Wajah Lidia diliputi ketakutan. Berulang kali perempuan itu mencoba menghubungi dua orang itu, tak satu pun mendapat jawaban. Nomor Kiandra atau Damar tidak aktif.
"Kita harus lapor polisi, Van. Laporkan Damar. Sebut ini penculikan." Pada suaminya yang duduk tegak di sofa lain, perempuan itu mendesak.
Sebenarnya, sejak pagi di mana mereka tak menemukan Damar dan Kiandra di rumah, Lidia sudah berniat membuat laporan orang hilang pada pihak berwajib. Melaporkan Damar sebagai pelaku penculikan pun, perempuan itu setuju. Namun, Evan menolak.
"Evan!" Idenya tak kunjung disetujui, Lidia mulai berang. Sejak kemarin, Evan juga selalu diam.
"Nanti, Lid. Nanti aja buat laporannya. Jangan kasih tahu siapa pun. Ibuk atau pun orang tua Kia." Pria itu tampak menelan ludah dengan ekspresi kosong. Bibir yang tadi berucap tampak sedikit bergetar, sebelum kakinya menegak.
Evan tak sengaja menabrak meja saat
Pertama kali Evan bertemu Kiandra adalah saat pria itu sedang mengontrol salah satu rumah makannya. Di dekat rumah makan itu ada sebuah tempat laundry. Persis di depannya.Evan sudah hendak pulang, saat ia mendengar sebuah tawa. Tidak kencang, hanya saja jalanan dan keadaan yang mendadak sepi membuat tawa indah itu bisa ia dengar.Lelaki itu mencari sumbernya dan menemukan seorang gadis. Tengah menutupi kepala dan seluruh tubuh dengan selimut besar. Bergerak ke kanan dan kiri di depan seorang bocah."Aku hantu. Kamu harusnya takut. Hihihi."Anak itu tertawa. Beberapa orang di tempat laundry itu juga melakukan hal serupa. Dan Evan terpesona. Pada tawa sederhana milik Kiandra. Pertama dan mungkin terakhir kalinya Evan melihat gadis itu tersenyum begitu lepas.Permintaan Dina untuk mendapat cucu dari perempuan lain awalnya Evan tolak mentah-mentah. Ia tak tega menduakan Lidia. Mereka bisa mengadopsi anak saja. Namun, kare
Kiandra terbangun di dini hari. Perempuan itu duduk, lalu berlari turun dari ranjang. Ia cukup terkejut saat melihat Damar duduk di depan pintu kamarnya."Kenapa, Ki?""Mau muntah, Dam. Aku mau muntah." Perempuan itu berlari menuju kamar mandi. Memuntahkan isi perut cukup lama di sana.Keluar dari sana, Kiandra menepis pelan tangan Damar yang berusaha memapahnya. "Aku mau ke dapur," kilahnya memutar arah langkah.Damar mengikuti. Membantu Kiandra minum, bahkan memijat tengkuk. "Salah makan, ya?"Yang ditanya mengangguk saja. Matanya berembun. "Aku memang ada asam lambung. Mungkin karena rujak yang aku makan kemarin."Si lelaki mengangguk kecewa. "Tahu ada asam lambung, kenapa minta rujak?" Ia mengusap puncak kepala Kia."Lagi pengin," sahut si gadis. "Kamu kenapa belum tidur? Tadi, ngapain duduk di depan kamar?"Damar tersenyum lembut. Ia
Sore ini, di rumah kontrakan Freya, Kiandra sedang menceritakan masalah apa yang sedang dihadapi. Terbata-bata karena menangis, Kiandra juga harus terus-terusan menghirup aroma dari minyak angin di tangan. Beberapa hari belakangan ia merasa sering mual dan lemas.Kiandra sudah menceritakan separuh. Dari mulai pernikahan terpaksannya dengan Evan, bagaimana sikap Evan selama mereka hidup seatap, perjanjian lima bulam yang nyaris habis dan juga Lidia."Jadi, si Damar ini siapa?""Sepupunya Lidia." Di atas ranjang, Kiandra memutuskan untuk berbaring. Kepalanya terasa pusing.Pelan-pelan, runut, Kiandra menceritakan kembali apa yang sudah dilalui dengan Damar. Dari mulai perjumpaan tak terduga mereka, sampai ke kedekatan yang tak seharusnya ada."Kamu selingkuh? Astaga, Kia!" Freya tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya untuk kesekian kali. Terlalu banyak hal besar yang sang sahabat tuturkan padanya di satu waktu.
"Evan Wijaya." Freya mengetik nama itu di kolom pencarian salah satu media sosial. Itu nama lengkap suami Kia, ia penasaran soal rupa si lelaki."Ngapain, sih, Frey?" Kiandra memilih menyibukkan diri dengan tontonan di televisi. Ini malam kelimanya di kamar kontrakan Freya."Gila. Yang tampangnya kayak gini kamu selingkuhin, Ki?"Pada Freya yang tertawa mengejek, Kiandra memukulkan bantal. Masih saja risih dan bersalah tiap kali masalah itu diungkit."Wajahnya memang bagus. Kelakuannya yang enggak bagus." Kiandra merasa tertampar. Memangnya ia punya hak menghakimi orang lain, sedang perilaku sendiri jauh dari kata baik."Dia kasar?"Perempuan berkaus hitam menggeleng. "Kayak patung. Kalau enggak diajak ngomong, enggak akan bersuara. Tukang maksa. Tukang ngatur. Hobinya ngatain aku enggak punya tata krama dan sopan santun. Selalu nyuruh diam."F
Kiandra menolak lagi diajak turun untuk sarapan. Karenanya, Lidia memutuskan untuk mengantar makanan ke kamar si perempuan. Sejak pulang bersama Evan dua hari lalu, Kiandra memang hanya di kamar saja."Makan dulu, Ki. Kamu bisa sakit kalau terus-terusan enggak makan." Lidia duduk di tepian tempat tidur. Mencoba membujuk dengan menyuapi si istri kedua Evan itu.Kiandra menggeleng. Perempuan itu duduk, memperhatikan wajah Lidia sesaat, kemudian mengambil kesimpulan. Pasti, Lidia belum tahu berita baru soal dirinya, karenanya masih bersikap baik begini.Menarik napas, Kia berujar, "Aku hamil, Lid."Sendok di tangan Lidia jatuh ke piring. Perempuan itu terlihat melebarkan mata, wajahnya menggambarkan keterkejutan yang teramat.Ini berita yang memang Lidia tunggu. Ia dan Evan memang mendambakan berita ini sejak lama. Maka, perempuan itu pun langsung memeluk Kiandra."Akhirnya. Akhirnya kamu hamil juga."
"Kamu masih yakin kalau ini anakmu?"Pada pertanyaan yang entah sudah berapa ratus kali itu, Evan hanya bisa mengembuskan napas kasar lewat mulut. Sendok berisi bubur ia taruh, sekaligus dengan mangkuknya.Pada Kiandra yang menjadikan kepala ranjang sebagai sandaran, pria itu menatap tajam. "Kata dokter, usia kandungan kamu 4 minggu. Enggak cocok sama kapan kamu mulai kabur sama Damar."Evan ingin sekali mengguncang kepala Kia yang sekarang malah menampilkan wajah cemberut. Sebenarnya, apa mau perempuan itu?"Anggap aku udah hamil duluan, sebelum kabur sama Damar. Kamu yakin aku enggak berhubungan sama dia?"Kan. Evan tak tahan. Laki-laki itu memalingkan wajah, memijat pangkal hidungnya. "Kamu pernah tidur sama Damar?" tanyanya langsung.Dan seperti yang sudah-sudah, Kiandra tak akan menjawab dengan kalimat jelas. Perempuan itu hanya akan menangis dan menunduk dalam-dalam.
Hari ini akan selalu Kiandra ingat seumur hidup. Hari ulang tahun paling suram yang ia miliki.Tadi, ada perayaan kecil-kecilan. Tanpa sepengetahuannya dan semua orang di rumah ini, Dina datang. Tidak seorang diri, melainkan bersama Andra, Siska, orang tua Kia, juga keluarga Rina dan Nando.Ada acara tiup lilin, potong kue dan pemberian kado. Setelahnya, mereka makan siang bersama. Lalu Evan memberi pengumuman soal kehamilan.Semua orang tampak senang. Terutama Dina. Orang tua Kia juga terlihat bahagia. Kiandra berduka sebab fakta yang ia dengar dari Rina dan Nando.Evan memang menagih utang itu. Tiga puluh juta, Evan minta dibayarkan segera. Itu karena sang suami melihat Toni bersama dengan perempuan lain."Si Toni itu coba-coba selingkuh, Kak. Untung ditagih Bang Evan pas di depan selingkuhannya. Dia malu dan ngaku."Begitu pengakuan Rina tadi siang. Pengakuan yang berhasil membuat Kiandra semakin kehila
Baru saja Kiandra berhasil mengumpulkan keberanian untuk turun dan makan malam bersama yang lain. Namun, sebuah pesan dari sang ayah membuatnya mengurungkan niat tersebut.Andra membahas soal rumah mereka. Ayahnya itu memberi tahu jika surat rumah tersebut sudah lama berganti nama. Sudah sepenuhnya menjadi milik Andra, sejak sebulan pernikahan Kia dan Evan.Terduduk di belakang pintu kamar yang sedikit terbuka, Kiandra tak punya tenaga untuk menangis. Ia hanya diam, meratap dalam hati dan bingung."Kia."Pintu terbuka lebih lebar. Evan berdiri di sana. Kiandra hampir tak sanggup menahan diri untuk tak mengumpat kala mendapati raut di wajah pria itu. Biasa saja. Tak ada kemarahan atau kebencian."Makin hari makin aneh, ya. Ngapain duduk di situ? Turun. Makan."Lengan Kiandra dipegangi. Ia ditarik hingga berdiri. Namun, perempuan itu menolak dibawa berjalan.