"Lid." Damar menghampiri Lidia yang sedang menyapu halaman depan. Pria yang baru bangun itu memegangi tangan sepupu yang menggenggam sapu lidi. "Tolong pukul kepalaku."
Lidia terheran, sontak menjauhkan tangannya dari Damar. "Kamu kenapa, sih? Masih pagi padahal. Ngigau?"
Damar mengacak rambut. Frustrasi, raut wajahnya semakin susah. Tidak mendapat solusi dari sang sepupu, pria itu kembali ke rumah.
Sungguh Damar kesal. Bukan tipe orang yang gampang mengingat momen, tetapi entah kenapa satu kejadian itu masih tak mau pergi dari pikiran. Terus berputar-putar, membuatnya uring-uringan.
Sudah seminggu berlalu dari pagi itu. Selasa pagi. Saat tak sengaja Damar lewat di depan kamar Kiandra yang pintunya tidak terkunci dengan benar.
Damar tahu perbuatan mengintip adalah salah. Namun, sungguh, kemarin itu ia tidak sengaja. Ketidaksengajaan yang diteruskan.
Sedikit yang ia tahu, h
Hari yang sial. Kiandra menghentak kaki, sementara dirinya duduk di atas kloset. Pantas perut terasa nyeri sejak pagi. Datang bulan hari pertama.Artinya, dia belum hamil. Artinya, jangka waktu lima bulan dari Evan, tinggal sedikit lagi. Artinya, kesejahteraan keluarganya terancam.Sial sekali. Padahal, Kiandra sudah tak mengonsumsi pil kontrasepsi. Kenapa? Kenapa semua hal yang ingin ia tuju selalu sulit untuk tergapai?"Sial!" Memegangi kepalanya, Kiandra menjerit. Perempuan itu berdiri, menyambar handuk untuk dillitkan di pinggang.Ia ingin mengambil pembalut. Namun, yang di kamar mandi habis. Perempuan itu memeriksa laci bawah lemari pakaian, di sana juga kosong."Sial!" Kembali ia merutuk.Kiandra menarik pintu, mengeluarkan sebagian tubuh. "Lid? Lidia?"Tak ada yang menyahut. Tiba-tiba rumah terasa sepi. Ini baru pukul dua siang. Apa Irna sudah pergi
"Kia mana?" Evan yang baru pulang bekerja langsung menanyai istri keduanya itu pada Lidia yang menyambut."Lagi di kamar. Kamu jangan cari masalah terus, Van. Biarin dulu Kia sendirian. Dari pulang kerja enggak keluar kamar."Hanya melirik sekilas pada nasihat Lidia, Evan naik ke lantai dua. Mendatangi kamar Kiandra, meminta gadis itu turun mengikutinya."Aku punya sesuatu untuk kamu." Evan bicara sambil membuka bagasi mobil. Beberapa kali pria itu menatap kesal pada wajah Kia.Perempuan aneh itu mengenakan jaket. Lengkap dengan tudung kepala yang dinaikkan. Mungkin, untuk menutupi wajahnya yang kusut. Mata bengkak, pipi dan hidung merah, agaknya belum selesai menangis sejak kemarin.Evan mengeluarkan dua bungkusan plastik hitam dari bagasi. Langsung ia berikan pada si perempuan."Ini apa?"Akhirnya bicara juga, batin Evan. "Selesaikan malam ini. Besok pag
Kia tersenyum pada pelanggan yang baru saja menaruh barang yang dibeli di meja. Perempuan itu terlampau sibuk, hingga tak memperhatikan siapa yang sedang ia layani."Kia?"Yang dipanggil mengangkat wajah. "Bu Indah? Apa kabar, Buk?""Baik-baik. Kerja di sini sekarang?"Kiandra mengangguk saja. Ia tak bersuara lagi dan fokus menghitung barang-barang yang dibeli bu Indah."Gaji di sini lumayan, Ki?"Kia mengangguk saja."Kamu itu pelit, ya, sama adikmu?"Tangan Kia berhenti seketika. Ia menatap heran pada si tetangga lama yang profesinya pedagang dan punya toko di pasar. Lumayan berkecukupan, jadi kalau bicara terkadang tak memperhatikan layak atau tidak ucapan.Apa maksudnya berkata seperti tadi?"Kamu udah kerja di sini, udah ngekos juga, berarti gajimu lumayan. Apa enggak ngirim ke Bapak atau Ibumu
Warning! 18+ Evan yang sudah berbaring di ranjang melihat Kiandra masuk. Perempuan itu tak langsung naik ke tempat tidur. Kia berdiri di sampingnya, dengan tatapan yang selanjutnya Evan paham apa maksudnya.Si lelaki berpura mengernyit. Ia membalik tubuh, tidur dengan posisi telungkup."Evan,""Aku capek, Ki. Jangan ngajak ribut, tolong.""Aku enggak ngajak ribut." Kiandra terlihat mengetatkan kepalan tangan."Jadi?" Tidak lagi memejam, Evan menaruh bantal di atas kepalanya."Kamu mau punya anak, 'kan?" Bibir Kia berkedut menahan malu. Tak pernah ia bayangkan akan menjadi seperti ini. Namun, demi Rina dan Nando. Terpaksa menuruti kemauan Evan si penguasa, bahkan sampai harus merendahkan diri."Kemarin udah," sahut Evan pelan. "Keseringan juga enggak baik. Kamu kenapa tiba-tiba kayak haus belaian gini?"Evan berharap
Pukul satu dini hari. Kiandra belum tidur. Tangisnya baru saja dimulai. Ini hari Jumat, dan Evan tak datang padanya.Terserah pria itu ingin tidur di mana. Harusnya Kiandra malah senang karena tak harus mengurusi si lelaki. Namun, masalahnya, sekarang keadaan Kiandra sedang genting.Rina, Nando dan ayahnya. Kiandra bahkan tak pergi menemui sang ayah karena takut mendengar aduan dari sana. Dan sekarang, Evan tak datang. seolah menghindar, mempersulit. Atau, sedang merencanakan soal punya istri baru dengan Lidia?Terisak, Kiandra semakin sedih merasakan perutnya yang keroncongan. Sejak siang tak makan. Lidia juga tak datang memanggil turun seperti biasa. Mungkin, sudah dilarang Evan.Perempuan itu pun keluar dari kamar. Menuju dapur, hendak membuat mi instan, tetapi karena tak fokus dan sangat kelaparan, ia malah menjatuhkan wajan.Kiandra berjongkok di depan wajan itu. Menangis. Meratapi diri, kenapa harus sampai sejauh
Damar tersenyum lebar dari balik helm. Nyeri di sekujur tubuhnya tiba-tiba tak terlalu terasa. Satu tangan pria itu menyasar ke belakang. Meraih lengan Kiandra di jok belakang motor, untuk dililitkan di pinggang.Tak masalah dipukul. Tidak masalah ditampar Lidia dan membuat sang sepupu marah. Yang penting, Damar menang. Damar berhasil membawa Kia bersamanya.Tak berapa lama, mereka tiba di sebuah rumah sederhana. Damar menuntun si gadis untuk segera masuk. Ini masih pukul tiga pagi, terlalu dingin untuk berlama-lama di luar."Ini rumah siapa, Dam?" tanya Kiandra saat dirinya diajak duduk di sofa."Rumahku. Baru kubeli seminggu lalu."Mata Kiandra membola, Damar terkekeh ringan. Meski setelahnya pria itu meringis karena gerakan bibir membuat luka di sana seperti dicubit.Damar mendekat, merangkul Kiandra dari samping. Mencium pelipis perempuan itu sekilas. "Aku serius waktu bilang tergila-gila sama kamu. Ak
Wajah Lidia diliputi ketakutan. Berulang kali perempuan itu mencoba menghubungi dua orang itu, tak satu pun mendapat jawaban. Nomor Kiandra atau Damar tidak aktif."Kita harus lapor polisi, Van. Laporkan Damar. Sebut ini penculikan." Pada suaminya yang duduk tegak di sofa lain, perempuan itu mendesak.Sebenarnya, sejak pagi di mana mereka tak menemukan Damar dan Kiandra di rumah, Lidia sudah berniat membuat laporan orang hilang pada pihak berwajib. Melaporkan Damar sebagai pelaku penculikan pun, perempuan itu setuju. Namun, Evan menolak."Evan!" Idenya tak kunjung disetujui, Lidia mulai berang. Sejak kemarin, Evan juga selalu diam."Nanti, Lid. Nanti aja buat laporannya. Jangan kasih tahu siapa pun. Ibuk atau pun orang tua Kia." Pria itu tampak menelan ludah dengan ekspresi kosong. Bibir yang tadi berucap tampak sedikit bergetar, sebelum kakinya menegak.Evan tak sengaja menabrak meja saat
Pertama kali Evan bertemu Kiandra adalah saat pria itu sedang mengontrol salah satu rumah makannya. Di dekat rumah makan itu ada sebuah tempat laundry. Persis di depannya.Evan sudah hendak pulang, saat ia mendengar sebuah tawa. Tidak kencang, hanya saja jalanan dan keadaan yang mendadak sepi membuat tawa indah itu bisa ia dengar.Lelaki itu mencari sumbernya dan menemukan seorang gadis. Tengah menutupi kepala dan seluruh tubuh dengan selimut besar. Bergerak ke kanan dan kiri di depan seorang bocah."Aku hantu. Kamu harusnya takut. Hihihi."Anak itu tertawa. Beberapa orang di tempat laundry itu juga melakukan hal serupa. Dan Evan terpesona. Pada tawa sederhana milik Kiandra. Pertama dan mungkin terakhir kalinya Evan melihat gadis itu tersenyum begitu lepas.Permintaan Dina untuk mendapat cucu dari perempuan lain awalnya Evan tolak mentah-mentah. Ia tak tega menduakan Lidia. Mereka bisa mengadopsi anak saja. Namun, kare
Sudah akan pulang, sudah duduk di atas jok sepeda motornya, Kai menemukan Samara menghampiri. Lelaki ini yakin benar-benar didatangi, sebab setahunya, sepeda motor karwayan lepas ibunya itu ada di sebelah kanan. Sekarang pukul satu siang, Kai dan Samara baru saja pulang mengajar. Kebetulan aneh, Kai dan gadis yang bekerja sampingan sebagai pengantar nastar Kia itu diterima menjadi guru honor di SD yang sama. Bertemu di rumah, bertemu lagi di tempat kerja. Kai mulai terbiasa, tetapi tetap merasa risih saat gadis dengan iris mata sewarna madu itu mendatangi dan muncul di hadapan muka seperti sekarang. Menurut Kai, Samara itu tidak tegak akalnya. Agak miring. Bayangkan, di hari pertama masuk kerja dan mereka bertemu, si gadis dengan rambut hitam sepunggung itu mengaku menyukai Kai. Di depan Kiandra pula. "Apa?" tanya Kai ketus saat Samara hanya diam saja di samping sepeda motornya. Kai menjadi sedikit jengkel saat gadis yang ada di depannya memasang ekspresi wajah santai, menuju da
Hening. Sepi. Ketenangan yang ada di kediaman Evan terasa hampa kali ini. Rumah berlantai dua yang menjadi saksi lika-liku cinta Evan dan Kia itu tidaklah kosong. Bangunan itu berpenghuni, hanya saja masing-masing penghuninya tengah diselimuti kehampaan. Ada peristiwa jelek beberapa waktu lalu. Di kamar yang berada di lantai satu, yang beberapa tahun belakangan ditempati oleh sulung Wijaya. Di sana, Evan memergoki Vano hendak menyayat nadi. Kehebohan terjadi. Evan yang biasanya tenang menjerit histeris dan berusaha mencegah anaknya melanjutkan tindakan mengerikan itu. Dibantu istri dan putrinya, Evan akhirnya berhasil menjauhkan Vano dari pisau terkutuk tadi. Memang, Vano tak baik-baik saja setahun belakangan. Sejak kecelakaan tragis yang menyebabkan kaki kanannya pincang, Vano mengalami masa-masa sulit untuk beradaptasi dengan keadaan barunya. Mengasingkan diri, menarik diri, menjauhi semua orang, bahkan menunda pengerjaan tugas akhir kuliah. Evan tahu semua itu tidak mudah. Na
"Papa enggak sayang Vian!" Kalimat keramat, batin Evan. Di depan putrinya yang masih mengenakan seragam putih abu-abu, lelaki itu mengepalkan tangan. "Apa salahnya, Pa? Vian udah gede! Udah tujuh belas! Pacaran aja enggak boleh?" Pipi Vian merah. Ia mengingat bagaimana ayahnya memarahi Glen di muka umum tadi. Kekasihnya itu pasti malu. Tahu sendiri kalau ayahnya sudah murka, mulutnya lebih pedas dari sambal rawit buatan nenek. Mengusap wajah, Evan menarik napas. "Pacaran? Untuk apa? Dengan siapa? Kamu bahkan enggak mengenalkan dia ke Papa, Vian. Kamu sehat?" Rahangnya yang tirus mengetat, mata si gadis memerah. "Papa udah enggak sayang Vian!" tuduhnya dengan wajah terluka. Kemudian, remaja itu berbalik, menaiki tangga dengan tergesa. "Vian?" Evan memanggil. "Navian Kaiandra Wijaya!" Suaranya menggelegar ke seluruh penjuru rumah. Langkah Vian berhenti. Ia berbalik, menoleh dengan sorot marah pada ayahnya. "Papa udah enggak sayang Vian! Vian kesal! Vian enggak mau ngomong dulu sa
"Abang, kok, kita dilihatin mereka?" Gadis kecil dengan kaus kuning itu bergeser ke kanan agar semakin dekat dengan sang kakak. Kai melirik pada beberapa pegawai di rumah makan itu. Anak lelaki itu tahu apa yang adiknya maksud. Memang, mereka sedang jadi bahan tontonan sekarang. Bukan hanya pegawai bagian dapur yang ada di sini, pekerja yang biasanya siap siaga di depan pun sudah silih berganti muncul. Sekadar pura-pura lewat, demi bisa melihat mereka. "Abang?" Si gadis kecil menyenggol bahu kakaknya. Tangannya yang kecil itu terus berusaha mencuci kentang dalam ember yang penuh air. "Enggak apa, Vian. Mereka itu teman Papa. Vian takut?" Kai melempar senyum tulus pada sang adik. Gadis kecil berambut hitam sepundak itu mengangguk. Matanya yang sedikit bengkak mulai berkaca-kaca lagi. "Salah Vian. Maafin Vian, ya, Bang?" Ia membersit hidung. Kai mengangguk. Tangannya basah, anak itu menyentuh kepala sang adik dengan lengan. "Abang juga salah." Kai dan Vian sedang dihukum. Oleh ay
Menemukan Evan sedang duduk sendirian di ruang makan, Kiandra terkekeh pelan. Memasang raut datar setelahnya, perempuan itu duduk di pangkuan sang suami. "Nungguin siapa? Enggak dikasih jatah, kamu mau beneran selingkuh sama Nona Daster Putih?" Tidak dijawab, Kiandra mengalihkan tatap karena Evan malah memandangi. Dari jarak sedekat ini, dengan sorot mata dalam dan teduh pria itu, Kiandra sudah berdebar saja. "Lihat mataku," Evan meraih dagu Kia, membuat perempuan itu kembali menatapi. Evan suka saat melihat pantulan dirinya di beningnya netra coklat sang istri. Mengendalikan detak jantung, Kiandra tak bisa untuk tak memeluk lelakinya itu. "Kenapa duduk sendirian di sini?" "Pengin mi instan goreng. Buat, gih." Ah. Kia tak bisa tak tersenyum. Perempuan itu menjungkitkkan ujung bibir. Ia kecup pipi Evan lama. "Tumben," ejeknya sengaja. Evan menggeleng. Ia juga tak paham. Tadi itu sudah makan. Ikan goreng yang Kia siapkan, sungguh enak. Namun, entah k
Kiandra itu gila. Evan tidak akan meralat ucapan itu. Ia juga tak akan mau meminta maaf kalau pun istrinya itu mendengar apa yang barusan ia suarakan dalam hati."Kamu apa enggak bisa ambil libur satu hari aja?" Begitu rengek ibunya Kai di pagi saat Evan sudah akan berangkat bekerja. Tidak ada angin, hujan atau badai, Kiandra atau Vano juga tidak sakit. Evan menolak permintaan itu. Jelas. Untuk apa ia libur mendadak, sementara sudah ada jatah libur? Lagipula untuk apa? Kia mau apa? Tadi pagi itu, Evan sudah akan berangkat. Lalu apa? Kiandra yang berusia kepala tiga itu menangis dengan segelas air di tangan kanan dan kunci mobil Evan di tangan kiri. "Kalau kamu tetap berangkat, aku telan ini kunci mobilmu." Kia mengancam tepat di dekat tangga rumah, sedangkan suaminya di anak tangga. Reaksi Evan kala itu, hanya tertawa. "Telan, coba. Bisa memangnya?" Kia benar-benar menaruh ujung kunci mobil Evan di lidah
Menggandeng Kai dengan tangan kanan, Kiandra terlihat berjalan tergopoh memasuki rumah. Di balik helm yang masih terpasang, pipi wanita itu basah. "Evan!" panggilnya kencang. Sampai di ruang tamu, Kiandra langsung memeluk Evan yang terduduk di sofa. Tangisnya pecah. "Kenapa bisa? Mana yang sakit? Kamu geger otak?" Kiandra menyentuh perban kecil di dahi kiri Evan. Tadi, tepat setelah jam sekolah Kai usai, Kiandra dihubungi Evan. Lelaki itu mengabari jika dirinya ada di rumah, habis mengalami kecelakaan kecil. Sejak mendengar itu hingga di perjalanan menuju rumah, Kiandra tak berhenti menangis. Ia sungguh cemas dan sedih. Kenapa bisa Evan kecelakaan? Pria itu adalah orang yang selalu berhati-hati. Perasaannya makin tak tentu tadi, karena Evan menolak menjelaskan detail luka yang didapat. Saat melihat keadaan pria itu saat ini, Kiandra jadi makin ketakutan. Ada memar di pipi Evan. Atas pelipis kirinya ditempeli perba
"Jadi, kenapa waktu itu kamu cuma ngakuin Lidia?" Kiandra bertanya pada suaminya. Pukul satu dini hari. Kiandra tengah berbaring di pelukan Evan. Mereka berdua berbagi selimut. Evan menarik bibir Kia. "Hobi banget ngungkit masa lalu. Untuk apa?" "Jawab," desak Kia. Bibirnya yang barusan dicubit terasa sedikt sakit. "Ya biar enggak ribet. Kalau aku kasih tahu kamu juga istriku, kenalanku itu pasti banyak tanya. Atau, kalau dia enggak tanya langsung, dia pasti mikir aneh-aneh." Kiandra berbaring telungkup. Evan melirik sewot. Perempuan itu sepertinya sengaja pamer-pamer. Dari tempatnya, Evan bisa melihat dua benda cantik itu menggantung bebas. "Mikir aneh apa?" Kiandra bertanya seraya menarik Evan yang hendak tidur menyamping. "Pikir aja sendiri!" Evan menarik selimut, menyelimuti dirinya hingga ujung kepala. Pria itu mengulum senyum. "Evan! Jawab dulu! Mikir aneh apa?" Wah! Jebakan berhasil. Saat selimut di atas wajah Evan ditarik Kia
Membuka mata, bangun dari tidur, pagi ini Evan heran apa dirinya sedang ada di surga atau masih di Bumi. Sebab, pemandangan di depan pria itu sungguh bagus. Lebih indah dari apa pun. Ada Kia dan Vano. Mereka di dekat lemari pakaian, si istri sedang membantu anak mereka mengenakan seragam sekolah. Ditambah senyum indah yang di wajah dua orang itu, Evan sungguh merasa dirinya sudah di surga. "Papa! Papa udah bangun!" Vano berlari, menghampiri dan naik ke tempat tidur. Anak itu memeluk ayahnya yang baru saja duduk. "Ibuk ikut antar Kai ke sekolah hari ini." Anak itu kegirangan. "Beneran Ibuk tinggal di sini dan enggak pulang-pulang lagi?" Evan mengangguk. Mengecup pipi Vano. "Tadi pagi Vano lihat sendiri, 'kan? Ibuk boboknya sama kita." Kai mengangguk. Ia turun dari pangkuan Evan dan mendatangi Kia. Membiarkan ibunya itu mengancingkan kembali seragam sekolah. Senyumnya tak pudar dari wajah. "Oke. Seragam selesai. Turun, biar sarap