"Dengar ya, Delima. Seharusnya kamu itu berterima kasih sama Mbak. Tinggal tidur sama Mas Raka aja apa susahnya. Mbak jamin hidup kamu dan keluarga kamu bakal enak.""Mbak sudah tidak waras. Sebaiknya Mbak pergi ke psikiater. Biar Mas Raka balik mencintai wanita normal seperti dulu." Aku pergi meninggalkannya dengan kesal.Kulihat suasana tegang masih terasa meski kini mereka sedang duduk dan berkumpul. Aku bergegas mendekati Bue dan menarik tangannya."Bue, kita langsung ke rumah Mama aja, ya. Boleh kan, Ma?" Aku menatap Mama."Iya, Delima. Mama juga mau pulang." Mama ikut bangkit dan berdiri."Lho, kenapa, Dek? Bue kan baru aja sampai. Masih capek. Lagian kenapa harus ke rumah Mama?" Mas Raka ikut menimpali."Iya, Nduk. Wong Bue mau nginep di rumah kamu kok." Bue ikut heran."Delima nggak tinggal di sini lagi, Bue. Delima....""Delima selingkuh dari Mas Raka, Buk." Mbak Silvi tiba-tiba muncul.Mataku membelalak kaget. Bue kemudian menatap wajahku. "Ibuk nggak tau kan kelakuan anak
"Menikah, Ma? Secepat ini?" Aku terkejut mendengar usulan Mama. "Iya, Delima. Biar kamu ada yang melindungi juga. Raka itu orangnya jarang-jarang jatuh cinta. Tapi kalau sudah seperti itu, apa pun akan dia lakukan. Bahkan demi Silvi dia rela membatalkan pertunangannya.""Jadi, maksud Mama, Mas Raka masih akan berusaha untuk kembali sama Delima?""Kita mana tau. Apa lagi kamu bilang dia akan menceraikan Silvi. Itu berarti kesalahan Silvi sudah fatal. Mama kenal betul sifat Raka.""Tapi, Ma?""Besok kita bicarakan masalah ini lagi, Delima."*Siang ini Mas Deni datang ke rumah Mama. Kalau biasanya dia hanya berbusana santai, kali ini dia tampak rapi sekali. Rambut lurusnya pun diberi gel agar tertata rapi. Tidak dibiarkan terurai begitu saja. Wangi parfum juga menyeruak seperti hendak bepergian.Aku menarik senyum di sudut bibir. Semakin kagum pada dirinya. Kami berkumpul di ruang keluarga saling berhadap-hadapan. Mas Deni duduk dengan begitu berwibawa di samping Mama."Apa ini tidak t
Sudah beberapa hari setelah kepulangan Bue. Akhirnya Bue setuju aku tetap tinggal di sini. Bue nantinya akan bicara pelan-pelan pada beberapa kerabat di sana. Jujur, keluarga Almarhum Bapak pun tak begitu dekat dengan keluarga kami. Selalu bersikap tak acuh atas kesusahan yang kami alami. Jangankan membantu sekolah Sidik, saat Bue sakit pun mereka tak begitu peduli.Hal inilah yang membuatku tak punya pilihan selain menerima tawaran Mbak Silvi waktu itu. Sedang Mbak Silvilah satu-satunya jalan agar Bue bisa dioperasi dan bisa sehat sampai detik ini.Syukurlah Mama dan Mas Deni tidak marah padaku soal keputusan Bue. Dan pada akhirnya aku tetap harus menjalani kehidupan seperti biasanya lagi sampai sidang perceraianku selesai.Hari ini Mama pergi mengunjungi Lara ke rumah besannya. Sementara, Mas Deni pergi ke beberapa toko untuk memeriksa laporan. Bik Inah sepertinya sedang menyetrika pakaian.Dari pada suntuk tidak ada kegiatan, aku lebih memilih mencabuti rumput di halaman. Selang b
Mas Raka menyeret kopernya melewatiku begitu saja. Aku yang masih terperangah melihat kelakuannya, segera menyusul."Sebentar, Mas. Delima keluarin baju-baju Delima dulu, ya. Cuman sedikit kok." Aku mencegatnya saat hendak naik ke anak tangga."Ya udah, bareng aja. Sekalian Mas mau nyusun baju," sahutnya santai."Jangan, Mas. Biar Delima aja dulu. Nanti sesudah rapi, baru Mas Raka masuk.""Kenapa, Dek? Kamu masih takut sama Mas? Mas tau diri, kok. Mas bukan suami kamu lagi. Apa kamu pikir Mas serendah itu, mau berbuat yang macam-macam sama kamu?""Eh, bukan itu maksud Delima. Maaf." Aku tertunduk diam."Biar Mas pakai kamar Lara aja." Dia kembali berjalan melewatiku. Aku membiarkannya saja. Ada rasa yang tidak enak juga di hatiku. Apa Mas Raka tersinggung dengan ucapanku. Selalu curiga dan menuduhnya ingin berbuat yang tidak-tidak denganku. Ternyata ucapan Mas Raka tidak main-main. Mas Raka benar-benar telah menceraikan Mbak Silvi rupanya. Entah aku harus kasihan melihat nasib mere
Mengurung diri di kamar bukanlah kebiasaanku. Aku hanya masuk ke sana saat akan mandi dan juga tidur. Selebihnya aku lebih suka berada di luar, mengerjakan apa pun yang bisa aku kerjakan. Lalu, kalau sekarang Mas Raka terus berkeliaran di rumah ini, aku harus bagaimana?"Mas lupa bawa handuk, Dek. Boleh minta tolong, ambilin handuk Mas yang ada di kamar kamu?" Mas Raka tiba-tiba saja sudah berada di belakangku."Handuk? Oh, ada, Mas. Sebentar, ya. Delima ambilin." Aku bergegas naik ke atas. Lemari besar di kamar yang aku tempati ini, memang masih banyak pakaian yang masih tersusun dan tergantung rapi. Mungkin karena mereka sering menginap di rumah Mama. Jadi tak perlu bolak-balik membawa pakaian.Aku keluar dari kamar dengan membawakan sebuah handuk berwarna putih. Ternyata Mas Raka sudah menunggu di depan pintu. Syukurlah dia tidak asal masuk. Padahal aku memang lupa mengunci pintu tadi."Ini, Mas, handuknya. Barang-barang Mas masih banyak di dalam. Biar nggak bolak-balik, Mas tingg
Sontak aku gelagapan menyadari posisi kami saat ini. Aku berusaha bangkit dan membebaskan tubuhnya dari himpitanku. "Ma_maaf, Mas. Delima nggak sengaja." Aku sedikit panik atas kejadian barusan. Mas Raka juga berusaha bangkit sambil mengulurkan tangannya padaku."Apa?" tanyaku heran."Tolongin." Aku menelan ludah dan langsung bereaksi. Menyambut uluran tangannya untuk membantu Mas Raka berdiri. Manja sekali dia."Makan yang banyak, Dek. Jangan banyak pikiran. Tubuh kamu ringan banget. Nggak berasa.""Ish, Mas Raka," protesku kesal. Dia tertawa."Mas cuman bercanda, Dek. Jangan marah, ya?""Mas Raka nggak kenapa-napa?" Aku ikut menanyakan keadaannya setelah terjatuh tadi. Dia hanya tersenyum, tak menjawab."Kalau jalan hati-hati, Dek. Jangan buru-buru. Mas nggak gigit, kok," godanya.Aneh saja rasanya melihat sikap Mas Raka sekarang ini. Ternyata dia juga bisa bercanda dan menggoda orang seperti ini. Tak seperti pertama kali kukenal. Selalu tegang dan bersikap serius."Permisi, Mas."
"Mama akan ijinkan kamu tinggal di sini. Tapi awas saja kalau kamu sampai mengganggu Delima lagi, ya! Dia sudah jadi calon istrinya Deni," tegas Mama."Tapi, Ma....""Nggak ada tapi-tapian. Awas saja kalau Delima sampai nggak betah tinggal di sini gara-gara kamu. Kamu yang Mama usir. Ngerti!""Tega banget sih, Ma. Sama anak sendiri.""Kamu kan bukan anak-anak lagi.""Kalau Delimanya nggak merasa terganggu, nggak apa-apa kan, Ma? Iya kan, Dek?" Mas Raka menoleh ke arahku.Aku menelan ludah karena gugup. Kenapa situasinya bertambah rumit saja. Baru saja aku hendak mengalah dan pulang kampung untuk sementara. Agar Mas Raka bisa lebih leluasa dan nyaman di rumah ini. Tapi mendengar ancaman Mama, bisa-bisa Mas Raka benar-benar kena usir karena berpikir aku merasa tidak nyaman karena dia."Jawab, Dek. Kamu nggak keberatan Mas tinggal di sini, kan? Kamu nggak akan pergi dari rumah ini gara-gara ada Mas, kan?""I_iya, Mas. Delima nurut aja. Delima betah kok tinggal sama Mama." Hanya itu yang
"Raka? Ngapain kamu di sini?" Mas Deni memandangi aku dan Mas Raka bergantian."Gilak kamu, Den. Kamu lupa, kalau ini rumah aku? Kamu yang ngapain datang malam-malam begini," balas Mas Raka. Dia seperti pura-pura tidak tahu saja tujuan Mas Deni datang untuk bertemu denganku.Mas Deni menatapku. Seolah mempertanyakan kenapa aku tak bilang sebelumnya. "Masuk, Dek. Udah malam!" Mas Raka memberi perintah. Dahiku mengernyit melihatnya.Mas Deni langsung berdiri seperti menantang Mas Raka. Aku pun ikut berdiri, takut terjadi perkelahian lagi di antara dua bersaudara ini."Apa hak kamu nyuruh-nyuruh Delima? Dia di sini sama aku," jawab Mas Deni ketus."Kamu nggak malu, Den? Nggak bisa nyari perempuan lain apa, selain istri orang?""Kalian sudah bercerai, Ka. Delima bukan lagi istri kamu. Delima berhak memilih dengan siapa dia bisa menjalin hubungan.""Tapi kami masih terikat secara hukum. Aku masih punya bukti kalau Delima masih istriku. Aku bisa aja nuntut kalian telah melakukan perzinahan
"Ba_bagaimana, Say... eh,... Delima?" Mas Deni tampak takut-takut menanyakan itu padaku. Aku kembali terdiam. Masih syok dengan semua ini. Semuanya serba mendadak dan tiba-tiba. Membuatku bingung harus bertanya mulai dari mana.Lalu Mas Raka meminta sesuatu pada Mbak Silvi. Dengan senyum kebahagiaan Mbak Silvi merogoh sesuatu dari dalam tasnya. Dikeluarkan sebuah amplop ke tangan Mas Raka."Ini, Dek." Mas Raka menyodorkan kertas itu ke atas meja. Dengan ragu aku mengambil dan melihat apa isinya."I_ini?" Air mataku tumpah seketika."Iya, Dek. Itu surat cerai yang kamu inginkan. Kamu sudah bebas sekarang."Rasa di hatiku kini bercampur aduk tak menentu. Ada perasaan sedih, bahagia, juga lega."Jadi, gimana, Dek? Mas sendiri yang melamar kamu untuk Deni. Kamu mau, kan?"Aku menatap mereka semua secara bergantian. Lalu mengangguk."Iya, Mas. Delima mau.""Alhamdulilah...." Semua orang di ruangan ini mengucap syukur.*****Akhirnya hari bahagia yang dinantikan semua orang terjadi juga. M
Mataku menghangat melihat orang-orang itu kini berdiri di hadapanku. Aku merasa ini seperti sebuah mimpi. Aku berdiri terpaku dengan air mata yang mulai mengalir.Lalu tiba-tiba saja tubuhku direngkuh dan masuk dalam pelukan hangatnya."Mama?" Aku menangis sesenggukan."Iya, sayang. Ini Mama," ucap wanita yang sudah setengah tahun ini tak pernah lagi kutemui. "Kamu sehat-sehat aja kan, Delima?"Aku makin sesenggukan melihat sikap pedulinya. Lalu aku juga merasakan tangan seseorang ikut menyentuh dan mengusap bahuku. Benarkah apa yang sedang kulihat saat ini?Aku melepaskan pelukan Mama. Lalu menatap satu persatu wajah mereka yang ikut berkunjung ke rumahku."Mbak Silvi?""Iya, Delima. Mbak datang." Wanita yang pernah menamparku saat terakhir kali bertemu ini, tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca.Lalu kulihat Mas Raka dan Mas Deni tampak berdiri sejajar. Sepertinya semua orang sudah baik-baik saja. Dan mereka semua terlihat akur.Pasti sudah banyak hal yang terjadi selama aku tak a
Biarlah hanya kami berdua yang tahu tentang semua ini. Seperti yang dia katakan, itu untuk yang terakhir kalinya. Kuberikan sebagai upah, atas apa yang dia berikan selama ini. Dengan begitu, nantinya dia hanya akan mengingatku sebagai wanita bayaran saja. Yang bisa dia cumbu tanpa hati, dan juga rasa cinta.Aku harus benar-benar terlihat murahan di matanya.*"Kamu kenapa, Sayang? Kenapa tiba-tiba ninggalin Mas seperti ini?" Mas Deni begitu syok saat aku tiba-tiba datang ke rumahnya untuk berpamitan."Maafin Delima, Mas. Delima bukanlah wanita yang baik untuk Mas Deni." Lagi-lagi aku membatukan hati agar tak lagi goyah.Berbicara dengan Mama pun rasanya hati ini sudah akan luluh melihat kekecewaan di wajahnya. Apa lagi saat berbicara dengan Mas Deni. Aku harus benar-benar bisa mengendalikan diriku. Rasa sakit yang aku rasakan tak boleh terlalu nampak. Aku lebih memilih Mas Deni kecewa dan membenciku saja, dari pada harus menangis dan mengiba, memohon agar aku tetap tinggal."Sampai h
Tanpa terasa enam bulan sudah aku kembali ke kampung. Kembali tinggal dengan Bue dan juga Sidik. Tak peduli lagi pada gunjingan tetangga dan warga sekitar atas statusku sekarang ini.Awal kepulanganku dulu, bisik-bisik mereka selalu terdengar. Katanya memang seperti itulah resiko menjadi wanita kedua. Hanya sebagai cadangan untuk bersenang-senang. Giliran bosan, pasti kembali ke pelukan istri pertama.Aku hanya diam, tak ambil pusing dengan pendapat mereka. Tak ada gunanya juga menceritakan hal yang sebenarnya. Asal Bue mengerti dan tidak terlalu memikirkannya hingga sakit, kurasa itu bukan masalah.Anggap saja memang ini adalah hukuman atas keserakahanku waktu itu. Lepas dari seorang pria beristri, malah berkhayal mendapatkan bujangan kaya raya.Tapi semua itu sudah berlalu. Tak ada lagi bisik-bisik seperti itu kudengar. Semuanya seakan lupa, dan aku bisa menjalani kehidupan dengan normal kembali.Kini aku tak perlu lagi bersusah payah bekerja dari pintu ke pintu untuk bekerja di rum
"Kita rujuk ya, Dek?" Napasnya makin memburu di telingaku. Aku kembali menggeleng dalam tangisan."Kasi kesempatan Mas satu kali lagi untuk membahagiakan kamu, Sayang." Aku semakin menggeleng."Dek?""Kalau Mas benar-benar mencintai Delima dan ingin melihat Delima bahagia, tolong bebaskan Delima. Kalau Mas ingin balas dendam dan tidak ingin melihat Delima bahagia dengan Mas Deni, Delima akan turuti. Delima akan putuskan hubungan dengan Mas Deni dan akan kembali ke kampung. Apa itu cukup membuat Mas Raka puas?""Enggak, Dek. Bukan seperti itu maksud Mas. Mas ingin kamu bahagia sama Mas, Sayang. Kenapa kamu nggak percaya sama perasaan Mas?" Dia tampak gelisah sembari menyentuh pipiku dengan kedua tangannya. Aku hanya bisa memejamkan mata dengan pasrah. Melawan pun percuma. Hanya akan membuat keributan malam-malam begini."Delima hanya ingin hubungan Mas Raka dan Mas Deni kembali baik, Mas. Jangan lagi bermusuhan seperti ini hanya gara-gara Delima. Delima bukan wanita yang pantas untuk
Aku segera menarik tanganku kembali. Namun Mas Raka tak mengizinkan dan malah menahannya. Dia terlihat begitu marah. Padahal saat di bawah tadi, dia terlihat biasa-biasa saja dan tak memperdulikan.Atau, jangan-jangan Mama bercerita tentang aktivitas aku dan Mas Deni tadi. Bukan salah Mama juga. Salahku yang tak berani bilang untuk merahasiakannya dari Mas Raka."Tega banget kamu, Dek. Mas udah bilang, jangan pergi sama Deni. Kenapa kamu masih nekat juga? Malah gantiin cincin Mas dengan cincin dari dia. Kamu pikir Mas main-main dengan ancaman Mas waktu itu?""Kenapa Mas melakukan itu? Kenapa Mas nggak ngijinin Delima sama Mas Deni? Jujur aja, Mas." Aku mulai berani."Kamu masih nanya? Kamu tau sendiri kenapa Mas melakukan itu, Dek.""Kenapa?" Aku meyakinkan."Tentu saja karena Mas mencintai kamu.""Bohong!" sanggahku dengan penuh amarah. "Mas Raka bohong. Mas Raka sama sekali nggak pernah mencintai Delima.""Itu nggak benar, Dek. Mas sayang sama kamu.""Delima nggak percaya. Mas Raka
"Oh, iya, Den. Soal pesta, nanti kita adakan di rumah kamu aja, ya. Biar kita buat acara yang meriah. Di kampung Delima kita adakan akad saja. Biar Delima nggak terlalu jadi sorotan orang kampung.""Kalau Deni nggak masalah, Bulek. Terserah Delimanya aja.""Kalau kamu, gimana, Delima?" Mama meminta pendapatku."Delima juga nurut, Ma. Gimana baiknya aja.""Ya sudah, nanti Mama tanyakan sama Ibu kamu. Setuju atau enggak.""Baik, Ma."Setelah Mas Deni pulang, aku langsung menuju ke kamar untuk menyimpan barang-barang yang aku beli tadi. Padahal aku tidak memintanya. Tapi dengan begitu royal dia membelikan semua ini untukku.Aku terduduk di ranjang sembari memegangi bibirku. Teringat saat Mas Deni mengecupnya tadi. Membuat perasaanku semakin tak karuan. Inilah ciuman pertamaku dengan seorang lelaki. Padahal sebelumnya aku berpikir, bahwa Mas Rakalah yang akan mengambil semuanya.Usai makan malam aku memijat punggung Mama. Mengobrol dan tertawa bersama. Tak lama Mas Raka datang dan bergabu
Dia menghentikan kata-katanya."Lagi apa, Mas?" tanyaku penasaran. "Eh, nggak. Mas juga jarang-jarang dengar suara kamu, kok." Mas Raka gelagapan. "Kamu kenapa belum tidur jam segini?" "Tadi sudah mau tidur. Tapi Mas Raka tiba-tiba nelpon. Apa lain kali tidak usah diangkat saja, kalau sudah mengantuk?""Eh, eh. Udah berani kamu, ya." Aku tertawa mendengarnya.Kudengar suara Mas Raka seperti bernapas lega. "Kenapa, Mas?" tanyaku lagi."Mas senang, kita bisa bicara santai seperti ini. Makasih ya, Dek. Kamu udah nggak takut lagi sama, Mas."Aku tertegun. Bahkan hal yang tak kusadari pun bisa membuat orang lain merasa lega.*Pagi ini aku pamit pada Mama untuk ikut Mas Deni. Sengaja menunggu Mas Raka berangkat ke kantor terlebih dahulu. Padahal Mama sendiri tidak tahu kalau aku dan Mas Deni sekarang lagi kucing-kucingan sama Mas Raka. Bertemu pun harus diam-diam.Aku bisa saja mengadu pada Mama. Tapi posisiku yang hanya menumpang membuatku tak bisa melakukannya. Seperti memakan buah si
Cih, pintar sekali wanita ini bersandiwara. Padahal baru saja dia bersikap seperti orang gila padaku."Kamu aja yang pulang. Dan tunggu surat cerai sampai ke tangan kamu.""Jangan, Mas. Aku nggak mau. Aku nggak mau cerai dari kamu. Kamu harus pulang sama aku. Kamu nggak boleh lagi tinggal sama pelacur ini.""Diam kamu, Silvi. Sekali lagi kamu hina Delima, aku nggak akan segan-segan lagi sama kamu.""Mas!""Jangan salahkan Delima untuk semuanya. Delima sama sekali nggak ada hubungannya dengan keputusanku.""Tapi aku istri kamu, Mas.""Kamu lupa kalau aku sudah menjatuhkan talak sama kamu?""Jadi kamu lebih memilih pelacur ini dari pada aku?"Plak!Aku menutup mulut dengan kedua tanganku saat Mas Raka menampar Mbak Silvi. Mbak Silvi menatap tajam suaminya sambil memegangi pipinya. "Tega kamu, Mas," rintihnya."Aku sudah memberi peringatan sebelumnya. Jangan pernah berani menghina Delima. Urusan kamu sama aku. Sekarang kamu pergi, atau aku panggil polisi karena kamu telah membuat keribu