"Ngapain aku keluar? Ini kamarku. Cepat makan. Habiskan." Mangkuk itu Kia berikan pada Evan. "Makan sendiri. Aku balik dari kamar mandi dan buburnya belum habis, kucukur bulu kakimu!"
"Kia!"
Pada teriakan Evan itu Kiandra hanya tersenyum. Perempuan itu pergi ke toliet di kamar dengan perasaan menang. Akhirnya, ia punya senjata untuk melawan si keras kepala.
Selesai dari toilet, Kia mendapati mangkuk bubur kosong. Air di gelas juga sama. Evan sendiri sudah duduk, kakinya menjulur ke bawah ranjang.
"Bantuin aku ke kamar mandi." Tangan Evan meraih lengan Kia.
"Obat kamu udah?"
Evan berdiri, sebelah lengannya mengalung ke bahu Kia. "Kamar mandi."
Kalau bukan karena kasihan, Kia tak akan mau membantu. Terpaksa, perempuan itu memapah sang suami ke kamar mandi.
"Kamu mau ngapain?" Sudah di dekat toilet duduk, Kia berusaha melepaskan rangkulan lengan Evan di leher. Namun, pria itu tak mau
"Lid." Damar menghampiri Lidia yang sedang menyapu halaman depan. Pria yang baru bangun itu memegangi tangan sepupu yang menggenggam sapu lidi. "Tolong pukul kepalaku."Lidia terheran, sontak menjauhkan tangannya dari Damar. "Kamu kenapa, sih? Masih pagi padahal. Ngigau?"Damar mengacak rambut. Frustrasi, raut wajahnya semakin susah. Tidak mendapat solusi dari sang sepupu, pria itu kembali ke rumah.Sungguh Damar kesal. Bukan tipe orang yang gampang mengingat momen, tetapi entah kenapa satu kejadian itu masih tak mau pergi dari pikiran. Terus berputar-putar, membuatnya uring-uringan.Sudah seminggu berlalu dari pagi itu. Selasa pagi. Saat tak sengaja Damar lewat di depan kamar Kiandra yang pintunya tidak terkunci dengan benar.Damar tahu perbuatan mengintip adalah salah. Namun, sungguh, kemarin itu ia tidak sengaja. Ketidaksengajaan yang diteruskan.Sedikit yang ia tahu, h
Hari yang sial. Kiandra menghentak kaki, sementara dirinya duduk di atas kloset. Pantas perut terasa nyeri sejak pagi. Datang bulan hari pertama.Artinya, dia belum hamil. Artinya, jangka waktu lima bulan dari Evan, tinggal sedikit lagi. Artinya, kesejahteraan keluarganya terancam.Sial sekali. Padahal, Kiandra sudah tak mengonsumsi pil kontrasepsi. Kenapa? Kenapa semua hal yang ingin ia tuju selalu sulit untuk tergapai?"Sial!" Memegangi kepalanya, Kiandra menjerit. Perempuan itu berdiri, menyambar handuk untuk dillitkan di pinggang.Ia ingin mengambil pembalut. Namun, yang di kamar mandi habis. Perempuan itu memeriksa laci bawah lemari pakaian, di sana juga kosong."Sial!" Kembali ia merutuk.Kiandra menarik pintu, mengeluarkan sebagian tubuh. "Lid? Lidia?"Tak ada yang menyahut. Tiba-tiba rumah terasa sepi. Ini baru pukul dua siang. Apa Irna sudah pergi
"Kia mana?" Evan yang baru pulang bekerja langsung menanyai istri keduanya itu pada Lidia yang menyambut."Lagi di kamar. Kamu jangan cari masalah terus, Van. Biarin dulu Kia sendirian. Dari pulang kerja enggak keluar kamar."Hanya melirik sekilas pada nasihat Lidia, Evan naik ke lantai dua. Mendatangi kamar Kiandra, meminta gadis itu turun mengikutinya."Aku punya sesuatu untuk kamu." Evan bicara sambil membuka bagasi mobil. Beberapa kali pria itu menatap kesal pada wajah Kia.Perempuan aneh itu mengenakan jaket. Lengkap dengan tudung kepala yang dinaikkan. Mungkin, untuk menutupi wajahnya yang kusut. Mata bengkak, pipi dan hidung merah, agaknya belum selesai menangis sejak kemarin.Evan mengeluarkan dua bungkusan plastik hitam dari bagasi. Langsung ia berikan pada si perempuan."Ini apa?"Akhirnya bicara juga, batin Evan. "Selesaikan malam ini. Besok pag
Kia tersenyum pada pelanggan yang baru saja menaruh barang yang dibeli di meja. Perempuan itu terlampau sibuk, hingga tak memperhatikan siapa yang sedang ia layani."Kia?"Yang dipanggil mengangkat wajah. "Bu Indah? Apa kabar, Buk?""Baik-baik. Kerja di sini sekarang?"Kiandra mengangguk saja. Ia tak bersuara lagi dan fokus menghitung barang-barang yang dibeli bu Indah."Gaji di sini lumayan, Ki?"Kia mengangguk saja."Kamu itu pelit, ya, sama adikmu?"Tangan Kia berhenti seketika. Ia menatap heran pada si tetangga lama yang profesinya pedagang dan punya toko di pasar. Lumayan berkecukupan, jadi kalau bicara terkadang tak memperhatikan layak atau tidak ucapan.Apa maksudnya berkata seperti tadi?"Kamu udah kerja di sini, udah ngekos juga, berarti gajimu lumayan. Apa enggak ngirim ke Bapak atau Ibumu
Warning! 18+ Evan yang sudah berbaring di ranjang melihat Kiandra masuk. Perempuan itu tak langsung naik ke tempat tidur. Kia berdiri di sampingnya, dengan tatapan yang selanjutnya Evan paham apa maksudnya.Si lelaki berpura mengernyit. Ia membalik tubuh, tidur dengan posisi telungkup."Evan,""Aku capek, Ki. Jangan ngajak ribut, tolong.""Aku enggak ngajak ribut." Kiandra terlihat mengetatkan kepalan tangan."Jadi?" Tidak lagi memejam, Evan menaruh bantal di atas kepalanya."Kamu mau punya anak, 'kan?" Bibir Kia berkedut menahan malu. Tak pernah ia bayangkan akan menjadi seperti ini. Namun, demi Rina dan Nando. Terpaksa menuruti kemauan Evan si penguasa, bahkan sampai harus merendahkan diri."Kemarin udah," sahut Evan pelan. "Keseringan juga enggak baik. Kamu kenapa tiba-tiba kayak haus belaian gini?"Evan berharap
Pukul satu dini hari. Kiandra belum tidur. Tangisnya baru saja dimulai. Ini hari Jumat, dan Evan tak datang padanya.Terserah pria itu ingin tidur di mana. Harusnya Kiandra malah senang karena tak harus mengurusi si lelaki. Namun, masalahnya, sekarang keadaan Kiandra sedang genting.Rina, Nando dan ayahnya. Kiandra bahkan tak pergi menemui sang ayah karena takut mendengar aduan dari sana. Dan sekarang, Evan tak datang. seolah menghindar, mempersulit. Atau, sedang merencanakan soal punya istri baru dengan Lidia?Terisak, Kiandra semakin sedih merasakan perutnya yang keroncongan. Sejak siang tak makan. Lidia juga tak datang memanggil turun seperti biasa. Mungkin, sudah dilarang Evan.Perempuan itu pun keluar dari kamar. Menuju dapur, hendak membuat mi instan, tetapi karena tak fokus dan sangat kelaparan, ia malah menjatuhkan wajan.Kiandra berjongkok di depan wajan itu. Menangis. Meratapi diri, kenapa harus sampai sejauh
Damar tersenyum lebar dari balik helm. Nyeri di sekujur tubuhnya tiba-tiba tak terlalu terasa. Satu tangan pria itu menyasar ke belakang. Meraih lengan Kiandra di jok belakang motor, untuk dililitkan di pinggang.Tak masalah dipukul. Tidak masalah ditampar Lidia dan membuat sang sepupu marah. Yang penting, Damar menang. Damar berhasil membawa Kia bersamanya.Tak berapa lama, mereka tiba di sebuah rumah sederhana. Damar menuntun si gadis untuk segera masuk. Ini masih pukul tiga pagi, terlalu dingin untuk berlama-lama di luar."Ini rumah siapa, Dam?" tanya Kiandra saat dirinya diajak duduk di sofa."Rumahku. Baru kubeli seminggu lalu."Mata Kiandra membola, Damar terkekeh ringan. Meski setelahnya pria itu meringis karena gerakan bibir membuat luka di sana seperti dicubit.Damar mendekat, merangkul Kiandra dari samping. Mencium pelipis perempuan itu sekilas. "Aku serius waktu bilang tergila-gila sama kamu. Ak
Wajah Lidia diliputi ketakutan. Berulang kali perempuan itu mencoba menghubungi dua orang itu, tak satu pun mendapat jawaban. Nomor Kiandra atau Damar tidak aktif."Kita harus lapor polisi, Van. Laporkan Damar. Sebut ini penculikan." Pada suaminya yang duduk tegak di sofa lain, perempuan itu mendesak.Sebenarnya, sejak pagi di mana mereka tak menemukan Damar dan Kiandra di rumah, Lidia sudah berniat membuat laporan orang hilang pada pihak berwajib. Melaporkan Damar sebagai pelaku penculikan pun, perempuan itu setuju. Namun, Evan menolak."Evan!" Idenya tak kunjung disetujui, Lidia mulai berang. Sejak kemarin, Evan juga selalu diam."Nanti, Lid. Nanti aja buat laporannya. Jangan kasih tahu siapa pun. Ibuk atau pun orang tua Kia." Pria itu tampak menelan ludah dengan ekspresi kosong. Bibir yang tadi berucap tampak sedikit bergetar, sebelum kakinya menegak.Evan tak sengaja menabrak meja saat