Bab 77. Kukembalikan Tunanganmu!
****
“Tapi, dia tak mau, Embun?” lirihnya, air bening bergulir di pipi kurus. Tulang pipi yang terlihat menonjol itu seketika basah air mata. Hati ini teramat terenyuh. Gadis lincah, manja, dan jelita dulu, kini berubah kuyu, lemah tak berdaya. Perih ini lebih sakit tentu saja, dari pada kehilangan Mas Darry. Ya, pasti rasa bersalah ini akan lebih menyiksa.
“Aku yang akan memintanya. Pasti dia mau, Diva,” ucapku.
Senyum merekah di bibirnya. Kubimbing dia menuju mobil Mas Darry, kududukkan di jok depan.
“Terima kasih, Embun. Hatimu begitu mulia,” bisiknya sembari menyenderkan kepala di senderan kursi, mata cekung itu lalu memejam, bibirnya mendesis seolah menahan sakit. Sakit sesuatu yang aku tak tahu apa.
Kututup pintu mobil dengan sedikit kencang, agar tertutup sempurn
Bab 78. Lamaran Dokter Danu*****“Baik, Om, Laya enddak minum es yagi.”“Ya, udah, nanti minta vitamin sama Mbak Rika, ya! Mbak Rika tahu kok, obatnya!”“Baik, Om.”“Sekarang Raya, mandi sama Mbak Rika, ya, Sayang! Om Dokter mau pulang, dia sibuk!” ucapku kemudian.Untung Raya mau menurut.“Oom mau puyang, ya? Ya, uddah, Laya mandi duyu, ya, dadah, Om Dokten!”Terpaksa Dokter Danu melepas anakku, lalu bangkit dan berjalan mengikutiku menuju teras. Sengaja aku berjalan menuju teras, sebagai isyarat padanya agar segera pergi dari rumahku.“Maaf, Bu Embun, jujur, saya merasa, kok, sikap Ibu, agak berubah, ya?” tanyanya setelah aku berhenti di teras. Dia berdiri di sampingku.
Bab 79. Diva Membuat Ulah LagiPOV Darry================Pedih ini harus kunikmati. Pedih yang di torehkan oleh kekasih hati, Embun. Karena permintaannya, aku harus berada di sisi gadis manja yang sangat menyebalkan ini sekarang. Karena keputusannya, aku masih harus mengantarkannya pulang. Huh! Sebal sekali rasanya. Aku harus menginjakkan kakiku lagi di rumah mereka, harus bermanis-manis lagi di depan orang tuanya.Kalau di depan Danu, aku tidak sangsi sedikitpun. Apa lagi kini aku tahu, dia menaruh hati pada Embun. Tak perlu bersikap sok sopan padanya, karena dia telah menempatkan dirinya sebagai rival bukan calon kakak ipar.“Mas!” Gadis ini rupanya tidak tidur. Kukira dia memejamkan mata karena tertidur. Kulirik sekilas, enggan unutk menjawab panggilannya. Lebih baik aku fokus ke jalan raya, biar cepat sampai di rumahnya, dan terbebas darinya.&ld
Bab 80. Ancaman Tante RenaPOV Darry“Mama bentak Diva? Mama juga enggak sayang lagi sama Diva, huhuuuuu ….” lirih gadis itu menangis lagi.“Ya, kamu sudah bikin malu Mama! Di mana harga dirimu sebagai seorang perempuan, ha! Ngemis-ngemis pada lelaki! Kau itu perempuan terhormat! Dari keluarga terpandang! Papamu orang hebat! Jangan kau rendahkan harga dirimu hanya demi seorang laki-laki yang tak bisa menghargaimu demi mengejar seorang janda! Demi perempuan murahan itu, dia rela mencampakkan berlian seperti dirimu! Untuk apa kau bertahan! Sadar, Diva!”Aku tercekat. Kalimat yang keluar dari mulutnya teramat merendahkan aku, juga Embun. Embun memang seorang janda, tapi Embunku bukan perempuan murahan. Dan satu lagi, anggapannya bahwa anak gadisnya adalah berlian, itu salah besar. Berlian tak mungkin mau mengejar-ngejar
Bab 81. Bodyguard Untuk Embun*****“Iya, saya butuh tiga orang, tapi, maaf, lho! Ini , gimana , ya, saya ngomongnya?” Sulit bagiku untuk menyampaikan maksud hati, khawatir mereka tersinggung.“Ngomong, aja, Pak! Enggak apa-apa! Kami siap mendengarkan, sebelum kita menandatangani kontrak, kan, lebih baik bicarakansegalanya dengan terbuka. Daripada saling tak enak hati, itu tidak baik, bukan?” sahut Pak Aldo penuh pengertian.“Jadi, begini, Bapak-Bapak. Saya memang butuh pengawalan dari Bapak-bapak, tetapi bukan buat saya, melainkan untuk seorang wanita.”“Oh, tidak masalah, Pak. Apakah untuk mengawal mama Anda? Wanita paruh baya yang menyambut kami tadi?”“Oh, bukan. Mama saya baik-baik saja.”“Llau?”“Ini untuk Embun, em … jujur,
Bab 82. Papa Murka“Iya, sih, Ma. Makanya, sakit kepalaku, Ma. Mau pecah rasanya. Tolongin Darry, Ma!”Kubenamkan kepala di pangkuannya. Belaian lembut tangan Mama di kepala ini, terasa sedikit menenangkan hati. Wanita lembut ini adalah sosok yang selalu membuat aku kuat. Pangkuan ini, adalah tempatku menumpahkan segala keluh kesah.Belain tangan Mama di kepala terhenti demi mendengar deru mobil Papa memasuki halaman. Heran dan sedikit was-was, kenapa Papa pulang cepat dari kantor. Apakah dia sakit, atau ada masalah? Tadi pagi masih baik-baik saja. Khawatir, Mama langsung bangkit menyongsong ke teras. Aku menunggu di ruang tamu, di tempat dudukku semula. Andai aku menyongsong pun, pasti tak akan dihiraukan oleh Papa. Hingga detik ini, beliau masih murka karena keputusanku memutuskan pertunangan dengan putri sahabatnya.“Mana anak sialan itu?”&
Bab 83. Kupeluk Raya, Pengganti EmbunkuPOV Darry“Iya, Ini Mama. Aku sedang duduk bersama Mama,” jawabku. Sepertinya Embun melunak saat mendengar suara Mama.“Maaf, kamu enggak speaker suaraku saat marah-marah tadi, kan? Enggak enak di dengar Tante,” lirihnya dengan suara serak. Ada sengau terdengar. Apakah Embun tiba-tiba pilek? Atau dia malah menangis? Kenapa?“Ok, Satpam ini, kamu suruh bekerja di rumahku? Nanti aja kamu jelasin. Aku tutup, ya! Daah!”“Embun! Embuuun, tunggu dulu! Hallo!”“Kenapa dia matikan hapenya, Darry?” tanya Mama keheranan.“Entahlah, Ma. Setelah dia tahu ada Mama di sampingku, dia berubah lembut, lalu terdengar seperti orang menahan tangis, lalu dia malah menutup telponnya.”“Berikan
Bab 84. Mas Leo Sasaran PertamakuPOV Diva============“Mas, minta resep vitamin penambah napsu makan, dong!” pintaku pada Mas Danu pagi itu. Seminggu setelah dia menghadiahi sebuah bogem mentah di pelipis mantan tunanganku, Mas Darry. Sejak itu, lelaki pengecut itu benar-benar telah menghilang. Berkali-kali aku mengawasinya di simpang jalan menuju rumah Embun. Tetapi, sepertinya dia juga tak pernah lagi datang ke rumah perempuan perebut tunangan orang itu.“Dalam rangka apa, nih?” tanya Mas Danu mengernyit. Mama dan Papa ikut menatapku serius.“Mau nambah berat badan. Aku mau cantik lagi seperti dulu,” jawabku dengan nada lemah.“Diva? Kamu serius, Sayang?” Mama bangkit, menghampiriku dengan mata membola.“Iya, mau lupain Mas Darry si pengecu
Bab 85. Kucuri Suami KakakmuAdegan 21 +POV Diva[Siapa bilang Mas Leo itu lelaki biasa? Coba diingat, Mas? Berapa cewek dulu yang sempat ngejar- ngejar Mas Leo? Beruntung banget Kak Dara yang Mas Leo pilih! Kenapalah kita terlambat ketemunya, ya, Mas? Kalau aja --][Kalau aja, apa, Diva?][Kalau aja, kita bertemu sebelum Mas Leo menikahi Kak Dara? Pasti aku punya kesempatan untuk dipilih oleh Mas Leo, iya, kan?][Mas Leo udah tua, Diva! Beda usia kita jauh banget.][Enggak masalah, kali, Mas. Usia itu enggak penting. Paling penting itu rasa. Untuk apa yang masih muda kayak Mas Darry, tapi dia gak suka sama Diva. Tapi, sudahlah. Andai aja aku ketemu cowok seperti Mas Leo, dijadiin istri simpanan pun, pasti aku mau.][Serius?][Serius, dong, Mas. Diva gak bohong.]
Bab 206. Tamat Mas Ray berjalan dengan hati-hati. Kubawa memutar dari halaman samping, agar tak usah masuk ke dalam rumah. Waspada harus tetap kujaga. Meski dia bilang sudah bertobat, namun rasa khawatir belum juga bisa sirna sepenuhnya. “Itu suara celoteh mereka?” lirihnya menghentikan langkah, seolah-olah menajamkan pendengaran. “Ya, Raya sudah enam tahun, Radit empat tahun. Mereka sehat dan cerdas. Ayo, kita lihat!” Kulanjutkan langkah. Mas Ray mengikutiku. “Di sini saja!” perintahku menghentikan langkah. “Itu mereka?” gumamnya menatap ke arah kolam renang. Matanya meredup, tetiba mengembun. Beberapa butir air bening luruh di kedua sudut cekungnya. “Ya, itu Raya dan Radit.” “Raya sudah tidak celat lagi sepertinya kalau berbicara?” “Ya, dia sudah bisa berbicara dengan la
Bab 205. Kunjungan Suami PertamakuTiga tahun kemudian“Ada Pak Ray, Buk!” Bik Anik berjalan tergopoh-gopoh mendatangi aku dan anak-anak di halaman samping.Rika sedang sibuk menyuapi Dava, anak bungsuku dengan bubur bayi. Raya dan Radit tengah berenang. Aku harus membantu Rika mengawasi mereka.Aku dan Rika saling tatap, demi mendengar laporan Bik Anik. ‘Pak Ray’. Nama itu sudah sangat asing terdengar di rumah ini. Anak-anak bahkan tak mengenalnya. Tiga tahun sudah sejak kami sah bercerai, selama tiga tahun itu pula dia tak lagi pernah hadir di dalam perbincangan kami. Raya dan Radit sama sekali tak mengenalnya. Meski dia adalah ayah biologis mereka. Bagi anak-anak, Mas Darry adalah satu-satunya sosok ‘Papa’.“Ibuk, gimana?”Aku tersentak. Bik Anik masih terlihat panik.&nbs
Bab 204. Sambutan Calon Mertua LaylaPOV Embun=====“Kakak yakin mau usaha di kampung aja?” tanyaku sekali lagi meyakinkan Kak Layla.“Yakin, Dek. Kakak gak bisa di kota besar ini. Mau kerja apa Kakak di sini, coba? Di kantor, kakak gak punya ilmu apa-apa, gak ada bakat juga. Bekal pendidikan Kakak juga gak memadai. Suntuk Kakak tinggal di kota besar ini.”“Serius Kakak mau buka ternak di bekas rumah kakak itu? Gak kasihan sama ipar kakak?”“Mantan, dia bukan iparku lagi.”“Trus Kakak mau tinggal di mana, dong? Di bekas rumah juragan Sanusi?”“Tidak, rumah itu terlalu menyakitkan bagi Kakak untuk ditinggali. Banyak kesakitan yang akan selalu melintas di benak. Seperti mengenang luka saja.”“Trus?”“Kala
Bab 203. Akhir Cinta Liza Bermuara BahagiaLelaki itu meraih kunci mobilnya dari saku sambil berjalan. Tanpa menoleh lagi, kakinya melangkah menuju teras, langsung ke halaman, di mana mobilnya terparkir. Kaki ini serasa tertancap, begitu berat untuk digerakkan. Mulut ini terasa kaku, lidah pun kelu, tuk mengucap sekedar sepatah kata, untuk mencegahnya pergi.Benak dipenuhi bimbang. Bagaimana sebenarnya perasanku pada dokter itu. Benarkah rasa pada Mas Ray mengalahkan rasaku untuknya? Hey, berfikirlah Liza! Berfikirlah cepat?Bagaimana bisa seorang durjana, seorang narapidana, bahkan kini mengalami gangguan jiwa, bisa menjadi rival bagi seorang pria seperti Dokter Indra? Di mana logikanya? Dokter Indra yang begitu baik, sopan, serius, tak pernah menyakiti hati meski tak sengaja. Tak pernah, sama sekali tidak pernah.Mungkin sikapku te
Bab 202. Ektrapart Liza (Dillema Berakhir Juga)====Aku tersentak kaget, saat Deo memberitahu tentang kondisi terakhir Mas Ray. Jujur, hati teramat sakit mendengar berita ini. Bagaimana bisa aku sanggup mendengar kabar tentang deritanya? Tidak, aku tidak sanggup sebenarnya. Pria itu kini dirawat di rumah sakit jiwa.Aku memang perempuan bodoh. Berkali disakiti, dikhianati, bahkan di injak-injak harga diri ini. Namun, rasa di hati tak pernah sungguh-sungguh mati. Rasa itu tetap ada, meski tak bersemi lagi. Rasa itu telah memilih tempat yang dia ingini. Di sini, di relung hati ini.Mas Ray adalah cinta pertama bagiku. Untuk pertama kali aku mengenal yang namanya laki-laki, itu adalah Mas Ray. Awalnya terasa begitu indah, cinta tumbuh subur di hati, berurat dan berakar tanpa penghalang, bahkan kami telah merencanakan pernikahan. Hari lamaran pun ditentuka
Bab 201. Mas Ray Terpaksa Di Bawa Ke Rumah Sakit Jiwa“Maaf, Raya dan Radit masih sangat kecil, tak bagus bagi mereka berada di lokasi tahanan itu, saya juga gak mau psikologis Raya terganggu, saat melihat papanya di dalalm kurungan. Maaf sekali, saya tidak bisa mengizinkan.” Itu jawaban Kak Embun. Papa dan Mama hanya bisa pasrah.Mas Ray menemui kami dengan dengan diantar oleh seorang petugas lapas. Sama sekali dia tidak mau menatap wajah kami. Berjalan menunduk, lalu duduk di depan kami, masih dalam keadaan menunduk. Tubuh kurusnya membuat hati miris, begitu besar perubahan penampilan abangku ini.“Ray, kamu sehat, Nak?” Mama memulai pembicaraan.Diam membisu. Tak ada jawaban dari mulutnya. Wajah dengan tulang pipi menonjol itu masih menunduk menekuri lantai.“Kamu mikiri apa, Ray. Masa tahananmu hanya beberapa t
Bab 200. Rencana Lamaran Papa “Saya disuruh nanya Bapak dan Emak, kata Bapak, mau datang.” “Papa mau datang ke rumah Bik Las?” Wanita itu mengangguk. Menunduk malu-malu. “Papa mau ngelamar Bik Las?” cecarku lagi. “Maaf, Buk.” “Kok minta maaf? Saya malah bangga. Saya lega benar, akhirnya kalian sepakat juga.” “Makasih, Buk. Jadi, Buk Embun setuju?” “Sangat setuju.” “ Makasih, kalian memang anak-anak yang baik.” “Kalian? Maksudnya?” tanyaku terperangah. “Anu, Buk Embun dan Buk Layla. Kalian anak-anak yang sangat baik,” jawabnya tersipu. “Kak Layla juga setuju?” “Ho-oh, kemarin ditelpon Bapak.” “Apa kata Kak Layla?” “Kata Buk Layla, di
Bab 199. Embun Hamil?“Raya, Sayang! Om Dokter mau ngobrol sebentar ya! Raya main sana sama Kak Diyah!” bujukku kemudian.“Ya, Mammma. Oom danan puyang duyu, ya! Nanti tita main tuda-tudaan!” pintanya memohon pada Dokter Danu.“Iya, Sayang. Nanti kita main.” Dokter Danu mengelus kepalanya.“Dadah Om Dokten!”Raya beringsut turun dari pangkuan Dokter Danu, lalu berlari kecil menuju ruang tengah, di mana Diyah dan yang lain sedang berkumpul.“Ada apa ini, tumben datang berdua ke sini, ini udah hampir malam, lho?” tanyaku berbasa basi.“Anu, aku … mau minta maaf, kejadian tadi pagi,” jawab Dian terbata-bata.“Oh, gak perlu minta maaf, apalagi pakai acara datang ke sini segala! Tadi aku memang a
Bab 198. Asmara Di Dalam MobilWajah Mas Danu semringah, senyumnya terlihat samar di bawah penerangan lampu mobil yang temaram. Aku bahagia melihat senyum kebahagiannya. Inilah cinta sejati. Kita akan sangat bahagia, saat melihat pasangan kita bahagia.“Kenapa menatapku begitu?”“Oh,” gumamku menunduk. Pasti wajah ini merona, kurasakan ada getaran hangat yang menjalar di kedua pipi.“Sekarang kamu jawab permintaanku tadi! Diva menunggu jawabanmu!” Mas Danu bertanya lagi. Dan aku berdebar lagi. Bahkan kian hebat kini.Momen ini terasa sangat istimewa. Kini aku memahami, mengapa banyak perempuan bilang bahwa saat yang paling mendebarkan itu adalah saat sang kekasih meminta kita menjadi pendampingnya. Bukan hanya sebagai pacar semata. Artinya dia telah benar-benar mantap dengan pili