Bab 113. Renata Ibarat Porselin Retak
“Hallo, Mbak Renata? Mbak sudah sadar, kan? Saya periksa dulu, ya?” Sesuatu yang terasa dingin menyentuh dada dan beberapa bagian tubuhku. Sepertinya dia adalah dokter yang tadi mereka panggil.
“Hallo, Dokter Danu! Cepat ke ruangan Renata! Dia sudah sadar!”
Sepertinya perempuan tadi menelpon seseorang. Dokter Danu? Dia memanggil Dokter Danu? Siapa lagi itu?
“Mbak Renata? Coba buka matanya sekarang! Pelan-pelan, ya! Ayo!” Suara Dokter itu terdengar membujuk. Aku mencoba patuh. Tetapi sia-sia. Kelopak mata ini masih enggan terbuka.
”Renata! Syukurlah kamu sudah siuman.” Seseorang mengegengam tanganku.
“Bagaimana keadaannya, Dokter Riki?” tanyanya kemudian.
“Tenang Dokter Danu! Pasien baik baik saja. Tikaman itu hanya merobek k
Bab 114. Mas Darry Cemburu“Bagaimana pendapatmu? Kau sudah memikirkannya, bukan?” kutatap matanya dengan serius. Sangat berharap agar dia mau meneriman tawaran Dokter Danu. Itu bagus untuknya, juga untukku tentu saja. Dengan begitu, perseteruan antara Mas Darry dengan Dokter itu, akan teratasi.“Bagaimana, Re?” bujukku lagi.“Maaf, Kak. Aku tidak mau.”Gagal.Renata tetap kekeh tak mau menerima Dokter Danu. Dan aku tak akan memaksa lagi. Artinya, aku harus tetap menjaga sikap pada kedua lelaki itu, agar tak ada yang merasa tersakiti.===“Belum pulang?” Mas Darry menjemputku sore ini. Ya, sudah seharian aku di sini. Meninggalkan jadwal kuliah, meninggalkan Raya dan Radit. Aku harus pulang tentu saja. Tetapi, bagaimana dengan Renata? Siapa yang
Bab 115. Kau Tidak Mau Menjadi Istriku?“Artinya, kamu sudah menerimaku, bukan?” tanyanya memastikan. Mata itu mengerjap, menatap penuh harap.Aku mengangguk, sungguh tak mampu menolak lagi. Tak juga punya alasan untuk menunda lagi. Ya, entah bagaimana aku bisa secepat ini memutuskan. Tidakah ini terlalu cepat? Jujur, aku pun sangat mencintainya. Rasa itu sudah tumbuh sejak lama, sajak aku masih belum menikah dulu. Aneh bukan? Bagaimana bisa rasa ini masih tetap sama, padahal masa itu telah lama berlalu? Bahkan sudah pernah ada Mas Ray yang mempersuntingku, Raya dan Radit terlahir setelah itu.Namun, Posisi Mas Darry di hati ini, tak pernah terganti. Hingga detik ini, rasa yang pernah ada, masih tetap sama. Mas Darry, lelaki pilihan Mama.======Kala itu aku masih duduk di bangku SMA. Mama mengajakku ke rumah salah seorang sahabatny
Bab 116. Aku Sudah Terlalu Lama Menunggggu.*****“Kenapa? Kau tidak mau menjadi istriku?” sorot Mas Darry kembali tajam.Aku bergeming. Untuk menolak permintaanya, aku harus menggunakan kalimat yang paling tepat. Mas Darry teramat mudah tersinggung. Aku takut menyinggung perasaannya lagi dengan penolakan.“Kamu diam, artinya setuju, bukan? Masa iddahmu sudah berakhir, dan kamu sedang tidak hamil, bukan?”“Mas?” sergahku terkejut.“Kenapa? Bukankah itu salah satu gunanya masa iddah? Untuk memastikan si istri hamil atau tidak. Siapa tahu saat jatuh talak, kau masih tidur dengan Ray sehari sebelumnya?”“Gak usah bicara begitu? Aku gak suka, ya, kamu membicarakan hal seperti itu?”“Aku enggak salah, kan, Embun. Jika kamu ham
Bab 117. Lelaki Yang Hampir Membunuhmu Itu Kirim SalamKasihan lelaki ini. Telah kehilanagn Kak Embun, menanggung beban pikiran dan rasa malu karena ulah papanya, kini dia curiga aku akan menghancurkan reputasinya. Sungguh jelek nasipmu, Dokter.Ternyata, kedudukan yang tinggi, pendidikan yang tinggi, dan harta yang berlimpah bukan merupakan jaminan ketenangan dan kebahagiaan seseorang. Jangankan Kak Embun yang begitu elegant, aku saja yang merupakan seonggok sampah busuk, menolak untuk dijadikannya istri.“Justru saya ingin menghapusnya Dokter, berikan pada saya! Saya akan segera menghapusnya!” titahku.“Kalau mmenag kau berbaik hati mau menghapusnya, izinkan saya saja yang melakukannya, Re! Biar saya yang menghapus! Kau setuju?”Mungkin dia memang masih tak percaya padaku. Ini menyangkut r
Bab 118. Panggilan Mama Dari Putri Mas Deo“Kakak kenal dia? Di mana kalian bertemu? Dia sudah keluar pemjara kan?” tanyaku . Entah mengapa ada rasa lega di hati mendnegar tentang mantan suami Kak Sandra itu.“Dia di rumah, di rumah kakak. Putrinya juga tadi mau ikut, lho. Pengen minta maaf, mewakili papanya katanya.”“Di rumah kakak? Putrinya juga Kakak kenal?” Aku mengerjap, semakin penasaran.“Kenal, dong. Kakak, kan, Kakak kandung dia!”Ops!Kenapa, dunia ini terasa begitu sempit? Hidup ini juga terasa amat rumit. Masalah yang aku hadapi, seperti mata rantai yang saling terkait.Ucapan Kak Liza benar-benar mengejutkan. Aku memang sudah mengenal dia sejak dulu. Saat dia masih berhubungan Mas Ray. Dia juga pernah mai
Bab 119. Tangisan Bik Las“Mammmma?” Deandra menatapku sayu.“Iya, Sayang, Mama,” balasku tak tega.“Mamma?” ulangnya mengerjap. Mata kecil itu menatapku seloah tak percaya. Entah apa maksudnya.“Iya, Mama,” sahutku lagi.“Mammma ….” Tiba-tiba tangannya terjulur, berusaha menjangkau tubuhku. Tak bisa. Kini dia mulai memanjat ranjang. Tangisnya pecah memenuhi ruangan, ada apa?“Kenapa dia, Kak?” Mas Deo terlihat bingung.“Bawa keluar saja, Deo! Renata pasti terganggu. Maaf, ya, Re!” Kak Liza menarik tubuh anak kecil itu secara paksa. Tangisnya kian menjadi.Mas Deo memaksa, tangan mungil itu menggapai-gapai ke arahku, seolah memintaku izin dariku. Aku tak tega lagi. Rasa iba menyeruak. Hati dilanda penasar
Bab 120. Zina di Rumahku“Tidak ada apa-apa, lho, Buk. Saya hanya mau pulang aja, males kerja lagi.” Ketusnya tiba-tiba. Sedikit terkejut aku mendengar nada ketus itu, tetapi tak apalah. Setidaknya dia mulai berkata jujur.“Males kerja, pasti ada sebabnya, kan? Gak mungkin tiba-tiba males gitu aja? Cerita, dong! Nanti, kalau memang alasannya tepat, pasti saya izinin Bik Las berhenti kerja. Gaji Bik Las pun pasti utuh saya bayarkan, ditambah pesangon tiga bulan gaji. Mau, kan?” bujukku lagi.“Bukan masalah uang, Buk. Saya mau keluar … a-- ja! Tanpa di bayar gaji saya bulan ini, juga enggak apa-apa. Yang penting saya bisa keluar dari rumah ini, biar gak ketemu lagi sama Bapak!”Ops! Kan, ini masalahnya. Bapak? Ada apa dengan Papa?“Males ketemu Papa? Kenapa, Bik? Papa udah jahatin Bibik atau bagaimana?” tanyak
Bab 121. Kalau Dasar Sampah, Akan Tetap Sampah“Bapak gak pernah membicarakannya dengan Ibuk, kan?”“Mungkin dia segan, nah sekarang, saya udah tahu, kalian akan segera saya nikahkan, Bibik mau, kan? Jadi Bibik pulang kampung untuk itu? Bilang, dong! Atur waktunya, agar kami datang melamar kepada orang tua bIbik, ya?”“Bukan, Buk. Saya pergi, bukan untuk dilamar. Bapak udah punya pacar baru, Buk! Perempuan yang ngancam saya itu.”“Jangan diambil hati, kata Papa, kan? Itu artinya gak benar!”“Saya kira juga begitu, Buk. Jadi, saya paksa Bapak agar penuhi janji nikahin saya.”“Bagus, dong! Saya dukung! Kalian memang haru segera menikah.”“Tapi, Bapak udah gak mau, Buk, huuuuu ….”“Papa engggk mau? Kok