Bab 112. Pisau Itu Menancap Di Perutku
“Buka saja, ya, Sayang!” pintanya dengan mata sayu.
Tak menunggu jawabanku, kain pembungkus dadaku telah terbuka. Lama dia bermain di sana. Kucoba meronta. Namun semakin kumeronta, semakin liar dia mempermainkan kedua daging kenyal itu.
“Kamu sangat mengairahkan, Nona! Jangan meronta lagi! Nikmati saja!” ucapnya dengan napas kian memburu. Jemarinya mulai meraba kulit perutku, lalu turun menyusuri setiap senti tubuhku. Hingga terhenti di bawah pusarku.
“Tolong jangan lagi! Saya gak mau diperkosa lagi, kumohon!” pintaku memelas.
Namun, suaraku hanya bagai angin lalu baginya. Dengan sekali sentak, tangan kekarnya berhasil merobek kain segitiga yang membungkus areal sensitifku. Lalu Dengan gerakan liar tangannya mulai meraba dan bermain di sana. Kurasakan sesuatu yang sudah begitu men
Bab 113. Renata Ibarat Porselin Retak“Hallo, Mbak Renata? Mbak sudah sadar, kan? Saya periksa dulu, ya?” Sesuatu yang terasa dingin menyentuh dada dan beberapa bagian tubuhku. Sepertinya dia adalah dokter yang tadi mereka panggil.“Hallo, Dokter Danu! Cepat ke ruangan Renata! Dia sudah sadar!”Sepertinya perempuan tadi menelpon seseorang. Dokter Danu? Dia memanggil Dokter Danu? Siapa lagi itu?“Mbak Renata? Coba buka matanya sekarang! Pelan-pelan, ya! Ayo!” Suara Dokter itu terdengar membujuk. Aku mencoba patuh. Tetapi sia-sia. Kelopak mata ini masih enggan terbuka.”Renata! Syukurlah kamu sudah siuman.” Seseorang mengegengam tanganku.“Bagaimana keadaannya, Dokter Riki?” tanyanya kemudian.“Tenang Dokter Danu! Pasien baik baik saja. Tikaman itu hanya merobek k
Bab 114. Mas Darry Cemburu“Bagaimana pendapatmu? Kau sudah memikirkannya, bukan?” kutatap matanya dengan serius. Sangat berharap agar dia mau meneriman tawaran Dokter Danu. Itu bagus untuknya, juga untukku tentu saja. Dengan begitu, perseteruan antara Mas Darry dengan Dokter itu, akan teratasi.“Bagaimana, Re?” bujukku lagi.“Maaf, Kak. Aku tidak mau.”Gagal.Renata tetap kekeh tak mau menerima Dokter Danu. Dan aku tak akan memaksa lagi. Artinya, aku harus tetap menjaga sikap pada kedua lelaki itu, agar tak ada yang merasa tersakiti.===“Belum pulang?” Mas Darry menjemputku sore ini. Ya, sudah seharian aku di sini. Meninggalkan jadwal kuliah, meninggalkan Raya dan Radit. Aku harus pulang tentu saja. Tetapi, bagaimana dengan Renata? Siapa yang
Bab 115. Kau Tidak Mau Menjadi Istriku?“Artinya, kamu sudah menerimaku, bukan?” tanyanya memastikan. Mata itu mengerjap, menatap penuh harap.Aku mengangguk, sungguh tak mampu menolak lagi. Tak juga punya alasan untuk menunda lagi. Ya, entah bagaimana aku bisa secepat ini memutuskan. Tidakah ini terlalu cepat? Jujur, aku pun sangat mencintainya. Rasa itu sudah tumbuh sejak lama, sajak aku masih belum menikah dulu. Aneh bukan? Bagaimana bisa rasa ini masih tetap sama, padahal masa itu telah lama berlalu? Bahkan sudah pernah ada Mas Ray yang mempersuntingku, Raya dan Radit terlahir setelah itu.Namun, Posisi Mas Darry di hati ini, tak pernah terganti. Hingga detik ini, rasa yang pernah ada, masih tetap sama. Mas Darry, lelaki pilihan Mama.======Kala itu aku masih duduk di bangku SMA. Mama mengajakku ke rumah salah seorang sahabatny
Bab 116. Aku Sudah Terlalu Lama Menunggggu.*****“Kenapa? Kau tidak mau menjadi istriku?” sorot Mas Darry kembali tajam.Aku bergeming. Untuk menolak permintaanya, aku harus menggunakan kalimat yang paling tepat. Mas Darry teramat mudah tersinggung. Aku takut menyinggung perasaannya lagi dengan penolakan.“Kamu diam, artinya setuju, bukan? Masa iddahmu sudah berakhir, dan kamu sedang tidak hamil, bukan?”“Mas?” sergahku terkejut.“Kenapa? Bukankah itu salah satu gunanya masa iddah? Untuk memastikan si istri hamil atau tidak. Siapa tahu saat jatuh talak, kau masih tidur dengan Ray sehari sebelumnya?”“Gak usah bicara begitu? Aku gak suka, ya, kamu membicarakan hal seperti itu?”“Aku enggak salah, kan, Embun. Jika kamu ham
Bab 117. Lelaki Yang Hampir Membunuhmu Itu Kirim SalamKasihan lelaki ini. Telah kehilanagn Kak Embun, menanggung beban pikiran dan rasa malu karena ulah papanya, kini dia curiga aku akan menghancurkan reputasinya. Sungguh jelek nasipmu, Dokter.Ternyata, kedudukan yang tinggi, pendidikan yang tinggi, dan harta yang berlimpah bukan merupakan jaminan ketenangan dan kebahagiaan seseorang. Jangankan Kak Embun yang begitu elegant, aku saja yang merupakan seonggok sampah busuk, menolak untuk dijadikannya istri.“Justru saya ingin menghapusnya Dokter, berikan pada saya! Saya akan segera menghapusnya!” titahku.“Kalau mmenag kau berbaik hati mau menghapusnya, izinkan saya saja yang melakukannya, Re! Biar saya yang menghapus! Kau setuju?”Mungkin dia memang masih tak percaya padaku. Ini menyangkut r
Bab 118. Panggilan Mama Dari Putri Mas Deo“Kakak kenal dia? Di mana kalian bertemu? Dia sudah keluar pemjara kan?” tanyaku . Entah mengapa ada rasa lega di hati mendnegar tentang mantan suami Kak Sandra itu.“Dia di rumah, di rumah kakak. Putrinya juga tadi mau ikut, lho. Pengen minta maaf, mewakili papanya katanya.”“Di rumah kakak? Putrinya juga Kakak kenal?” Aku mengerjap, semakin penasaran.“Kenal, dong. Kakak, kan, Kakak kandung dia!”Ops!Kenapa, dunia ini terasa begitu sempit? Hidup ini juga terasa amat rumit. Masalah yang aku hadapi, seperti mata rantai yang saling terkait.Ucapan Kak Liza benar-benar mengejutkan. Aku memang sudah mengenal dia sejak dulu. Saat dia masih berhubungan Mas Ray. Dia juga pernah mai
Bab 119. Tangisan Bik Las“Mammmma?” Deandra menatapku sayu.“Iya, Sayang, Mama,” balasku tak tega.“Mamma?” ulangnya mengerjap. Mata kecil itu menatapku seloah tak percaya. Entah apa maksudnya.“Iya, Mama,” sahutku lagi.“Mammma ….” Tiba-tiba tangannya terjulur, berusaha menjangkau tubuhku. Tak bisa. Kini dia mulai memanjat ranjang. Tangisnya pecah memenuhi ruangan, ada apa?“Kenapa dia, Kak?” Mas Deo terlihat bingung.“Bawa keluar saja, Deo! Renata pasti terganggu. Maaf, ya, Re!” Kak Liza menarik tubuh anak kecil itu secara paksa. Tangisnya kian menjadi.Mas Deo memaksa, tangan mungil itu menggapai-gapai ke arahku, seolah memintaku izin dariku. Aku tak tega lagi. Rasa iba menyeruak. Hati dilanda penasar
Bab 120. Zina di Rumahku“Tidak ada apa-apa, lho, Buk. Saya hanya mau pulang aja, males kerja lagi.” Ketusnya tiba-tiba. Sedikit terkejut aku mendengar nada ketus itu, tetapi tak apalah. Setidaknya dia mulai berkata jujur.“Males kerja, pasti ada sebabnya, kan? Gak mungkin tiba-tiba males gitu aja? Cerita, dong! Nanti, kalau memang alasannya tepat, pasti saya izinin Bik Las berhenti kerja. Gaji Bik Las pun pasti utuh saya bayarkan, ditambah pesangon tiga bulan gaji. Mau, kan?” bujukku lagi.“Bukan masalah uang, Buk. Saya mau keluar … a-- ja! Tanpa di bayar gaji saya bulan ini, juga enggak apa-apa. Yang penting saya bisa keluar dari rumah ini, biar gak ketemu lagi sama Bapak!”Ops! Kan, ini masalahnya. Bapak? Ada apa dengan Papa?“Males ketemu Papa? Kenapa, Bik? Papa udah jahatin Bibik atau bagaimana?” tanyak
Bab 206. Tamat Mas Ray berjalan dengan hati-hati. Kubawa memutar dari halaman samping, agar tak usah masuk ke dalam rumah. Waspada harus tetap kujaga. Meski dia bilang sudah bertobat, namun rasa khawatir belum juga bisa sirna sepenuhnya. “Itu suara celoteh mereka?” lirihnya menghentikan langkah, seolah-olah menajamkan pendengaran. “Ya, Raya sudah enam tahun, Radit empat tahun. Mereka sehat dan cerdas. Ayo, kita lihat!” Kulanjutkan langkah. Mas Ray mengikutiku. “Di sini saja!” perintahku menghentikan langkah. “Itu mereka?” gumamnya menatap ke arah kolam renang. Matanya meredup, tetiba mengembun. Beberapa butir air bening luruh di kedua sudut cekungnya. “Ya, itu Raya dan Radit.” “Raya sudah tidak celat lagi sepertinya kalau berbicara?” “Ya, dia sudah bisa berbicara dengan la
Bab 205. Kunjungan Suami PertamakuTiga tahun kemudian“Ada Pak Ray, Buk!” Bik Anik berjalan tergopoh-gopoh mendatangi aku dan anak-anak di halaman samping.Rika sedang sibuk menyuapi Dava, anak bungsuku dengan bubur bayi. Raya dan Radit tengah berenang. Aku harus membantu Rika mengawasi mereka.Aku dan Rika saling tatap, demi mendengar laporan Bik Anik. ‘Pak Ray’. Nama itu sudah sangat asing terdengar di rumah ini. Anak-anak bahkan tak mengenalnya. Tiga tahun sudah sejak kami sah bercerai, selama tiga tahun itu pula dia tak lagi pernah hadir di dalam perbincangan kami. Raya dan Radit sama sekali tak mengenalnya. Meski dia adalah ayah biologis mereka. Bagi anak-anak, Mas Darry adalah satu-satunya sosok ‘Papa’.“Ibuk, gimana?”Aku tersentak. Bik Anik masih terlihat panik.&nbs
Bab 204. Sambutan Calon Mertua LaylaPOV Embun=====“Kakak yakin mau usaha di kampung aja?” tanyaku sekali lagi meyakinkan Kak Layla.“Yakin, Dek. Kakak gak bisa di kota besar ini. Mau kerja apa Kakak di sini, coba? Di kantor, kakak gak punya ilmu apa-apa, gak ada bakat juga. Bekal pendidikan Kakak juga gak memadai. Suntuk Kakak tinggal di kota besar ini.”“Serius Kakak mau buka ternak di bekas rumah kakak itu? Gak kasihan sama ipar kakak?”“Mantan, dia bukan iparku lagi.”“Trus Kakak mau tinggal di mana, dong? Di bekas rumah juragan Sanusi?”“Tidak, rumah itu terlalu menyakitkan bagi Kakak untuk ditinggali. Banyak kesakitan yang akan selalu melintas di benak. Seperti mengenang luka saja.”“Trus?”“Kala
Bab 203. Akhir Cinta Liza Bermuara BahagiaLelaki itu meraih kunci mobilnya dari saku sambil berjalan. Tanpa menoleh lagi, kakinya melangkah menuju teras, langsung ke halaman, di mana mobilnya terparkir. Kaki ini serasa tertancap, begitu berat untuk digerakkan. Mulut ini terasa kaku, lidah pun kelu, tuk mengucap sekedar sepatah kata, untuk mencegahnya pergi.Benak dipenuhi bimbang. Bagaimana sebenarnya perasanku pada dokter itu. Benarkah rasa pada Mas Ray mengalahkan rasaku untuknya? Hey, berfikirlah Liza! Berfikirlah cepat?Bagaimana bisa seorang durjana, seorang narapidana, bahkan kini mengalami gangguan jiwa, bisa menjadi rival bagi seorang pria seperti Dokter Indra? Di mana logikanya? Dokter Indra yang begitu baik, sopan, serius, tak pernah menyakiti hati meski tak sengaja. Tak pernah, sama sekali tidak pernah.Mungkin sikapku te
Bab 202. Ektrapart Liza (Dillema Berakhir Juga)====Aku tersentak kaget, saat Deo memberitahu tentang kondisi terakhir Mas Ray. Jujur, hati teramat sakit mendengar berita ini. Bagaimana bisa aku sanggup mendengar kabar tentang deritanya? Tidak, aku tidak sanggup sebenarnya. Pria itu kini dirawat di rumah sakit jiwa.Aku memang perempuan bodoh. Berkali disakiti, dikhianati, bahkan di injak-injak harga diri ini. Namun, rasa di hati tak pernah sungguh-sungguh mati. Rasa itu tetap ada, meski tak bersemi lagi. Rasa itu telah memilih tempat yang dia ingini. Di sini, di relung hati ini.Mas Ray adalah cinta pertama bagiku. Untuk pertama kali aku mengenal yang namanya laki-laki, itu adalah Mas Ray. Awalnya terasa begitu indah, cinta tumbuh subur di hati, berurat dan berakar tanpa penghalang, bahkan kami telah merencanakan pernikahan. Hari lamaran pun ditentuka
Bab 201. Mas Ray Terpaksa Di Bawa Ke Rumah Sakit Jiwa“Maaf, Raya dan Radit masih sangat kecil, tak bagus bagi mereka berada di lokasi tahanan itu, saya juga gak mau psikologis Raya terganggu, saat melihat papanya di dalalm kurungan. Maaf sekali, saya tidak bisa mengizinkan.” Itu jawaban Kak Embun. Papa dan Mama hanya bisa pasrah.Mas Ray menemui kami dengan dengan diantar oleh seorang petugas lapas. Sama sekali dia tidak mau menatap wajah kami. Berjalan menunduk, lalu duduk di depan kami, masih dalam keadaan menunduk. Tubuh kurusnya membuat hati miris, begitu besar perubahan penampilan abangku ini.“Ray, kamu sehat, Nak?” Mama memulai pembicaraan.Diam membisu. Tak ada jawaban dari mulutnya. Wajah dengan tulang pipi menonjol itu masih menunduk menekuri lantai.“Kamu mikiri apa, Ray. Masa tahananmu hanya beberapa t
Bab 200. Rencana Lamaran Papa “Saya disuruh nanya Bapak dan Emak, kata Bapak, mau datang.” “Papa mau datang ke rumah Bik Las?” Wanita itu mengangguk. Menunduk malu-malu. “Papa mau ngelamar Bik Las?” cecarku lagi. “Maaf, Buk.” “Kok minta maaf? Saya malah bangga. Saya lega benar, akhirnya kalian sepakat juga.” “Makasih, Buk. Jadi, Buk Embun setuju?” “Sangat setuju.” “ Makasih, kalian memang anak-anak yang baik.” “Kalian? Maksudnya?” tanyaku terperangah. “Anu, Buk Embun dan Buk Layla. Kalian anak-anak yang sangat baik,” jawabnya tersipu. “Kak Layla juga setuju?” “Ho-oh, kemarin ditelpon Bapak.” “Apa kata Kak Layla?” “Kata Buk Layla, di
Bab 199. Embun Hamil?“Raya, Sayang! Om Dokter mau ngobrol sebentar ya! Raya main sana sama Kak Diyah!” bujukku kemudian.“Ya, Mammma. Oom danan puyang duyu, ya! Nanti tita main tuda-tudaan!” pintanya memohon pada Dokter Danu.“Iya, Sayang. Nanti kita main.” Dokter Danu mengelus kepalanya.“Dadah Om Dokten!”Raya beringsut turun dari pangkuan Dokter Danu, lalu berlari kecil menuju ruang tengah, di mana Diyah dan yang lain sedang berkumpul.“Ada apa ini, tumben datang berdua ke sini, ini udah hampir malam, lho?” tanyaku berbasa basi.“Anu, aku … mau minta maaf, kejadian tadi pagi,” jawab Dian terbata-bata.“Oh, gak perlu minta maaf, apalagi pakai acara datang ke sini segala! Tadi aku memang a
Bab 198. Asmara Di Dalam MobilWajah Mas Danu semringah, senyumnya terlihat samar di bawah penerangan lampu mobil yang temaram. Aku bahagia melihat senyum kebahagiannya. Inilah cinta sejati. Kita akan sangat bahagia, saat melihat pasangan kita bahagia.“Kenapa menatapku begitu?”“Oh,” gumamku menunduk. Pasti wajah ini merona, kurasakan ada getaran hangat yang menjalar di kedua pipi.“Sekarang kamu jawab permintaanku tadi! Diva menunggu jawabanmu!” Mas Danu bertanya lagi. Dan aku berdebar lagi. Bahkan kian hebat kini.Momen ini terasa sangat istimewa. Kini aku memahami, mengapa banyak perempuan bilang bahwa saat yang paling mendebarkan itu adalah saat sang kekasih meminta kita menjadi pendampingnya. Bukan hanya sebagai pacar semata. Artinya dia telah benar-benar mantap dengan pili