Kalila mengerjapkan matanya. “Tidak usah kamu dengarkan mereka, anggap saja angin lalu.” Arka menambahkan. “Ini rumah tangga kita, tidak ada urusannya dengan mereka.” Kalila mengangguk, dia hanya perlu memperkuat mental dan melawan jika Soraya atau Sania melanggar batasan mereka. Waktu terus berlalu dengan cepat, tanpa terasa Noah sudah genap berusia dua tahun. Setelah enam bulan berlalu dari pesta ulang tahun yang dirayakan dengan sederhana, desakan untuk menambah momongan mulai tidak terhitung jumlahnya. “Kamu sudah tidak meng-ASI-hi Noah kan? Ini saat yang tepat untuk mempertimbangkan punya anak lagi,” ucap Sania suatu hari. “Nanti kalau aku sudah siap mental, Bu. Lagipula Noah baru dua tahun, masih terlalu kecil.” “Dari dulu itu terus alasan kamu, Lila. Bukan apa-apa, ibu sangat yakin kalau Arka juga menginginkan anak kandungnya sendiri. Masa mau selamanya kalian hanya punya Noah, yang berarti anak tiri Arka.” “Anak sambung, Bu.” Kalila sengaja menekankan.
“Ada lagi yang bisa saya bantu?” “Kalau Stevi datang lagi, bilang saja untuk menemui ibuku di rumah. Aku sibuk dan tidak bisa diganggu.” Haris pun segera undur diri dari ruangan Gio. “Tanteeee!” Soraya terlonjak saat mendekatkan cangkir teh ke bibirnya. “Stevi, hampir saja Tante tersedak!” Soraya mengusap-usap dadanya. “Sini minum teh dulu sama Tante.” Stevi tersenyum, meski terpaksa karena ekspresi wajahnya begitu gundah. “Tante, sampai kapan aku menunggu hati Gio luluh? Harus berapa tahun lagi?” “Nanti kita bahas, minum dulu.” Stevi menurut. “Sekarang cerita, apa maksud kamu tadi?” tanya Soraya setelah Stevi minum teh. “Itu Tante, Gio belum juga luluh hatinya sampai sekarang ... Aku harus apa lagi? Ayah dan ibuku sudah mendesak untuk segera menikah.” “Tante sudah bujuk Dano, tapi selebihnya kamu yang harus berusaha.” “Aku sudah melakukan apa yang tante suruh, tapi memang hati Gio sedingin itu sama aku ...” keluh Stevi murung. “Aku sering mampir
“Iya, aku tahu!” “Aku tetap harus menagih uang itu.” Nia berdecak, sebelum akhirnya ada ide yang tiba-tiba melintas. “Kalau begitu berikan aku pekerjaan tetap!” “Apa?” Haris mengernyit. “Ya, aku butuh pekerjaan. Kalau aku punya gaji tetap, aku bisa mencicil uang itu. Bagaimana?” Haris diam, hal ini tentu saja di luar perkiraannya. “Aku harus bicarakan ini sama Pak Gio lebih dulu.” “Jangan lama-lama, niatku baik. Aku ingin dapat kerja supaya bisa mengembalikan uang Mas Gio,” tegas Nia untuk kesekian kalinya. “Yah, mudah-mudahan saja niat baik kamu itu terkabul.” Haris berdiri dari duduknya dan memutuskan untuk pergi dari hadapan Nia. “Apa kamu bilang? Dia minta dikasih kerjaan?” Gio meradang ketika Haris menyampaikan hasil pertemuannya dengan Nia. “Betul, Pak. Kata Nia, hanya dengan cara itu dia bisa mengembalikan uang Anda dengan cara mencicilnya.” “Terus apa gunanya Joey Pratama?” “Saat saya di sana, saya tidak melihat keberadaan Joey sama sek
Nia mengangguk. Bisa berada satu kantor lagi dengan Gio saja sudah membuatnya sangat bersyukur. “Nanti hitungan gaji kamu akan aku urus, karena Pak Gio menginginkan pemotongan langsung setiap kali kamu gajian.” “Oke, atur saja. Yang penting aku dapat uang dan bisa mencicil uang itu,” angguk Nia pasrah. Setelah Gio ikut membubuhkan tanda tangannya, pertemuan pun selesai. “Mas ...” Nia mencoba menyapa, tapi Haris langsung memberinya tatapan memperingatkan. “Selanjutnya biar saya yang urus, Pak.” Gio mengangguk singkat dan memilih pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. “Kamu ini ... baru saja tanda tangan kontrak, sudah mau melanggar salah satu poin?” Wajah Nia langsung pias ketika Haris menegurnya. “Aku hanya mau menyapa Mas Gio ....” “Tidak perlu, kamu baca semua poin tadi tidak sih?” “Baca ....” “Terus kenapa masih mau kamu langgar?” Nia tidak menjawab. Sebetulnya dia tidak terima saat Haris memarahinya seperti ini, tapi apa daya? Kini Nia b
“Amin, ini cek dulu barangnya.” Dengan wajah berseri-seri, Sofi menghitung jumlah pesanannya. Aku harus tampil cantik di depannya Arka, batin Sofi. “Komplit semua ya, Lil?” “Oke, lain kali pakai nama asli kamu biar aku tidak bingung.” “Kenapa harus bingung sih? Kan yang penting aku tidak menipu, maklum dunia sosial media kan jarang pakai nama asli.” “Iya deh, aku percaya.” “Mau sekalian minum? Aku baru saja pesan ....” “Tidak usah, Sof. Aku mau ke toko dulu, terima kasih ya orderannya!” “Sama-sama, Lil!” Ada alasan tersendiri kenapa Kalila tidak ingin berlama-lama di kafe Gio, dia enggan ada yang salah paham mengenai kehadirannya. Terutama calon istri Gio. Setelah dari kafe, Kalila langsung menyeberang untuk melihat suasana toko miliknya. “Bu Lila, hari ini lumayan ramai!” lapor salah satu pegawai. “Alhamdulillah, ini tolong kamu taruh di display khusus ya?” “Wah, paket skincare apa ini, Bu?” “Produk saya dan teman-teman, mungkin saja ada
“Sudahlah, aku di sini mau makan siang.” “Serius, Haris. Dia siapa?” Haris memilih untuk tidak menjawab, dia enggan memasuki urusan Gio dan para wanita itu. Sepertinya hanya Bu Lila yang paling beres, batin Haris sambil memilih menu untuk dia makan. Meskipun demikian, matanya tetap awas mengamati Gio yang tumben sekali mau duduk bersama wanita. “Ris!” Haris nyaris tersedak karena tiba-tiba Nia muncul dan bergabung dengannya di meja. “Aku yakin kalau kamu pasti tahu siapa wanita di sana itu,” tunjuk Nia dengan nada menggebu. “Kalaupun aku tahu, itu bukan urusan kita.” “Ayolah, Ris ... aku ini mantan istri Mas Gio, setidaknya aku berhak tahu dia sedang dekat dengan perempuan seperti apa.” “Sudah aku bilang kalau itu bukan urusan kamu, Nia.” Haris geleng-geleng kepala melihat betapa keras kepalanya mantan istri Gio. “Bagaimana kalau wanita itu bukan perempuan baik-baik?” Nia terus mengompori. “Kalaupun iya, itu adalah urusan Pak Gio dan keluarganya.”
Mendengar pertanyaan Sofi, Rita justru mengerutkan keningnya dengan curiga. “Penjualan masih di grafik yang aman, jadi bekerja saja seperti biasa.” Arka menyimpulkan setelah mengecek pembukuan. “Siap, Pak!” Doni tersenyum cerah saat Arka meninggalkan yang di meja untuk mentraktir para pegawai. “Pak Arka!” “Sofi?” Di depan pintu, Arka dan Sofi nyaris bertabrakan tanpa disengaja. “Maaf, Pak ...” “Saya duluan, ya?” Sofi tergeragap. “Ta—pi Pak, kopinya ...” “Kopi apa? Saya tidak pesan kopi.” “M—maksud saya, ini saya bawakan kopi. Ada buat Doni juga, biar rapatnya lebih enak.” “Sudah selesai kok, tapi Doni masih di dalam.” Sofi tidak kehilangan akal supaya Arka menerima pemberiannya. “Anda bawa pulang saja, Pak. Untuk diminum di perjalanan,” bujuk Sofi. Tanpa disangka, ternyata Arka menerima kopi kaleng itu tanpa pertimbangan. “Terima kasih, ya!” “Sama-sama, Pak.” Berapa leganya Sofi, saat melihat Arka berlalu dengan kopi di genggaman tanga
Tak lama, terdengar denting singkat dari ponsel Arka. Kalila melirik sekilas ke arah layar yang menyala. [Saya sudah sediakan kopi khusus untuk Anda kalau mampir ke minimarket, Pak] Kalila mengerutkan keningnya saat tanpa sengaja membaca pesan itu. Nomor pengirimnya ternyata belum disimpan Arka di kontaknya. “Siapa orang ini?” gumam Kalila yang dengan ragu meraih ponsel Arka untuk melihatnya lebih jelas. “Ada uang yang telepon, Lil?” tanya Arka dengan rambut basah. “Tidak ada, hanya ada pesan ...” “Dari siapa?” Kalila mengangkat bahu. “Dia bahas kopi ...” “Kopi apa?” Kalila tidak menjawab, melainkan menyerahkan ponsel itu ke tangan Arka yang menerimanya dengan bingung. “Dia siapa sih, kok nomornya tidak kamu simpan?” tanya Kalila penasaran. “Kalau aku tahu siapa, pasti sudah aku simpan dari kemarin-kemarin.” “Kemarin-kemarin? Jadi sebelumnya dia sudah pernah kirim pesan ke kamu?” “Begitulah, paling orang iseng. Aku tidak meladeni pesannya
“Gio pasti mencariku!” Kalila agak kesulitan turun karena sudah mengenakan kebaya warna maron. “Kamu akan tetap di sini,” tegas Arka, mencekal pergelangan tangan Kalila. “Aku tidak bisa, mana ponselku? Aku harus pesan taksi!” “Aku bawa mobil, tidak usah pesan taksi.” Karena tidak ada pilihan lain, terlebih karena ponsel juga tidak dalam jangkauannya, Kalila terpaksa mengikuti saran Arka. Sebenarnya apa yang terjadi, batin Kalila saat mobil Arka mulai melaju. Dia ingat betul bahwa terakhir kalinya ada di gedung dan bersiap melangsungkan akad nikah dengan Gio, lalu saat berganti pakaian .... Sepertinya ada yang membekapku, sambung Kalila dalam hati. “Kenapa wajahmu tegang begitu?” tanya Arka memecah keheningan. “Tidak apa-apa!” Kalila buru-buru menggeleng. “Kamu ... hadir di acara Gio?” “Aku datang mewakili ayahku, tidak enak juga kalau tidak datang.” Kalila diam, ada setitik rasa curiga terhadap Arka. Namun, dia tidak ingin menampakkan rasa curiganya itu secara teran
“Sudah terlambat, percuma saja.” “Kenapa percuma, Mas? Aku akan bujuk Lila kalau itu yang kamu inginkan!” Arka menoleh dan menatap Sofi dengan penuh benci. “Sudah ada laki-laki lain yang akan merujuk Lila, sepupuku sendiri!” Sofi tercenung. “Jadi ... kita sudah terlambat?” Arka mendengus, merasa muak dengan sikap Sofi yang terkesan lemah. “Tapi ... apakah Lila benar-benar tidak bisa dibujuk lagi?” “Bujuk saja kalau kamu bisa,” pungkas Arka datar. Sofi masih berdiri membeku dengan pakaian dinas yang melekat di tubuhnya. Sepertinya ini bukan saat yang tepat, pikir Sofi muram. Suasana hati Arka jelas sedang buruk, sehingga akan sangat egois jika dia tetap meminta keinginannya. “Arka, akhir-akhir ini ayah perhatikan kamu semakin parah saja.” Sandy berkomentar di hadapan Sania dan Sofi saat sarapan pagi. “Pergilah berlibur kalau memang kamu membutuhkannya.” Arka menatap Sandy dengan sorot mata redup. “Ayah tahu apa yang aku inginkan.” “Arka, kamu bukan anak kecil lag
Ayah dan ibu Kalila saling pandang. “Kamu serius?” “Pernikahan ini tidak untuk main-main, kamu sadar?” “Aku sangat serius, dan aku sadar itu.” Gio menatap kedua orang tua Kalila bergantian. “Kamu pernah menduakan putri kami,” ungkit ayah Kalila, seolah hal itu belum lama terjadi. “Sekali lagi aku minta maaf, Yah. Tapi kali ini aku jamin, aku tidak akan mengecewakan Lila. Dia hanya jadi satu-satunya istri jika kami rujuk nanti.” Ayah Kalila menarik napas panjang dan tidak menjawab. “Lila sendiri bagaimana?” tanya ibu ingin tahu. “Kami sudah bertemu dan Lila menyerahkan sepenuhnya kepada Ayah dan Ibu.” “Kalau begitu kami juga harus membicarakannya dengan Lila terlebih dahulu,” pungkas ayah. “Kamu tidak bisa mengambil keputusan sepihak, karena nantinya Lila yang akan menjalani ini semua.” Gio mengangguk, menurutnya pertemuan ini tidaklah terlalu buruk dari yang dia bayangkan. Kalila sedang ikut mengepak pesanan reseller ketika ponselnya berdering nyaring. “Izin seb
Sesaat setelah mobil Gio melaju pergi, mobil Arka justru baru saja menepi di depan outlet Zideka. “Sepertinya Lila serius mau rujuk sama Gio,” gumam Arka nyaris putus asa. “Ya ampun, aku harus bagaimana?” Ingin rasanya Arka membuntuti mereka, tapi dia tidak kuat menyaksikan kebersamaan mantan istrinya. “Sudah kamu pertimbangkan matang-matang?” tanya Gio begitu dia dan Kalila sudah berada di dalam kafe miliknya. “Pertimbangkan apa?” “Rujuk lah!” Kalila mengerutkan keningnya. “Itu serius? Tidak, kan? Aku tahu kamu mengatakannya spontan saja karena terbatasnya waktu untuk berpikir, sekarang jadi seperti ini kan ...” Giliran Gio yang mengerutkan keningnya, dia tidak mengira jika Kalila menganggap apa yang dia katakan di media tempo hari adalah sebuah ketidaksengajaan. “Kita bisa menjadikannya benar-benar serius,” cetus Gio, tapi malah mendapat tatapan tajam dari Kalila. “Demi Noah, tentu saja!” imbuh Gio buru-buru supaya Kalila tidak salah paham. “Anak keci
Kalila untuk sementara tidak mau pusing-pusing memikirkan berita yang beredar tentang dirinya dan Gio. Namun, tetap saja dia merasa kebingungan juga saat ibunya menelepon untuk mengonfirmasi kebenaran itu. “Kamu serius mau rujuk sama Gio?” Kalila menarik napas panjang, tidak tahu harus memulai dari mana untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. “Belum pasti kok, Bu ...” “Kok belum pasti, bagaimana sih? Jangan jadikan pernikahan sebagai permainan, Lil!” “Bukan maksudku begitu, tapi memang semua ini serba mendadak dan belum pasti. Aku tidak menganggap serius ucapan Gio di depan media, mungkin biar meredam kesalahpahaman saja.” “Salah paham seperti apa sampai kalian harus bicara dusta di depan orang-orang?” Kalila lagi-lagi bingung jika harus menjelaskan kejadian yang bermula di rumah kontrakannya. “Ceritanya panjang, Bu. Mungkin Ibu bisa hubungi Gio karena dia pertama kali punya ide bilang rujuk di depan orang-orang,” usul Kalila, mau tak mau harus menumbalkan Gio.
“Jelaskan ini, Dan! Apa maksudnya?” Dengan suara melengking miliknya, Soraya mengintrogasi sang putra begitu mereka bertemu. “Jelaskan soal apa, Bu?” “Itu, berita yang sedang beredar! Kamu bilang kalau kamu akan rujuk dengan mantan istri kedua kamu kan?” Gio menatap Soraya sekilas. “Doakan saja, Bu.” “Maksud kamu apa? Kalian betulan mau rujuk?” “Kalau memang itu takdirku, mau bagaimana lagi?” “Kamu jangan bercanda, Dan! Kalau kamu sudah ada keinginan untuk menikah lagi, kenapa tidak cari orang lain saja?” “Memangnya kenapa, Bu? Lila kan ibu dari anakku juga ...” “Tapi ibu tidak setuju! Apa kamu tidak ingat bagaimana dia berkeras untuk cerai dari kamu, jadi buat apa sekarang kamu rujuk sama dia? Buang-buang waktu, tenaga, dan pastinya uang!” Gio menarik napas. “Entahlah, kita lihat saja nanti. Setidaknya Lila bukanlah orang lain dalam keluarga kita.” Tidak puas dengan jawaban Gio, Soraya mencebikkan bibirnya. Susah payah dia mencarikan calon yang sesuai untuk Gio
Kalila memijat-mijat kepalanya yang terasa pening, di sebelahnya ada Bik Nuri yang sedang menyeduh secangkir teh lemon untuknya. “Jangan terlalu dipikirkan, Nyonya. Saya saksinya kalau Nyonya dan Tuan tidak berbuat seperti apa yang mereka tuduhkan ...” hibur Bik Nuri seraya menghidangkan teh buatannya. “Tapi kan masalahnya mereka lihat sendiri bagaimana Tuan ada di rumah ini, kami tidur hanya dengan Noah sebagai pembatas ... Saya malu, Bik. Orang-orang di luar sana pasti berpikiran macam-macam tentang kami ...” Bik Nuri mengusap-usap bahu Kalila untuk meredakan kegelisahannya. “Kita memang tidak bisa memaksa orang untuk percaya dengan apa yang kita jelaskan, Nyonya. Mereka cenderung mempercayai apa yang mereka lihat saja,” ujar Bik Nuri. “Mungkin butuh beberapa waktu lagi sampai kejadian ini mereka lupakan ...” Kalila menatap tehnya. Apa mungkin mereka akan lupa kejadian tadi seiring berjalannya waktu? Dia tidak yakin karena beberapa orang dari mereka bahkan secara terang-ter
Noah terbangun dengan kaget dan kebingungan melihat keberadaan banyak orang di depannya. “Sebentar, sebentar ... ada apa ini?” Gio yang baru terbangun dari tidurnya, tampak bingung dengan situasi ruang tamu yang kini penuh orang. “Ada apa, ada apa, ada yang mesum di lingkungan ini!” “Mesum?” “Jangan pura-pura tidak tahu, kamu bukan warga sini kan?” Melihat Noah yang bingung sekaligus ketakutan, Kalila mengisyaratkan kepada Bik Nuri untuk memeluknya. “Saya cuci muka sebentar,” kata Kalila tegas. “Tidak bisa begitu, kamu pasti mau kabur ya?” “Kalian harus mempertanggungjawabkan perbuatan kalian!” Suara-suara ribut terus terdengar di seluruh ruangan. “Paling tidak jangan membuat anak ini takut!” seru Bik Nuri sambil mendekap Noah erat-erat. “Ini hanya salah paham, berikan kesempatan pada majikan saya untuk menjelaskan. Paling tidak biarkan nyonya saya cuci muka dulu!” “Nanti dia kabur ...” “Untuk apa saya kabur? Rugi, saya sudah membayar sewa rumah ini
Ketika hari mulai malam, demam di tubuh Noah semakin meninggi. “Minum obat dulu, ya?” bujuk Kalila. “Habis ini Noah tidur ...” “Ayah kapan datang, Bu?” Kalila tidak segera menjawab. “Telepon ayah ...” pinta Noah pelan, wajah yang biasanya ceria itu kini terlihat sayu. Sumpah demi apapun, Kalila tidak tega melihat Noah sakit seperti ini. Apa dia betul-betul harus menelepon Gio? Tapi ini kan sudah malam, batin Kalila tidak mengizinkan. “Noah tidur dulu ya, besok baru ibu telepon ayah.” “Gak mau, aku mau ayah sekarang ...” Kalila tidak mendengarkan dan malah berbaring di samping Noah, di dekatnya sang putra dengan erat dan berharap panas itu berpindah ke tubuhnya saja. “Sama ibu dulu, nama Harus istirahat biar cepat sembuh.” “Mau ayah sekarang ... Ayah ...” Kalila terlihat bimbang, dia tentu segan jika harus menghubungi Gio malam-malam begini. Namun, melihat keadaan Noah yang sedang terbaring demam, membuatnya tidak tega untuk tetap menolak keinginannya. “Halo?