“Ya, hiduplah dengan lebih baik lagi bersama keluarga kecil kamu.” Gio mengangkat tangannya sebagai isyarat bagi Nia untuk segera pergi. Sesaat setelah Nia keluar, sebuah taksi menepi di depan Kafe dan Kalila melangkah turun. “Aku sudah sampai, nih ... Masih lama? Ya sudah, aku tunggu!” Kalila mengakhiri percakapan dengan seseorang, kemudian menyimpan kembali ponsel miliknya ke dalam tas. Namun, langkah Kalila sontak terhenti saat seseorang menabraknya tepat setelah dia melangkah masuk ke dalam kafe. “Gio! Kok main tabrak saja?” Kalila terhuyung sebentar sebelum akhirnya bisa menyeimbangkan diri. “Hati-hati kalau jalan!” imbuhnya sedikit kesal. Gio menyipitkan matanya. “Mentang-mentang kita sudah bercerai, apa harus kamu seangkuh ini di depanku?” Kalila balas menatap Gio yang wajahnya sedikit memerah. “Aku tidak mengerti kamu ngomong apa.” Kalila bergegas pergi menjauh untuk mencari meja yang masih kosong. Jika sesuai rencana, seharusnya Zia akan menyus
“Tentu saja, Pak.” Kalila melirik Gio yang terbaring bisu di tempat duduk belakang, perlakuan bejatnya hari itu tidak akan pernah dia lupakan. Setibanya di klinik terdekat, Gio segera mendapatkan tindakan oleh para petugas medis yang bekerja. “Tenanglah, Gio pasti akan sembuh.” Arka yang mengira jika Kalila kalut memikirkan mantan suami, berusaha menghiburnya. Meski dalam hati, dia ikut terenyak juga dengan bekas yang tercetak jelas di leher Kalila .... Arka pikir semuanya sudah cukup jelas, Kalila kemungkinan akan rujuk kembali dengan Gio. “Bukan itu yang aku permasalahkan,” keluh Kalila dengan suara berat. “Kalau Gio sudah bangun nanti dan ... dia menuntut tanggung jawabku, bagaimana?” “Ya kalian tinggal rujuk saja, kenapa repot?” Kalila menatap Arka tidak percaya. “Kamu suruh aku rujuk ...?” “Kenapa, bukanlah kamu dan Gio tadi sudah ....” Arka dan Kalila saling pandang dengan asumsi masing-masing. “Aku tidak mengerti kenapa kamu berpikir kalau aku
Gio hanya memejamkan mata, malas berdebat dengan ibu kandungnya. “Arka, kamu harus jujur sama Tante.” Soraya terus menekan Arka begitu mereka duduk di luar. “Baik, Tante ....” “Itu Dano kenapa? Tante akan lapor polisi kalau memang dia dirampok orang.” Menyadari jika nasib Kalila dipertaruhkan, Arka buru-buru memikirkan kalimat yang tepat untuk menjelaskan kepada Soraya. “Hasil pemeriksaan dokter, kepala Gio terbentur benda keras dan terluka ... Tapi Tante tidak perlu khawatir, dokter sudah memastikan kalau tidak ada luka dalam di kepala.” “Kok bisa kepala Dano terbentur?” selidik Soraya tidak percaya. “Tante kok merasa kalau dia mengalami penganiayaan ya?” Arka menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, dia tidak mungkin mengatakan jika Gio jadi seperti itu karena Kalila mencoba mempertahankan diri. “Aku juga tidak lihat langsung kejadiannya kok, Tante.” “Nah, terus?” “Aku hanya menyampaikan apa yang dokter katakan saja, lagipula Gio juga terlihat masih pusing
Gio menatap Arka dengan tegang. “Rekaman kamera pengawas itu, harus segera dimusnahkan!” Malam itu, di rumah yang disewa Kalila .... Ponsel yang tiba-tiba berdering, membuat jantung Kalila nyaris keluar dari tempatnya. “Halo, Arka? Kenapa kamu baru menghubungi aku?” “Bagaimana perasaan kamu, Lil? Aku pikir kamu butuh waktu untuk menenangkan diri ....” “Tentu saja aku tidak bisa tenang! Gio bagaimana, dia masih hidup kan?” Arka tertawa pelan. “Tentu saja masih, dia hanya terbentur dan bukan kena bom.” “Tidak lucu, Arka.” “Baiklah, kali ini aku serius. Aku dan Gio sedang berusaha untuk menyelesaikan masalah kalian ....” “Menyelesaikan bagaimana? Apa Gio ingin meneruskan kejadian itu ke pihak berwajib?” tanya Kalila gelisah. “Gio sudah paham kalau kamu tidak bersalah, tapi ... Tante Soraya telanjur dengar saat kami sebut-sebut nama kamu.” Kalila mengaduh. “Terus bagaimana nasibku? Mantan mertua pasti marah besar!” “Begitulah, tapi kamu tidak usah terlal
Gio menarik napas. “Kamu tahu Lila sekeras apa kalau sama aku, kebenciannya sudah sangat mendarah daging ... tapi aku juga tidak ingin dia membatasi pertemuanku dengan Noah.” “Kamu harus memakluminya karena Lila itu wanita.” Gio menatap Arka dengan sedikit curiga. “Sekarang aku setuju dengan ibuku, kamu kelihatan sekali memihak Lila.” Mau tak mau, Arka nyengir. “Bukan begitu, aku hanya mencoba memandang masalah dari dua sisi. Kalau aku memihak Lila, mana mau aku menjemput Noah dan mempertemukannya dengan kamu.” Gio mengangkat bahu, lalu kembali memusatkan perhatiannya kepada Noah yang berusaha memakan dasinya. “Ini bukan untuk dimakan ....” Noah hampir saja memasukkan ujung dasi itu ke dalam mulut saat Gio menariknya menjauh dari jangkauan. “Aku ambilkan biskuit dulu di luar,” ujar Arka. “Sekalian suruh Haris bikin kopi untukmu.” “Oke.” Noah tidak tinggal diam dan berusaha memanjat tubuh Gio. “Kamu makin berat ya sekarang? Bajunya sampai ngepas be
“Asal Gio mau cerita yang sebenarnya, pasti Tante Soraya tidak akan melapor ke polisi.” Kalila menarik napas panjang, dia masih tidak habis pikir dengan kejadian yang berlangsung hari ini. “Apa betul kalau Arka dan mantan istri kamu itu akan menikah?” tanya Soraya sambil menatap penuh selidik ke arah Gio. “Mantan istri yang mana?” “Ibunya Noah, jangan pura-pura tidak tahu kamu!” Gio mengangkat bahu, berusaha fokus mengemudi. “Aku memang tidak tahu apa-apa, Ibu tanyakan saja ke Arka.” “Mustahil kamu tidak tahu, Dan.” “Aku memang tidak tahu, Bu. Apa iya aku harus tahu semua hal tentang ibunya Noah?” Soraya mendengus tidak puas. “Kamu jangan mau kalah, Dan.” “Maksud Ibu apa?” “Segeralah menikah lagi.” Gio langsung geleng-geleng kepala mendengar permintaan Soraya. “Kenapa? Jangan mau kalah sama mantan kamu dua-duanya, si Nia saja juga akan menikah dengan ayah biologis Sherin kan? Terus Lila juga, kamu harus lakukan sesuatu—jangan diam saja!” Gio
“Besok aku akan ajak kamu untuk bertemu ayahku, Lil!” ucap Arka bersemangat. Kalila tidak mengira jika respons Arka akan seantusias itu. Namun, bukankah lebih cepat lebih baik? Seandainya orang tua Arka tidak setuju, Kalila tidak perlu berlama-lama mengalaminya. “Jangan tegang begitu,” canda Arka di hari yang sudah ditentukan, dia melirik Kalila yang duduk bersama Noah di pangkuan. “Aku sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi penolakan dari calon mertua.” “Ayolah, kamu harus berpikir positif. Aku tidak mungkin seyakin ini kalau ayahku mempersoalkan masalah status.” “Jangan bilang kalau kamu sudah menceritakan tentang latar belakangku kepada orang tuamu?” tebak Kalila. “Sesekali aku bahas kamu sih, karena itu kamu tidak perlu tegang. Santai saja apa pun hasilnya.” Kalila hanya menjawabnya dengan menarik napas panjang. Setibanya di rumah, hanya ada ayah Arka yang menyambut kedatangan Kalila. Sempat terbersit dalam hatinya, apakah ketidakhadiran ibu Arka menj
Dia mengulurkan tangan dan Kalila menyambutnya dengan senyum merekah. Semua itu tidak luput dari mata Gio yang menyaksikannya. Beberapa bulan kemudian .... “Apa kamu keburu ingin punya momongan?” tanya Kalila di bulan ke enam pernikahannya dengan Arka. “Kalau boleh jujur sih, iya. Wajar kan?” Kalila terdiam, teringat Noah yang masih terlalu kecil untuk memiliki adik. “Tapi kalau kamu belum siap, tidak apa-apa. Hitung-hitung kita membesarkan Noah dulu,” imbuh Arka sambil merangkul bahu Kalila. “Aku kira kamu juga masih ingin bekerja kan?” Kalila mengangguk. “Waktu yang aku punya sudah terbagi antara Noah dan pekerjaan, aku takut tidak mampu kalau tambah anak lagi dalam waktu dekat ini.” “Aku mengerti, tidak masalah kok.” Kalila menatap Arka dengan serius. “Aku jadi merasa tidak enak sama kamu ....” “Kenapa harus tidak enak?” “Karena kamu selalu mengerti apa yang mau.” Arka terkekeh. “Kalau begitu, kamu bisa membayarku dengan setimpal.” “Sebut