Bab 73. Keputusan Sidang Lanjutan
*****
Kuhela napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya dengan perlahan. Tenang, jangan emosi. Di sini sedang ada tamu, usahakan jangan bar-bar. Begitu tekatku.
“Maaf, Bapak-bapak?,” ucapku memulai, sambil tersenyum tentu saja. “Perkenalkan, saya Embun. Saya pemilik rumah ini. Bapak-bapak dari Bank ya?”
“Embun! Gak usah basa basi! Ambil suratnya!” Perempuan itu meradang! Suaminya mencoba menenangkan, sedang Renata hanya duduk mengkerut di pojokan.
“Renata, kamu mahasiswa, bukan? Kenapa kamu enggak bisa menjelaskan pada Ibumu tentang perbuatannya ini? Jangan-jangan kamu juga udah ketularan gak waras, ya?” Kutatap lekat gadis itu. Renata bergeming.
“Embun!” Kembali sang Nenek Lampir berteriak.
“Maaf, Bapak-Bapak. Mereka ini hanya tam
Bab 74. Salahakah Jika Aku Bahagia Menyandang Gelar Janda?*****“Embun! Jangan usir Mama dan Papa dari rumahmu, kumohon!” Mas Ray langsung memeluk kakiku.“Lepasin! Jijik, tau enggak disentuh tangan kotormu itu!” kutepis kasar tangannya.Beberapa petugas datang, memaksanya bangkit, lalu membawanya pergi kembali ke penjara.“Embuun, tolong keluargaku!” pintanya memelas.“Kok, enggak minta tolong pada Ibu Pengacara?” sindirku melirik Sarah.Perempuan itu melengos.“Kak! Kak Embun, Kak Sarah! Mama pingsan!” Renata menghampiri dengan wajah pucat dan napas tersengal.“Tuh, urus calon mertuamu!” ketusku melangkah pergi.“Embuun, itu urusanmu!” teriak Sarah.&ld
Bab 75. Mas Darry Selalu Datang Di Saat Yang Tepat*****“Buk, mereka datang!” Rika mengetuk halus pintu kamar.“Siapa?” tanyaku seraya bangkit dan membuka pintu kamar.“Pasukan Mak Lampir,” jawab Rika ketus.“Bik Las enggak bukain pintu gerbang, kan?” tanyaku langsung menuju teras.“Enggak, makanya Mak lampir teriak-teriak. Tapi, perempuan berwajah petak itu ngancam akan nuntut kami, Buk. Karena menghalang-halangi mereka masuk?”“Apa? Sarah ikut ke sini?”“Ho oh, Buk.”“Bik Anik! Bik Las!” pangggilku. Keduanya segera datang. Sementara mantan keluarga mertuaku berteriak-teriak dari luar pagar. Kulihat Sarah berdiri di samping mobilnya yang terparkir di luar pagar.
Bab 76. Aku Tidak Sakit. Aku Hanya Mau Mas Darry, Embun!*****Kulirik Mas Darry yang hanya membisu, membuang pandangan ke arah lain. Kenapa dia hanya membisu?“Ayo, pulang, Mas!” tangan gadis itu terangkat, lalu menggamit lengan Mas Darry.“Maaf, Diva! Kamu sepertinya kurang sehat. Tanganmu panas. Kamu demam?” tanya Mas Darry terkejut. Tangan kekarnya terangkat, lalu meletakkannya di kening Diva.“Aku sakit, Mas,” lirih gadis langsung memeluk tangan Mas Darry yang terangkat. Diva membawa ke dadanya, meletakkan tangan kekar itu di sana. Di antara belahan dadanya. Lalu mulai menciumi telapak tangan Mas Darry dengan bibirnya yang pucat pias.Lelaki itu tak menolak, atau lebih tepatnya tak sanggup menolak. Tak tega, ya, tak tega. Diva memeluk dan menciumi tangannya penuh kerinduan. Kini mulai basah. Tangan Mas
Bab 77. Kukembalikan Tunanganmu!****“Tapi, dia tak mau, Embun?” lirihnya, air bening bergulir di pipi kurus. Tulang pipi yang terlihat menonjol itu seketika basah air mata. Hati ini teramat terenyuh. Gadis lincah, manja, dan jelita dulu, kini berubah kuyu, lemah tak berdaya. Perih ini lebih sakit tentu saja, dari pada kehilangan Mas Darry. Ya, pasti rasa bersalah ini akan lebih menyiksa.“Aku yang akan memintanya. Pasti dia mau, Diva,” ucapku.Senyum merekah di bibirnya. Kubimbing dia menuju mobil Mas Darry, kududukkan di jok depan.“Terima kasih, Embun. Hatimu begitu mulia,” bisiknya sembari menyenderkan kepala di senderan kursi, mata cekung itu lalu memejam, bibirnya mendesis seolah menahan sakit. Sakit sesuatu yang aku tak tahu apa.Kututup pintu mobil dengan sedikit kencang, agar tertutup sempurn
Bab 78. Lamaran Dokter Danu*****“Baik, Om, Laya enddak minum es yagi.”“Ya, udah, nanti minta vitamin sama Mbak Rika, ya! Mbak Rika tahu kok, obatnya!”“Baik, Om.”“Sekarang Raya, mandi sama Mbak Rika, ya, Sayang! Om Dokter mau pulang, dia sibuk!” ucapku kemudian.Untung Raya mau menurut.“Oom mau puyang, ya? Ya, uddah, Laya mandi duyu, ya, dadah, Om Dokten!”Terpaksa Dokter Danu melepas anakku, lalu bangkit dan berjalan mengikutiku menuju teras. Sengaja aku berjalan menuju teras, sebagai isyarat padanya agar segera pergi dari rumahku.“Maaf, Bu Embun, jujur, saya merasa, kok, sikap Ibu, agak berubah, ya?” tanyanya setelah aku berhenti di teras. Dia berdiri di sampingku.
Bab 79. Diva Membuat Ulah LagiPOV Darry================Pedih ini harus kunikmati. Pedih yang di torehkan oleh kekasih hati, Embun. Karena permintaannya, aku harus berada di sisi gadis manja yang sangat menyebalkan ini sekarang. Karena keputusannya, aku masih harus mengantarkannya pulang. Huh! Sebal sekali rasanya. Aku harus menginjakkan kakiku lagi di rumah mereka, harus bermanis-manis lagi di depan orang tuanya.Kalau di depan Danu, aku tidak sangsi sedikitpun. Apa lagi kini aku tahu, dia menaruh hati pada Embun. Tak perlu bersikap sok sopan padanya, karena dia telah menempatkan dirinya sebagai rival bukan calon kakak ipar.“Mas!” Gadis ini rupanya tidak tidur. Kukira dia memejamkan mata karena tertidur. Kulirik sekilas, enggan unutk menjawab panggilannya. Lebih baik aku fokus ke jalan raya, biar cepat sampai di rumahnya, dan terbebas darinya.&ld
Bab 80. Ancaman Tante RenaPOV Darry“Mama bentak Diva? Mama juga enggak sayang lagi sama Diva, huhuuuuu ….” lirih gadis itu menangis lagi.“Ya, kamu sudah bikin malu Mama! Di mana harga dirimu sebagai seorang perempuan, ha! Ngemis-ngemis pada lelaki! Kau itu perempuan terhormat! Dari keluarga terpandang! Papamu orang hebat! Jangan kau rendahkan harga dirimu hanya demi seorang laki-laki yang tak bisa menghargaimu demi mengejar seorang janda! Demi perempuan murahan itu, dia rela mencampakkan berlian seperti dirimu! Untuk apa kau bertahan! Sadar, Diva!”Aku tercekat. Kalimat yang keluar dari mulutnya teramat merendahkan aku, juga Embun. Embun memang seorang janda, tapi Embunku bukan perempuan murahan. Dan satu lagi, anggapannya bahwa anak gadisnya adalah berlian, itu salah besar. Berlian tak mungkin mau mengejar-ngejar
Bab 81. Bodyguard Untuk Embun*****“Iya, saya butuh tiga orang, tapi, maaf, lho! Ini , gimana , ya, saya ngomongnya?” Sulit bagiku untuk menyampaikan maksud hati, khawatir mereka tersinggung.“Ngomong, aja, Pak! Enggak apa-apa! Kami siap mendengarkan, sebelum kita menandatangani kontrak, kan, lebih baik bicarakansegalanya dengan terbuka. Daripada saling tak enak hati, itu tidak baik, bukan?” sahut Pak Aldo penuh pengertian.“Jadi, begini, Bapak-Bapak. Saya memang butuh pengawalan dari Bapak-bapak, tetapi bukan buat saya, melainkan untuk seorang wanita.”“Oh, tidak masalah, Pak. Apakah untuk mengawal mama Anda? Wanita paruh baya yang menyambut kami tadi?”“Oh, bukan. Mama saya baik-baik saja.”“Llau?”“Ini untuk Embun, em … jujur,