Bab 104. Tiga, Empat Pria Dalam Satu Malam, Kamu Sanggup Enggak?
“Lima ratus juta untuk satu foto?”
“Kalau mau, kalau enggak juga enggak apa-apa. Aku matiin nih, telponnya!”
“Renata-renata, tunggu! Kau bercanda, kan? Lima ratus juta kali sepuluh itu lima M, Sayang?”
“Iya, itupun hanya berlaku untuk beberapa bulan saja.”
“Apa maksudmu, Re?”
“ Iya, kalau misal mood saya lagi enggak bagus, bisa aja saya sebarkan lagi.”
“Jangan macam-macam! Renata! Aku juga bisa berbuat sesuatu padamu!”
“Anda mengancam saya? Boleh! Saya udah hampir sampai, saya matikan, ya!”
“Tunggu! Kau sepertinya mau main-main dengan saya!”
“Terserah penilaian Anda Tuan Bajing
Bab 105. Dokter Tampan itu, Dokter Bukan, sih?Kulirik jam dinding di kamar. Setengah delapan pagi. Ternyata aku terlambat bangun, mungkin masih kelehan, setelah semua peristiwa yang kualami kemarin.Ponsel tetap menyala, sepertinya memang ada masalah genting. Masalah yang kutimbulkan, tentu saja. Ragu, kuberanikan diri menerima panggilan itu.“Hallo, Kak Embun, maaf, baru bangun,” ucapku begitu mengusap layar ponsel.“Oh, maaf mengganggu tidurmu, begini, kamu bisa menemui Kakak sekarang?” Suara lembut itu seperti besi panas yang menghujam gendang telinga. Ketakutan kian mencekik.“Kakak tunggu di rumah, segera, ya!”“Baik, Kak.”Tak berani menolak, segera berkemas, aku harus memenuhi perintahnya. Sepertinya masalah baru mulai menampakkan wujud
Bab 106. Pembunuh BayaranPintu gerbang pun terbuka lebar. Dokter Danu melajukan mobilnya memasuki halaman, dan memarkirkannya tepat di port car yang tersedia.“Renata! Ibuk udah nungguin kamu, tuh!” Bik Las Yang membuka pintu utama. Dia terlihat manis sekali sekarang. Eh, di lehernya menggelantung sebuah kalung cantik. Leher jenjangnya terlihat makin indah dengan kerlip permata kalung itu.“Dokter juga datang? Anak-anak sehat, kok,” ucapnya menyambut Dokter Danu yang menyusul di belakangku.“Udah janji dengan Bu Embun, Bik!” jawab Dokter Danu ramah.“Oh, masuklah kalau begitu!”Bersisian, aku dan Dokter Danu masuk menuju ruang tengah. Kak Embun menunggu kami di sana. Radit yang masih di dalam gendongannya, segera diambil alih oleh Rika, begitu kami muncul. Raya terlihat berlari men
Bab 107. Siapa Yang Yang Telah Menodai Mbak?Bayangan pemuda berwajah klimis yang mengikutiku tadi, melintas seketika. Diakah orangnya? Pemuda yang berpakaian rapi itu? Bukankah penampilannya sedikitpun tak menunjukkan kalau dia adalah seorang pencabut nyawa bayaran? Itukah alasannya mengikutiku sampai depan komplek perumahan elite ini? Jangan-jangan dia masih menungguku di depan. Ya, Tuhan, nyawaku benar-benar terancam. Papa, Mama, aku takut. Mas Ray! Lihat nasip adikmu ini, Mas!“Mbak? Anda kenal Papa saya?” tanya Dokter Danu mulai tak sabar. Tatapan penuh curiga serasa menguliti jiwa. Ketakutan semakin mendera. Aku harus mengakhirinya, terserah bagaimana tanggapan mereka nantinya.“Ok, aku akan jujur sekarang. Terserah kalian akan menilaiku seperti apa. Aku akan terima. Kak Embun, Dokter Danu, sesunggguhnya semua masalah ini berawal da
Bab 108. Bunuh Diri, Aku Takut.“Dokter sungguh-sungguh?” Kak Embun yang datang menyusul kami, menatap Dokter Danu dengan tatapan takjub.“Ya, aku sungguh-sungguh, Bu Embun. Aku tidak akan bisa tenang, setelah Papa menghancur Renata seperti ini! Sekarang bukan hanya kesuciannya, Papa bahkan mengincar nyawanya! Aku akan melindungi Renata. Kupastikan, sekarang ini, akulah musuh Papa yang sesungguhnya!”“Bohong! Aku tidak percaya! Kalian semua sama saja! Kalian orang-orang kaya hanya pandai berkata-kata! Kalian pembohong!”Aku berteriak, Sedikitpun aku tak bisa mempercayai ucapannya. Mana mungkin seorang Dokter tampan, terkenal seperti dia, mau menikahi seorang perempuan yang telah menjadi sampah seperti aku. Setelah papanya mengunyah habis manisnya, lalu dibuang secara hina. Kini sang putra mau memungut sampah itu? Mau menikahi segala? M
Bab 109. Mas Darry Vs Dokter Danu“Oh, iya, Renata udah jelasin, kenapa Om Herman ngejar dia?” tanya Mas Darry menoleh kepada Dokter Danu.“Kamu sebetulnya dapat info darimana, kalau papaku menyewa pembunuh bayaran, ha!”Mulai lagi, deh. Mas Dary dan Dokter Danu berperang. Duh, situasi sedang gawat gini juga.“Jangan nuduh sembarangan, kalau enggak ada bukti!” ketus Dokter itu lagi.“Maaf, Dokter! Saya tidak menuduh smebarangan. Memang bukti saya tidak punya, tetapi info yang saya terima, dari sumber yang bisa dipercaya!” balas Mas Darry tak kalah ketus.“Apa sumbernya! Bisa kamu tunjukkan?”“Nanti, kita bareng-bareng aja nanya sama Edo!”“Siapa Edo?” teriak Dokter Danu kasar.“Satpam di rumah Embun tadi, kaw
Bab 110. Tolong Bunuh Saya!“Mbak mau ke mana?” tanyanya sesaat setelah kami berada jauh dari komplek itu.“Terserah!” sahutku pasrah.“Lho, kok terserah?”“Iya, terserah! Aku gak tak mau ke mana! Bawa saja aku ke mana pun yang Anda mau!”Lelaki itu terbatuk. Mungin kaget, tak menyangka semudah dia menuntaskan kewajibannya. Entah berapa Om Herman akan membayarnya, yang jelas bayangan kesuksesan dan segepok uang telah memenuhi otaknya.“Mbak sepertinya sedang ada masalah, ya? Kita ke tempat saya saja, ya! Kita bisa ngobrol, siapa tahu beban pikirannya bisa hilang?”“Boleh.”“Pegang yang kencang, ya!”Diraihnya tanganku, meletakkan di pinggangnya. Laju motor semakin kencang, kurapatkan&n
Bab 111. Pinjam Sebentar Tubuhmu#Adegan21+“Kau?” Lelaki itu tercekat. Perlahan cengkramannya mengendur.“Tolong bunuh saya! Saya mohon!” pintaku memelas.“Ya, saya sebenarnya mau bunuh diri, saya ingin mati saja! Saya ingin mengakhiri semuanya. Untuk apa saya hidup lagi kalau sudah tak bermahkota! Percuma saja meskipun saya balas dendam. Orang kaya punya uang untuk mewujudkan impiannya, mereka pun punya uang untuk melenyapkan penghalangnya, seperti tugas yang dia berikan pada Anda. Tolong saya, tolong bunuh saja saya, sekarang juga! Setidaknya, kematian saya bermanfaat untuk hidup Anda, tolong lakukan sekarang! Tolong! Bantu saya mengakhiri ini semua!”“Tidak! Tidak! Tidaaaaak!”Aku tersentak. Lelaki itu berteriak sambil menutup kedua telinga.“Kenapa?
Bab 112. Pisau Itu Menancap Di Perutku“Buka saja, ya, Sayang!” pintanya dengan mata sayu.Tak menunggu jawabanku, kain pembungkus dadaku telah terbuka. Lama dia bermain di sana. Kucoba meronta. Namun semakin kumeronta, semakin liar dia mempermainkan kedua daging kenyal itu.“Kamu sangat mengairahkan, Nona! Jangan meronta lagi! Nikmati saja!” ucapnya dengan napas kian memburu. Jemarinya mulai meraba kulit perutku, lalu turun menyusuri setiap senti tubuhku. Hingga terhenti di bawah pusarku.“Tolong jangan lagi! Saya gak mau diperkosa lagi, kumohon!” pintaku memelas.Namun, suaraku hanya bagai angin lalu baginya. Dengan sekali sentak, tangan kekarnya berhasil merobek kain segitiga yang membungkus areal sensitifku. Lalu Dengan gerakan liar tangannya mulai meraba dan bermain di sana. Kurasakan sesuatu yang sudah begitu men
Bab 206. Tamat Mas Ray berjalan dengan hati-hati. Kubawa memutar dari halaman samping, agar tak usah masuk ke dalam rumah. Waspada harus tetap kujaga. Meski dia bilang sudah bertobat, namun rasa khawatir belum juga bisa sirna sepenuhnya. “Itu suara celoteh mereka?” lirihnya menghentikan langkah, seolah-olah menajamkan pendengaran. “Ya, Raya sudah enam tahun, Radit empat tahun. Mereka sehat dan cerdas. Ayo, kita lihat!” Kulanjutkan langkah. Mas Ray mengikutiku. “Di sini saja!” perintahku menghentikan langkah. “Itu mereka?” gumamnya menatap ke arah kolam renang. Matanya meredup, tetiba mengembun. Beberapa butir air bening luruh di kedua sudut cekungnya. “Ya, itu Raya dan Radit.” “Raya sudah tidak celat lagi sepertinya kalau berbicara?” “Ya, dia sudah bisa berbicara dengan la
Bab 205. Kunjungan Suami PertamakuTiga tahun kemudian“Ada Pak Ray, Buk!” Bik Anik berjalan tergopoh-gopoh mendatangi aku dan anak-anak di halaman samping.Rika sedang sibuk menyuapi Dava, anak bungsuku dengan bubur bayi. Raya dan Radit tengah berenang. Aku harus membantu Rika mengawasi mereka.Aku dan Rika saling tatap, demi mendengar laporan Bik Anik. ‘Pak Ray’. Nama itu sudah sangat asing terdengar di rumah ini. Anak-anak bahkan tak mengenalnya. Tiga tahun sudah sejak kami sah bercerai, selama tiga tahun itu pula dia tak lagi pernah hadir di dalam perbincangan kami. Raya dan Radit sama sekali tak mengenalnya. Meski dia adalah ayah biologis mereka. Bagi anak-anak, Mas Darry adalah satu-satunya sosok ‘Papa’.“Ibuk, gimana?”Aku tersentak. Bik Anik masih terlihat panik.&nbs
Bab 204. Sambutan Calon Mertua LaylaPOV Embun=====“Kakak yakin mau usaha di kampung aja?” tanyaku sekali lagi meyakinkan Kak Layla.“Yakin, Dek. Kakak gak bisa di kota besar ini. Mau kerja apa Kakak di sini, coba? Di kantor, kakak gak punya ilmu apa-apa, gak ada bakat juga. Bekal pendidikan Kakak juga gak memadai. Suntuk Kakak tinggal di kota besar ini.”“Serius Kakak mau buka ternak di bekas rumah kakak itu? Gak kasihan sama ipar kakak?”“Mantan, dia bukan iparku lagi.”“Trus Kakak mau tinggal di mana, dong? Di bekas rumah juragan Sanusi?”“Tidak, rumah itu terlalu menyakitkan bagi Kakak untuk ditinggali. Banyak kesakitan yang akan selalu melintas di benak. Seperti mengenang luka saja.”“Trus?”“Kala
Bab 203. Akhir Cinta Liza Bermuara BahagiaLelaki itu meraih kunci mobilnya dari saku sambil berjalan. Tanpa menoleh lagi, kakinya melangkah menuju teras, langsung ke halaman, di mana mobilnya terparkir. Kaki ini serasa tertancap, begitu berat untuk digerakkan. Mulut ini terasa kaku, lidah pun kelu, tuk mengucap sekedar sepatah kata, untuk mencegahnya pergi.Benak dipenuhi bimbang. Bagaimana sebenarnya perasanku pada dokter itu. Benarkah rasa pada Mas Ray mengalahkan rasaku untuknya? Hey, berfikirlah Liza! Berfikirlah cepat?Bagaimana bisa seorang durjana, seorang narapidana, bahkan kini mengalami gangguan jiwa, bisa menjadi rival bagi seorang pria seperti Dokter Indra? Di mana logikanya? Dokter Indra yang begitu baik, sopan, serius, tak pernah menyakiti hati meski tak sengaja. Tak pernah, sama sekali tidak pernah.Mungkin sikapku te
Bab 202. Ektrapart Liza (Dillema Berakhir Juga)====Aku tersentak kaget, saat Deo memberitahu tentang kondisi terakhir Mas Ray. Jujur, hati teramat sakit mendengar berita ini. Bagaimana bisa aku sanggup mendengar kabar tentang deritanya? Tidak, aku tidak sanggup sebenarnya. Pria itu kini dirawat di rumah sakit jiwa.Aku memang perempuan bodoh. Berkali disakiti, dikhianati, bahkan di injak-injak harga diri ini. Namun, rasa di hati tak pernah sungguh-sungguh mati. Rasa itu tetap ada, meski tak bersemi lagi. Rasa itu telah memilih tempat yang dia ingini. Di sini, di relung hati ini.Mas Ray adalah cinta pertama bagiku. Untuk pertama kali aku mengenal yang namanya laki-laki, itu adalah Mas Ray. Awalnya terasa begitu indah, cinta tumbuh subur di hati, berurat dan berakar tanpa penghalang, bahkan kami telah merencanakan pernikahan. Hari lamaran pun ditentuka
Bab 201. Mas Ray Terpaksa Di Bawa Ke Rumah Sakit Jiwa“Maaf, Raya dan Radit masih sangat kecil, tak bagus bagi mereka berada di lokasi tahanan itu, saya juga gak mau psikologis Raya terganggu, saat melihat papanya di dalalm kurungan. Maaf sekali, saya tidak bisa mengizinkan.” Itu jawaban Kak Embun. Papa dan Mama hanya bisa pasrah.Mas Ray menemui kami dengan dengan diantar oleh seorang petugas lapas. Sama sekali dia tidak mau menatap wajah kami. Berjalan menunduk, lalu duduk di depan kami, masih dalam keadaan menunduk. Tubuh kurusnya membuat hati miris, begitu besar perubahan penampilan abangku ini.“Ray, kamu sehat, Nak?” Mama memulai pembicaraan.Diam membisu. Tak ada jawaban dari mulutnya. Wajah dengan tulang pipi menonjol itu masih menunduk menekuri lantai.“Kamu mikiri apa, Ray. Masa tahananmu hanya beberapa t
Bab 200. Rencana Lamaran Papa “Saya disuruh nanya Bapak dan Emak, kata Bapak, mau datang.” “Papa mau datang ke rumah Bik Las?” Wanita itu mengangguk. Menunduk malu-malu. “Papa mau ngelamar Bik Las?” cecarku lagi. “Maaf, Buk.” “Kok minta maaf? Saya malah bangga. Saya lega benar, akhirnya kalian sepakat juga.” “Makasih, Buk. Jadi, Buk Embun setuju?” “Sangat setuju.” “ Makasih, kalian memang anak-anak yang baik.” “Kalian? Maksudnya?” tanyaku terperangah. “Anu, Buk Embun dan Buk Layla. Kalian anak-anak yang sangat baik,” jawabnya tersipu. “Kak Layla juga setuju?” “Ho-oh, kemarin ditelpon Bapak.” “Apa kata Kak Layla?” “Kata Buk Layla, di
Bab 199. Embun Hamil?“Raya, Sayang! Om Dokter mau ngobrol sebentar ya! Raya main sana sama Kak Diyah!” bujukku kemudian.“Ya, Mammma. Oom danan puyang duyu, ya! Nanti tita main tuda-tudaan!” pintanya memohon pada Dokter Danu.“Iya, Sayang. Nanti kita main.” Dokter Danu mengelus kepalanya.“Dadah Om Dokten!”Raya beringsut turun dari pangkuan Dokter Danu, lalu berlari kecil menuju ruang tengah, di mana Diyah dan yang lain sedang berkumpul.“Ada apa ini, tumben datang berdua ke sini, ini udah hampir malam, lho?” tanyaku berbasa basi.“Anu, aku … mau minta maaf, kejadian tadi pagi,” jawab Dian terbata-bata.“Oh, gak perlu minta maaf, apalagi pakai acara datang ke sini segala! Tadi aku memang a
Bab 198. Asmara Di Dalam MobilWajah Mas Danu semringah, senyumnya terlihat samar di bawah penerangan lampu mobil yang temaram. Aku bahagia melihat senyum kebahagiannya. Inilah cinta sejati. Kita akan sangat bahagia, saat melihat pasangan kita bahagia.“Kenapa menatapku begitu?”“Oh,” gumamku menunduk. Pasti wajah ini merona, kurasakan ada getaran hangat yang menjalar di kedua pipi.“Sekarang kamu jawab permintaanku tadi! Diva menunggu jawabanmu!” Mas Danu bertanya lagi. Dan aku berdebar lagi. Bahkan kian hebat kini.Momen ini terasa sangat istimewa. Kini aku memahami, mengapa banyak perempuan bilang bahwa saat yang paling mendebarkan itu adalah saat sang kekasih meminta kita menjadi pendampingnya. Bukan hanya sebagai pacar semata. Artinya dia telah benar-benar mantap dengan pili