabur, Lia menghubungi seseorang di ponselnya.“Halo, Ma. Tolong jemput aku sekarang didepan Keiza Butik, Ma. kepalaku pusing. Aku … aku…” suara Lia terputus. “Bruukh!Wanita itu ambruk.***Samar-samar Lia membuka matanya. ha
Riana tak tahu lagi apa yang telah terjadi. Tubuhnya lemas, batinnya menangis. Semua terasa bagaikan mimpi."Kamu menipuku, Doni!" hardik Riana tiba-tiba merasa jijik dengan pria paruh baya berkepala botak di hadapannya."Maafkan aku Riana. Tapi aku sudah berusaha benar untuk bikin kamu bahagia.""Kalau kamu memang berniat untuk membuat aku bahagia, masalah kayak gini nggak akan pernah terjadi, Doni!" hardik Riana kembali."Kamu benar-benar udah bikin aku kecewa, Doni! Kurang ajar banget!" sembari terisak, Riana melangkah pergi tanpa bisa Doni mencegahnya."Setelah anak ini lahir, kamu harus bertanggung jawab dengan anak dalam perutku Ini Doni!" ucap Riana sebelum benar-benar pergi."Iya Riana. Aku janji aku akan bertanggung jawab! Tapi please tetaplah bersamaku!" "Tidak! Aku akan datang padamu ketika anak ini nanti sudah lahir dan menyerahkannya sama mu!"***Beberapa bulan berlalu, Riana membawa bayinya menuju ke sebuah rumah di mana Doni tinggal. Riana mengetahuinya setelah diberi
"Apa ini Nayla? Apa maksudmu?" Doni bangkit dari duduknya."Kurasa aku tak perlu menjelaskan untuk kedua kalinya sama kamu, Doni! Aku yakin barusan kamu sudah mendengar apa yang aku katakan Doni!" Nayla menyeringai."Tidak! Tidak, Nayla! Kau tidak sungguh-sungguh memecatku sekarang, kan? Kamu tidak bisa melakukan ini Nayla?""Kenapa tidak bisa?" Nayla bertanya balik.Terlihat muka Doni merah padam, tangannya mengepal dan giginya gemerutuk.Sedangkan Riana, masih kebingungan dan tidak mengerti apa maksud Nayla. Ia tidak percaya."Nayla, kau tidak berhak untuk memecat suamiku dari pekerjaannya! Jelas-jelas suamiku adalah seorang manajer disini. Dia punya kekuasaan yang tinggi. Dan dia punya kekuatan yang besar di sini. Lalu apa hakmu melemparkan surat pemecatan begitu saja? Siapa yang menyuruhmu? Sedangkan kamu hanya seorang ibu rumah tangga! Tahu apa kamu soal perusahaan? Ha ... haa..! Kau pikir kau akan mudah untuk memecat suamiku dari sini? Hanya karena kau mendendam sebab suamimu te
Dengan nafas ngos-ngosan, Riana melempar tasnya ke atas ranjang. Pertemuannya dengan Nayla sama sekali tak memuaskan hati."Wanita aneh, didatangi sama selingkuhan suaminya malah anteng aja! Lihat aja kamu Nayla, beneran akan ku bujuk Mas Doni untuk cepat-cepat cerein kamu! Biar tahu rasa kamu nggak bisa apa-apa setelah kehilangan Mas Doni yang selama ini memanjakan ekonomi kamu!" janji Riana dalam hati.***"Mas, mapan Mas akan menceraikan Nayla? Aku udah nggak betah lagi sama dia Mas!" Riana berbicara dengan nada.Mendengar pertanyaan itu, tidak seperti biasa, Doni yang biasanya selalu murung jika ditanya soal perceraiannya dengan Nayla, tapi kali ini Doni terlihat sumringah seperti ada kabar baik yang ia bawa. "Kenapa Mas justru terlihat senang? Nggak kayak biasanya?" Riana heran."Sini dulu, Sayang! kebetulan banget Mas pengen bicara soal ini sama kamu."Keduanya berjalan menuju balkon."Mas bawa kabar apa? Kayaknya beneran emang ada yang istimewa nih." "Sangat istimewa, Sayang
"Kamu bilang gitu karena kamu sedang berusaha kuat di hadapanku, kan?" Riana mencibir."Apakah jika kamu berada di losisiku kamu akan melakukan hal seperti itu, Riana? Kalau begitu, mentalmu tidak cukup kuat. Sudahlah, sekarang tidak ada lagi yang perlu kita bahas, ada baiknya kamu pulang!"Riana merasa terusir."Aku nggak nyangka ya, ternyata kamu ini orangnya cukup sombong, Nayla. Wajar kalau suamimu nggak betah hidup sama kamu dan memutuskan buat mencari istri yang kedua." sinis Riana."Riana, kamu boleh aja membuat berkesimpulan apapun yang kamu suka terhadapku sekarang. Taoi, yang pasti Doni bukannya nggak betah sama aku. Tapi memang kalian berdua yang mempunyai sifat yang sama. Oleh karena itu, emang kulihat kalian berdua cocok untuk menyatu. Dan nanti sekalian akan kubantu untuk menyatukan kalian sepenuhnya. Bagaimana? apa kau puas sekarang?" Nayla menyeringai tajam."Nayla, kalau cuma sekedar untuk menyatu dengan Mas Doni, kurasa aku nggak perlu bantuan dari kamu! Aku bisa saj
"Kulihat kamu agak kaget dengan ucapanku, ada apa?" Nayla bertanya.Riana mendekat dan duduk di kursi tepat di hadapan Nayla."Apa kamu udah kenal sama aku sebelumnya?" tanya Riana."Bagaimana menurut kamu? Apakah aku nampak kenal sama kamu atau enggak?""Kudengar tadi kamu menyebut namaku? Tahu namaku dari mana?" Riana melanjutkan pertanyaannya.Terlihat Nayla tersenyum."Kalau aku tahu sama nama kamu lalu apa salahnya?""Hmm..." Riana mulai berfirasat tak baik."Lalu tadi kudengar juga Kamu nyebut aku sebagai Nyonya Doni. Apa maksudmu?""Ohoo, kamu bertanya soal itu rupanya. Apa kamu nggak ngerasa sebagai Nyonya Doni?"Riana kesal. Bukannya menjawab, malah Nayla selalu saja melontarkan pertanyaan balik.Riana mulai serba salah untuk menjawab pertanyaan tersebut."Sudahlah Riana! kamu nggak usah pusing memikirkan pertanyaanku. Kamu tenang saja, tak perlu takut, setelah ini kau akan bergelar Nyonya Doni secara seutuhnya! Bukankah itu yang kamu mau?"Huuufth!Terasa badan Riana panas d
Dengan langkah percaya diri, Riana berjalan ke sebuah rumah yang cukup megah dan mewah.Perutnya yang membesar tidak menyusutkan rasa percaya diri yang ia miliki. Justru ia merasa patut merasa bangga dengan janin yang ada di rahimnya saat ini.Sejenak Riana mematung, mengagumi rumah di hadapannnya, namun keberadaan seorang satpam yang berjaga bergerak membukakan pintu, membuat Riana tersadar ia harus menjaga sikap untuk tidak boleh terlihat senorak itu."Maaf, Mbak, ada yang bisa saya bantu? Mbak ingin bertemu dengan siapa?""Pak Satpam, Saya ingin bertemu dengan mbak Nayla." jawab Riana."Oh, rupanya Mbak adalah tamunya nyonya besar di rumah ini, ya?"Riana menyeringai sinis mendengar satpam tersebut menyebut Nayla sebagai nyonya besar."Iya, Pak. Saya tamu spesialnya Nayla, istrinya Mas Doni. Benar, kan?"Satpam mengangguk."Baiklah Mbak, kebetulan Nyonya Nayla baru saja pulang dari perusahaan. Biar kuberitahu beliau terlebih dahulu!" jawab sang satpam berlalu setelah sebelumnya ter