"Kia mana?" Evan yang baru pulang bekerja langsung menanyai istri keduanya itu pada Lidia yang menyambut.
"Lagi di kamar. Kamu jangan cari masalah terus, Van. Biarin dulu Kia sendirian. Dari pulang kerja enggak keluar kamar."
Hanya melirik sekilas pada nasihat Lidia, Evan naik ke lantai dua. Mendatangi kamar Kiandra, meminta gadis itu turun mengikutinya.
"Aku punya sesuatu untuk kamu." Evan bicara sambil membuka bagasi mobil. Beberapa kali pria itu menatap kesal pada wajah Kia.
Perempuan aneh itu mengenakan jaket. Lengkap dengan tudung kepala yang dinaikkan. Mungkin, untuk menutupi wajahnya yang kusut. Mata bengkak, pipi dan hidung merah, agaknya belum selesai menangis sejak kemarin.
Evan mengeluarkan dua bungkusan plastik hitam dari bagasi. Langsung ia berikan pada si perempuan.
"Ini apa?"
Akhirnya bicara juga, batin Evan. "Selesaikan malam ini. Besok pag
Kia tersenyum pada pelanggan yang baru saja menaruh barang yang dibeli di meja. Perempuan itu terlampau sibuk, hingga tak memperhatikan siapa yang sedang ia layani."Kia?"Yang dipanggil mengangkat wajah. "Bu Indah? Apa kabar, Buk?""Baik-baik. Kerja di sini sekarang?"Kiandra mengangguk saja. Ia tak bersuara lagi dan fokus menghitung barang-barang yang dibeli bu Indah."Gaji di sini lumayan, Ki?"Kia mengangguk saja."Kamu itu pelit, ya, sama adikmu?"Tangan Kia berhenti seketika. Ia menatap heran pada si tetangga lama yang profesinya pedagang dan punya toko di pasar. Lumayan berkecukupan, jadi kalau bicara terkadang tak memperhatikan layak atau tidak ucapan.Apa maksudnya berkata seperti tadi?"Kamu udah kerja di sini, udah ngekos juga, berarti gajimu lumayan. Apa enggak ngirim ke Bapak atau Ibumu
Warning! 18+ Evan yang sudah berbaring di ranjang melihat Kiandra masuk. Perempuan itu tak langsung naik ke tempat tidur. Kia berdiri di sampingnya, dengan tatapan yang selanjutnya Evan paham apa maksudnya.Si lelaki berpura mengernyit. Ia membalik tubuh, tidur dengan posisi telungkup."Evan,""Aku capek, Ki. Jangan ngajak ribut, tolong.""Aku enggak ngajak ribut." Kiandra terlihat mengetatkan kepalan tangan."Jadi?" Tidak lagi memejam, Evan menaruh bantal di atas kepalanya."Kamu mau punya anak, 'kan?" Bibir Kia berkedut menahan malu. Tak pernah ia bayangkan akan menjadi seperti ini. Namun, demi Rina dan Nando. Terpaksa menuruti kemauan Evan si penguasa, bahkan sampai harus merendahkan diri."Kemarin udah," sahut Evan pelan. "Keseringan juga enggak baik. Kamu kenapa tiba-tiba kayak haus belaian gini?"Evan berharap
Pukul satu dini hari. Kiandra belum tidur. Tangisnya baru saja dimulai. Ini hari Jumat, dan Evan tak datang padanya.Terserah pria itu ingin tidur di mana. Harusnya Kiandra malah senang karena tak harus mengurusi si lelaki. Namun, masalahnya, sekarang keadaan Kiandra sedang genting.Rina, Nando dan ayahnya. Kiandra bahkan tak pergi menemui sang ayah karena takut mendengar aduan dari sana. Dan sekarang, Evan tak datang. seolah menghindar, mempersulit. Atau, sedang merencanakan soal punya istri baru dengan Lidia?Terisak, Kiandra semakin sedih merasakan perutnya yang keroncongan. Sejak siang tak makan. Lidia juga tak datang memanggil turun seperti biasa. Mungkin, sudah dilarang Evan.Perempuan itu pun keluar dari kamar. Menuju dapur, hendak membuat mi instan, tetapi karena tak fokus dan sangat kelaparan, ia malah menjatuhkan wajan.Kiandra berjongkok di depan wajan itu. Menangis. Meratapi diri, kenapa harus sampai sejauh
Damar tersenyum lebar dari balik helm. Nyeri di sekujur tubuhnya tiba-tiba tak terlalu terasa. Satu tangan pria itu menyasar ke belakang. Meraih lengan Kiandra di jok belakang motor, untuk dililitkan di pinggang.Tak masalah dipukul. Tidak masalah ditampar Lidia dan membuat sang sepupu marah. Yang penting, Damar menang. Damar berhasil membawa Kia bersamanya.Tak berapa lama, mereka tiba di sebuah rumah sederhana. Damar menuntun si gadis untuk segera masuk. Ini masih pukul tiga pagi, terlalu dingin untuk berlama-lama di luar."Ini rumah siapa, Dam?" tanya Kiandra saat dirinya diajak duduk di sofa."Rumahku. Baru kubeli seminggu lalu."Mata Kiandra membola, Damar terkekeh ringan. Meski setelahnya pria itu meringis karena gerakan bibir membuat luka di sana seperti dicubit.Damar mendekat, merangkul Kiandra dari samping. Mencium pelipis perempuan itu sekilas. "Aku serius waktu bilang tergila-gila sama kamu. Ak
Wajah Lidia diliputi ketakutan. Berulang kali perempuan itu mencoba menghubungi dua orang itu, tak satu pun mendapat jawaban. Nomor Kiandra atau Damar tidak aktif."Kita harus lapor polisi, Van. Laporkan Damar. Sebut ini penculikan." Pada suaminya yang duduk tegak di sofa lain, perempuan itu mendesak.Sebenarnya, sejak pagi di mana mereka tak menemukan Damar dan Kiandra di rumah, Lidia sudah berniat membuat laporan orang hilang pada pihak berwajib. Melaporkan Damar sebagai pelaku penculikan pun, perempuan itu setuju. Namun, Evan menolak."Evan!" Idenya tak kunjung disetujui, Lidia mulai berang. Sejak kemarin, Evan juga selalu diam."Nanti, Lid. Nanti aja buat laporannya. Jangan kasih tahu siapa pun. Ibuk atau pun orang tua Kia." Pria itu tampak menelan ludah dengan ekspresi kosong. Bibir yang tadi berucap tampak sedikit bergetar, sebelum kakinya menegak.Evan tak sengaja menabrak meja saat
Pertama kali Evan bertemu Kiandra adalah saat pria itu sedang mengontrol salah satu rumah makannya. Di dekat rumah makan itu ada sebuah tempat laundry. Persis di depannya.Evan sudah hendak pulang, saat ia mendengar sebuah tawa. Tidak kencang, hanya saja jalanan dan keadaan yang mendadak sepi membuat tawa indah itu bisa ia dengar.Lelaki itu mencari sumbernya dan menemukan seorang gadis. Tengah menutupi kepala dan seluruh tubuh dengan selimut besar. Bergerak ke kanan dan kiri di depan seorang bocah."Aku hantu. Kamu harusnya takut. Hihihi."Anak itu tertawa. Beberapa orang di tempat laundry itu juga melakukan hal serupa. Dan Evan terpesona. Pada tawa sederhana milik Kiandra. Pertama dan mungkin terakhir kalinya Evan melihat gadis itu tersenyum begitu lepas.Permintaan Dina untuk mendapat cucu dari perempuan lain awalnya Evan tolak mentah-mentah. Ia tak tega menduakan Lidia. Mereka bisa mengadopsi anak saja. Namun, kare
Kiandra terbangun di dini hari. Perempuan itu duduk, lalu berlari turun dari ranjang. Ia cukup terkejut saat melihat Damar duduk di depan pintu kamarnya."Kenapa, Ki?""Mau muntah, Dam. Aku mau muntah." Perempuan itu berlari menuju kamar mandi. Memuntahkan isi perut cukup lama di sana.Keluar dari sana, Kiandra menepis pelan tangan Damar yang berusaha memapahnya. "Aku mau ke dapur," kilahnya memutar arah langkah.Damar mengikuti. Membantu Kiandra minum, bahkan memijat tengkuk. "Salah makan, ya?"Yang ditanya mengangguk saja. Matanya berembun. "Aku memang ada asam lambung. Mungkin karena rujak yang aku makan kemarin."Si lelaki mengangguk kecewa. "Tahu ada asam lambung, kenapa minta rujak?" Ia mengusap puncak kepala Kia."Lagi pengin," sahut si gadis. "Kamu kenapa belum tidur? Tadi, ngapain duduk di depan kamar?"Damar tersenyum lembut. Ia
Sore ini, di rumah kontrakan Freya, Kiandra sedang menceritakan masalah apa yang sedang dihadapi. Terbata-bata karena menangis, Kiandra juga harus terus-terusan menghirup aroma dari minyak angin di tangan. Beberapa hari belakangan ia merasa sering mual dan lemas.Kiandra sudah menceritakan separuh. Dari mulai pernikahan terpaksannya dengan Evan, bagaimana sikap Evan selama mereka hidup seatap, perjanjian lima bulam yang nyaris habis dan juga Lidia."Jadi, si Damar ini siapa?""Sepupunya Lidia." Di atas ranjang, Kiandra memutuskan untuk berbaring. Kepalanya terasa pusing.Pelan-pelan, runut, Kiandra menceritakan kembali apa yang sudah dilalui dengan Damar. Dari mulai perjumpaan tak terduga mereka, sampai ke kedekatan yang tak seharusnya ada."Kamu selingkuh? Astaga, Kia!" Freya tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya untuk kesekian kali. Terlalu banyak hal besar yang sang sahabat tuturkan padanya di satu waktu.