Bab 70. Calon Mantan Papa Mertua Jadi Satpam Rumahku
*****
Jujur, aku tak pernah merasa kenikmatan seperti yang diberikan oleh Mas Darry saat ini. Meski hanya sentuhan bibir di jemari. Tak lebih, tidak pernah lebih. Tiga tahun menjadi istri Mas Ray, namun aku merasa tak pernah bahagia. Padahal sebagai suami, pria itu telah memberiku kenikmatan yang lebih dari sekedar sentuhan bibir di jemari seperti yang dilakukan oleh Mas Darry.
Kenapa? Kenapa aku merasa begitu mengawang saat Mas Darry menyentuh jemariku? Degup di dada ini, ciptakan elegi yang begitu syahdu. Kenapa? Cinta? Aku masih cinta?
“Aku masih sangat cinta, Embun!” Bibir pria itu berucap lirih. Aku terenyuh.
“Mas Darry! Ayo!”
Kami tersentak. Suara manja itu membuyarkan segala keindahan yang sempat tercipta. Diva telah berdiri tepat di samping tunangannya.
Bab 71. Sidang Pertama Gugatan Cerai*****Aku dan Papa tiba di pengadilan pukul Sembilan kurang seperempat. Langsung menuju ruang sidang, kami berjalan bersisian. Berbagai kata nasihat dia ucapkan sambil berjalan. Om Robert sudah tiba duluan. Pengacara yang disuruh Mas Darry membantunya tidak hadir, karena kuasa hukumku adalah Om Robert. Namun, mereka sudah membantu mempersiapkan segala sesuatunya. Aku tak perlu gentar sedikitpun.Liza dan Dian langsung memelukku. Mereka datang juga rupanya. Serasa batin ini semakin kuat, didampingi oleh orang-orang yang peduli padaku. Mas Darry, bantu aku dengan doamu saja! Karena hadirmu, hanya akan menjadi senjata mereka untuk menjatuhkanku.Keluarga benalu duduk tak jauh dari kami, kulihat mereka senyum- senyum sejak tadi. Mungkin mengira, hari kemenangan mereka sudah tiba. Mas Ray terlihat semringah, didampingi Sarah, sang pengacara
Bab 72. Mertuaku Menggadaikan Rumahku*****Tak terasa satu jam berlalu. Sidang akan segera dilanjutkan. Panitera kembali memberi aba-aba, Hakim ketua membuka sidang secara resmi.Selanjutnya mereka membacakan agenda sidang lanjutan, yaitu pembacaan tuntutan dari pihak Mas Ray.Seperti dugaan kami, Kuasa Hukumnya menuntut hak asuh anak agar diserahkan kepada Mas Ray. Mereka menuduhku gagal secara hukum sebagai pengasuh anak meskipun anakku masih di bawah umur. Aku dituduh selingkuh dan mereka telah menyerahkan bukti perselingkuhanku itu.Tuntutan mereka yang kedua adalah tentang pembagian harta gono-gini. Entah darimana Sarah mendapatkan semua data asset- asset, baik jumlah, letak, maupun nilai nominalnya. Pengacara hebat itu dengan lugas menyebutkan seluruh harta benda yang aku punya. Lalu menuntut agar dibagi tiga. Sepertiga untukku, dan dua pertiga untuk Ma
Bab 73. Keputusan Sidang Lanjutan*****Kuhela napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya dengan perlahan. Tenang, jangan emosi. Di sini sedang ada tamu, usahakan jangan bar-bar. Begitu tekatku.“Maaf, Bapak-bapak?,” ucapku memulai, sambil tersenyum tentu saja. “Perkenalkan, saya Embun. Saya pemilik rumah ini. Bapak-bapak dari Bank ya?”“Embun! Gak usah basa basi! Ambil suratnya!” Perempuan itu meradang! Suaminya mencoba menenangkan, sedang Renata hanya duduk mengkerut di pojokan.“Renata, kamu mahasiswa, bukan? Kenapa kamu enggak bisa menjelaskan pada Ibumu tentang perbuatannya ini? Jangan-jangan kamu juga udah ketularan gak waras, ya?” Kutatap lekat gadis itu. Renata bergeming.“Embun!” Kembali sang Nenek Lampir berteriak.“Maaf, Bapak-Bapak. Mereka ini hanya tam
Bab 74. Salahakah Jika Aku Bahagia Menyandang Gelar Janda?*****“Embun! Jangan usir Mama dan Papa dari rumahmu, kumohon!” Mas Ray langsung memeluk kakiku.“Lepasin! Jijik, tau enggak disentuh tangan kotormu itu!” kutepis kasar tangannya.Beberapa petugas datang, memaksanya bangkit, lalu membawanya pergi kembali ke penjara.“Embuun, tolong keluargaku!” pintanya memelas.“Kok, enggak minta tolong pada Ibu Pengacara?” sindirku melirik Sarah.Perempuan itu melengos.“Kak! Kak Embun, Kak Sarah! Mama pingsan!” Renata menghampiri dengan wajah pucat dan napas tersengal.“Tuh, urus calon mertuamu!” ketusku melangkah pergi.“Embuun, itu urusanmu!” teriak Sarah.&ld
Bab 75. Mas Darry Selalu Datang Di Saat Yang Tepat*****“Buk, mereka datang!” Rika mengetuk halus pintu kamar.“Siapa?” tanyaku seraya bangkit dan membuka pintu kamar.“Pasukan Mak Lampir,” jawab Rika ketus.“Bik Las enggak bukain pintu gerbang, kan?” tanyaku langsung menuju teras.“Enggak, makanya Mak lampir teriak-teriak. Tapi, perempuan berwajah petak itu ngancam akan nuntut kami, Buk. Karena menghalang-halangi mereka masuk?”“Apa? Sarah ikut ke sini?”“Ho oh, Buk.”“Bik Anik! Bik Las!” pangggilku. Keduanya segera datang. Sementara mantan keluarga mertuaku berteriak-teriak dari luar pagar. Kulihat Sarah berdiri di samping mobilnya yang terparkir di luar pagar.
Bab 76. Aku Tidak Sakit. Aku Hanya Mau Mas Darry, Embun!*****Kulirik Mas Darry yang hanya membisu, membuang pandangan ke arah lain. Kenapa dia hanya membisu?“Ayo, pulang, Mas!” tangan gadis itu terangkat, lalu menggamit lengan Mas Darry.“Maaf, Diva! Kamu sepertinya kurang sehat. Tanganmu panas. Kamu demam?” tanya Mas Darry terkejut. Tangan kekarnya terangkat, lalu meletakkannya di kening Diva.“Aku sakit, Mas,” lirih gadis langsung memeluk tangan Mas Darry yang terangkat. Diva membawa ke dadanya, meletakkan tangan kekar itu di sana. Di antara belahan dadanya. Lalu mulai menciumi telapak tangan Mas Darry dengan bibirnya yang pucat pias.Lelaki itu tak menolak, atau lebih tepatnya tak sanggup menolak. Tak tega, ya, tak tega. Diva memeluk dan menciumi tangannya penuh kerinduan. Kini mulai basah. Tangan Mas
Bab 77. Kukembalikan Tunanganmu!****“Tapi, dia tak mau, Embun?” lirihnya, air bening bergulir di pipi kurus. Tulang pipi yang terlihat menonjol itu seketika basah air mata. Hati ini teramat terenyuh. Gadis lincah, manja, dan jelita dulu, kini berubah kuyu, lemah tak berdaya. Perih ini lebih sakit tentu saja, dari pada kehilangan Mas Darry. Ya, pasti rasa bersalah ini akan lebih menyiksa.“Aku yang akan memintanya. Pasti dia mau, Diva,” ucapku.Senyum merekah di bibirnya. Kubimbing dia menuju mobil Mas Darry, kududukkan di jok depan.“Terima kasih, Embun. Hatimu begitu mulia,” bisiknya sembari menyenderkan kepala di senderan kursi, mata cekung itu lalu memejam, bibirnya mendesis seolah menahan sakit. Sakit sesuatu yang aku tak tahu apa.Kututup pintu mobil dengan sedikit kencang, agar tertutup sempurn
Bab 78. Lamaran Dokter Danu*****“Baik, Om, Laya enddak minum es yagi.”“Ya, udah, nanti minta vitamin sama Mbak Rika, ya! Mbak Rika tahu kok, obatnya!”“Baik, Om.”“Sekarang Raya, mandi sama Mbak Rika, ya, Sayang! Om Dokter mau pulang, dia sibuk!” ucapku kemudian.Untung Raya mau menurut.“Oom mau puyang, ya? Ya, uddah, Laya mandi duyu, ya, dadah, Om Dokten!”Terpaksa Dokter Danu melepas anakku, lalu bangkit dan berjalan mengikutiku menuju teras. Sengaja aku berjalan menuju teras, sebagai isyarat padanya agar segera pergi dari rumahku.“Maaf, Bu Embun, jujur, saya merasa, kok, sikap Ibu, agak berubah, ya?” tanyanya setelah aku berhenti di teras. Dia berdiri di sampingku.